02/09/17

TAKUNG WAÉ CEMOK.


Ditulis oleh: Melky Pantur***. Diedit dan dilengkapi lagi oleh Penulis pada Minggu (3/9/2017). Diedit pada Sabtu (9/7/2022).

Ritus Takung Waé Cemok  Pemulihan Relasi dengan Leluhur.


Salah satu komponen budaya Manggarai adalah takung waé cemok.

Di tempat lain, takung waé cemok, seperti orang di Wéla, Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai menyebutnya sebagai Takung Léké Cebong (takung artinya menyuapi nasi atau  memberi air oleh seorang kepada --- anak-anak seperti balita). Sementara, di Satar Mese Barat, takung waé cemok disebut nawi wolo cebong (nawi artinya mencuci). Wolo arti lain dari léké (léké adalah tempurung kelapa).

Léké cebong atau wolo cebong itu yang oleh orang Rahong disebut waé cemok arti lainnya disebut mbau de empo (ari-ari atau plasenta nenek moyang). Pada saat lahir, mbau seseorang lazimnya dikuburkan di tempat tertentu. Ketika pemilik mbau itu tiada dan dia mempunyai keturunan beberapa lapis, di tempat di mana mbau tersebut dikuburkan keturunannya selalu mengadakan korban  persembahan ketika akan ada acara-acara syukuran, atau acara apa saja seperti terkait téing hang wura agu ceki (kasih makan roh nenek moyang meminta perlindungan dan berkat).

Memindahkan Waé Cemok

Waé cemok atau mbau de empo lazimnya setelah dilahirkan dari kandungan Ibu, dikuburkan di tempat tertentu. Jika ingin dipindahkan ke tempat lain, maka harus ada upacara pemindahan lokasi.

Pemindahan tersebut memiliki alasan. Misalnya, salah satu upacara yang dibuat oleh Warga Sampar, Desa Pong Lalé, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, Rabu (18/3/2015) dari keturunan Empo Rua. Empo Rua dulu lahir di Laja, lalu mbau-nya dikuburkan di sana. Lama kelamaan, keturunannya semakin berkembang lalu hijrah ke suatu tempat.

Semua keturunan dipersilahkan semua masuk ke dalam rumah untuk memulainya acara.

Dalam perjalanan, keturunan Ǝmpo Rua yang ber-ceki (bertotem) lusa (gude, kacang bali) itu hijrah ke Sampar lalu ke Lalé-Sampar. Keturunannya mengalami berbagai tantangan dan cobaan hidup yang sangat besar bahkan berujung pada kematian beruntun. Karena penuh dengan hambatan, kematian maka timbullah upaya untuk melakukan ritus takung waé cemok. Ritus tersebut biasanya diperoleh dari nampo, atau lewat nipi (mimpi). Bisa juga setelah mengalami banyak sekali kematian, timbullah pemikiran dari keturunannya bahwa barangkali berbagai persoalan tersebut karena nenek moyang mereka menginginkan agar mbau dari empo mereka harus dikuburkan dekat tempat tinggal mereka.

Proses pemindahan tersebut melalui tahap-tahap ritus tertentu. Ritus tersebut misalnya menggali kembali bekas dikuburkannya mbau tersebut dengan upacara-upacara khusus. Setelah dipindahkan, di tempat yang baru beberapa ritus-ritus mulai diadakan. Kendati, takung waé cemok tidak harus dipindahkannya bekas kuburan mbau tetapi direvitalisasi dengan perbaikan-perbaikan berarti. Ritus takung waé cemok tetap dilaksanakan.

Nah, setelah mbau telah dipindahkan (misalnya dari Laja ke Lalé-Sampar), para keluarga, anak rona (keluarga laki-laki), anak wina (keluarga wanita) termasuk welad pe'ang (keturunan anak, cucu, ceceplence laki-laki dan perempuan harus dihadirkan ke tempat acara tersebut).  Lazimnya, pada malam hari diadakan ritus téing hang sanggéd wura agu ceki) dari satu Empo (kakek) tersebut lalu keesokan harinya ritus puncak.

Sekilas Keturunan Empo Rua di Lalé, Sampar.

Rua beristerikan Bambung. Anaknya Rua dan Bambung ada dua orang, yaitu Robertus Ruma (Ema  Umé) dan Gaspar Garung (Ema Élong). Rua adalah anak dari Éndong.

Rua juga memperisterikan Lunung. Lunung melahirkan Ganawéwa Gaul dan Regina Mamung. Ganawéwa Gaul mempersuamikan Gabriél Téngko asal Taga, Ruteng. Sedangkan, Regina Mamung mempersuamikan Yakobus Jehadu.

Robertus Ruma memperisterikan Maria Rosa. Robertus Ruma memperanakkan Nikolaus Labut, Thérésia Banut, Pétrus Garus, Dominikus Gaut, Stéfanus Nagut, Héndrikus Égol, Paulinus Pait, Éstér Jenut, dan Élisabéth Palut. Gaspar Garung beristerikan Sobina Sidung asal Ranggi. Gaspar Garung memperanakkan Sebastiana Lahut, Romana Pahul, Herman Kiot, Véronika Danut, Wihélmina Bambung, dan Kristina Naut.

Apa Puncak Ritus Takung Waé Cemok?

Ritus Takung Waé Cemok (dipersingkat TWC), puncaknya dilakukan pada pagi hari. Ritus tersebut dipandu oleh seorang ata te torok (juru bicara ritus) yang biasanya menggenakan pakaian khusus. Jubir tersebutlah yang memandu seluruh proses berlangsungnya ritus.

Acara permulaan di mana tetua atau kerabat keluarga memberikan petuah-petuah. Keturunan Ǝmpo Rua semua berkumpul dibuatkannya ritus.

Sebelum dimulainya torok, para tetua mengeluarkan petuah-petuah penting dengan ucapan adat tertentu disertai dengan tuak dan benda berupa uang. Misalnya, dengan ungkapan: “porong duat oné uma ného lawé lujang, kolé oné mbaru dia koé mosé----kerja di kebun seperti seperti burung Lawé Lujang, pulang ke rumah badan tetap sehat----, ada juga ungkapan porong cimang ného rimang ného rimang rana, kimpur ného kiwung, ného kiwung tuak-----agar keras seperti tulang ijuk dan keras seperti pohon enau-----bolék kali loké, baca kali tara------sehat jasmani dan rohani dengan wajah tetap memancar ceria dan cerah ------ho’o ami anak rona ata tukeng agu lamid-----ini kami pihak keluarga wanita yang menjaga dan melindungi tiap derap langkah kalian setiap hari----Di sana ada proses penyerahan hewan berupa uang, atau berupa parang, kain adat, payung (terlampir di gambar).

Baru setelah adanya peneguhan dari pihak keluarga wanita (anak rona), maka selanjutnya dimulainya torok (berupa doa adat yang ditujukan kepada roh nenek moyang dan Tuhan Yang Maha Kuasa), beberapa hewan persembahan dipersiapkan dan membawa masuk ke dalam rumah diadakannya ritus. Pada saat penutup torok, hewan korban disembelih. Darah hewan korban kemudian dioles di dahi lalu toto urat (melihat hati hewan korban persembahan) dan dibuatlah hang hélang (makanan hewan persembahan yang diberikan kepada Empo melalui doa-doa khusus). Hang hélang biasanya ditaruh di tempat tertentu berupa piring, sedangkan salah satu sayap ayam korban persembahan digantung di tempat yang telah disiapkan, yaitu di langkar, yang ditaruh di bawah bubungan tiang tengah sebuah rumah.

Torok mulai dilangsungkan.


Hewan korban disembelih, yaitu ayam, babi dan kambing.


Toto urat di'a.



Langkah tempat ditaruhnya sayap ayam korban.


Hang hélang.



Korban Persembahan Takung Waé Cemok.

Adapun hewan persembahan yang digunakan dalam ritus puncak TWC adalah hewan yang warna buluhnya berupa manuk cepang rompok wulu télu (ayam jantan dengan buluh tiga warna), mbé tagi ngong mbé ruca (kambing jantan yang seluruh warna buluhnya seperti buluh rusa), ela raé (babi jantan berwarna juga seperti rusa). Ketiga lambang warna buluh tersebut sebagai representasi dari warna mbau (ari-ari saat setelah melahirkan yang disebut asê ka'é weki).

©©©©™™™©©©©
Waé cemok dapat diartikan air segelas, satu gelas. Ce artinya se, satu, mok artinya gelas. Berbeda dengan cemek yang artinya meminum sedikit atau tanda cekoén/seruék Waé cemok artinya sumber air, kakek asal muasal generasi. Melaui air satu gelas yang merupakan bahasa simbolis sama dengan sperm sebagai awal ada generasi. Ritus waé cemok itu adalah kidung kebaikan, balas jasa atas upaya dan keberadaan de empo, wura masa lampau. 

Tiap-tiap Orang Punya Mbau.

Tiap-tiap orang saat setelah lahir pasti memiliki ari-ari. Ari-ari tersebut disebut asé ka'é weki. Maka, ada istilah téing hang asé ka'é weki (memberi makan ari-ari), hambor asé ka'é weki (rekonsiliasi dengan ari-ari). Terkadang juga disebut hambor asé ka'é weki de wina rona (mendamaikan ari-ari suami-isteri).

Tureng, Nama Lain dari Tempat Dikuburkannya mbau de empo.

Ketika Mbau diamankan di tempat yang terhormat dekat dengan rumah, pada saat hewan persembahan selesai disabdakan secara adat, hang hélang ditaruh di dekat tureng. Maksudnya agar empo menerima dan memakannya dan dia akan mendamaikan seluruh perziarahan dari keturunannya. Tureng tersebut bisa juga disebut tempat bersemanyannya wura.

Tureng, tempat bersemayamnya mbau.



Apa Itu Téing Hang Wura agu Ceki?

Téing hang wura agu ceki adalah pemberian sesajian melalui berupa benda tertentu. Wura bisa diartikan sebagai nenek moyang, ceki adalah pantangan, roh penuntun, nenek moyang. Namun, ceki dapat juga diartikan pantangan suku, totem, larangan memakan sesuatu. Misalnya, ceki kula (dilarang memakan musang). Larangan tertentu melalui proses sejarah tertentu. Dalam kenyataannya, totem, ceki merupakan penjelmaan dari roh penolong, Tuhan Sang Penuntun.

Misalnya, kisah Mahabharata tentang Pandawa Lima. Pada saat akhir dari kisah mereka, sejarah itu menyebutkan kelima Pandawa ketika kembali ke pertapaan akhir setelah menikmati kejayaan Hastinapura dan Indraprasta. Sebuah sumber menulis Pandawa Lima dituntun oleh seekor anjing. Mereka mengira bahwa itu anjing padahal ayah dari saudara tertua Yudistira bernama Dewa Dharma. Artinya, Dewa Dharma menjelma menjadi anjing sebagai si penurut dan penjaga.

Kisah lainnya misalnya, sejarah Maro, nenek moyang dari orang Waé Rebo, Desa Satar Lénda, Kecamatan Satar Mésé Barat, Kabupaten Manggarai di mana saat ke Waé Rebo mereka dituntun oleh musang. Musang adalah penjelmaan dari Yang Maha Tinggi.

Cerita ceki lainnya, misalnya keturunan dari Theodorus Tamat di Coal, Desa Coal, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat yang ber-ceki cemberuang. Cemberuang atau burung Garuda. Cemberuang dalam mitologi tertentu adalah kendaraan dari Dewa Kresna atau Dewa Wisnu dalam Trimurti Hinduisme.

Memang kisah tentang ceki, memiliki sejarahya masing-masing. Hal itu terjadi karena secara perjanjian dan pertolongan tertentu. Misalnya, kisah ceki ndalér (sejenis pohon) di Ndoso, cǝki cik (totem burung pipit) dari keturunan Wangkung Wenus, ceki ndéru (totem jeruk) dari keluarga Marsel Sudirman, SH, yang sekarang tinggal di Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai, dan ceki paké (totem katak), ceki kaba (totem kerbau) dari keturunan Alfons Lurus dari Lewur yang tinggal di Goro, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Masih banyak totem-totem lainnya dengan peristiwa sejarahnya masing-masing.

Sekilas Tentang Burung Garuda.

Cemberuang salah burung ceki dari keturunan Theodorus Tamat di Coal.

Cemberuang.

Ayam hutan.


Garuda adalah burung yang sering dijadikan lambang oleh berbagai masyarakat dunia. Orang Mesopotamia, Mesir, India, Indonesia, bangsa asli Amerika, Indian mengenal burung itu, seperti tercermin dalam sistem kepercayaan, legenda maupun simbol masyarakat mereka.

Dalam dunia ilmiah fauna, nama Burung Garuda tidaklah dikenal, namun demikian Burung Garuda yang menjadi lambang negara Republik Indonesia diciptakan dengan rupa representasi Elang Jawa atau Javan Hawk-Eagle Nisaetus Bartelsi dengan warna buluh emas.

Keberadaaan dan sejarahnya bahkan sudah tercipta jauh lebih lama dibanding berdirinya Negara Indonesia. Burung suci ini juga dapat ditemukan dalam mitologi Hindu dan Buddha.

Di dalam mitologi Hindu, Garuda digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah burung yang menjadi kendaraan Dewa Wisnu dan merupakan raja dari para burung. Pada kisah Baghawad Gita juga disebut nama Burung Garuda oleh Khrisna di tengah perang Barata Yudha di Kurusetra, “Of birds, I am the son of Vinata (Garuda)”. Sedangkan di dalam mitologi Budha, Burung Garuda digambarkan sebagai predator yang hebat dan pintar serta memiliki kemampuan berorganisasi secara sosial.

Garuda muncul dalam berbagai kisah yang melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Pada tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja Agung Para Burung”. Mirip penggambaran Simurgh Yang Agung, Raja para burung,  dalam Kisah Musyawarah Burung karangan seorang Sufi Agung, Faridu ‘Din Attar.

Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila.

Menurut lampiran pada Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, menjelaskan bahwa lukisan Garuda diambil dari benda peradaban Indonesia yang tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke 6 sampai ke 16. Raja-raja di Indonesia sudah sejak lama memakai lambang Garuda. Seperti dalam sebuah buku tentang lambang-lambang kerajaan yang terbit sekitar tahun 1483, termuat lambang Raja Jawa yang memperlihatkan seekor burung Phoenix di atas api unggun, sedangkan Raja Sumatra berlambang rajawali digambar dari samping dengan kedua cakarnya mengarah ke depan.

Ceki Idiom Historisitas.

Berbicara tentang ceki sebagai idiom historisitas, kita harus bertolak dari empat pertanyaan penting: Apa itu ceki? Apa itu idiom? Apa itu historisitas? Dan, mengapa ceki disebut idiom historisitas?

Pertama, apa itu ceki?

Menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami terlebih dahulu mengapa ceki itu ada? Bagaimana sejarahnya?

Ceki awalnya terjadi karena sebuah peristiwa, yaitu peristiwa pesan perjanjian. Perjanjian itu terjadi karena sebuah pertolongan, kesepakatan larangan antara manusia dengan roh (roh tersebut hadir dalam bentuk manusia dan binatang). Misalnya, perjanjian antara Ndiwar Kewali dan Umpu Mburing, perjanjian antara Empo Maro dan roh yang hadir dalam bentuk musang karena ditolong, dan perjanjian-perjanjian lainnya.

Namun, ceki atau larangan, totem kebanyakan hanya dengan binatang atau hewan meski ada juga ceki tetumbuhan. Misalnya, ceki kula (larangan makan musang), ceki cemberuang (larangan makan burung garuda), ceki cik larangan makan burung pipit), ceki rutung (larangan makan babi landak), ceki acu (larangan makan daging anjing) dan ceki -ceki lainnya. Ceki tetumbuhan, misalnya ceki ndaler, ceki ndéru.

Ceki nyaris searti dengan wura agu ceki. Ceki bisa diartikan sebagai aturan, bisa juga diartikan sebagai roh yang membuat aturan terhadap sebuah keturunan yang melahirkan ceki. Diartikan sebagai roh yang mengajar, sering disandingkan dengan ungkapan toing le ceki  (ilmu yang diajar oleh roh yang membuat aturan dengan nenek moyang). Sedangkan, wura agu ceki adalah nenek moyang yang telah meninggal. Maka, dikenal apa yang disebut dengan téing hang wura agu ceki (kasih makan roh nenek moyang).

Kedua, apa itu idiom?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku, kelompok. Idiom dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai langgam suara, corak khas. Baiklah kita memahami idiom sebagai bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku dan kelompok yang tentu erat kaitannya dengan ceki dan historisitas sebuah suku bangsa atau sebuah kelompok.

Ketiga, apa itu historisitas?

Kata historisitas yang merupakan kata benda yang akar katanya histori atau sejarah. Histori itu sendiri adalah kata benda yang kalau dikaitkan dengan ceki menjadi kata sifat historis karena menyangkut pendasaran sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, historisitas adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan sejarah. Sedangkan, kalau diartikan secara etimologi (asal kata), historisitas terdiri dua kata, yaitu historis (berdasarkan sejarah) dan itas (unsur, dimensi, kompenen, dan sekelompok). Dengan demikian, historisitas adalah dimensi-dimensi waktu sejarah yang saling bertautan.

Mengapa historisitas disebut kumpulan dimensi waktu sejarah yang saling bertautan? Jawabannya adalah karena historisitas merupakan kumpulan dimensi, yaitu waktu lampau, waktu sekarang dan waktu yang akan datang.

Keempat, lalu mengapa ceki disebut idiom historistas?

Sebagaimana penjelasan tentang ceki di atas, maka kita mulai memahami bahwa ceki adalah pesan perjanjian, aturan yang mulai diterapkan mulai dari zaman lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Melanggar ceki mengakibatkan seseorang sakit, gila (wédol) yang berujung pada kematian.

Melanggar ceki hampir sama dengan perbuatan kembelu'ak (tidak mau tahu), kembeléis (sindir, sinis). Akibat dari kembelu'ak dan kembeléis akan terjadi nangki (mengalami penderitaan, merasakan sakit dalam diri seseorang karena dikutuk atau melanggar). Kembelu'ak dan kembeléis ini menyebabkan itang (dapat dilihat karena ditunjuk melalui mimpi, penglihatan para normal dan nampo).  Solusinya adalah tolak bala (oké dara ta’a, keti le manuk miteng) sebagai bentuk rekonsiliasi.

Takung Waé Cemok Media Rekonsiliasi.

Nangki karena melanggar ceki yang tidak pernah direkonsiliasi menyebabkan disharmoni antara asé kaé weki/déwa gong sendiri, wura agu ceki, roh alam dan Morin agu Ngaran (Roh Tuhan). Itulah sebabnya ada yang disebut dengan sakit keturunan dan dara ta’a. Wujud dari sakit keturunan misalnya penyakit gila. Hal itu bersifat historisitas karena bila nenek moyangnya gila maka generasi berikutnya akan gila. Jika orang yang melanggar ceki mempunyai keturunan, maka orang tersebut (melalui keluarganya mesti lakukan acara keti le manuk miteng) karena keturunannya mengalami hal yang sama di kemudian hari. Oleh sebab itulah, akibat melanggar ceki itu berdampak pada tiga dimensi waktu tadi.

Lazimnya, nangki yang dialami seseorang diketahui melalui itang baik melalui mimpi maupun nampo (téka latung agu nampo ruha). Karena nangki tadi, maka dicarilah wae nggéreng (ata pecing, ata mata gérak, ata mbeko di'a). Melalui waé nggéreng itu itang diketahui bahwa apakah seseorang karena melanggar ceki atau karena rudak. Sehingga dalam istilah orang Manggarai disebut inung waé cemok data kalau dikaitkan dengan nangki yang disebabkan oleh kembelu'ak dan kembeléis.

Inung waé cemok data artinya jika ada orang lain yang hendak mencelakakan kita dengan membawa sebutir telur ayam kampung ke kuburan keluarga maka keluarga kita yang telah meninggal akan menuruti perintah pencelaka tersebut. Maka penting sekali teing hang wura agu ceki dari ata tua leluhur yang sudah meninggal terutama memotong rantai nangki yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap ceki agar wura agu ceki selalu menolong kita dan asé kaé weki senantiasa melindungi seseorang dan senantiasa diberi berkat yang berlimpah dalam keseharian hidup seseorang. Sebab gila (wédol) sebetulnya disharmoni antara asé kaé weki dan jiwa orang bersangkutan.

Dengan demikian orang tua yang baik adalah orang tua yang menceritakan kepada keturunannya tentang totem keluarga yang harus dihargai turun-temurun. Jadi, itulah makna atau arti dari ceki idiom historisitas.

Kesaksian Ceki.

Dalam kisah Mahabaratha-Hinduisme, akhir cerita bagaimana Dewa Dharma, ayah dari Yudistira menjelma menjadi seekor anjing.

Kitab Suci Perjanjian Lama (Old Testament), menulis cikal bakal mengapa bangsa Yakob yang disebut Israel, yang sekarang disebut Bangsa Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha (lih. Kej 32:22-32).

Yang lebih unik lagi, sejarah ceki dari keturunan Marsel Sudirman, SH, dari Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai, yaitu ceki ndéru (totem jeruk). Totem tersebut bermula dari buah jeruk menjadi perempuan.

Cerita singkatnya, suatu hari ada adik berkakak persis di suatu tempat melihat pohon jeruk. Jeruk tersebut buahnya hanya dua, satu sudah matang, masak, yang satu masih muda.

Saat melihat mereka berdua sempat berdiskusi, hasilnya si kakak memetik yang sudah matang, sementara si adik memetik yang masih muda. Usai dipetik, jeruk yang matang merubah wujudnya menjadi perempuan tua, sedangkan jeruk yang muda menjadi perempuan muda nan elok. Tentu saja terjadi proses perkawinan dan sekarang melahirkan keturunan yang salah satu darah mereka adalah Marsel Sudirman, SH. Hal ini seperti diceritakan oleh Bene Baduk: Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html.

Bagaimana Hubungan Antara Mbau dan Sedulur Papat Lima Pancer dalam Ilmu Kejawen Jawa?

Mengutip Wikipedia Bahasa Inonesia, ensiklopedia bebas di http://google.com, ilmu Kejawen memahami manusia pribadi memiliki saudara halus yang disebut sedulur papat (dalam bahasa Jawa, sedulur adalah saudara, papat adalah empat) atau memiliki empat saudara yang lain. Kerap disebut sedulur papat lima pancer.

Sumber itu menulis, dalam budaya Jawa terutama tumpeng, sega kuning atau nasi kuning yang dibentuk menjadi tumpeng, salah satu bagian sajen sedulur papat.  Sajen sedulur papat adalah salah satu sesaji atau sajen yang berupa aneka macam jenis nasi atau sega untuk menghormati empat saudara gaib yang berada di empat penjuru mata angin atau biasa disebut dengan sedulur papat lima pancer.

Secara turun temurun, orang Jawa lekat dengan kepercayaan bahwa setiap orang memiliki empat saudara gaib yang di Utara, Selatan, Timur dan Barat sesuai arah mata angin.

Saudara yang di sisi Timur disebut Tirtanata, di sebelah Utara disebut Warudijaya, di sebelah Selatan disebut Purbangkara, di sebelah Barat disebut Sinotobrata. Sedangkan, Pancer adalah diri sendiri atau hati nurani.

Sedulur papat ini memiliki kemampuan dan mengendalikan hati nurani masing-masing orang. Dengan demikian, secara turun-temurun diyakini apabila seseorang selalu ingin dijaga, diingatkan atau dikendalikan dari keinginan dan pengaruh jahat, maka orang tersebut wajib menyapa keempat sedulur papat yang ada di masing-masing arah penjuru angin itu.

Macam-macam Sajen Sedulur Papat.

Sega putih adalah ubo rampe yang berupa nasi putih. Nasi putih tersebut dibentuk tupeng dan disajikan tanpa lauk pauk. Ubo rampe sega putih dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Timur atau orang Jawa menamainya Tirtanata. Sega putih ini untuk menggambarkan Kakang Kawah.

Sega cemeng atau nasi hitam adalah ubo rampe yang berupa nasi hitam. Nasi hitam terbuat dari nasi putih yang dicampur dengan jelaga hingga berwarna hitam dan terbentuk tupeng. Ubo rampe nasi hitam dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah utara atau biasa disebut Warudijaya. Sega cemeng ini untuk menggambarkan Tali Pusar.

Sega abang atau nasi merah adalah ubo rampe yang berupa nasi merah. Nasi merah terbuat dari nasi putih yang dicampur dengan gula Jawa hingga berwarna merah dan dibentuk tupeng. Ubo rampe nasi merah ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Selatan atau biasa disebut Purbangkara. Sega abang ini untuk menggambarkan Darah.

Sega kuning atau nasi kuning adalah ubo rampe yang berupa nasi kuning. Nasi kuning terbuat dari nasi putih yang bercampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi kuning ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Barat atau biasa disebut Sinotobrata. Sega kuning ini untuk menggambarkan Adi Ari-ari.

Sumber lain menulis, manusia terdiri dari sedulur papat lima pancer kakang kawah ari-ari. Menurut ilmu Kejawen, tiap-tiap manusia terlahir sebagai lima bersaudara/saudara kelima (lima pancer). Oleh karenanya, masing-masing dari kita memiliki empat saudara (sedulur papat).

Dalam wujud fisik, Kakang Kawah adalah air ketuban yang pecah sebelum kita lahir, sedangkan pancer (diri manusia) adalah si jabang bayi (orok, bayi yang belum berumur) yang lahir kemudian. Sementara, Adi Ari-ari merupakan batur atau ari-ari yang dikeluarkan paling akhir setelah kita dilahirkan. Sedangkan, saudara yang lain adalah Darah.

Lalu, Apa Hubungan TWC dengan Upacara Slametan?

TWC adalah bentuk penghormatan terhadap Mbau. Mbau disebut pula adi ari-ari yang datang terakhir. Adi ari-ari atau mbau tersebut dikenal sebagai asé ka'é weki. Nah, takung waé cemok adalah upacara menghormati mbau. Maka, dikenal takung hang asé ka'é weki. Dalam tradisi Jawa adalah Slametan sebagai upacara kelahiran yang dilakukan dalam 35 hari sekali.

Dalam konteks sekarang, Slametan (Slamet artinya selamat, bahagia, sentosa) atau takung waé cemok, téing hang asé ka'é weki adalah upacara hari ulang tahun atau pesta Natal dalam Kekristenan. Budaya Manggarai disebut teing hang asé ka'é weki, hambor asé ka'é weki di mana asé ka'é weki harus tetap menjaga perziarahan hidup seseorang. Sedangkan, untuk menghormati leluhur disebut téing hang wura agu ceki. Jika sudah berkeluarga, ada yang dikenal dengan téing hang asé ka'é wrki wina rona atau hambor asé ka'é de wina rona.

Hubungan Antara Céar Cumpé dan Sedulur Papat Lima Pancer.

Apa Itu Céar Cumpé?

ar cumpé merupakan salah satu istilah untuk menyebut ritus inisiasi dalam tradisi Manggarai pada umumnya. Di samping istilah ini, ada istilah lain yang sinonim dari istilah ini tetapi memiliki makna yang sama, seperti wa’u wa tana (di Congkar-Manggarai Timur). Istilah céar cumpé sendiri merupakan penggabungan dari dua kata dasar, yakni céar (membongkar api di tungku), cumpé (artinya tungku api) dengan mana selama lima hari ibu dan bayi tidak keluar dari rumah.



Ritus céar cumpé.

Istilah céar cumpé itu sendiri dapat diartikan sebagai upacara pada saat mana masa penantian seorang bayi dinyatakan selesai dan serentak dengan itu si bayi dilantik secara resmi menjadi anggota masyarakat setempat.  Seusai upacara ini, si bayi bersama ibunya boleh keluar dari rumah.

Pada dasarnya, ritus céar cumpé sebagai: Pertama, masa penantian seorang bayi yang baru dilahirkan untuk masuk dan diakui secara sah ke dalam klen atau masyarakat setempat telah berakhir. Kedua, bayi diperkenalkan secara resmi kepada khalayak ramai. Ketiga, bayi dilantik secara resmi sebagai anggota suku atau masyarakat (bukan orang asing). Keempat, kesempatan untuk menyampaikan syukur dan terima kasih dan mohon berkat dari yang Tertinggi (ceki) lewat doa dan persembahan. Ungkapan syukur disampaikan secara bersama-bersama dengan anggota masyarakat yang lain yang turut hadir mengikuti upacara itu.

Kemudian, setelah dilahirkan bayi bersama ibunya tetap tinggal di dalam rumah (di sekitar perapian yang sudah disiapkan atau (cumpǝ). Masa ini berlangsung selama 5 hari, tidak boleh kurang atau lebih. Selama masa ini, dalam masa ini semua kebutuhan sang ibu dan bayinya dilayani di dalam rumah.

Berikutnya, pada pelaksanaan ritus céar cumpé, tepat pada hari yang telah ditentukan keluarga sudah mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ritus itu sendiri. Setelah semua perlengkapan upacara disiapkan, pemimpin boleh memulainya.

Acara céar cumpé sebaiknya dilakukan pada pukul 07.00-08.00 pagi. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat tentang siklus kehidupan manusia di mana pagi hari selalu dikaitkan dengan kehidupan yang secara konkret dihubungkan dengan masa kanak-kanak (bengkar wéla, artinya mekarnya bunga-bunga). Upacara ini dipimpin oleh seorang yang dituakan dan berpengalaman.

Dalam upacara ini dipersiapkan pula bahan persembahan berupa ayam jantan. Bagi keluarga yang ekonominya memungkinkan ia bisa menambahkan binatang yang lebih besar lagi, seperti: babi atau anjing. Tetapi babi dan anjing hanya untuk perjamuan bersama, sedangkan untuk acaranya menggunakan ayam jantan.

Tujuan upacara ini adalah untuk bersyukur pada wujud tertinggi (ceki) atau arwah nenek moyang atas anugerah manusia baru yang terlahir dalam keluarga tersebut dan sekaligus memohon rahmat dan berkat serta perlindungan bagi bayi dan seluruh anggota keluarga.

Selama ayam masih hidup dalam genggaman, pemimpin ritus, doa tetap dilantunkan (torok manuk). Selanjutnya, ayam dibunuh dan dibakar, diperiksa uratnya untuk melihat petunjuk atau tanda yang akan terjadi di kemudian hari atas bayi dan keluarganya.

Di Ruis, tempat upacara dilaksanakan harus di halaman atau alun-alun depan rumah, di depan rumah di mana bayi tinggal. Halaman depan dianggap sebagai pintu menuju dunia yang luas dari lingkaran rumah.

Doa diarahkan kepada Mori Mésé (Tuhan Allah) dengan intensi syukur karena keselamatan yang dialami ibu dan bayi selama proses kelahiran berlangsung.

Selain itu, doa juga diarahkan kepada arwah nenek moyang dari anak yang telah dilahirkan untuk meminta keselamatan dan perlindungan bagi anak itu dalam hidup selanjutnya.

Menurut tradisi Satar Mésé, ayam yang disembelih itu harus diambil sedikit darahnya untuk dioles pada dahi anak yang diupacarakan. Sedangkan, pada kebiasaan penulis, ayah bayi tersebut juga dioles di jari telunjuk kaki.

Kalau menurut pemimpin ritus, dia itu tidak dikabulkan maka dia meminta keluarga untuk membuat ritus pemulihan. Karena barangkali ada kekeliruan dalam hidup harian seluruh anggota keluarga sebelum anak dilahirkan sampai ia terlahir ke dunia.

Ritus inisiasi ini lazim lainnya dipimpin oleh seorang ibu atau bapak yang berpengalaman dan mampu mendaraskan syair-syair doa. Dalam tradisi masyarakat Manggarai, acara ini dipimpin oleh seorang yang berpengalaman yang dibantu oleh ibu-ibu yang lain untuk memangku bayi dan peralatan lainnya.

Di samping itu, ada juga salah satu dari yang hadir seperti tetua adat atau seorang yang berpengalaman berperan sebagai pendaras atau torok manuk.

Lazimnya, kriteria yang harus dilihat dalam diri seorang pemimpin adalah mahir dalam mengucapkan doa dan mampu melihat tanda-tanda yang akan terjadi berdasarkan kenyataan yang terungkap dari kondisi hati atau empedu dan usus halus dari binatang yang dipersembahkan. Hal ini sesuai dengan tujuan pelaksanaan upacara yakni melihat dan mengatasi krisis yang akan dihadapi seorang bayi ketika ia masuk dalam anggota keluarga atau masyarakat.

Dalam hal céar cumpé ata permandian secara adat di mana bayi diberi nama, biasanya saat pemberian nama waktu torok harus diberi nama lima nama. Masing-masing nama diberikan oleh orang yang ikut saat ritus tersebut termasuk oleh ayahnya. Saat pemberian nama, masing-masing ditunjuk lima orang untuk menyebut nama lain dari si bayi. Jadi, seorang bayi saat céar cumpé harus menyebut lima nama. Ayam yang dipakai adalah ayam jantan putih, atau manuk cepang (ayam jago berwarna merah, sedikit hitam dan sedikit putih).

Nah, apa hubungan pemberian lima nama dalam céar cumpé dengan sedulur papat lima pancer?

Lima nama dalam céar cumpé bisa menggunakan nama dari wura agu ceki. Dengan demikian, pemberian lima nama pada saat céar cumpé nyaris sepaham dengan pemberian nama terhadap sedulur papat dalam ilmu Kejawen.

Pemberian kelima nama tersebut yang disebut ngasang tu’ung (nama sesungguhnya, nama ayam). Orang Manggarai menyebut nama orang, terdiri dari nama serani (nama Santo) dan ngasang tu’ung. Misalnya, nama Melkior Pantur (Melkior adalah nama serani atau Santo atau orang suci, sedangkan Pantur nama atau ngasang tu’ung, ngasang manuk). Arnoldus Sanpepi Juang Pantur, nama Santunya Arnoldus, nama ayamnya Sanpepi Juang Pantur, atau Pantur) begitupun Oktovian Gening Pantur.

Hubungan Antara Slametan dan Penti Weki Péso Béo.

Slamet atau slametan adalah upacara penghormatan terhadap sedulur papat dengan membuat tumpeng. Sedangkan, penti weki péso béo adalah upacara syukuran panen raya, bisa per tahun atau tergantung kesepakatan tua-tua adat di sebuah kampung adat. Penti weki péso béo artinya bersyukur atas kebaikan Tuhan atas satu musim panen dan membersihkan diri dari warga kampung adat selama sebelum upacara penti dilaksanakan. Upacara penti berbeda untuk setiap kampung adat dan lazimnya melibatkan suku-suku dalam kampung tersebut.

Hubungannya dengan slametan karena setelah acara penti bersama diadakan acara takung hang wura agu ceki masing-masing rumah dengan mempersembahkan hewan korban berupa ayam jantan. Upacara bersama sebelum dilakukan di rumah masing-masing dilaksanakan upacara barong boa  (buat acara di kuburan), barong waé (buat acara di mata air), barong compang (altar adat). Upacara barong atau memberi makan roh penjaga mata air, roh leluhur dan Wujud Tertinggi di compang sesuai dengan filosofi orang Manggarai mengenai gendang onén lingkon pé'ang di mana ada rumah Gendang, compang, natas (alun-alun), mata air (mata waé) dan kebun (lingko). Yang dikenal mbaru baté ka'éng (rumah tempat tinggal berupa gendang), natas baté labar (alun-alun tempat bermain), compang baté dari (altar untuk berjemur sekaligus mempersembahkan korban), uma baté duat (kebun bekerja), dan waé baté téku (mata air untuk ditimba). Kelima unsur tersebut, tiap-tiap Gendang memilikinya.

Note:

Tulisan ini akan ditambahkan oleh Penulis kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar