Ditulis oleh: Melky Pantur***, Jumat (29/9/2017).
[Lumpung Racang]
Pengantar.
Antarkarana/Wera.
Dalam pemahaman Bali Hindus, Tuhan memberikan manusia hidup dan kekuatan melalui antarkarana atau tali spiritual. Antarkarana itu rupanya seperti sinar putih yang mengalir terus ke inti Cakra Sahasrara yang letaknya bersesuaian dengan ubun-ubun di atas kepala.
[Bdk. http://www.tejasurya.com/meditasi-yoga/35-antah-karana.html].
Namun tahukah Anda? Sebenarnya ada bermacam-macam antarkarana, yaitu antarkarana alam semesta dan antarkarana tubuh manusia, hewan dan tetumbuhan.
[Gambaran atau ilustrasi dari Antarkarana]
Mirip dengan ajaran Hindu Bali, tetapi apa yang dilihat oleh Penulis persislah yang dijelaskan orang Bali Hindu. Lah, antarkarana alam itu adalah cahaya Kristus yang memberikan seluruh kekuatan sebagaimana dipahami oleh Hindu dalam Trimurti. Sebenarnya, Kristus dalam Kristen adalah Trimurti itu sendiri (Dewa Wisnu, Brahma dan Siwa) Trinitas itu sendiri. Trinitas kan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ketiganya satu kesatuan. Mereka juga adalah Trimurti atau inti dan sumber alam semesta itu sendiri. Nah, Tuhan Yesus Allah yang turun ke bumi menciptakan alam semesta dari cahaya keilahiannya itu. Tuhan Yesus Allah itu mengeluarkan antarkarana dari tangan-Nya, cahaya berupa cakra Ilahi. Pada waktu itu alam semesta belum terbentuk, tidak ada ujung dan akhir. Melalui sinar keilahian dari tangannya, maka dijadikanlah bumi dan seluruh isinya. Teologi Kristen menyebut, Kristus adalah alfa dan omega (awal dan akhir - pu'ung agu turung cemoln).Jawabannya adalah iya.
Lalu, apa itu antarkarana tubuh? Kehidupan manusia dikuatkan oleh antarkarana. Antarkarana itu adalah refleksi, mata ketiga, nyawa, jiwa pikiran. Bentuk asli antarkarana seperti sinar putih berkabut tetapi kabut itu kilat seperti petir, putih seperti salju. Ukuran antarkarana, sinar Ilahi dari tangan-Nya sama seperti ketika Tuhan Yesus itu memberkati bumi dengan sinar api dari tangannya di mana seluruh kekuatan alam bergerak karenanya.
Perhatikanlah ketika orang hendak mau tidur. Antarkarana (cahaya atau sinar ketuhanan) akan keluar melalui ubun-ubun, maka seseorang akan kelelapan tidur dan masuk dalam alam mimpi. Mimpi itu terjadi karena antarkarana pergi di semesta sesuai kehendaknya. Orang bilang: Saya bermimpi begini dan begitu. Antarkarana kan menembus ruang dan waktu. Karena antarkarana itulah, kita bilang saya melihat itu dan melihat ini dalam mimpi. Antarkarana punya mata sendiri. Dalam Hindu, mata antarkarana seperti mata ketiga Dewa Siwa. Coba perhatikan, ketika orang memejamkan mata namun bisa melihat masa lampau dan masa depan kok bisa? Yah, mata Anda tertutup tetapi mata antarkarana melihat ke depan dan belakang. Mata antarkarana itulah nama lain dari mata batin atau kerap disebut indra keenam. Intinya, antarkarana bergerak sendiri dan memiliki pengetahuan dan mata sendiri.
Saat antarkarana sudah puas mengembara di alam mimpi, maka ia akan kembali masuk dan menyadarkan Anda kembali. Anda pun dibangunkannya! Lalu, ada istilah Manggarai reme jǝngǝ jiut (masih samar-samar di mana kepala Anda masih berat terutama ketika ada orang lain yang membangunkan Anda dengan paksa). Pada saat itu, antarkarana belum sempurna masuk karena ia harus ditarik kembali ke dalam tubuh melalui ubun-ubun. Ketika ia sempurna masuk, kesadaran Anda penuh.
Antarkarana itulah yang membuat orang tidak sadarkan diri mesti jiwa Anda masih menyatu dengan tubuh atau pada saat Anda masuk pada dunia yang lain. Orang Manggarai bilang kerap menyebutnya saat boat lewe (mati suri).
Saat boat lewe, keputusan ada pada Pemberi Antarkarana apakah wakar (jiwa) Anda tetap menyatu dengan tubuh atau tidak? Ketika diminta kembali, maka Anda akan siuman. Nah, makanya saat boat lewe penting sekali berdoa agar antarkarana diberikan kembali oleh Tuhan pada orang bersangkutan.
Bagaimana dengan orang yang sudah mati lalu hidup kembali? Apa jawabannya? Jawabannya, antarkarana-nya dipadukan lagi ke dalam tubuh dan menyatu kembali dengan jiwa, maka hiduplah orang itu. Itulah cikal bakal ilmu rawarontek dan pancasona.
Lalu, bagaimana dengan orang yang jiwanya berkelana dan melayang-layang di bumi? Apa jawabannya? Jawabannya adalah misalnya orang tenggelam atau antarkarna dan jiwanya belum sempurna dipanggil Tuhan. Jiwa akan tetap menyatu dengan antarkarana maka jiwa orang itu masih hidup. Jiwa tidak bisa mati, dia abadi dan kekal. Ketika jiwa masuk ke inti Tuhan maka dalam Hindu moksa tercapai.
Ketika jiwa dan antarkarana masih menyatu, maka jiwanya belum bisa tenang. Ketika ketiganya berpisah, maka barulah kembali ke titik awal yaitu jiwa, antarkarana dan tubuh itu sendiri menyatu dengan Ilahi. Tubuh kembali ke tanah, antarkarana kembali ke Tuhan.
Bagaimana dengan ritus teing hang wura agu cǝki - memberi makan leluhur dan Tuhan dalam budaya Manggarai?
Kehidupan selalu mengarah kepada Tuhan atau inti antarkarana. Salah satunya belum menyatu, maka belum dikatakan sempurna. Itulah mengapa orang Manggarai melakukan ritus teing hang wura agu cǝki. Wura itu adalah roh nenek moyang atau kerap disebut antarkarana nenek moyang, sedangkan cǝki adalah Tuhan yang diwakilkan, Tuhan representasi.
Ketika jiwa dan antarkarana nenek masih moyang menyatu, maka mereka masih hidup di bumi dan karena itu harus diberi makan. Jiwa dan antarkarana mempunyai kekuatan luar biasa. Roh nenek moyang itu bisa berbicara hanya saja dia tidak terikat lagi oleh tubuh. Dapat berkata-kata iya. Apa maksud teing hang wura agu cǝki, teing hang itu adalah persembahan suci agar apa yang kita upayakan diberkati dan dilindungi.
Orang bilang, Tuhan Yesus (Trimurti itu hidup). Jawabannya iya karena Tuhan Yesus sumber kehidupan itu sendiri.
Wera Mirip Londe tetapi Bukan Londe.
Wera bukanlah londe atau bola api seperti kembangan api seperti kondisi rambut panjang perempuan yang tengah terbang di udara yang berwarna seperti api yaitu kuning api. Begitupun londe yang panjang seperti ular. Londe panjang seperti ular berarti simbol atau tanda kematian pria, sedangkan londe bola api menyurapai uraian rambut perempuan yang terbang tanpa diikat oleh ikat rambut yang dibiarkan terurai adalah tanda kematian seorang perempuan.
Londe juga bukan api ja, yaitu sejenis api berwarna hjiau di malam hari berbentuk seperti nyala obor. Bahkan, wera juga bukan mata mbǝre yaitu sejenis api yang bergerak berwarna hjiau tua sebesar ukuran mata cincin batu akik.
Wera persis seperti sinar dalam cerita Reba Ruek di Liang Bua. Wera seperti sinar cakra Wisnu dalam Hindu atau seperti gambaran dari cahaya Kristus dalam buku Kerahiman Ilahi Sr. Faustine atau seperti sinar Antarkarana.
Ada ungkapan bahasa Manggarai khususnya ciri-ciri seorang pemimpin, mereka bilang: "Toe manga weran Kǝraeng hio - Tuan itu tidak punya sinar ketuhahan di dalam dirinya!". Wera itu adalah suatu cahaya yang berasal darimTuhan atau boleh disebut antarkarana.
Awal Cerita.
Asal Mula Nama Kampung Racang.
Andreas Sabin (65) didampingi Benediktus Dasot dan Agustinus Nego menceritakan, dahulu di Racang sebelum lahirnya nama kampung tersebut, ada sebuah wera (sinar cakra seperti antarkarana) turun di atas sebuah bukit kecil di dekat sawah (di sawah sana Racang).
[Ada sebuah bukit di sekitar sawah inilah, wera batu asah itu dulu muncul].
Kemudian lama sekali berselang, ada seorang Kakek bernama Yohanes Gasong mengambil wera atau sinar cahaya yang tidak tahu berasalnya datang dari mana yang kemudian berubah menjadi sebuah batu. Wera tersebut berubah menjadi batu asah.
[Andreas Sabin]
Kakek Gasong, demikian Andreas, mengambilnya lalu dibuatlah compang persis di Kapela Racang sekarang ini di mana batu wera tersebut disimpan dan diritualkan oleh Yohanes - batu wera itu mirip batu asah milik Raja Alengka Dirja, Rahwana yang disimpan di istana Alengka yang kemudian berhasil dicuri oleh Hanoman sebagai Panglima Perang Sri Rama dan Laksamana saat Dewi Shinta diculik Rahwana pada waktu itu. Ketika itu, versi Jawa, Sri Rama berhasil dipanah oleh Rahwana. Panah itu tidak bisa dicabut. Maka, disuruhlah Hanoman mengambil batu asah tetapi bersinar itu di Alengka Dirja. Batu asah bercahaya itu berhasil dibawa kabur oleh Hanoman di tempat perkemahan perang Sri Rama. Batu asah lalu dipadukan dengan panah tadi. Tidak lama kemudian, Sri Rama pun selamat dari serangan panah itu. Atas kejengkelan itu, Sri Rama murka lalu menghukum Rahwana).
[Di atas Kapela inilah compang pertama batu asah itu dibangun oleh Yohanes Gasong kala itu].
Tidak lama kemudian, batu asah keramat tersebut pun dipindahkan di dekat compang Lumpung Racang persis di dekat alun-alun. Yohanes Gasong dan orang tua di zaman itu pun akhirnya bersepakat kampung tersebut namanya Racang. Racang sama dengan dali, batu asah.
Andreas Sabin menuturkan, batu asah tersebut tidak akrab ditaruh di dekat compang. Compang dan batu asah tersebut tidak mau tingal sama - rupanya, orang tua di sana tidak boleh memindahkannya ke dekat compang kecuali menyusunnya dalam bentuk susunan batu yang indah karena tidak baku cocok antara batu itu dan compang kalau ditaruh bersama.
Jejak yang Hilang.
Mathias Simoson, Sekretaris Desa Watu Baur menceritakan batu asah tersebut sempat diletakan di dekat compang namun karena ulah ata mbeko (paranormal), mereka hendak membongkar batu tersebut kemudian batunya hilang entah kemana sekarang.
(Mathias Simoson, Sekretaris Desa Baur tengah menunjukkan batu asah itu pernah disimpan dan kemudian jejaknya hilang]
Sementara, Andreas Sabin (65) mengatakan batu asah tersebut sudah terbagi tiga pada waktu itu dan kemudian hilang entah di mana sekarang ini.
Asal Mula Lumpung Racang.
Lumpung berbeda dengan Gǝndang. Lumpung adalah turunan dari Gǝndang. Lumpung masih di bawah kendali Gǝndang. Ada lumpung Rangko Gǝndang, ada lumpung leca Gǝndang. Lumpung Leca Gǝndang adalah lumpung yang hanya dimiliki oleh satu Gǝndang atau warisan satu Gǝndang saja, sementara rangko Gǝndang berarti lumpung yang merupakan gabungan pemberian dari beberapa Gǝndang berdasarkan persetujuan Tu'a - Tu'a Gǝndang.
Lumpung Racang merupakan gabungan dari tiga Gǝndang, yaitu Gǝndang Ruis, Kilit dan Ketang. Gabungan ketiganya berdasarkan kesepakatan tetua adat dari tiga Gǝndang.
Kedatangan Awal.
Agustinus Nego (82), mengatakan yang datang pertama kali di Racang namanya Ǝmpo Punu.
[Agustinus Nego]
Menurut Nego ada tiga Suku di Lumpung Racang, yaitu Pane (Agustinus Nego) ber-cǝki kula, lalu Suku Poco dan Ngine. Kedua Suku tersebut tidak mempunyai cǝki/totemnya.
Cǝki.
Menurut Benediktus Dasot berasal dari Suku Poco. Menurutnya, mereka tidak mempunyai ireng atau cǝki dalam keturunannya - kebenarannya masih ditelusuri Penulis.
[Bene Dasot]
Letak.
Lumpung Racang terletak di Desa Baur, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Benua Asia.
Ada beberapa lingko di Lumpung Racang, di antaranya: Mberbega, Purang, Bike Lǝwing, Kaca, Dǝngǝr, Cece, Wǝjang Ka, Wagang 1, 2 dan 3, Dulang Emas, Lingko Golo Roho, dan Lingko Mentrahak.
Mata Air.
Beberapa mata air di Lumpung Racang, di antaranya: Wae Lawar, Cǝpang, Wae Tumur, dan Wae Mentrahak. Wae Cǝpang dan Wae Tumur yang kerap mengeluarkan air.
Wae Barong.
Wae Barong lumpung Racang namanya Wae Keramak.
Dataran/Bea.
Ada pun nama bea/dataran di Racang namanya Bea Wunis, Bea Nio dan Bea Laco.
Bukit.
Ada dua bukit di Lumpung Racang, yaitu Golo Kaca dan Golo Cece.
Dusun.
Ada dua Dusun di Desa Watu Baur, yaitu Dusun Wae Lawar dan Dusun Wae Tumur.
®®®®®®®
Potret Kebeng Lumpung.
Cibal, Kajong dan Loce termasuk Ruis tidak mengenal apa yang disebut dengan congko lokap. Mereka hanya mengenal istilah kǝbǝng. Benda kebeng tergantung, bisa kerbau bisa juga babi. Di Ruis, Loce dan Kajong tidak mengenal apa yang disebut dengan cahir Gǝndang. Mereka hanya menyebut hǝsǝ atau cahir lumpung.
[Pemain Caci]
[Ronda]
[Tudak]
[Curu]
[Paki Reis]
[Tuak Curu]
[Akrab: Ande Sabin dan Agus Nego]
[Anak SD]
[Padir wa'i, rentu sa'i].
Karakteristik.
Gǝndang ketika dicahir, maka otoritas ada di Gǝndang masing-masing. Tetua Adat di Gǝndang baru dianggap ru tǝng atau diri sendiri yang kuat. Bahasa Soekarno berdikari. Sedangkan, lumpung itu amat fleksibel dengan mana bisa rangko Gǝndang atau leca Gǝndang. Lumpung pun masih bertanggung jawab terhadap Gǝndang utama mereka masing-masing. Misalnya, lumpung Racang bertanggung jawab terhadap Gǝndang masing-masing berdasarkan dari mana suku-suku itu berasal Gǝndang mereka. Namun, tiap acara apa saja di Lumpung Racang tiga Gǝndang wajib mengikuti begitupun bila ada acara di salah Gǝndang, maka warga Lumpung Racang wajib terlibat.
©©©©©©©©©
Mengenal Gǝndang Ruis.
Menurut Andreas Panto,
[Andreas Panto]
Lumpung Rancang salah satu sumbernya berasal dari Gǝndang
Ruis, Desa Ruis, Kecamatan Reok. Gǝndang Ruis membagi dirinya menjadi beberapa lumpung, yaitu Lumpung Wora, Lumpung Mondak di Desa Ruis termasuk Lumpung Racang.
Yang datang pernah di Gǝndang Ruis. Ǝmpo dari Keraeng Petrus Aman. Yang kemudian sebagai Tua Golo. Gendang Ruis memiliki 4 panga, Ninge Nampo, Ninge Tu'a, Teke, Poka.
Nenek moyang Petrus Aman berasal dari Nanga Ninge di bagian sekitar Dampek.
Sedangkan, nenek moyang Andreas Panto, datang dari To'e, Desa To'e, Kecamatan Reok Barat. Nama Empo itu Odam. Odam memperisterikan Tinam.
Cǝki Warga Gǝndang Ruis.
Panto mengatakan, di Gǝndang Ruis, Nuku Ninge Nampo bertotem kode termasuk Ninge Tu'a. Suku Teke bertotem tokek. Suku Poka ber-cǝki belum diketahui (Di sini bukan Poka Carep Rutǝng tetapi Poka Ruis). Keturunan Poco berasal dari Gǝndang Poco Kǝtang di Desa Watu Tango, Kecamatan Reok.
Lingko-lingko di Gǝndang Ruis.
Adapun lingko-lingko di Gǝndang Ruis, di antaranya: Lingko Bu'ar, Lingko Nggolong Watu, Lingko Mberong, Lingko Rame Kukung, Lingko Dǝngǝr (haju dǝngǝr bukan denger jamur), Lingko Nunang, Lingko Golo Lindung, Lingko Purang, Lingko Kero (ada pong kǝro di situ), Lingko Golo Kantor, Lingko Wontong.
Wae Barong.
Gǝndang Ruis memiliki wae barong bernama Wae Re'a. Disebut Wae Re'a karena di situ dulu banyak pohon pandan sebagai bahan dasar pembuat loce (tikar atau mat).
Sumber Mata Air.
Nama sumber mata air di Gǝndang Ruis, antara lain: Wae Sosor, Wae Natu, Wae Re'a, Wae Babel, Wae Dalu (Dalu Nagong di sini mata air khusus bermandi. Dia adalah Dalu Ruis).
Kali.
Semua kali atau ngalor di Gǝndang Ruis, antara lain: Ngalor Wae Natu, ngalor Wae Waso, ngalor Tengku Kandok, ngalor Wae Pering, ngalor Wae Beci, ngalor Wae Mbeak. Wae Natu, Wae Waso, Tengku Kandok, Wae Pering ketemu di ngalor Wae Mbeak dan berakhir ketemu di Wae Nggorang, Desa Bajak, Kecamatan Reok. Wae Beci ketemu di jembatan Batok. Ulun (hulu) Wae Beci, wain Wae Mes. Wae Mes hilirnya ketemunya di jembatan Batok, Desa Salama.
Bukit.
Adapun nama-nama bukit di Gǝndang Ruis, antara lain: Golo Peri, Golo Kero, Golo Kantor.
Dataran.
Dataran atau bea-nya, yaitu Bea Bu'ar dan Bea Wunis.
Datum Lain.
Menurut Andreas Panto, di Wae Wua, Desa Sambi, Reok Barat. Ada batu tersusun seperti batu asah).
Kemudian,
Awal Mula Nama Kajong.
Di mata air Wae Kajong zaman dahulu, demikian Wenslaus Salo,
[Wenslaus Salo]
ada dua laki-laki jalan bersama di dekat mata air Wae Kajong. Yang satu sudah mempunyai isteri dan yang satu masih bujang. Tibalah suatu malam, yang masih muda kedinginan maka dia membuat api unggun. Tiba-tiba, yang satu tengah bersama isterinya merasa kegigilan. Ia pun lalu meminta yang satu itu tidur bersama isterinya, sedangkan dia sendiri menghangatkan badan di api buatan pemuda tadi.
"Ayo, kamu tidur dengan isteriku. Biar aku yang duduk di situ dekat tungku api!", seru lelaki yang sudah mempunyai isteri itu. Pemuda itupun mengamini saja. Salo menuturkan, belum diketahui siapa kedua lelaki itu.
Menurut Salo, di Wae Kajong dahulu ditumbuhi oleh pohon bernama Ajang. Lalu, karena kerap digunakan mereka pun menambahkan ka di ajang sehingga disebut Kajong saja.
Misteri Tak Terpecahkan.
Salo pun menuturkan, pada bulan 7 - 10 setiap tahun, setiap malam di Kajong sering merasa dingin. Dia mengatakan fenomena alam seperti itu hingga fenomena itu tak terpecahkan warga sekitar.
Foto dan sumber diabadikan, Kamis (28/9/2017) di Kampung Racang oleh Penulis.