Segala Sesuatu adalah Cerita
#Enok Tangur.
Sabtu, 21 November 2020 menghembuskan nafas terakhir di IGD RSUD Ben Mboi Ruteng.
Yang menarik dari kepulangan kekal saudara Enok adalah bagaimana sampai ia sempat bercerita lama denganku di ruangan IGD. Tampaknya, bukan suatu kepersisan tetapi suatu petunjuk di mana saya menceritakan kisah sebelum keabadiannya berlanjut.
Perjumpaan yang Tak Diduga.
Sabtu itu, saya melihat postingan dari saudara Remi Agut di FB, Paman Petrus Jemadi di Coal telah berpulang abadi. Kemudian, saya langsung menelpon ke kampung bahwa saya tidak bisa melayat. Alasannya, seorang pria asal Coal, Theodorus Tamat tengah dirawat di RSUD Ruteng. Ia dioperasi karena usus turun. Pria itu tak lain adalah Ema daku.
Setelah saya menelpon, saya diberitahu Mamanya Juang, handphone miliknya meminta kode PUK. Hp itu dipegang oleh Poping, putera kedua. Saya kemudian mengutak atik hp itu tetapi tidak bisa difungsikan. Tetap meminta kode PUK. Saya tambah pusing.
Lalu, saya mengambil nomor kartu hp yang satu, nomor dari sang Ayah dimasukkan ke hpnya Mama Juang. Setelah dimasukkan juga mengalami PUK. Nah, sudah dua nomor tidak berfungsi. Kemudian, saya memasukkan nomor saya ke hpnya Mama Juang. Hasilnya juga PUK. Saya memasukkan kode sembarang di dalam PUK yang diminta hp tersebut. Dalam kepusingan, 3 nomor kartu terblokir secara permanen. Saya coba mereset pabrik smartphoneku, hasilnya masih nihil. Di screen smartphone itu tertulis: Kartu Anda terblokir secara permanen.
Saya kemudian semakin pusing. Saya tidak bisa menghubungi siapapun. WhatsApp, Facebook, nomor kontak hilang semua. Semua nomor kontakku disimpan di Email Google. Itu artinya, saya harus membuka email, baru bisa memanggil kembali semua nomor di menu kontak smartphone. Dalam kepusingan itu, saya coba ke konter di depan Gereja Katedral Ruteng untuk membeli kartu baru tetapi tidak jadi membeli. Saya kemudian ke Kantor Telkomsel. Sesampai di sana, kantor tutup. Maklum hari Sabtu. Saya memang bertemu seorang petugas. Ia mengatakan hari Senin saja baru bisa mengurusnya.
Saya kemudian ke RSUD, melihat sang Ayah yang baru semalam dioperasi karena usus turun. Dari ruangan, saya ke IGD. Tiba di IGD, saya bertanya ke petugas. Saya menanyakan, apakah Bapak Petrus Jemadi sudah dibawa ke Coal? Petugas pria itu menjawab, sekitar Pukul 09.00 WITA. Bapak Petrus, katanya, meninggal jam 06.00 pagi WITA.
Saya kemudian meminta pamit ke petugas itu. Tampaknya petugas itu mengenal saya, sementara saya tak mengenal baik wajahnya karena memakai masker dan serban di kepalanya. Ia kemudian berkata: Om, jangan dulu balik, itu ada teman Om, Enok Tangur tengah dirawat di sini. Sembari ia menunjuk ke arah Enok Tangur. Saya kemudian terkejut. Mata saya melihat suatu yang aneh. Kepala teman Enok Tangur semuanya kehitaman. Penglihatan itu sepersekon. Ia telah menjadi mayat (rapu dalam bahasa Manggarai).
Saya kemudian menuju ke arah sampingnya yang tengah dijaga isterinya. Saya tak mau memberitahu apa penglihatanku karena pikirku tidak baik kukatakan. Nanti mereka kepikiran.
Perjumpaan Terakhir.
Nyaris 30-an menit kami bercerita. Saya bilang Om Enok sakit apa? Ia menjawab nyeri di semua dada. Saya bilang, Om Enok tampaknya tak lancar keluar angin (kentut). Angin itu tampaknya tersumbat di dalam, ia pasti naik ke dada. Ia mengaku dirinya memang tidak keluar angin. Keluar ke mulut juga sih tidak. Yah, mumpet di dalam. Ia kemudian mengaku, nyeri di dada kirinya sudah hilang tinggal sedikit di dada kanan. Ia lalu meminta isterinya menggaruk kepalanya. Setelah menggaruk kepalanya, ia menyuruh isterinya menggaruk dadanya.
Saya kemudian bilang, nomor saya diblokir secara permanen, makanya saya tidak bisa me-WA teman-teman. Teman Enok bilang, nanti saja. Ia kemudian menyuruh isterinya mengambil gambarnya melalui ponselnya untuk dikirim ke Kantor MNCTV Group tetapi kemudian membatalkannya dan meminta saya untuk mengambil gambarnya. Saya kemudian bilang, langsung saja kirim ke WA teman-teman sekarang. Ia bilang, sebentar saja.
Saya melihat mulut Om Enok sedikit bengkok ke kanan sekitar beberapa milimeter. Tetapi saya diam saja. Itulah cerita terakhir berjumpa dengannya di dunia nyata.
Saya kemudian pamit dan tiba di luar sempat bertemu dengan seorang mantan Kepala Tata Usaha SLTPN I Kuwus, Pak Anus. Isterinya juga masuk RSUD. Saya bilang ke Pak Anus, saya mau merokok tapi tampaknya dilarang petugas. Tetapi saya kemudian pamit ke ruangan di mana Ayah dirawat untuk mengambil kunci motor dan helm. Saya kemudian pergi membeli nomor ponsel baru di konter tepatnya di Persada.
Saya kemudian ke Kantor DPRD, di sana ada WiFI untuk membuka email dan mendownload semua aplikasi yang sudah direset pabrik. Saya ke sana karena kartu simpati baru yang saya beli, pulsa paketnya hanya 4GB. Pikirku, bila saya download beberapa aplikasi, maka data ini bisa hancur. Di nomorku yang diblokir itu masih banyak paket data, paket telepon dan paket SMS. Saya bisa memakai 15 GB untuk sebulan bahkan hanya 2 atau 3 pekan saja karena sering nonton youtube, upload dan download.
Ketika tiba di DPRD, saya bertemu seorang Satpam. Sayangnya, begitu WiFI didapat, saya lupa password email google. Nah, kian pusing. Saya tak bisa mendapatkan nomor-nomor ponsel dan juga beberapa aplikasi. Untuk membuka playstore, lazimnya membuka email terlebih dahulu. Pusingku bertambah karena pikirku, data 4GB akan cepat habis. Lagian kecil sekali. Saya membelinya senilai Rp40.000 sembari menunggu hari Senin, 23 November saya mengaktifkan kembali ponselku yang lama di Kantor Telkomsel.
Saya kemudian ke kediaman untuk mengambil password email yang saya sudah catat khusus dengan maksud agar tidak lupa. Memang tumben hari itu, saya lupa password email google. Yah, maklum sering diganti-ganti. Saya juga memiliki delapan email google ada, 1 yahoo, linkind, twitter, facebook ada enam. Jadi, tak mungkin menghafal 17 password yang dirubah-rubah manakala saya perlukan karena takut dihek orang. Belum lagi memegang password 2 ATM yang tidak ada duit di dalamnya.
Seusai membereskan email, WhatsApp dan Facebook saya kemudian ke RSUD untuk menjenguk Ayah sekaligus mencatat nomor ponsel dari salah satu Om yang satu ruangan dengan Ayah saya. Anaknya sudah dua pekan di RSUD. Sebelumnya, saya sudah mencatat nomor ponsel Om itu tetapi terhapus kembali. Saya telah menyimpan di email nomor itu tetapi kemudian hilang. Di email google saya, tampaknya hanya menampung nomor 1.360 saja. Saya memang tidak menyimpan di kartu SIM, memory internal smartphone juga di memory eksternal karena sering mereset pabrik smartphone. Tiba di RSUD, saya diberitahu Satpam, Om Enok sudah menjadi abadi. Saya pun kaget. Saya kemudian ke ruangan mayat. Betapa duka meliputi diri karena kehilangan seorang sahabat.
Mengantar Almarhum.
Kami pun mengantar jenazah Om Enok le Laci, Carep. Saya kemudian semotor dengan kawan Marten Don. Kami berdua tiba duluan di Laci, Carep.
Di perjalanan, kawan Marten menceritakan pengalamannya saat pulang dari Lengko Ajang bersama isteri dan anak-anaknya. Ia satu sepeda motor dengan kedua anaknya, sementara isterinya menggunakan travel.
Menurut kawan Marten, setelah melewati Lengko Ajang, ia menabrak seekor ular kecil. Kalaupun ia menabrak, ia hanya wada (mendaraskan pesan perjanjian) ke ular itu tetapi sembari berjalan. Belum beberapa meter ke depan, kabel kopling sepedanya putus. Beruntung, travel muncul dari belakang. Kedua buah hatinya ikut bersama Ibu mereka dengan travel menuju ke Ruteng, sementara ia dianjurkan membawa kembali sepeda motornya ke Lengko Ajang untuk diperbaiki.
Jenazah Menjadi Berat.
Tinggal beberapa meter menapaki rumah, jenazah teman Enok menjadi semakin berat. Ada empat orang membawa jenazahnya tetapi mereka mengaku sangat berat. Sebelum jenazah itu berat, ada sebuah bayangan hitam pekat menjemput teman Enok. Jenazahnya pun berat dan kemudian beberapa orang membantu mengantar ke dalam rumah. Begitu menyedihkan, listrik PLN pun dalam keadaan mati. Sebelum pulang, saya kemudian memberitahu Om Silve Nabar, untuk pamit di Om Enok dengan memberi wae lu'u ala kadarnya. Dan wada ke dia agar jangan ikut kami saat pulang. Saya kemudian bersama teman Marten Don juga Om Otwin Wisang pulang ke rumah masing-masing. Teman Marten mengantar kembali saya ke RSUD Ruteng.
Kons Hona.
Menurut kawan Kons Hona, ia sempat bercerita dengan konco Enok. Ia sempat menelepon beberapa teman.
Jadi, itulah nangga (tanda-tanda) sebelum keberangkatan teman Enok Tangur ke alam lain yang kami alami. Saya tidak tahu, apa pengalaman dari kawan-kawan lainnya sebelum keberangkatannya.
Selamat jalan kawan!