Gendang Carep sebenarnya berasal dari nama ‘racang cerep’. Kedua kata ini kemudian digabungkan menjadi Carep. Lazimnya, orang dewasa ini memanggil nama gendangnya sebagai Carep saja untuk mempersingkat dan tidak mempersulit penyebutan.
Pertama, racang. Racang itu sendiri dalam bahasa Manggarai lainnya disebut dali, watu dali, watu racang. Watu artinya batu, dali artinya asah. Racang lazimnya batu asah yang berwarna putih berupa karang, sedangkan dali berasal dari bebatuan endapan yang dihasilkan dari endapan magma gunung berapi. Intinya, racang artinya batu asah, batu gerinda.
Kedua, cerep. Cerep memiliki artinya yang sangat banyak, rani (pandai berkelahi, kuat, tajam ibarat parang
setajam silet), harat (amat tajam), mberes (kuat bertarung, bertenaga). Cerep dalam pengertian ritus perkawinan berarti sebuah perjanjian ‘angka’ dalam belis, sebuah kesepakatan untuk mempertajam (racang) hubungan kedua mempelai termasuk keluarga besar.
Dengan demikian, racang cerep berarti mempertajam angka, hubungan persahabatan, hubungan kawin mawin, hubungan pertalian dan hubungan kekerabatan.
Menurut sejarah singkatnya, Carep berasal dari Mandosawu, sebuah gunung sebelah barat Golo Lusang, tepatnya gunung di atas Kampung Leda dan sebelah baratnya lagi Poco Likang yang di bawahnya terbentang Bahong, Cumbi dan Wae Mbeleng. Keturunan Carep ini merupakan keturunan Juawone, titisan dari Kodalam yang yang berasal dari Turki.
Dalam perkembangan sejarahnya, keturunan Juawone tersebut berkembang pesat. Ada yang ke Manggarai Timur menuju Lamba Leda dan ada yang menetap di Carep. Sejarah Carep juga ada hubungan dengan perjanjian Pong Dode di Mano.
Hingga kini sebagai Gendang tertua, Carep memiliki tujuh gendang titisan. Masa Kerajaan dulu di Manggarai, Carep dikenal sebagai Gelarang. Dan Carep termasuk gendang yang menghasilkan cabang terbanyak (pati arit wingke iret—terbagi rata seturut berkembangnya keturunannya) dengan mana di Kabupaten Manggarai, Carep adalah gendang terbesar.
Sejak berdirinya Gendang Carep dari zaman baheula, Gendang ini memiliki catatan sejarah yang panjang. Datum yang dikumpulkan media ini, Gendang Carep sudah beberapa kali menggelar acara congko lokap. Sejarah kepedihan, faktor ketiadaan dana sehingga suatu ketika diperkirakan 20-an tahun lalu Gendang ini pernah dibangun namun pada tahun 2008 baru menggelar congko lokap sementara zing dan papannya rusak dan rapuh.
Berkat Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek (Tuhan Pencipta), 7 tahun kemudian yang rupanya mirip dengan 7 anak dari gendang tersebut diperolehlah rahmat itu di mana Kemenpenbud meluncurkan program revitalisasi rumah adat. Gendang Carep pun diplih oleh Disparbud Manggarai. Bak gayung bersambut, Gendang Carep semacam klimaks dari belaskasih Ilahi karena terpilihnya Gendang tersebut karena Gendang lain yang ditunjuk menolak.
Disaksikan media, pergelaran congko lokap Gendang Carep meski segelintir orang yang hadir namun aura ritusnya sungguh luar biasa. Kerbau yang hewan kurban yang disembelih tampak terbaring kaku tanpa diarahkan, tanpa komentar kepalanya bergerak sendiri ke mezbah (compang) setelah itu tidak bergeming lagi. Sungguh peristiwa penyembelihan hewan kurban yang tidak rumit.
Fakta unik lainnya, terpilihnya Gendang Carep sebagai Gendang Representasi penyerahan dan pemarafan prasasti juga pada posisi angka 7, ibarat angka keberuntungan karena Gendang Carep adalah Gendang yang ketujuh yang mendapat bantuan dari pusat untuk revitalisasi, yang sebelumnya Todo dan Wae Rebo kendati Wae Rebo hanya Niang. Wae Rebo pun hanya 7 Niang dengan nenek moyang pertama bernama Maro. Mirip Niang Todo, Carep pun memiliki banyak hasilan Gendang. (Melky Pantur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar