23/05/17

KESAKSIAN HIDUP

Melky Pantur

Tuhan Semesta: Catatan Si Miskin dari Coal.

Melky Pantur dalam Tapak Ziarah.

[Ditulis sendiri oleh: Melky Pantur***, di Goro-Ruteng, mulai Senin, 9 November 2015. Diedit lagi pada, Minggu (27//11/2016) di Leda Ruteng]. Diedit lagi pada Selasa (27/9/2022).

Ibu Veronika Danut.

Aku.

Melkior Pantur lahir di Sampar, 3 Desember 1981 dari rahim Ibu Veronika Danut, titisan Bapak Theodorus Tamat

Theodorus Tamat, Kelahiran Coal, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Theodorus Tamat ini putera kedua dari pasangan Yakobus Antam dan Regina Nganul.

Regina Nganul berasal dari pasangan Nawung. Saudari dari Regina Nganul namanya Teto Natam. 

Kemudian, Yakobus Antam berasal dari keluarga Suku Mbaru Asi. Anak dari Yakobus Antam bernama Petrus Gambut, Theodorus Tamat, dan Tanta Sovia Banur. Yakobus Antam ber-ceki/totem cemberuang dan rata atau ayam hutan.

Asal Ibu.

Ibuku anak keempat dari enam bersaudara, namanya Veronika Danut. Veronika Danut puteri dari pasangan Gaspar Garung dan Sobina Sidung. Gaspar Garung anak dari Endong dan Rua. Mereka keturunan Ndung. Sedangkan, Sobina Sidung anak dari Mbaka dan Bobek.

Perjumpaan.

Ayahku berjumpa dengan ibuku melalui perantaraan Rosalia Jemanat dari Coal. Orang tuaku kemudian menikah di Paroki Sta. Maria Fatima Cancar 1980. Ayahku waktu itu bekerja sebagai pemasak tuak enau, penjual tuak, penjual gola malang -  gula merah. 

Usia 7 Bulan Tinggal di Ntalung – Coal.

Setelah menikah, kedua orang tua tinggal di Sampar. Tidak lama kemudian tingal lagi di Ntalung – Coal di rumahnya Monika Demot. Waktu itu usia 7 bulan. Tinggal bersama Monika Damut selama setahun. Lalu, Theodorus Tamat membangun gubuk di Ntalung yang aku namakan Kebun Pancasila waktu itu. 

Mimpi Sang Ibu.

Dalam budaya Manggarai, dikenal dengan apa yang disebut dengan waé dé’i. Menurut penjelasan yang disampaikan Ibuku Veronika Danut waktu aku masih di dalam kandungannya, beliau bermimpi menimba air di sebuah pancuran. Pasalnya, kata Ibuku, ia menimba menggunakan serigen. Isinya serigennya penuh. Sedangkan, mimpi lain belum aku peroleh datumnya.

Natal.

Menurut berbagai refrensi yang saya peroleh, saya dilahirkan di Sampar, tepatnya di rumah Kakek Gaspar Garung dan Nenek Sobina Sidung pada Kamis, 3 Desember 1981.

Cear Cumpe – Pemberian Nama Adat.

Selang beberapa hari kemudian, saya kemudian dibuatkan ritus céar cumpé atau pemberian nama adat ala Manggarai oleh kedua orang tuaku di Sampar.

Menurut Iya, isteri dari Bapak Gaspar Ganggut, Sabtu malam (7/11/2015) di Goro Ruteng saat acara céar cumpé dari putera keduaku Vinsensan Jovialen Perki Pantur. Uniknya, demikian Iya, saya di-céar cumpé kurang lebih dua kali. Pertama diberi nama Melkior Sambang, lalu yang kedua diberi nama Melkior Pantur.
Nenekku, Sobina Sidung pernah juga saat saya masih kecil menyampaikan bahwa nama saya yang Sambang tidak baik. Alasannya, jika nama itu dipakai, maka akan terkena sakit terus makanya mereka kemudian memutuskan untuk diganti dengan nama belakang Pantur.

Hari Kedelapan Dibaptis.

Ibu Veronika Danut pernah menyampaikan bahwa saya dipermandikan pada hari kedelapan sejak saya dilahirkan. Ada cerita unik di balik ritus permandian Gereja tersebut di mana ayah saya Theodorus Tamat diminta untuk membawa pohon pakis – puni untuk diserahkan ke Paroki Sta. Maria Fatima Cancar. Hal itu dilakukan oleh ayahku entah untuk maksud apa Paroki meminta pohon paku tersebut. Maklum tahun 1981.
Kemudian, saya pun dipermandikan oleh P. Pius Kila, SVD di Paroki Sta. Maria Fatima Cancar dengan nama di buku induk atau stambuk Paroki Cancar tertulis Melkior Sama.

Céar Cumpé Ulang.

Pasca saya dipermandikan, nama saya yang Sambang menurut nama céar cumpé yang lalu di buku induk Paroki Sta. Fatima Maria Cancar ditulis bernama Melkior Sama oleh Nenekku Sobina Sidung diganti menjadi Pantur. Saya pun kemudian di-céar cumpé ulang dengan nama Melkior Pantur. Saya mengganti nama Sama saya di buku Stambuk Paroki Cancar pada saat saya kuliah. Saat itu saya asistensi di Paroki Cancar. Waktu itu, Pastor Parokinya, Rm. Yoseph Karus, Pr.

Menurut Nenek Sobina Sidung, namaku yang Pantur saat di-céar cumpé dibaptis secara adat Manggarai dengan menggunakan ayam kampung lalong cepang. Sedangkan, permandian pertama mungkin lalong bakok.

Nama saya Melkior Pantur kemudian dipakai hingga saya mendaftar kelas satu SD di SDK Coal tahun 1987 dengan nama Kepala Sekolah SDK Coal waktu itu, Alex Jehola. Saya didaftar sebagai Kelas I SD dengan nama Melkior Pantur. Teman angkatan waktu itu Ance, Anci, Mambi, Ran, Lin termasuk Sipri dari Sama.

[Banyak pengalaman perjumpaan dengan Tuhan Semesta dan roh sebelum saya memasuki SD. Hal itu akan ditulis kemudian]

Sebelum Masuk SD.

Saat setelah kelahiran dan permandianku, saya pun tinggal bersama Ibu dan Ayahku di Sampar. Saat saya berusia 7 bulan saya pun tinggal di Ntalung- Coal di rumahnya Monika Damut. Kami tinggal di rumahnya Monika Damut selama 7 bulan lalu kemudian membangun gubuk sendiri.

Usia 3 Tahun Tinggal di Sampar.

Ketika berusia 3 tahun, saya kemudian tinggal lagi di Sampar di rumah Kakek dan Nenekku.

Kemudian, saya sempat tinggal di Golowelu ketika Pamanku, Herman Kiot bertugas di Puskesmas Golowelu. Saya pun tinggal di Popor, Kelurahan Wae Belang, Cancar  bersama dengan Kesa Aleksander Magno Ximenes Paleng.

Saya memang tidak cukup mendapat informasi tentang masa kecilku tetapi saya saat masa kecil bahkan hingga tamat Sekolah Dasar banyak menghabiskan waktu di Sampar bersama Kakek Ema Elong dan Nenek Ende Lidu.

Tinggal dengan Paman di Popor – Cancar.

Sebelum saya masuk sekolah, saya sempat beberapa tahun tinggal bersama Paman Herman Kiot dan Tanta Rita Magno Ximenes di Rumah Dinas Puskesmas Cancar. Teman bermainku adalah Alexander Magno Ximenes Paleng (Leksi) dan Herlina Tuti Hariyati (Herlin).

Ada beberapa peristiwa penting saat tinggal di Pamanku di Rumah Dinas Puskesmas Cancar. Ada sebuah kenangan jasmiah saat tinggal di sana waktu masih kecil yaitu luka bekas sobetan pisau di bagian dalam lutut kananku. Saat itu aku tengah memotong-motong daun kembang sepatu, lalu tanpa sengaja lututku itu terluka.Kesa  Leksi kemudian berusaha memberitahu Pamanku lalu kaki diplaster. Waktu itu, Pamanku memelihara kelinci. Kami senang sekali mencari beberapa jenis daun untuk makanan kelinci tersebut. Saat itu, saudara dari Tanta Rita bernama Jitu juga tinggal bersama kami. Pak Jitu itu berasal dari Los Palos, Timor Leste.

Kebiasaan Pamanku, Herman Kiot dengan kesanya bernama jitu sering menyetrom ikan dan udang di Kali Wae Lega.

Lari dari Rumah Paman.

Pamanku Herman Kiot sangat taat memperhatikan kesehatan putera dan puterinya. Termasuk saya, juga diwajibkan harus tidur siang.  Maksud baik Pamanku itu, maklum saya anak kampung suka sekali bermain dan yang namanya tidur siang amat sukar untuk mau diamini.

Berjumpa Sosok Supra Natural.

Suatu ketika, kalau tidak salah inggat waktu itu aku berumur 5 tahun. Aku pun memutuskan lari dari rumah Pamanku menggunakan jendela padahal jendela rumah mereka berjerugikan besi dan kaca. Saya pun membongkar kaca dan besinya lalu lari.

Melewati Lodok Cara.

Aku pun kemudian ke Sampar mengikuti jalur sawah persis dekat Lodok Cara yang mendunia tersebut. Jalur tersebut dari cabang menuju ke Cara menuju di rumah Bapak Mantri Mili di Meler.

Di Cara sebelum masuk persawahan, aku melihat sosok yang supranatural, dia seorang pria. Beliau menggenakan jubah hitam pekat tetapi dalam bentuk Roh. Aku sempat merasa takut namun apa daya aku tetap melangkah maju menuju persawahan dan terus meluncur ke Sampar sembari menangis.

Saat aku lari lewat jendela, waktu itu hujan rintik-rintik. Tiba di Cara, sebagai ganti payung, aku menggunakan daun keladi. Saya ingat waktu itu, padi-padi Lingko Cara sudah mulai mengetam. Saya lihat ada woja galung di situ.

Tiba di Sampar.

Ketika tiba di Sampar, Ibu Veronika Danut dan Nenekku, Sobina Sidung tengah menggali ubi jalar di sebuah sawah persis di bibir badan jalan. Nama sawah itu Bak. Sawah tersebut persis berada di samping timur kali Wae Kunce di Sampar berbatasan dengan kampung Nggawang.

Singkat cerita, pada usia 6 tahun, Ibuku membawa aku ke kampung Ntalung, pemekaran dari kampung Coal, Desa Coal, Manggarai Barat (pada waktu itu masih Kabupaten Manggarai).

Persis usiaku enam setengah tahun, Ibuku kemudian mendaftarkan aku untuk menjada murid di SDK Coal. Aku ingat baik, Ibuku sendirilah yang mendaftarkan aku bersekolah di sana. Guru kami di SDK Coal saat Kelas I SD bernama Bapak Thomas Ugam. Kepala Sekolah SDK Coalnya bernama Aleks Jehola.

Masa Kecil Sebelum Mendaftar di SDK Coal.

Sebelum sekolah di Coal, kami sering berkebun di Wae Lowang. Ketika kami kecil, aku bersama adikku laki-laki bernama Ferdinandus Gaul. Kami sering ke Wae Lowang. Aku masih ingat saat kami bermain di sawah karena ibuku menggarap kebun – wunggar bersama Ayahku. Lalu, aku kemudian didaftarkan oleh Ibuku masuk SD. [Wunggar adalah menggali tanah dengan menggunakan skop].

Bermain Bersama Ferdinandus Gaul.

Adik di bawahku, namanya Ferdinandus Gaul. Kami sering ditinggalkan oleh Ayah dan Ibuku di Ntalung di Kebun Pancasila. Kami berdua dititipkan di rumah sementara Ibuku dan Ayahku ke sawah menggarap sawah.

Dipermainkan.

Salah seorang putera dari Ansel Langgu, kakaknya Don pernah mempermainkan saya dan adikku. Dia menipu aku dengan mengatakan Ibuku dan Ayahku dibawa lari babi – dalam bahasa Manggarai sanga le ela. Dia bilang: “Oé Mili, sanga le ela hi Ous agu hi Iya é!”. Sebagai anak kecil, saya langsung percaya dan menangis. Saat Ibuku pulang, aku memberitahu Ibuku perihal tipuan darinya.

Ferdinandus Gaul dan Yustina Tini mereka lahir di rumah kami yang pertama di Kebun Pancasila. Mereka berdua pun juga disemayamkan di situ dan kemudian dikuburkan di Tamong.

Mendengar Tangisan Anak Kecil - Roh.

Sebelum adikku meninggal, orang tuaku masih berada di Wae Lowang. Aku mendengar suara anak kecil menangis dari arah belakang rumah tepatnya di bagian utara. Aku mendengar jeritan tangisan itu. Aku tidak memberitahukan kedua orang tuaku. Aku melihat seorang anak kecil memakai pakain berjubah putih.

Bermasalah dengan Lamber Jemaan.

Orang tuaku pun bermasalah dengan Lamber Jemaan. Persoalannya mengenai masalah kopi saja. Kasus tersebut perkara hingga ke Camat Kuwus. Perkara digelar dua kali.

Adikku Meninggal.

Sebelum adikku meninggal, Ferdi adikku, lidahnya bombot dan mulutnya jaek. [Bombot adalah sejenis bintik-bintik di mulut dan jaek artinya air liur yang terus menerus]. Dia meninggal saat setelah meminum kopi. Saya melihat dari mulutnya keluar cairan berwarna hitam karena sebelumnya dia dikasih kopi. Aku yang pada waktu itu masih kecil, memang bersedih karena adikku pergi untuk selamanya. Aku pun kehilangan adik tersayangku.

Yustina Tini Lahir.

Setelah adikku Ferdinandus Gaul meninggal, tidak lama kemudian saudariku Yustina Tini lahir. Aku masih ingat, bagaimana kami bermain di gubuk kecil itu di Kebun Pancasila. [Kebun Pancasila adalah kebun yang saya beri nama pada 1 Juni 2016 karena pada hari itu Presiden RI ke-7, Ir. Joko Widodo meresmikan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila]. Saat itu, bagaimana Ayahku membeli ikan. Waktu itu kami sangat bergembira. Tini nama panggilnya, tampaknya sangat manis dan imut. Dia sangat cantik rupanya.

Yustina Tini Meninggal.

Saat sakit, Tini sempat dibawakan ke Puskesmas di Golowelu. Nyawanya pun tidak tertolong. Dia meninggal di perjalanan di pertigaan dekat rumahnya Anton Patut alur jalan ke Kasong. Saat itu aku melihat adok –belalang sembab hijau ada di jalan. Kami pun balik lagi ke rumah. Saudariku Tini pun disemayamkan di rumah kami.

Yovita Setia Lahir.

Sepeninggalan Tini, kami sekeluarga merasa kehilangan. Saudariku pun lahir namanya Yovita Setia pada 27 Agustus 1987 di Ntalung di rumah di mana adikku Ferdi meninggal. Yovita Setia kemudian dipermandikan di Paroki Hati Kudus Yesus di Golowelu.

Cerita Singkat Saat SD Kelas I di Coal

Suatu hari disuruhlah kami oleh Bapak Thomas Ugam untuk mencari kayu api (maklum dulu anak-anak sekolah di sana menyuruh menimba air untuk keperluan para guru di rumah mereka yang persis menetap di dekat sekolah bahkan pada hari tertentu wajib membawa kayu api ke sekolah untuk kayu bakar para guru.

Kembali saat mencari kayu api dengan masih mengenakan pakaian seragam SD, kami pun berangkat ke tempat yang namanya Ramegilo untuk mencari kayu api. Saya lupa akan harinya. Ketika sesampai di Ramegilo, kami pun beramai-ramai mengumpulkan potongan kecil kayu api, sementara kami tidak membawa serta dengan parang.

Waktu itu, hanya seorang teman yang membawa parang. Nama teman itu Ran. Entah mengapa, tiba-tiba dalam pikiran seorang teman, namanya Ance  Tangga menyembunyikan parang milik Ran (hanya sekedar bermain-main). Saat kami mau mengumpulkan kayu, tiba-tiba Ran menangis karena parang miliknya hilang. Ran pun menangis. Mungkin karena mendengar suara tangisannya Ran, segerombolan lebah kuning sebesar jari kelingking remaja tiba-tiba menyergap kami.

Banyak teman yang kemudian digigit. Yang tidak digigit sekalipun diserang adalah saya dan Mambi. Kami berdua memang diserang, namun kami mengambil daun kerenyuh, tekelan lalu mengipas-ngipas di atas kepala. Kami berdua pun luput, sementara yang lain lari ke danau kecil dekat tempat tersebut.

Pulanglah kami semua ke sekolah tanpa membawa apa-apa. Sekian teman dari kami menangis karena sakit kegigitan. Tibalah kami di sekolah, dan persis di tangga kami langsung disambut oleh Bapak Thomas Ugam. Di situlah Ance mendapat cemeti karena laporan beberapa teman. Itulah peristiwa hari itu dan sejak hari itu kami tidak lagi disuruh mencari kayu api.

Saya masih ingat saat SD Kelas II, lagu yang paling tidak dilupakan yang diajarkan oleh Bapak Thomas Ugam, liriknya begini: Tekur ra, tekur pait dami mosè tekur kur kur kur. Pandé disé éma bapa dami anak, bénang ngo sekola tamal kebut remang é...kélo mosé go, endé go, éma go… tekur kur kur kur….

Bermain di Tiwu Kalo.

Saat SD, kami kerap bermain air di Tiwu Kalo. Tiwu itu berada di Ramegilo. Kami kerap berenang di sana saat ada waktu, baik pada jam sekolah atau bersenang atau pada saat pulang sekolah. Kami pun kerap sambong ikang ­– menangkap ikan dengan menggunakan kain teteron.

Membakar Pondok di Wae Lowang.

Dulu kami menggarap sawah di Wae Lowang. Demi mempertahankan ekonomi keluarga, Ayahku membangun pondok permanen. Pondok itu bentuknya panggung. Dia membangunnya nyaris sebulan. Saat sudah membajak dan menanam padi, kami tidur di situ selama satu bulan setengah. Saat itu tengah menanam padi. Beruntung Yovita Setia digendong oleh Ibuku. Ayahku, Theodorus Tamat tengah ke Ramegilo. Saya ambil api dari kayu di tungku lalu sotét – menyalakan di alang-alang pondok. Maka, tidak lama kemudian, pondok dan seisinya hangus terbakar tanpa ada satupun sisa puing-puing. Saat itu setelah makan siang, sekitar Pukul 03.00 WITA. Ibuku pun sedih dan pulang ke rumah kami di Ntalung.

Sambong Ikan agu Kuse.

Kelaziman kami saat SD adalah mencari ikan dan udang di kali Wae Lowang dekat SDI Lenggo. Kami pun kerap mencari ke Wae Lete, Wae Tamong dan Ramegilo bahkan hingga ke Ndatung. Kami menyusuri sungai yang indah.

Ibuku Mulai Terkena Sakit.

Sejak tahun 1989 Ibuku mulai terkena sakit di rumah pertama kami di Kebun Pancasila. Saat itu aku baru berusia 8 tahun. Sedangkan, Ibuku meninggal di Sampar pada Juli 1997 setelah saya tamat SMP, satu hari setelah mengambil ijazah. Dia sakit selama kurang lebih delapan tahun. Rumah kami yang itu setengahnya beratapkan zing, setengahnya ijuk. Dindingnya terbuat dari papan yang tidak beraturan.

Ceritanya, awalnya Ibuku melihat ada banyak orang di luar rumah. Dia melihat ada seekor kuda. Dia pun lari di bawah kolong tempat tidur. Jipi jara pun terjadi. Aku masih ingat waktu itu, Ayahku tengah menggendong Yovita Setia sembari mengedor papan gubuk kami. Dia berteriak poti apa so’o pé’ang? Sementara saat terkena sakit, Ibuku berteriak: Do poti so’o pe’ang…! Dia mengucapnya beberapa kali.

Romanus Sambut Tinggal di Gubuk Kami.

Ada seorang Kesa, namanya Romanus Sambut. Mereka dulu tinggal di Coal dan karena hendak membangun rumah di Ntalung, mereka kemudian tinggal dengan kami di Ntalung, Kebun Pancasila. Mereka tinggal dengan kami selama satu tahun lebih. Mereka menetap di situ sambil membangun rumah supaya jangan sampai jauh memberi makanan para tukang.

Menusuk Teman.

Satu peristiwa penting saat saya SD Kelas I di Coal adalah menusuk anak dari Kepala Sekolah, Alex Jehola namanya Abe. Si Abe kemudian menjadi teman sekolahku di SMPN I Kuwus di Satar Ara. Aku menusuknya dengan anak ballpoint. Dasar kenakalan anak-anak.

Menyimpan Daeng Tapa di Wakas.

Waktu kami SD, kalau ke sekolah pasti membawa bekal berupa daéng tapa – ubi kayu bakar lalu disembunyikan di wakas –gelagah. Ada kenakalan kecil kami adalah ngapeng – berjaga-jaga untuk mengintip. Terkadang ada yang hilang daeng tapa atau teko tapa – keladi bakar dari teman kami. Bahkan terkadang berkelahi.

Menangkap Anak Burung.

Masih kecil pernah kami menangkap anak burung. Kelihatannya itu bisa jadi anak de rata (ayam hutan). Itu kami dapat di Wae Tamung di atas tanah yang gersang menuju Wae Lowang. Saya bawa lalu dibakar di liang di Wae Lowang tepatnya di sawahnya Emad Bene.

Pindah ke SDI Nggawang.

Pada saat Kelas II karena Ibuku terkena sakit, maka aku pun pindah ke SDI Nggawang. Aku pun kemudian diterima di sana, yang mana pada waktu itu, Kepala Sekolahnya adalah Bapak Simon Keta.

Bapak Simon Keta terkenal dengan Pengajar yang serius dan butuh konsen. Pada saat kami tengah mendengarkan pelajaran dari Bapak Simon Keta, tiba-tiba aku diganggu lebah cokelat ­– sepot, yang biasa bersarang di dalam rumah. Saat itu, aku memang tidak konsen kemudian Bapak Simon Keta menegurku dengan berkata: “Sekolah de hendér Lidu ho’o ko itu tara toé séngét nggercé'ém hau? Apa ini sekolah milik Nenekmu Hender Lidu, makanya kau tidak mendengar ke sini?”. Waktu itu, aku pun merasa tidak berdaya.

Suatu hari, aku pun mendengarkan pelajaran dari Kepala Sekolah kami. Aku sudah takut kalau diajarkannya lagi. Secara tidak sengaja karena ketakutan, aku ingin ke kamar kecil namun aku terpaksa bertahan sehingga bahkan aku berak di dalam celana di dalam kelas. Masih aku ingat yang duduk di sampingku namanya Ince. Kemudian dengan rasa malunya, jam pelajaran pun selesai lalu membersihkan diri di Wae Kunce lalu pergi ke rumah ikut belakang, persis banyak pohon kopinya agar tidak diketahui keluarga.

Ulah peristiwa itu, esoknya saya putuskan tidak ke sekolah karena meski masih Kelas II SD, rasa malu itu sudah ada. Namun, kemudian lusanya saya ke sekolah dengan rasa minder.

Aku pun belajar di SDI Nggawang mulai Kelas II SD hingga Kelas IV SD. Rentang waktu Kelas II hingga Kelas IV, ada banyak peristiwa unik yang kami jalani mulai dari berkelahi saat pulang sekolah, mencuri ubi jalar orang, mencari kayu api di Poco Radi lalu dijual ke Cancar dengan harga per ikat saat itu 400 rupiah.

Aku pun menerima Komuni Pertama yang dirayakan di SDI Nggawang dengan Pastornya Rm. Bene Bensi, Pr. Aku pun melakukan pengakuan dosa pertama. Perayaan Ekaristi Komuni Pertama kami dilakukan di ruangan Kelas I-IV SDI Nggawang. Saya masih ingat, yang mendampingi saya waktu itu adalah Kakek Gaspar Garung dan Nenek Sobina Sidung dengan pakaian seragam SD (maklum kami adalah keluarga yang sangat berada di bawah garis kemiskinan hingga pakaian Komuni Pertama saja tidak bisa dibeli apalagi dibuatkan acara syukuran).

Bertemu Roh Anak Kecil Berbadan.

Disebut sebagai Kurcaci, aku bertemu dengan roh anak kecil berbadan di bawah pohon pisang di malam hari. Saat aku melihat, dia memperhatikan aku. Aku hanya tenang memperhatikannya. Mukanya imut dan manis. Kulitnya seperti tubuh manusia anak kecil yang mungil. Kejadian itu, di samping rumahnya Emad Mia di Nggawang.

Melihat Mata Mberé.

Saat Kelas II SD aku kerap mata mberé – sejenis cahaya kecil berwarna biru sebesar kelereng di dalam rumah. Aku kerap melihatnya.

Berjumpa dengan Reba Ruek.

Aku berjumpa dengan Reba Ruek di belakang rumah di Sampar. Cirinya seperti seekor monyet hitam. Badannya berbuluh hitam. Aku melihatnya di siang hari dan ketika itu, dia tengah menaiki sebuah pohon kopi. Di belakang rumah Nenekku di Sampar waktu itu masih banyak pohon kopinya. Kopinya besar-besar.

Melihat Api Ja.

Suatu malam, aku melihat api ja bersama Nenekku di Sampar. Mereka berjalan di sawah di depan kampung Longgo menuju Maras dan Rentung. Warna api itu biru. Mereka berjalan berjejer-jejer.

Lagu Céro Latung.

Saya masih ingat, ada seorang teman namanya Niko. Saat pulang sekolah, dia pernah menyanyikan lagu. Liriknya begini: céro latung céro, kopi pait diang gula céro latung cero, kopi pait diang gula.

Berkelahi di Sawah.

Ada saya punya Kesa, namanya Bius Rua dan Heri. Mereka anak dari Pamanku bernama Vanus Saung. Entah mengapa, kami bertiga baku hantam. Mereka berdua melawan aku, 2 lawan 1. Badan saya memang cukup lumayan dan cukup berani untuk beranten. Dengan beberapa serangan bebas, saya melumpuhkan Kesaku. Setelah itu tidak baku ngomong. Bius kakak kelas, sementara Heri sekelas dengan saya.

Mencari Kayu Api di Watu Radi.

Saat kami pulang sekolah, kami kerap pergi mencari kayu api di sekolah. Ada seorang Kakak di Kampung, namanya Niko Jambo. Lagu yang paling tenar dia lantunkan di perjalan ke bukit Watu Radi, liriknya begini: Watu Radi kawe haju, de nara koyo koyo koyo koyo koyo. Lau Cancar pika haju, de nara koyo koyo koyo koyo koyo.  Ini lagu sangat popular kami pada saat itu.

Menjual Kayu Api di Cancar.

Kayu yang kami bawa dari Watu Radi kemudian dijual di Sampar. Satu ikat harga kayunya sebesar 400 rupiah. Maklum tahun 1992.

Strom Aki.

Kebiasaan dari para Guru SD kami dengan menyuruh kami menyetrom aki di Cancar. Kami sangat gembira kalau disuruh memikul accu ke Cancar karena meninggalkan ruangan kelas. Kami sering melakukan itu. Targetnya, pulang dari Cancar, pelajaran sudah selesai. Kami ke Cancar lewat Kampung Nggawang.

Pékang Paké dan Dau Paké.

Kebiasaan kami waktu SD Kelas II – IV adalah pekang pake ­–memancing katak. Lazimnya setelah berhenti hujan. Satu cerita unik saya di sebuah sawah, namanya Bak. Saat saya memasukkan tangan saya ke dalam lubang, bukannya katak yang saya pegang melainkan ular. Pengalaman itulah menjadi penobatan saya untuk berhenti mencari katak di dalam lubang. Saya bertobat memang.

Caké Lawo.

Memang dasar masih SD. Kami senang sekali membongkar pematang sawah orang terutama setelah mengetam. Pulang sekolah pasti ada waktu untuk mencari tikus sawah. Dapatnya banyak-banyak. [Caké lawo artinya menggali lubang tikus].

Ta’ang Campat.

Waktu SD kami sering menangkap ikan dan belut menggunakan campat. Suatu ketika bahkan saya, mungkin hari tidak beruntung. Campat yang satu, belutnya lolos. Saat belut itu lolos, itulah hari terakhir saya berurusan dengan campat. [Campat sejenis perangkap ikan yang terbuat dari bamboo. Di depannya dibuat seperti jaring bundar yang kesemuanya terbuat dari bahan lokal].

Ta’ang Nggepit.

Kami bahkan kerap melakukan aktivitas berupa ta’ang nggepit. Nggepit tersebut lazim untuk menangkap tikus di sawah. [Nggepit adalah sejenis perangkap yang berdiri yang salah satu tonggak kakinya ditancapkan ke tanah]. Nggepit mudah dilihat orang karena perangkap itu sangat tidak rahasia.

Memancing Ikan di Bak.

Nenekku juga punya beberapa bak ikan di Sampar. Jika ingin memakan ikan, lazimnya saya pulang sekolah ke Bak untuk memancing ikan.

Rénco, Kalék.

Saat masih SD, Nenekku memiliki banyak sawah di Sampar. Kami bahkan jika ada kesempatan selalu bergabung pada saat membajak sawah berupa kalék, cacap, bahkan pada saat tuai padi saya sering rénco – mengangkut tuaian padi dengan karung.

Selanjutnya……..

Bangun Rumah Baru.

Ayahku kemudian membangun rumah baru persis di dekat jalan. Di rumah itulah, adik perempuanku Florida Sinar lahir pada 25 Agustus 1990. Dia kemudian dipermandikan di Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu. Di rumah itu pula, Kakekku, Yakobus Antam menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, aku masih SMPN I Kuwus di Satar Ara.

Pindah Lagi ke SDK Coal.

Tahun 1992, Kelas V SD, Ibuku kembali memindahkan aku ke SDK Coal. Alasan kepindahanku adalah karena Ibuku sakit dan saya bahkan tiap hari kerap menangis ingin selalu tinggal bersamanya. Lalu, larilah aku ke Coal membawa serta dengan pakaianku menyusuri hutan belantara Puar Lewe antara kampung Goloworok dan Wela.

Dalam perjalanan, aku bahkan sambil menangis karena aku lari dari rumah Kakek dan Nenekku tanpa pamit. Nenekku kerap melarang aku pergi ke Coal. Lalu, nyaris 1 kilometer lebih dari kampung Goloworok, sebuah mobil kijang, namanya Wae Moro dengan nama pengemudinya Keraeng Tarsi.

Mobil itu berhenti dengan sendirinya dan menawarkan aku untuk menaiki gratis mobil tersebut. Maka, selamatlah aku hingga naik di atas mobil hingga ke Golowelu. Aku kemudian turun gratis tanpa bayar di Golowelu karena aku tidak mempunyai uang sesen pun. Aku pun berjalan kaki dari Golowelu hingga ke Ntalung-Coal. Hingga tiba di rumah, betapa ibu kaget karena aku muncul tiba-tiba.

Aku kemudian meninggalkan sekolah hingga beberapa pekan semua nilai raporku turun drastis.

Uniknya, saking tertekannya Nenekku Sobina Sidung, dia pun mencari aku hingga berjalan kaki dari Sampar ke Coal keesokkan harinya. Betapa aku dan Ibuku kaget karena nenekku datang.

Nenekku kemudian menyerah, dan keesokkannya, Ibu mendaftarkan aku di SDK Coal lagi. Saat aku sekolah di Coal, sudah mulai gempar perang tanding antara kampung Coal dan Sama yang bahkan salah seorang bapa kecilku berhasil dibunuh oleh orang kampung Sama pada waktu itu, namanya Paulus Anggal.

Selang beberapa bulan kemudian, Ibuku kembali sakit dan berangkat ke Sampar hingga meninggalkan aku di sana bersama dengan ayahku Bapak Theodorus Tamat. Pada saat itu, rumah kami kemudian pindah di sebelah atasnya, dengan berdindingkan pelepah dan beratapkan ijuk enau. Kami memang sangat miskin sekali.

Kawé Motang.

Saat saya kembali Kelas V SD di SDK Coal, kami kerap pergi mencari kayu api. Bahkan sesekali aku bersama orang tua di sana pergi mencari babi hutan. Saya bahkan pernah memikul satu ekor daging babi hutan dan diberikan kepada Ibuku. Itu adalah pengalaman pertama saya ngo ba’ang motang.

Bermain di Atas Pohon.

Kenakalan kami waktu kecil adalah menaiki sebuah pohon lalu ada teman potong dari bawahnya. Saat pohon tumbang maka kami pun turut terjungkal. Atas kenakalan itu, aku terkena tusukan kecil di perut bagian kiri. Saat itu, ada Kesa Herman, Ance dan beberapa teman lainnya. Kalau kami bawa kayu api yang sudah diikat dengan wasé lincor  - sejenis tali yang mirip cincau - kami namakan itu umbék.

Ikang Babék.

Waktu kecil kami kerap mencari ikan di kali khususnya di Wae Lowang di Lenggo. Ada satu tiwu di situ, Kesa Herman menjaring ikan di tiwu tersebut. Saat beliau menangkap seekor ikan sebesar tangan anak kecil, lalu dia bersahut: Ikang babek…ikang babekkkk!!! Saya merasa lucu karena baru pertama mendengar sebutan ikang babek. Waktu itu ada Kesa Yance Tangga.

Hijrah Lagi ke SDI Nggawang.

Karena Ibuku tinggal lagi di Sampar, aku pun dipindahkan lagi di SDI Nggawang. Di SDI Nggawang, aku lanjut di Kelas V SD hingga menamatkan SD di sana tahun 1994. Saat aku lanjut Kelas V SD, Ibuku kembali ke Coal hingga aku tamat SD di SDI Nggawang. 

Akibat aku terkena stress rindu akan pelukan Ibuku, hasil nilai raporku buruk bahkan NEM dan STTB-ku amat buruk hingga aku putuskan mencoret NEM-ku dan aku tidak mau melanjutkan sekolah di SMP kendati aku tergolong masih lulus SD. Prinsipku waktu itu, biar aku tidak sekolah dan memutuskan untuk menjadi petani bahkan kerja sebagai kuli kasar pun aku bersedia yang penting aku dekat dengan Ibuku.

Paman Herman Menyelamatkan NEM-ku.

Niatku untuk tidak mau melanjutkan sekolah ke SMP karena NEM-ku rendah, lantaran stress karena selalu ditinggalkan Ibuku.

Saat mau daftar SMP, Pamanku Bapak Herman Kiot menanyakan statusku kepada Ibuku. Ibuku kemudian melaporkan kepada Pamanku perihal NEM yang saya coret. Kemudian, Ibuku memutuskan membawa NEM itu untuk diperbaiki seperlunya sesuai dengan keadaannya karena nilai NEM-nya 22 koma sekian
.
Saat itu memang aku mendapat amarah dari Pamanku. Lalu, aku diajak beliau ke Ruteng untuk melakukan foto pas dengan menaiki motor dinasnya di mana saat itu beliau bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai. Setelah aku selesai foto pas, beliau menghantar aku ke rumah di Cancar, Kelurahan Wae Belang. Saat itu, Pamanku tinggal di Popor di rumah pribadinya di samping Barat SDI Wae Belang.

Bertemu dengan Darat.

Setelah tamat SD, aku disuruh Ibuku mengambil beras di Golowelu, adik dari Mamaku, namanya Wihelmina Bambung. Saat sampai di …aku melihat seorang perempuan tengah memanggil  dengan suara: éang…éang…éang. Aku melihat dia naik di atas pohon ampupu. Rambutnya panjang dan dia menggunakan pakain putih seperti pakaian orang olahraga Kempo putihnya. Sangat bersih. Waktu itu mentari baru terbit dan aku saat itu membawa korek api dan rokok – mbako po’o.

Masuk Sekolah Menengah Pertama.

Setelah NEM-ku diperbaiki oleh Pamanku, aku pun didaftarkan oleh Ayahku, Bapak Theodorus Tamat ke SLTPN I Kuwus di Satar Ara dengan Kepala Sekolah SMP-nya waktu Bapak Redriques. Saat mendaftar, aku amat kikuk karena NEM-ku amat rendah. Aku berpikir waktu itu, apakah aku diterima di sana.

Sebenarnya, aku waktu itu didaftarkan oleh Pamanku ke SMPN Cancar, namun karena NEM-ku rendah sangat sementara tahun 1994 itu, NEM terendah yang diterima di sana adalah berstandar 28 koma sekian. Maka, aku pun oleh Bapakku didaftarkan ke SLTPN I Kuwus.

Saat aku mendaftar ke SLTPN I Kuwus, Ayahku berdasarkan hasil diskusi dengan suami dari adik Ibuku, Bapak Agustinus Ranggut meminta agar bertemu dengan Bapak Anus, salah seorang Tata Usaha di SLTPN I Kuwus. Pak Anus berasal dari Benteng Jawa, Manggarai Timur (2015 sekarang). Aku ingat, Ayahku dengan sopannya membawa seekor ayam agar aku bisa diterima di SLTPN I Kuwus. Berkat kebaikan Pak Anus, resmilah aku menjadi murid di sana. 

Aku pun dibelikan baju seragam sekolah termasuk Pramuka oleh Ayahku sementara profesinya waktu itu adalah petani. Aku pun tinggal di asrama tepatnya di atas rumah Pak Anus dekat dengan sekolah. Teman sekolahku, di antaranya Gias, Vinsen Saur, Vinsen dari Porong Tedeng, Anci, Ance, Hery , Paskalis Moat dan beberapa teman lainnya yang saya lupa nama mereka.

Saat SMP Kerap Pindah Asrama.

Selang beberapa bulan kemudian, aku pun pindah di asrama Keraeng Emad Robi yang juga dekat sekolah. Aku tinggal di asrama itu dengan Ance, Anci, termasuk Lin. Dari rumah Keraeng Emad Robi aku kemudian pindah ke rumah Bapa Kecil, Bapak Agustinus Ranggut di Ntalung pada Golowelu.

Di rumah Mama Kecilku, Mamad Gonsa di Ntalung Pada-Golowelu. Di sana, kami sering mencari kayu api saat ada kesempatan pulang sekolah, baik di Wae Cewe maupun di hutan tepat di atas Gereja Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu. Dari rumah Mama Kecilku, aku pun tinggal di rumahnya teman Vinsen Saur di Ntalung Pada tetangga dari Mama Kecilku. Temanku tinggalku di rumah Keraeng Vinsen Saur, di antaranya Philipus Jene, Don dan Vinsen Saur termasuk saudari kandungnya Keraeng Vinsen Saur.

Dari rumah Keraeng Vinsen Saur karena alasan mendekati ujian EBTANAS tahun 1997, aku pun pindah ke Satar Ara, di rumahnya Keraeng Vinsen. Aku pun tamat dari SLTPN I Kuwus dengan nilai NEM, 38 koma sekian. Aku dinyatakan lulus.

Nonton Film Deru Debu.

Tahun 1994-1995, lagi tayangnya film Deru Debu. Kebiasaan untuk belajar itu jarang. Kami kerap bolos dari tempat tinggal untuk menonton film itu. Lagu yang paling popular pada waktu itu adalah lagu Merah Delima Warna Bibirnya.

Kayu Api, Sumber Biaya Sekolahku.

Saat aku SLTP, Ayahku, Bapak Theodorus Tamat menyekolahkan aku dengan kayu api. Berkat KAYU API yang dicarinya di hutan Golowelu, aku pun. Ayahku adalah orang pertama di Coal yang mencari kayu api lalu dijual di pegawai di sana. Kendati demikian, selama SLTP karena Ibuku kerap sakit, aku masih punya kesempatan untuk pulang ke rumah di Ntalung tiap akhir pekan dengan berjalan kaki entah dari Satar Ara menuju Ntalung-Coal.

[Ada banyak cerita indah pada saat SMP termasuk mencari kayu api di hutan di atas Gereja Paroki Golowelu dan mencari kayu api hingga ke Wae Cewe. Tidak banyak cerita menarik saat SMP dulu]

Berkelahi dengan Teman.

Namanya Pak Anus dari Benteng Jawa. Beliau amat kreatif. Tiap istirahat, dia menjual pisang goreng dan berbagai jenis gorengan. Gara-gara bertegal soal pisang goreng, saya pun baku jotos dengan teman. Beruntung ada yang cepat lerai.

Tiga Siswi Tenggelan di Waduk.

Ada tiga siswi kami mengalami nasib naas. Peristiwa itu mau memasuki EBTANAS. Hari itu adalah hari olahraga. Tiga siswi, satunya asal Suka dan satu dari Dahang, dan satunya saya lupa asalnya tiba-tiba bermain di waduk di sebelah utara SMP. Ketiga siswi itu akhirnya meninggal di waduk tersebut.  SMPN I Kuwus hari itu amat berduka.

Ayahku Bertegal dengan Tetangga.

Ayahku pernah bertegal dengan tetangga namanya Romanus Sambut. Persis di rumah kedua. Mereka bertegal hanya karena soal kucing masuk rumah.

Watak Buruk Sang Ayah.

Tiga bulan Ibuku sakit berat di Sampar namun Ayahku tidak pernah memperdulikannya. Selama tiga bulan, bahkan Ayahku tidak pernah menjengguknya. Setelah saya tamat SMP dan usai ambil ijazah, Ayahku baru ke Sampar. Entah karena Ayahku sudah putus harapannya karena selama delapan tahun Ibuku menderita. Hari itu hari Sabtu barulah ia ke Sampar. Saat Ayahku ke Sampar, itu adalah kenangan terakhir. Ibuku pun meninggal.

Tahun 1997, Ibuku Pergi Abadi dari Kami.

Saat SLTP, Ibuku yang kerap sakit sering pergi pulang Coal-Sampar. Usai aku menyelesaikan studi SLTP-ku, Ibuku sangat sekarat di Sampar.

Di Sampar, Ibuku kendati dalam keadaan sakit menanyakan kepadaku perihal kelulusanku. Aku pun menunjukkan NEM dan STTB SLTP-ku kepadanya. Ibuku membacanya dan dia merasa puas.

Sehari setelah melihat dan membaca nilaiku, Ibuku kemudian meninggal di pangkuan Ayahku didampingi Nenekku, Sobina Sidung. Waktu itu, aku amat terpukul karena adikku perempuan Yovita Setia dan Florida Sinar masih kecil. Florida Sinar usianya masih 5 tahun, sedangkan Yovita Setia masih SD.

Aku ingat baik, saat Ibuku menghembuskan nafas terakhirnya, aku memanggil kedua adik perempuanku untuk tidur, persis aku berada di tengah-tengah mereka berdua. Aku memang menangis di dalam hati karena aku belum mengerti betul pada waktu itu. Aku sudah mulai merasa syiok. Pada waktu Ibuku meninggal, aku ingat pada hari Sabtu sore.

Adikku Florida Sinar Tinggal di Popor.

Adik perempuanku Florida Sinar kemudian diajak Pamannya untuk tinggal bersama mereka di Popor. Dia pun mulai masuk SD di SDI Wae Belang, SMP di SLTPN Cancar, kemudian SMAK di Budi Dharma Cancar.

Adikku Florida Sinar kemudian menerima Komuni Pertama di Paroki Sta. Maria Fatima Cancar. Yang mendampinginya saat menerima Komuni Pertama waktu itu adalah saya dan Tanta Rita Magno Ximenes. Sebenarnya, Pamanku yang mendampingi tetapi karena beliau tugas keluar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai maka sayalah yang mendampinginya.

Adikku Merantau ke Tanah Dewata.

Pasca tamat dari SMA, adikku Florida Sinar kemudian menginjak Tanah Dewata, Pulau Bali untuk mengais setepung rezeki dari Empunya Semesta.

Masuk Sekolah Menengah Atas di Ruteng.

Tiga hari kemudian, pasca Ibuku dikebumikan dan persis Rm. Karolus Jande, Pr ada di Sampar. Dia berjanji, beliaulah yang akan mengurus sekolahku ke SMA. Namun, Ayahku kemudian mendaftarkan aku ke SMA.

Datanglah aku dengan ayahku ke Ruteng tahun 1997 dan berencana mendaftarkan aku ke SMAN 2 Ruteng. Aku memang bisa diterima di sana karena nilai NEM-ku memenuhi standar namun karena kami terlambat maka waktu itu siswa/I sudah penuh. Maka, terpaksa Ayahku yang amat sederhana itu mendaftarkan aku di SMAK Primadona Ruteng dengan Kepala Sekolahnya waktu itu, Drs. Yoakim Pajang.

Aku pun belajar di SMAK Primadona Ruteng dan berhasil tamat dari sana kendati NEM-ku, nilainya amat rendah sekitar 33 koma sekian. Ada banyak pengalaman pahit selama aku mengenyam pendidikan di SMAK Primadona Ruteng hingga tamat tahun 2000.

Berjumpa Dwi Suci Maha Agung.

Waktu itu pancawindu, Mgr. Mikael Angkur, OFM di Lewur. Beliau Uskup di Bogor. Saya kemudian waktu itu ke Coal. Lalu, saya mendengar ada caci di Coal. Syukuran pancawindu Uskup Mikael sangat inkulturatif karena beliau mempersembahkan hewan kurban berupa kerbau putih. Hal itu merupakan pujian bagi Yang Kudus yang telah mengaruniakannya sebagai Pengembala Para Domba.

Tibalah hari caci di alun-alun Gendang Lewur. Aku pun hadir saat itu. Saat itu, aku masih SMA. Persis saat permain caci tengah berlangsung, beberapa orang termasuk aku berdiri di compang atau mezbah adat. Seorang tetua adat merasa geram karena melihat ada orang berdiri di compang. Dia kemudian mengambil larik – cemeti dan mengayunkan ke orang-orang yang berdiri di atas compang tersebut. Uniknya, saya ada di situ dan tetap berdiri di compang. Tetua adat itu tidak berani mengusirku. Dia kemudian membiarkannya. Sekitar 10 menit kemudian, aku menyadari sendiri. Saat aku keluar dari compang tersebut sekitar dua meter dari situ, aku menengandah ke langit. Saat menengandah, dua orang berpakain putih – Tuhan Yesus dan yang satu lagi mirip Elia, Yohanes Pembaptis (rupanya). Mereka kemudian turun di atas compang tersebut. Saat itu compang tengah kosong. Beliau tidak berbicara pada waktu itu tetapi hanya datang ke altar adat tersebut. Mereka bagaikan petir yang mengkilat dan jubah mereka seperti salju.

Bermimpi Didatangi Yang Lanjut Usianya.

Tinggal 6 bulan tahun 2000 saya mengikuti Ujian EBTANAS di SMA Primadona Ruteng. Aku waktu itu tinggal di Tebing Tinggi tepatnya di rumah Om Marten. Waktu itu aku sempat sulit untuk bangun selama 3 hari lamanya. Memasuki hari ketiga dan malamnya, aku bermimpi.

Dalam mimpiku, aku didatangi seorang yang lanjut usianya. Beliau menggunakan jubah putih, kain lenan. Putihnya seperti salju. Rambutnya sudah beruban tetapi tidak banyak. Aku melihat Beliau di pintu kos.

Keesokan paginya, hari ketiga aku terjaga. Semua urat-uratku kembali normal. Aku kemudian teringat akan mimpi itu.

[Ada banyak cerita unik di Lewur yang perlu digali. Di sana banyak hal penting yang belum digali para generasi termasuk peristiwa melawan Empo Rua zaman dulu yang membunuhnya dengan cara menggunakan ijuk enau. Cerita unik lainnya adalah di Lewur pernah zing-zing Gereja terbang hingga ke Tentang karena terbawa angin putting beliung yang sangat besar].

Tidak banyak cerita menarik waktu SMA. Itu akan ditulis kemudian.

Selanjutnya……..

Bantu Kerja Proyek Rumah.

Pasca tamat dari SMAK Primadona, aku kemudian kepusingan karena Ayahku sudah tidak sanggup membiayai aku ke jenjang yang lebih tinggi.

Kendati berada dalam kepusingan, persis bulan Mei-Juli tahun itu, Bapak Agustinus Ranggut mendapat pekerjaan dengan membangun rumah tembok permanen dari tetangga mereka di Golowelu, Bapak Marsel.

Saya pun menawarkan diri untuk menjadi salah seorang tenaga pekerja kasar, khusus untuk membantu mengangkat bata, mencampur semen dan sebagainya. Sempat Ayahku juga terlibat dalam pekerjaan itu tetapi dia kadang-kadang. Ayahku, lebih asyik dengan pekerjaannya sebagai pencari kayu api.

Setelah nyaris delapan pekan lebih, rumah tersebut pun hampir usai dibangun maka saya dan Ayahku mendapat upahnya lumayan.

Kuliah di STKIP St. Paulus Ruteng Tahun 2000.

Daftar di STKIP St. Paulus Ruteng.

Setelah aku mendapat uang secukupnya untuk mendaftar, pergilah aku dengan tekadku ingin belajar di STKIP St. Paulus Ruteng. Aku mendaftar pertama dengan uang jerih lelahku sendiri.

Tinggal di Konggang.

Di saat aku memasuki kuliah, awalnya aku tinggal di Konggang di rumah salah seorang Paman. Namanya Domikus dari Sampar. Paman Domi anak dari Kakak dari Ayah Ibuku di Sampar. Setelah OSPEK di STKIP, dua pekan kemudian kemudian aku menetap di Tebing Tinggi.

Berjumpa Reba Ruek Kedua Kalinya.

Saat saya tinggal di Tebing Tinggi, di situlah saya berjumpa dengan sosok Reba Ruek. Seluruh tubuhnya berwarna hitam. Tingginya persis 1 meter lebih. Itu adalah perjumpaan kedua selama ziarah saya yang sebelumnya saat masih SD di Sampar.

Tidak lama kemudian, akupun melihat sosok Yang Lanjut Usianya berlari cepat di dekat situ. Waktu bersamaan aku melihatnya. Waktu di siang hari. Yang Lanjut Usianya itu adalah Dia yang aku lihat dalam mimpi selama aku sakit saat SMA di Tebing Tinggi.

Aku pun diuji tes masuk bersama dengan teman-teman yang lain. Aku lulus dan memilih Jurusan Teologi Pendidikan. Saat Semester Awal kuliah, persis semester satu, nilaiku jatuh. Indeks Prestasiku bahkan tidak mencapai 2,0. Kampus kemudian pada waktu itu mempertimbangkan agar mahasiswa pertama yang baru masuk masih bisa mengikuti kuliah di semester kedua kendati nilai di bawah standar. Aku pun kembali luput.

Bangkitnya Jiwa-Jiwa di Golocuru.

Saat mau ujian Semester, saya bersama teman namanya Bonaventura Egot ke Golocuru. Maksud hati ingin berdoa. Saat mau memasuki Gua Maria, jiwa-jiwa bangun dari kubur mereka. Banyak dari mereka meminta didoakan agar diselamatkan. Saat itu hanya diam tepekur. Mereka bangkit dengan berbagai tipe muka dan pakaian mulai dari anak kecil hingga orang tua.

Saudariku Yovita Setia Berhenti Sekolah.

Saudariku Yovita kemudian berhenti sekolah karena tidak ada lagi orang yang memperhatikannya. Adikku perempuan tinggal dengan nenek Sobina Sidung di Sampar bersama dengan adik dari Ibuku, Kristina Naut. Betapa pedih, adik perempuanku kehilangan arah dan kasih sayang.

Aku pernah ke Sampar memberitahukan kepadanya agar dia melanjutkan sekolah tetapi dia sudah tidak mau. Beberapa kali aku membujuknya, namun beliau tetap tidak mau. Sementara, adiknya Florida Sinar tinggal dengan Paman Herman di Popor-Cancar.

Nenekku Sobina Sidung Pergi Abadi.

Proses perkualiahanku kian goyang setelah nenekku meninggalkan kami di Sampar. Sandaran kasih sayangku kini sudah tidak ada, tidak ada lagi pengasih bagiku selain ayahku yang agak pelik mengasihi aku untuk membiayai uang kuliahku.

Jeritan hatiku amat terasa lagipula mulai saat itu aku malas bertandang ke kampung Sampar.

2002, Melihat Tuhan Yesus di Kapela STKIP St. Paulus Ruteng.

Kebiasaan di STKIP St. Paulus Ruteng, khusus Jurusan Teologi Pendidikan setiap hari Kamis, Pukul 12.00 siang tepat dilakukan Misa Kampus.
Hari itu, Kamis, semua Mahasiswa/I Teologi mulai dari Tingkat I sampai Tingkat V tengah mengikuti Perayaan Ekaristi Kudus. Persis hari itu, P. Oswaldus Bule, SVD memimpin Misa.

Secara tidak sengaja, saat Misa, mataku melihat ke tempat lain di dalam Kapela. Dan, pada saat consecratio di mana Roti dan Anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus sendiri. Pater Os mengangkat Piala, saat itu Tuhan Yesus turun ke Altar. Beliau menggenakan jubah kuning tua sementara dirinya menggenakan kasula mirip kain keto – kainnya mirip ular sanca tau nepa ala Manggarai. Badannya tinggi, parasnya ganteng, rambutnya ikal panjang dan kakinya menggenakan sepatu bertali-tali.

Saat aku pulang, aku kemudian teringat akan sabda Kitab Suci PB dengan kurang lebih berbunyi: Di mana satu dua orang berkumpul atas nama-Ku, di situ pula Aku berada. Lalu, kemudian kepalaku mulai mengkaji tentang ajaran Transubstantia dari Thomas Aquinas tentang Tubuh dan Darah Kristus sendiri terutama Mata Kuliah Eklesiologi yang diajarkan P. Marsel Agot, SVD dan pula saat setelah aku membaca buku Eklesiologi tulisan Prof. P. George Kirchberger, SVD, salah seorang Biarawan yang mengajar di STFK Ledalero.

Melihat Dua Orang Penguasa Langit di Hombel.

Tidak lama berselang, aku kemudian mengalami kepusingan karena aku mendengar suara-suara aneh di luar kosku. Aku pada waktu itu tinggal di Hombel di Nenek Tina. Namun, suatu ketika di Hombel di belakang SMAN I Ruteng (2015 sekarang, menjadi SMAN I Langke Rembong) sekitar jam 12.00 siang lewat, ada dua orang turun dari langit mereka membawa sebuah salib berwarna merah padam. Kedua orang tersebut pun menggenakan pakaian merah padam.

Bertemu Tuhan Yesus, Bapa Surgawi di Sampar.

Kurang lebih selama tiga hari aku bergulat dengan suara aneh mulai dari Ruteng hingga di Sampar. Di Sampar di mana aku dilahirkan dulu oleh Ibuku. Pada hari puncak, aku melihat ada sebuah rumah di sebuah tempat yang jauh. Rumah tersebut amat bersih dan kilat seperti petir. Tinggallah seorang Pria Berusia Lanjut di rumah tersebut. Dia keluar dari kamarnya. Dia mengenakan destar ala Manggarai di kepalanya dan mengenakan kain sarung dengan baju yang amat bersih. Rumah tersebut berwarna putih keabu-abuan sementara tidak ada batas atas, bawah, samping kiri dan kanannya. Aku mendenger Beliau kemudian tertawa lepas.

Tidak lama kemudian, ada dua orang berdiri di suatu tempat yang amat luas tanpa batas. Dia adalah Tuhan Yesus bersama seorang pria. Rambut pria yang berdiri di samping Tuhan Yesus itu berambut air, sama-sama berhidung mancung tetapi mirip muka orang Meksiko. Mereka berdua mengenakan jubah putih. Di tangan kanan Tuhan Yesus memegang sebuah tongkat.  Yang mendampingi Tuhan Yesus melepaskan senyumnya kepadaku.

Lalu, Tuhan Yesus turun kepadaku. Betapa aku kaget, tubuhnya bersinar seperti petir. Beliau tidak berkata apa-apa. Aku melihat semuanya begitu cepat.

Setelah itu, lalu aku merenung merefleksikan seluruh isi Kitab Suci Perjanjian Baru dan Perjanjian Baru, pengalaman Abraham, pengalaman Musa, pengalaman Yakob yang disebut Israel, pengalaman Stefanus Martir, pengalaman Paulus yang disebut Saulus.

Melihat Orang Yang Sangat Kuat.

Tepatnya di Meler, di jalan setapak menuju ke Golo Timur, aku yang dalam keadaan bingung melihat sosok yang sangat kuat. Beliau membawa sebuah kapak. Dalam sekejap aku melihatnya. Tubuh pria perkasa itu sangat kuat dan berotot. Beliau mirip badan orang Eropa dan mirip orang binaraga.

Berjumpa Bapa Surgawi di Gereja Golowelu.

Karena penderitaanku amat sangat sangat lagipula sang Ayah amat tidak berdaya. Aku telah kehilangan segalanya waktu itu, Kakekku, Ibuku dan Nenekku. Aku kian kehilangan kasih sayang sebab ketiga pribadi itu andalan kasih sayangku. Ibarat sampan terombang-ambing di tengah samudera lepas tanpa bintang gemintang.

Karena kesedihanku, aku pun meratap di depan Gereja di Golowelu di suatu sore. Saat itu amat sedih. Aku saat itu menginap di rumah adik perempuan Ibuku. Saat aku menjatuhkan air mata, turunlah Bapa Surgawi dari atas langit. Melihat itu, sedihku hilang kembali. Dan, aku pun pulang. Dia hanya berkata ke dalam batinku sementara mata telanjangku melihat-Nya. Dia berkata: “Lihatlah anakKu!”. Saat itu, Beliau mengajarkanku bagaimana saat Beliau datang, maka seluruh bumi akan berguncang kuat. Aku merasakan keguncangan itu seperti bencana besar yang melanda bumi.

Aku Dijanjikan Seorang Putera.

Tahun 2012, di siang hari sekitar jam 12.00-01.00, Tuhan Yesus lalu bersabda dari langit kepadaku untuk mengambil seorang gadis menjadi seorang istri. Persis, aku pada waktu itu amat mencintai seorang gadis. Dalam sabda-Nya itu, aku diminta untuk menjadikan gadis itu seorang isteri dan kelak akan diberikannya seorang putera. [Aku merahasiakan nama gadis itu].

Setelah aku mendapat perintah-Nya, aku kemudian menjawab Beliau bahwa itu tidak mungkin karena Sinta tidak mencintaiku. Selain itu, aku masih kuliah, aku tidak punya uang dan aku anak orang miskin, aku tidak mempunyai rumah. Aku menolak tawaran-Nya.  

Kesulitan Uang SPP.

Saat Semester II, IP-ku sudah mencapai target di atas 2,0. Kendati aku mendapat meski tidak sampai 3,0, aku kewalahan di pembayaran uang kuliah. Aku sering terlambat membayar uang kuliah bahkan pada Semester III, Ibu Dr. Yustina Ndung, M.Pd, yang pada waktu itu masih dosen kami membantu melunaskan uang kuliahku satu semester.

Diusir dari Ruangan Kuliah.

Akhirnya, masuklah pada Semester Keenam, pada saat tengah dilangsungkannya ujian Semester, P. Oswaldus Bule, SVD, pernah mengusirku dari dalam ruangan kuliah padahal aku hanya menunda pembayaran uang kuliahku yang tinggal sepekan lagi dilunaskan karena aku pada waktu itu dibantu oleh Rm. Karolus Jande, Pr.

Aku sebenarnya batal ikut Ujian Semester, tetapi ada kebijakan lagi dari Kampus bahwa bagi yang belum membayar SPP, masih bisa ikut ujian. Akhirnya, aku pun masih ikut ujian. Tak lama berselang, usai ujian Semester, uang tunggakan kuliahku pun dibayarkan.

Saat memasuki Semester Ketujuh, aku pada waktu itu hanya mengambil beberapa mata kuliah sisa pada Semester Ganjil termasuk Semester I, II, dan V. Karena IP-ku di bawah standar, P. Oswaldus Bule, SVD menilai aku bahwa aku gugur padahal aku pada waktu itu hanya mengambil lima mata kuliah. Persis pada waktu itu, STKIP St. Paulus Ruteng sedang bermasalah besar.

Dua Rohaniwan Membantu Perkualihanku.

Sebenarnya, ada dua Rohaniwan yang membantu proses perkualihanku di STKIP St. Paulus Ruteng pada waktu itu. Mereka adalah Rm. Karolus Jande, Pr dan Br. Enjel Nadut, SVD, salah seorang Bruder yang mengajar Mata Kuliah Kimia di Unika Kupang.

Kedua penjasa tersebut, penyelamatku saat aku terpepet kekurangan financial. Namun, memang tidak mulus karena saya masih ragu-ragu meminta bantuan beliau berdua.

Br. Enjel, bahkan pernah membantuku membayar Semester uang kuliah termasuk dari beliaulah aku pertama kali membeli Kamus John Echols, Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris. Uniknya, Br. Enjel tidak pernah saya ketahui persis seperti apa parasnya itu tetapi beliau kakakku dari Lambur-Manggarai Barat.

Lamar di Tarekat Scalabrinian.

Kiatku sekolah di STKIP St. Paulus Ruteng adalah menjadi Imam. Sejak SMP, SMA saya tidak pernah berpacaran. Memang mau berpacaran hanya saja kikuk karena aku tahu bahwa tidak ada satu pun gadis yang bisa menerimaku. Hal itu aku sadar karena parasku memang tidak ganteng lagipula ayahku sangat miskin papa. Maka, aku menanggalkan niat memberi salam perempuan.

Begitupun juga di STKIP St. Paulus Ruteng sebelum ke Surabaya, saya memang tidak berpacaran. Hal itu juga alasannya sama. Saat masuk pertama, memang aku mencintai seorang perempuan bernama Sinta namun aku sadar bahwa parasku amat buruk sehingga aku membatalkan seluruh niatku itu.

Atas dasar itu, aku pun melamarkan diri di Scalabrinian untuk menjadi Imam. Kiat itu batal karena aku hijrah ke Surabaya padahal aku sudah lulus tes masuk di Kongregasi tersebut. Di Surabaya juga, aku juga sempat meminta ke Romo Karel untuk mendaftarkan aku di salah satu biara di sana untuk menjadi Biarawan.
Niatku menjadi Imam memang terhadang larangan Romo Karel, ayahku dan semua keluarga besarku. Alasan mereka adalah karena aku satu-satunya anak laki-laki. Aku kemudian mempertimbangkan perkataan mereka karena memang benar juga apa yang mereka katakan karena Tuhan Yesus justru menjanjikan putera-putera dan puteri-puteri.

Melihat Yang Lanjut Usianya.

Saat itu aku Semester V. Aku tinggal di Lorong Lawir. Suatu siang, aku melihat seorang yang lanjut usianya lewat. Kulitnya seperti kulit orang Eropa dan badannya tinggi seperti orang-orang Eropa.

Melihat Bunda Maria di Langit Lorong Lawir Ruteng.

Pada Semester V, aku kemudian meninggalkan perkualihan karena temanku Raymundus Mbula mengajak aku ke kampung halamannya di Benteng Jawa. Bapak Ardus Mbula adalah seorang Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris angkatan pertama di STKIP St. Paulus Ruteng.

Kami kemudian pulang dari Benteng Jawa sekitar jam 12.00 malam menggunakan bus. Di pertigaan menuju kampung Dahang-Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur (sekarang, yang dulu masih gabung di Manggarai) di depan kaca bus yang saya tumpangi, saya melihat bunga termasuk bunga mawar putih dan merah cerah dengan daunnya hijau. Aku melihat bunga itu lalu merenung, kira-kira apa maksudnya.

Aku pun tiba di Lorong Lawir Ruteng lewat rumah Rensi Ambang. Persis aku kosan di dekat rumah Bapak Yance Janggat. Melihat jam, tepat pukul 06.00 pagi, aku melihat Bunda Maria berdiri di langit. Beliau menggenakan pakaian tidak terlalu putih. Di pinggangnya diikatkan sebuah kain dan kepalanya berkerudung.

Aku pun tertegun di dalam kos kemudian merefleksikan hal itu lagipula pada waktu itu tepat Bulan Maria, Bulan Rosario. Malamnya aku pergi berdoa Rosario, rumah itu tepat di samping atas rumah Bapak Yance Janggat.

Betapa kagetnya aku, aku kemudian tidak konsen mengikuti Doa Rosario tersebut karena persis bunga yang aku lihat di depan kaca mobil bus saat pulang dari Benteng Jawa tepat seperti bunga di depan Patung Bunda Maria, lalu Patung Bunda Maria juga persis seperti gaun yang dipakainya saat aku melihat di pagi tadinya. Aku pun pulang ke kos dan merenungkan semuanya berdasarkan isi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Sinar Putih dari Atas Pohon di Benteng Jawa.

Suatu ketika, saat pergi yang kedua kalinya ke rumah Keraeng Raymundus Mbula di Benteng Jawa. Waktu itu tidak ada bulan dan kami hendak ke rumah tangga. Tiba-tiba, dari atas sebuah pohon sebuah bola putih sebesar bola kaki menggeluarkan cahaya yang berkilau. Cahaya amat terang namun hanya saya saja yang melihatnya. Aku amat terperanjat waktu itu.

Romo Max Regus Donatur Buku Terhebat.

Salah seorang Pastor Pembantu, Rm. Mex Regus, Pr di Paroki Kristus Raja Mbaumuku Ruteng. Romo Mex terkenal sangat pintar. Beliau salah Dosen Komunikasiku di STKIP St. Paulus Ruteng. Beliau Pastor muda yang menjadi Penulis hebat.

Selama di Paroki Kristus Raja Mbaumuku, beliau terkenal sangat dekat dengan orang muda, OMK Paroki. Saya persis menjadi salah satu anggota OMK. Target saya bergaul dengan Rm. Mex adalah buku-buku ilmiah. Ada sekitar 20-an eksemplar buku yang saya minta dari beliau.

Buku kecil yang sangat bagus cerita di dalamnya adalah cerita perjumpaan St. Agustinus, seorang tokoh penting dalam Gereja Katolik. Di dalamnya berisi tentang pengalaman perjumpaannya sebelum beliau menjadi seorang Uskup Besar di Hippo.  Pengalaman St. Agustinus persis dengan pengalaman perjumpaanku sebelumnya sebagaimana tertulis dalam buku tersebut. Perjumpaan tersebut adalah perjumpaan dengan Yang Maha Agung.

Menemukan Refrensi Lain.

Selain pengalaman St. Agustinus, niat membacaku memang tinggi waktu itu. Bahkan aku sedikit membaca pengalaman St. Fransiskus Asisi, soal bagaimana pengalaman panggilan imannya dengan mana dia adalah seorang anak pengusaha hebat namun dipilih Tuhan Yesus sebagai pengkabar Injil-Nya.

Aku membaca buku St. Fransiskus sebagai refrensi tambahan buku yang diberikan oleh Rm. Mex Regus dengan membaca buku di Perpustakaan Paroki Sta. Maria Fatima Cancar tentang ziarah St. Fransiskus. Saat itu, Pastor Parokinya Rm. Yoseph Karus. Saat itu asistensi. Saat itulah aku meminta agar namaku di buku stambuk harus dirubah menjadi Pantur karena tertulis di sana Sama. Hal itu sesuai dengan nama asliku, ngasang manuk.

Hijrah ke Surabaya.

Akhirnya, aku putuskan untuk pindah dari STKIP St. Paulus Ruteng dan bergegas ke Surabaya dan berencana melanjutkan kuliah ke STKIP Madiun. Berkas-berkasku pun kuurus. Waktu itu, aku memiliki uang sebesar 700.000 rupiah yang dikirim oleh Rm. Karolus Jande, Pr. Uang yang diberikan oleh Romo Karel, sebagiannya aku gunakan membayar uang kuliah, sebagiannya aku gunakan untuk membayar bus dari Labuan Bajo hingga ke Surabaya.

Roh Meminta Saya Back To Ruteng.

Di Labuan Bajo, aku sempat dilarang oleh Roh, bukan manusia. Suaranya sangat halus. Dia menyuruhku untuk membatalkan rencana kepergianku ke Surabaya. Waktu itu aku menginap di Firdaus, rumah tinggal P. Marsel Agot, SVD. Aku menginap semalam di sana.

Roh itu berkata: “Saya meminta agar engku pergilah ke Ruteng, ingatlah akan gadis itu. Jangan engkau pergi ke Surabaya!”. Kendati demikian, aku tidak mau mendengarkan suara itu karena aku pikir bahwa gadis itu tidak mencintaiku karena saya tidak ganteng di matanya dan lagipula saya tidak pantas baginya. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku.

Sesampai di Surabaya, aku turun ke Terminal Bungurasih lalu menelpon Rm. Karel. Aku waktu itu menggunakan ojek ke Universitas Widya Mandala Surabaya, sebuah kampus Katolik di samping Soverdi Surabaya. Betapa terkejutnya Rm. Karel, aku tiba-tiba ada di depan matanya.

Rm. Karel kemudian menyuruh Keraeng Dian untuk mengantar aku ke Kedurus dengan mobil kijang birunya. Aku pun tiba di Kedurus disambut keluargaku dari Sampar.

Ke STKIP Madiun dan Sarangan.

Keesokkan harinya, Rm. Karel mengajak aku ke STKIP Madiun untuk mendaftar di sana. Aku pun didaftarkan tetapi Romo masih mau mengajakku ke Sarangan mengikuti kegiatan.

Pulang dari Sarangan, Romo Karel meminta aku untuk turun di STKIP Madiun atau kembali ke Surabaya. Memang, nasib tidak beruntung berpihak pada saya waktu itu. Saya lebih mementingkan pakaian yang ditinggalkan di Surabaya ketimbang berhenti di STKIP Madiun untuk melanjutkan kuliah Teologi Pendidikan saya padahal saya sudah diterima di sana karena semua berkasku lengkap.

Ke Tumpang-Malang.

Barangkali karena Romo Karel kecewa dengan saya, dia putuskan agar aku dimintanya untuk mengikuti doa di Tumpang-Malang. Saya pun bergegas ke sana bersama rombongan. Romo Karel tidak ke sana tetapi saya dan beberapa orang dari Surabaya ke Tumpang tersebut.

Kecewa dan Penyesalan.

Selama tiga hari di sana, aku pun kembali lagi ke Kedurus-Surabaya. Kemudian aku menunggu tawaran dari Romo bahwa apakah beliau sudah mau mengirimkan aku ke STKIP Madium, namun kemudian beliau tidak bersedia. Maka, aku pun tinggal bersama keluarga di rumah tersebut sementara Rm. Karel saat itu bertugas di Paroki Sidoarjo.

Berjumpa dengan Roh Bung Soekarno – Hatta

Suatu ketika, aku ke kuburan Bung Soekarno di Blitar. Aku diajak oleh Rm. Karel, Dian dan Emad Soni dari Sampar.

Saat memasuki kuburan beliau, Bung Karno dan Hatta ada di depanku. Mereka menyapa aku namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Beliau menggenakan baju kemeja dan celana putih dengan peci di kepalanya. Di tangan kanannya memegang sebuah tongkat kepresidenan dan di saku baju kirinya ada beberapa bunga yang indah. Sementara, Bung Hatta berdiri di samping kirinya. Ternyata, Bung Karno adalah pria yang sangat manis rupawan. Sangat indah dan luar biasa dipandang. Beliau hanya menundukkan sedikit kepalanya tetapi tidak berkata apa-apa. Setelah kejadian itu, aku tertegun dan berdoa di kuburannya. Beliau tidak berpesan apa-apa.

Uniknya, sebelumnya aku sudah diajak oleh Bung Alfan Manah untuk masuk GMNI Cabang Manggarai. Namun, aku memilih hijrah ke Surabaya. Bung Alfan dan Bung Dedi Mujur naik pesawat ke Jakarta tetapi aku cukup melalui jalan laut darat. Bung Alfan sempat melarang aku ke Surabaya tetapi masuk GMNI saja dan tunda saja kuliahku. Lalu, saat pulang dari Surabaya, aku kemudian menjadi kader GMNI.

Menjadi Guru Bahasa Inggris Asalan.

Ibarat kucing menanti tumbuh tanduknya, begitulah perjalananku pada waktu itu. Aku pun ditawarkan agar mengajar Bahasa Inggris di SDI Dukuh Kupang III Surabaya samping SMP Margi Internasional di Dukuh Kupang.

Aku mengajar Bahasa Inggris mulai dari Kelas I-Kelas VI SD termasuk membantu sedikit pengetikan di kantor. Saat mengajar, saya tidak memiliki sepeda motor. Saya pergi mengajar dengan bemo atau terkadang menggunakan sepeda ontel dari keluargaku di rumah Kedurus.

Pakai Sendal Alasanku Berhenti Jadi Guru.

Nasib memang lagi-lagi tidak menolongku. Saat pagi aku pergi mengajar, di depan rumah, Keraeng Leksi Paleng menegurku bahwa mengapa aku memakai sandal pergi mengajar. Ucapannya memang benar. Di sekolah, Kepsek memanggilku karena tumben hari itu aku pakai sandal. Kepala Sekolah juga komplein terhadapku karena mengajar sedikit agama di ruangan yang maksudnya hanya penjelasan, namun dia tidak menerima. Aku pun kecewa dan meminta keluar dari sekolah.

Bertemu Kakak Br. Anjel Nadut.

Betapa herannya saya, pribadi yang getol membantuku selama kuliah di STKIP St. Paulus Ruteng yang parasnya aku tidak tahu walau hanya per warung telekomunikasi (wartel saja) akhirnya bertemu juga di Soverdi Surabaya.

Hanya sekali itu saja, saya bertemu beliau hingga ditulisnya coretan ini hingga, Senin, 9 November 2015 padahal beliau sudah pernah rela membantu.

Kerja di Hotel JW Marriot Surabaya.

Keraeng Yuvens Darung memaksaku untuk berkerja di Hotel JW Marriot Surabaya, yang persis beliau adalah seorang Leader. Aku pun dibawanya ke sana. Aku ditest secara tertulis dan wawancara yang kesemuanya menggunakan Bahasa Inggris, bahkan lamaranku pun dibuat dalam Bahasa Inggris. Aku kemudian sanggup melakukan semua itu dan bekerja di sana dengan awalnya cleaning service.

Uniknya, saat kerja selama hanya sebulan, aku saja karyawan yang jarang kerja tetapi pergi ke lantai atas baik menggunakan lift juga tangga luar untuk memantau isi hotel. Aku pun menjadi stress meski gajinya 28.000 rupiah saat itu per hari hanya karena tiap hari harus stel dalam dan harus menggenakan sepatu. Saya pun putuskan mengeluarkan diri.

Tesenggol Kendaraan di Bombin Surabaya.

Saat saya pergi kerja di JW Marriot, persis hari itu saya menggunakan sepeda ontel. Sebuah kendaraan pribadi kemudian menyenggol saya. Saya pun berhenti di perenaman Kebun Binatang Surabaya tersebut dan membuat rentetan kendaraan berhenti untuk sementara waktu.

Untung, aku membiarkan pemilik kendaraan penyenggol itu pergi sekalipun dia sempat berhenti tetapi aku maafkan karena aku memang tidak apa-apa. Aku pun menyuruh mobil itu pergi.

Menangis di Tengah Malam.

Suatu hari, pulanglah aku dari JW Marriot di tengah malam. Sore itu, hujan amat deras. Semua kendaraan taksi sudah tidak ada. Mobil taksi sukar lewat karena air tinggi sepaha. Aku pun meneteskan air mata karena harus berjalan kaki dari Jalan Embong Malang ke Kedurus selama kurang lebih tiga jam lamanya.

Maka, semenjak kejadian itu, aku pun putuskan untuk serius tidak mau bekerja di JW Marriot karena banyak pertimbangan kendati Keraeng Yuvens Darung terus memaksaku hingga-hingga kami sempat beranten di dalam kamar karena mengapa saya membuat surat sepihak mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut.

Berjumpa Lagi dengan yang Maha Agung di Kedurus.

Tiap hari meski mengeluh, kami harus menimba air minum. Kami menggunakan gerobak. Saat menimba Tuhan Yesus datang dalam kemulian-Nya. Mereka ada dua orang. Beliau sempat marah pada waktu itu dan meminta aku agar tetap bersabar. Aku sempat berguman marah dalam hati kepada-Nya. Beliau tiap hari menuntunku di situ. Beliau meminta aku untuk terus bersabar. Aku dihibur sama saudaraku, ada Yuvens Darung dan Dion Arifin. Seakan hanya sehari saja, aku tinggal bersama mereka kurang lebih 3 tahun lamanya. Tiap hari kerjaku membaca dan membaca berbagai majalah termasuk majalah The Peak dan menterjemahkan koran harian The Jakarta Post untuk konsumsi pribadi.

Waktu senggang kuhabiskan untuk itu selain membawa sepeda ontel ke seluruh Kota Surabaya dan hingga Sidoarjo. Itu saya lakukan tiga tahun di sana.

Kembali ke Flores.

Tiga tahun sudah telah lewat saya menginjakkan kaki di Surabaya. Selama di sana, ada banyak tempat yang sudah dikunjungi tetapi seolah seperti mimpi bahwa itu sudah pernah terjadi. Itu kisah bersama Rm. Karolus Jande, Pr, Imam Projo dari Sampar.

Naik Truck Kayu Gratis, Turun di Ruteng Tanpa Biaya.

Hari itu amat beruntung bagiku bahwa aku bisa kembali ke Flores. Adalah seorang keluarga dari Leda Ruteng membeli sebuah mobil truck kayu di Surabaya. Sang sopir tidur di Kedurus dan menyampaikan maksudnya bahwa ia mau pulang ke Flores sendirian dengan mobil tersebut.

Tiga Hari Minta Izin di Romo Karel.

Keputusanku untuk bisa lolos kembali ke Manggarai kurang lebih tiga hari. Aku berhasil merayu dan memaksa Romo Karel untuk mengizinkan aku pulang. Hari ketiga Romo Karel kalah karena aku terus mendesak beliau padahal beliau memintaku agar selesai kuliah baru aku boleh ke Manggarai.

Aku mendesak terus beliau karena aku dengar beliau akan pindah ke Jakarta bekerja di KWI Bidang Pendidikan bersama Mgr. Mikael Angkur, OFM. Aku pun mulai cemas dan terus menyusun strategi untuk segera back to my village.

Hari ketiga, aku pun mengemaskan barang untuk meluncur balik. Romo Karel kemudian menitipkan uang belanjaku selama di perjalanan waktu itu 400.000 rupiah. Uang itu pun utuh hingga di Manggarai.

Ketika aku sudah di pelabuhan Surabaya, mobil tumpanganku diperiksa. Agar tidak terkena biaya, sang sopir menyembunyikan aku dengan menundukkan kepalaku di bawah deck depan agar tidak terpantau petugas. Nasib rezeki berpihak, aku pun lolos hingga semua biaya konsumsi di kapal mulai dari Surabaya hingga Maumere padahal saya tidak ada nama dalam tiket kapal akhirnya berhasil lolos turun di pelabuhan Maumere.

Injak Maumere-Flores.

Di Maumere, kami tiba pagi jam 04.00. Kami pun berhenti untuk isikan perut sedikit dan tidak lama kemudian terus meluncur ke Ruteng. Kami dengan seorang sopir tiba jam 04.00 sore di Ruteng. Begitu aku melihat Ruteng, hati merasa lega karena sudah merasa kembali merdeka.

Dua Pekan Tinggal di Rumah Paman Frans Parut.

Tiba di Ruteng, aku pun pergi ke rumah keluarga, Bapak Frans Parut di Karot-Pering. Bapak Frans adalah kakak kandung dari Rm. Karel. Sepekan aku menginap di rumah Bapak Frans tersebut lalu bertemu sang Ayahku tercinta di Coal.

Enam Bulan Tinggal di Coal.

Aku pun pamit dari Karot lalu ke Coal. Di sana aku kemudian bertemu sang ayah dengan saudariku Yovita Setia, sementara saudariku yang bungsu Florida Sinar tinggal di Pamannya, Herman Kiot di Popor-Cancar.

Di Coal, aku pun mendirikan sebuah forum, namanya Forum Komunikasi Desa (FKD). Forum ini sempat melakukan beberapa rapat dan diskusi bersama beberapa pemuda di Coal. Sekali pertemuan, pernah dilakukan di rumah Keraeng Mensi di Porong Tedeng bersama Keraeng Hubertus Garut dan Keraeng Vinsen. Pernah juga melakukan pertemuan lepas di rumah Keraeng Emad Reli tentang FKD tersebut.

Menanam Kopi di Wae Lowang.

Nyaris sepekan aku bekerja di kebunku, namanya Wae Lowang. Aku tidak membawa bekal. Bekalku hanyalah ubi kayu mentah ditambah dengan daun pisang muda. Ada juga daun cawat.

Saat hampir kerja selesai, roh nenekku Sobina Sidung mendatangi aku. Aku pun berhenti bekerja. Aku tidak takut meski pulang jam 8 malam sementara jauhnya dari tempat tinggal hampir 4 kilometer.

Kain Lenan Putih Berisi Pelbagai Makanan.

Kemudian, Tuhan Yesus turun dari langit. Beliau menggenakan jubah putih terang mengkilat. Beliau membentangkan sebuah helai kain putih bersih. Panjang sekira 20-an meter dan lebarnya hampir 1 meter. Di kain itu tergambar pelbagai jenis makanan yang lezat. Setelah Beliau menunjukkan hal itu kepadaku, kain itu menghilang lalu aku pulang.

Tri Suci Maha Agung Datang di Kebun Pancasila.

Stefanus Martir dalam Kitab Suci Perjanjian lama, kisah melihat dua orang di Kitab Wahyu dan kisah-kisah Abraham dalam Perjanjian Lama, Tri Suci Maha Agung turun ke hadapanku. Mereka turun di tempat di mana rumah pertama kami dibangun di mana Ibuku mulai terkena sakit. Pada waktu itu, aku diperintahkan agar menghentikan segera pekerjaanku padahal tinggal sedikit tetumbuhan paku yang belum diselesaikan. Tuhan Yesus ada padaku. Tidak lama kemudian, Bunda Maria turun ke tempat itu. Peristiwa itu, persis seperti terjadi di Sampar sebelumnya di mana Tuhan Yesus hadir dalam kemulian-Nya, Ia bercahaya, menghalau bak kilatan halilintar yang amat dahsyat besarnya.

Janji Kelahiran Putera dan Puteri.

Aku menetap di rumah salah seorang Paman di Lenggo. Di rumah gubuk itulah aku dibangunkan untuk memberi nama pada putera dan puteriku. Datanglah seorang berjubah hitam, Beliau memanggil namaku anak muda. “Anak muda, bangunlah. Ambillah ballpoint dan buku, catatlah nama anak-anakmu!”. Beliau memberi nama Puteraku. Peristiwa itu, mirip perjumpaan pada saat aku lari dari rumah Pamanku semasa belum masuk SD, pakainnya sama hanya saja beliau membimbingku pada waktu itu lagian aku sembari menangis. Maklum anak kecil.

Aku pun mencatat nama anak-anakku, Arnoldus Sanpepi Juang Pantur dan Vinsensan Jovialen Perki Pantur. Perjanjian pada waktu itu tahun 2007.

Masalah Besar di Coal.

Coal kemudian dilanda sebuah masalah besar yang berujung pada sidang Pengadilan. Masalah ini, saya sendiri tidak tahu apa sebabnya. Begitu panasnya situasi di Coal pada waktu itu, kemudian turut mendesak pribadiku untuk juga segera meninggalkan kampung tersebut.

Kembali ke Menetap Ruteng.

Rencana hati datang ke Ruteng untuk menyaksikan perkara kasus di Coal tersebut tetapi ternyata menuntunku untuk sulit kembali ke Coal. Saya pun mencari Bung Fortunatus Hamsah Manah (Alfan Manah) di Sekretariat GMNI di Nekang, namun mereka ternyata telah pindah. Saya mendapat kabar, Sekretariat GMNI di samping SPBU Mbaumuku Ruteng.

Aku pun meluncur ke sana. Sesampai di sana, bertemulah Keraeng Alfan Manah, Keraeng Konstan Nompirama, Keraeng Gabriel Pouk, Keraeng Yoakhim Jehati, Keraeng Bony Panar, Keraeng Mantho Panar. Akibat asyiknya diskusi, saya pun bergabung dengan mereka.

Merapat ke GMNI Manggarai.

Awalnya, saya tidak mau menetap di sana namun karena persona di GMNI waktu itu amat welcome dan selaras dengan selera saya diskusi, maka jadilah petang demi petang kami pun tidur dan makan bersama di sana sampai-sampai bergabung dengan aksi unjuk rasa tolak tambang termasuk persoalan 40-30 kursi DPRD Manggarai tahun 2009.

Daftar Kuliah di STIPAS St. Sirilus Ruteng.

Saya pun kemudian memutuskan diri untuk kembali melanjutkan perkuliahan saya dan saya memilih belajar di STIPAS Ruteng. Saya bergegas ke sana dan bertemu P. Dr. Hubert Muda, SVD. Pater Hubert pada waktu itu masih Rektor. Persis beliau mengenal saya dan saat itu beliau meminta saya bertemu dengan Dosen yang berhubungan dengan Kesekretariatan.

Waktu itu, transkripsi nilaiku berada di STKIP Madiun. Aku menelpon ke sana untuk memintanya, namun kampus di sana menolak. Saya pun bertandang ke Sekretariat STKIP St. Paulus Ruteng untuk meminta transkrip nilai, namun mereka menolak mentah-mentah tawaran saya. Saya pun stress, harus bagaimana?

Awal Mula Jadi PERS/WARTAWAN.

Saat kami tengah melakukan aksi 40-30, ada sebuah Koran bernama SUARA FLORES, milik Kornelis Moa Nita dari Maumere yang berpusat di Kupang, yang persis Biro Manggarainya dipegang oleh Bapak Frans Jehoda.

Bapak Frans Jehoda meminta saya untuk bergabung, lalu beliau menelpon redaksi dan meminta saya menulis naskah. Tulisan pertama saya adalah mengupas fakta 40-30 kursi DPRD Manggarai. Berita pertama dinaikkan. Maka, sejak saat itu saya pegang Koran tersebut.

Tidak lama berselang, Keraeng Frans Jehoda mengikuti test CPNSD dan lulus kemudian mengajar dan ditempatkan di SMA Kejuruan Bangka Kenda, Wae Ri’i.

Alfan Manah Dorong Saya Belajar Lagi di STKIP Ruteng.

Alfan Manah dan Konstan Nompirama memaksa saya untuk kuliah lagi di STKIP St. Paulus Ruteng. Akhirnya, saya iya-iya saja karena memang STKIP Ruteng tidak mau mengeluarkan transkrip nilai untuk aku bisa pindah. Waktu itu, Pater Ketuanya adalah P. Servulus Ishak, SVD. Begitu saya bertemu P. Servulus untuk melanjutkan studi di STKIP St. Paulus Ruteng, dianya menolak menerima. Saya pun tambah gembira karena saya memang mau belajar di STIPAS yang penting transkrip nilai bisa kasih keluar.

Romo Karel Sang Malekat Penolong.

Begitu P. Servulus menolak lalu saya laporkan kejadian itu ke Romo Karel. Romo Karel pun membuat Surat Rekomendasi dan menelpon beberapa pihak STKIP St. Paulus Ruteng untuk menerima saya kuliah di sana. Kendati saya dengan berat hati untuk kembali belajar di sana lagi pula saya sudah punya pekerjaan, tetapi apa daya saya pun belajar lagi di STKIP sebagai mahasiswa transfer. Karena sempat kehabisan dana, terpaksa masuk pertama di STKIP St. Paulus Ruteng dibantu oleh Romo Karel. Beliau membantu saya dengan besaran dana 600.000 rupiah. Selanjutnya, saya memahami Romo Karel, dan sejak saat itu aku tidak meminta lagi bantuan dari beliau.

Kuliah pun Dimulai.

Saya pun memulai kuliah lagi dengan menyelesaikan mata kuliah yang kreditnya belum selesai. Satu Semester saya kuliah lalu Semester berikut langsung pergi Kuliah Kerja Nyata (KKN). Aku pun KKN di Paroki Ponggeok dengan penempatan SDI Kaca dan Kapela Kaca.

Dimulainya KKN Pertama di Ponggeok.

Di Kaca, saya diminta oleh Pastor Paroki, Rm. Albert Abu, Pr untuk melakukan pendataan umat. Selain data umat, saya pun mengajar di SDI Kaca dan tiap hari Minggu memimpin doa di Altar Kapela Kaca. Hal itu hanya berlangsung dua bulan saja karena saya kemudian mendapat surat wasiat dari Kepala Sekolah SDI Kaca yang mana dia mendapat laporan kalau saya tidak sering tidur di rumah Ketua Kelompok di mana saya tinggal tetapi kerap meninggalkan rumah padahal saya bahkan hinnga Iteng melakukan pendataan umat yang harus menginap di rumah umat karena harus berjalan kaki dari masuk dari satu rumah umat ke rumah umat lainnya.

Saya pun kecewa lalu kembali ke Ruteng dan diskusi di GMNI melepaskan KKN yang tinggal dua bulan saja. Saya tinggalkan teman KKN saya, Siska Alus dan seorang teman perempuan lainnya.

KKN Kedua di Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong.

Tahun berikutnya, saya program ulang KKN saya bersama dengan seorang teman Flori Effendi Mahu di Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong yang waktu itu Pastor Paroki, P. Ferdinandus Ganti, SVD bersama P. Dr. Hubert Muda, SVD. Persis seorang Frater Ledalero, Fr. Sil Ule, SVD juga Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di sana. Di sana, aku juga sembari mengajar di SDI Redong sebagai persyaratan aku menyelesaikan salah satu mata kuliah mengajarku tingkat SD karena praktek mengajar di SMA sudah dijalankan yaitu di SMK Sadar Wisata Ruteng. Aku pun berhasil menyelesaikan KKN-ku dengan sukses hingga menyusun SKRIPSI dengan judul: Relasi Antar Manusia Dalam Perspektif Budaya Manggarai.

Cahaya Putih dari Puncak Gunung Ranaka.

Aku melihat seperti secercah bintang bak intan permata bercahaya dari puncak gunung Ranaka. Cahaya itu sering terlihat dan lazim dilihat pada siang hari.

Naga Api Besar di Gunung Ranaka.

Saya melihat semacam naga besar bercahaya dari Gunung Ranaka. Naga tersebut bermahkota dan dari tubuhnya keluar cahaya bersinar seperti api. Ternyata naga besar bercahaya tersebut pernah dilihat oleh Ayahnya Keraeng Jo Kenaru di atas Rentung.

Yang Lanjut Usianya Keluar dari Mulut Gunung Api Anak Ranaka.

Saat saya pulang dari Borong, saya rindu ke puncak Ranaka. Waktu itu aku pulang meliput dari Borong. Aku berguman dalam hati. Waktu itu belum terjadi gemparan yang besar ancaman meletusnya Gunung Ranaka.

Bupati Rotok begitu mulai seriusnya mengurus rakyatnya untuk mengevakuasi ke Stadion Golo Dukal sebagai tempat yang nyaman terutama warga Robo. Beliau pada waktu itu bahkan dengan cepatnya membangun jalan alternatif dari Poka menuju Mano tepatnya bagian utara.

Suatu ketika, saya dan BPBD Kabupaten Manggarai pun diputuskan untuk ke Gunung Ranaka. Saya ingat waktu itu, ada Keraeng Jo Kenaru, Keraeng Alfan Manah, Leo Gonsaga, dan Kepala BPBD, Anggalus Angkat. Saya waktu itu pergi dengan memboncengi Keraeng Alfan Manah. Kami waktu itu menggunakan motor dinas dari BPBD. Ketika sampai di dekat puncak, di bawah Sano Mas Mongko, seorang Yang Lanjut Usianya keluar dari mulut Gunung Api. Beliau lari dengan begitu cepatnya. Beliau bersahut: Anak daku…anak daku. Ho’o kaku – anakku, anakku ini aku. Saya merasakan kedatangan Beliau. Sejak saat itu, saya pun tahu bahwa letusan  gunung itu tidak jadi. Setelah peristiwa itu, aku teringat ketika Beliau datang menghibur aku saat turun di Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu di mana Beliau turun dari langit. Saat di Paroki aku tengah menangis.

Dituntun ke Wae Rebo.

Saat saya berjalan ke Wae Rebo, saya dituntun Yang Agung.

Berjumpa Yang Lanjut Usianya di Wae Rebo.

Ketika sampai di Wae Rebo, Yang lanjut usianya menyambut kami. Beliau menggenakan tongkat. Tampaknya Kakek pertama yang mendatangi kampung tersebut.

Setelah di Niang utama, ada ular mahkota di situ tepatnya di belakang  seorang Bapak di sana dan seorang yang sudah meninggal di hutan sudah lama peristiwanya datang ke tempat tersebut dengan pengaduan.

Bunda Maria Tersuci di Atas Langit Persawahan Terang.

Waktu itu, 21 Juni 2011, aku ke Terang bersama Keraeng Didimus Naka. Waktu itu, Terang dilanda oleh gagal panen. Kami hendak meliput. Saat tiba di Golo Garang, aku menengadah ke langit. Tampak Bunda Maria memandang ke persawahan. Beliau tidak berkata apa-apa. Aku hanya termenung saat itu. Itulah peristiwa kedua berjumpa Bunda Tuhan itu.

Dwi Suci Datang di Compang Lecem.

Waktu itu, 7 September 2011. Lecem tengah merayakan ritus Paki Jarang Bolong. Sebelum dimulainya lilik compang roban pakin jarang bolong, ada dua orang turun dari langit dan memasuki compang. Mereka menggunakan jubah putih bagaikan kilat. Satu dari kedua Beliau berpesan agar aku harus berani mengatakan bahwa ritus itu tidak perlu dilakukan karena doa mereka sudah diterima. Saat Beliau berbicara demikian, aku tidak memberitahu orang di situ karena lilik compang sudah mau dimulai. Aku masih gusar. Beliau berkata bahwa doa mereka sudah diterima dan dikabulkan yang Mahakuasa. Aku saat itu hanya bisa merinding keheranan ternyata ritus paki jarang bolong adalah ritus yang luar biasa dan ternyata Yang Maha Agung hadir di situ.

2012, Akhirnya Dilantik Jadi Sarjana.

Skripsi tersebut dibimbing oleh Rm. Dr. Martin Chen, Pr dan Bapak Kanisius Theobaldus Deki, M.Th, yang pada ujian bersama Dosen Penguji Bapak Manto Tapung, M.Pd. Kemudian baru dilantik jadi Sarjana Pendidikan tahun 2012 yang padahal dikejar sejak tahun 2000.

Facebook: 9 Juli 2012, Bertemu Tulang Rusuk.

Pasca melaksanakan ujian Skripsiku dan tepatnya sebelum diwisuda, saya kemudian berkenalan dengan seorang perempuan asal Karot Tadong, Regina Wangung untuk sehidup semati. Kisah perjumpaan kami begitu singkat dan sederhana bahkan tanpa melewati proses-proses adat Manggarai.

Tepatnya, 8 Juli 2012 di malam hari, ada seorang adik namanya Patris Bota. Persis dia tinggal denganku. Tidak secara sengaja, yah mungkin kehendak Yang Mahakuasa, kami pun bertemu keesokan harinya persis juga ayahku baru berangkat dari Depansar – Bali menjenguk kedua puterinya di sana.

Rumah tangga kami pun berjalan dengan pengalaman pahit dan manis. Semua itu dilalui untuk mengetahui sifat masing-masing karena tidak melalui pacaran. Istriku hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa, di pundaknya tidak ada predikat lain sebagai seorang Ibu bagi puteranya Arnoldus Sanpepi Juang Pantur dan Vinsensan Jovialen Perki Pantur.

Juang lahir di RSUD Ruteng, Minggu, 19 Mei 2013 pada Pukul 06.00 sore. Sedangkan, adiknya lahir di Puskesmas Kota Ruteng, Sabtu, 21 Februari 2015 pada Pukul  05.00 sore. Dan, kami tinggal di Goro, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT saat itu.

Yang Agung di Puncak Golomori.

Saat pertama ke Golomori, Yang Suci memasuki puncak tersebut. Saat itu, warga di sana Abdul Karim menceritakan tentang kisah Ndiwar Kewali dan peristiwa Tenteng Lawe. Waktu itu 24 November 2012.

Kreta Kencana.

Dalam hidup, baru pertama kali aku melihat Kreta Kencana. Aku melihat sebelumnya dalam film. Sebuah Kreta Kencana dinaiki seorang lelaki ditarik oleh kuda yang bersih dan dihiasi pakaian yang indah. Ada dua ekor yang menarik kreta tersebut. Waktu itu, salah seorang berilmu di sana menceritakan tentang sejarah Golomori. Saat diceritakan, muncullah Kreta Kencana lewat di depan kami. Saya sangat kaget karena Kreta Kencana benar seperti yang diceritakan orang. Malam itu, 22 Februari 2013. Itu adalah misi kedua saya ke sana.

Keraeng Alfan Manah merasa lucu karena ke pipis saja saya butuh bantuan beliau. Takutnya aku malam itu bukan main. Pengalaman pertama melihat langsung kreta kencana.

Yang Agung Datang di Compang Gendang Ka’a.

Saat ritus kaba congko lokap Gendang Ka’a, waktu mau lilik compang sempat seekor burung elang terbang atas gendang tersebut. Lalu, setelah kerbau disembelih datanglah seorang yang jubahnya putih dan menerima persembahan tersebut. Aku pun pada waktu itu hanya tertegum betapa mulainya ritus tersebut.

Melihat Api Merah di Goro.

Di Goro Ruteng, suatu malam ada sebuah api besar muncul dari pohon-pohon warnanya merah terang seperti nyala api tetapi sekitar 1 menit lamanya lalu menghilang.

Berjumpa Yang Lanjut Usianya di Pong Panas.

Suatu ketika saya bersama Juang, Poping, Ren ke Pong Panas. Sebelumnya, saya sudah pergi ke situ sebelum saya membawa mereka ke sana. Yang Lanjut Usianya datang ke tempat tersebut. Pakaiannya seperti saat saya memasuki kehidupan yang jauh tanpa batas di mana saya berjumpa Yang Agung, Tuhan Semesta Yesus Kritus. Pakaian Yang Lanjut Usianya itu persis dipakai Beliau pada saat keluar dari mulut Gunung Api Ranaka dan datang dari langit di Paroki Golowelu. Perjumpaan tersebut persis pengalaman saudara Ivan Obo yang berjumpa dengan Yang Lanjut Usianya.

Di Pong Panas, Juang menyebut Opa. Saya melihatnya namun tidak memberitahu mereka.

Berjumpa Sosok Berjubah Hitam Pekat di Tiwu Riung

Saya waktu itu bersama Keraeng Otwin Wisang ke Pong Panas lalu ke Tiwu Riung. Kami dipandu Keraeng Rofinus Tasing. Ketika sampai di Tiwu dan mengambil gambar aku melihat Beliau di bawah pohon. Saat itulah aku memberitahu Keraeng Otwin untuk membuatkan ritus tesi atau permisi. Setelah ritus tersebut baru terasa damai. Di tempat itulah orang Taga menggelar ritus meminta hujan pada masa lampau.

[Masih dilanjutkan……… dan sebelumnya masih banyak yang perlu ditambah. Ini baru sebagian kecil dari catatan ziarahku di bumi dengan pelbagai perjanjian-perjanjian dengan Yang Maha Agung sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci Agama-Agama di dunai. Janji Presiden Soeharto saat beliau meninggal. Perjumpaan lainnya pun ada. Akan segera ditulis].

@Tuhan Yesus bersabda: Lupakanlah kesalahan masa lampau! Demikian ditulis Buku Kerahiman Ilahi. Tuhan Yesus ampunilah dosa - dosa kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar