Minggu (1/4/2018)
Orang Nuca Lale (nuca artinya pulau, lale
artinya pohon sukun atau ular sawah) atau yang juga dikenal sebagai
ata Manggarai amat kental dengan pemberian makan terhadap leluhur dan
Tuhan. Pemberian makan terhadap leluhur dan Tuhan tersebut diungkapkan
melalui ekspresi teing hang wura agu ceki.
Disebut wura agu ceki karena orang Manggarai percaya, kehidupan
generasi sekarang dan masa depan tidak terlepas dari upaya dan kiat
dari wura agu ceki itu sendiri di masa lampau dan mereka sendiri ada
dekat bersama generasi masa kini. Untuk menghormati wura agu ceki,
dibuatlah ritual memberi makan – wura artinya leluhur, sedangkan ceki
adalah representasi dari Tuhan yang diwujudkan melalui benda atau
makhluk tertentu karena sebagaimana dalam kehidupan daerah lainnya di
dunia atau sesuatu yang menjadi petunjuk atau penolong, orang
Manggarai masa lampau kental dengan ajian senyawa atau aji gening di
mana mereka dapat berkomunikasi dengan binatang dan tetumbuhan).
Memberi makan roh leluhur dan Tuhan tersebut tidak mengenal waktu,
bisa setiap tahun atau lebih tergantung apa yang mau diritualkan.
Misalnya, teing hang ata tu’a pa’ang be le (memberi makan roh orang
tua yang sudah meninggal) dilakukan karena telah dan tengah mengalami
sakit dan penyakit di dalam keluarga inti (suami, isteri dan anak-anak
kandung). Sebagai bentuk rekonsiliasi (hambor atau pendamaian),
dibuatlah pemberian makan agar sakit dan penyakit dipulihkan.
Teing hang wura agu ceki juga dapat dilakukan misalnya menjelang pergi
ke sekolah, di waktu mau merantau, saat acara politik, saat mendirikan
bangunan, pada saat panen, penti dan sebagainya. Itu penting dilakukan
karena apa yang dimiliki generasi masa kini merupakan pemberian,
hadiah dari nenek moyang dan merupakan berkat Tuhan melalui
perantaraan ceki (Tuhan representasi, kehadiran Tuhan yang menjelma
dalam bentuk benda dan binatang).
Disebut teing hang wura agu ceki sebagai ekspresi konkret iman orang
Manggarai karena orang Manggarai berpandangan, orang tua adalah wujud
Tuhan lagipula konsep ame rinding mane, ine rinding wie sebagai
penyebutan untuk Yang Kudus. Artinya, Ibu dan Ayah itu adalah wujud
dari Tuhan itu sendiri, Allah yang kelihatan. Selain itu, orang
Manggarai mengenal konsep Parn Awo Kolepn Sale, Awangn Eta Tanan Wa
sebagai penyebutan Sang Pencipta itu sendiri maka untuk menyembah Yang
Suci tersebut mereka pun menggelar teing hang atau takung – memberi
makan atau sesajian kepada leluhur dan Pemberi Kehidupan.
Teing hang wura agu ceki lazim juga dilakukan sebelum digelarnya teing
hang ase ka’e weki de ru dan ase ka’e weki de wina rona. Itu dikenal
dengan sebutan hambor ase ka’e weki (rekonsiliasi dengan saudara badan
atau diri atau mendamaikan saudara badan dari suami dan isteri yang
oleh orang Manggarai menyebutnya mbau de ru). Orang Manggarai percaya,
mirip sadulur papat lima pancer dalam Kejawen, orang Manggarai
menyakini, tiap-tiap orang memiliki saudara kembarnya yang dikenal
dengan ase ka’e weki tadi. Maka, sebelum digelarnya ritual hambor ase
ka’e weki dilakukan terlebih dahulu teing hang wura agu ceki. Ase ka’e
weki berbeda dengan wura agu ceki karena ase ka’e weki menyangkut
saudara masing-masing dari tiap-tiap orang. Tujuan digelarnya teing
hang ase ka’e weki agar terjadinya kerjasama dan sama-sama kerja dari
saudara pelindung dari rumah tangga tertentu untuk membangun tali
persaudaraan, rezeki, jauh dari malapetaka dan diberi keturunan.
Konsep orang Manggarai, menyakini terjadinya percecokan di dalam rumah
tangga karena rintuk taud ase ka’e weki de wina rona (saudara
pelindung dari suami dan isteri belum direkonsiliasi) maka dicarilah
jalan untuk dibuatkannya hambor atau pendamaian. Ase ka’e weki adalah
wujud lain dari yang Ilahi yang menuntun dan menentukan tiap langkah
manusia setiap harinya. Itulah konsep orang Manggarai tentang
identitas mereka.
Lih......!!!
http://www.suaraflores.net/teing-hang-wura-agu-ceki-ekspresi-konkret-kepercayaan-orang-manggarai/
http://www.suaraflores.net/si-putih-jago-berkokok-tiga-kali-saat-aset-gelar-ritual-selek-di-wae-korok-kisol/