24/10/17

MATA MBƎRE

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Selasa (24/10/2017).

Anda pasti tahu apa itu mata mbəre? Lalu, mengapa dikatakan mata mbere?

[Coba perhatikan benda yang ada di kepala bagian kanan dari Pak Christ Rotok. Terlihat di dalam gambar ada dua orang pria tengah menghibur seorang yang rupanya berada dalam kesulitan].

Pertama, arti kata.

Mata mbəre adalah dua kata. Mata artinya mata (eyes), sedangkan mbəre artinya sebuah seruan (verbal expression). Verbal expression itu tampak dalam ungkapan: mbər e, that is flying! Dalam ekspresi kekejutan orang Manggarai diungkapkan dengan kalimat ini: Mbər kaka lelap hio ge, ho kat di – burung itu sudah terbang, barusan – the bird has flying, just now!

[Di sini tidak muncul. Persis gambar ini diambil oleh Penulis sendiri dan tidak ada dalam gambar kedua sebagaimana tampak dalam gambar sebelumnya. Rombongan Bupati di - nek cepa oleh ibu-ibu]

[Tengah bercengkrama dengan warga Koko. Keluwesan Pak Christ membuat warga suka padanya]


[Tampak warga Koko menyambut kehadiran Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok didampingi Wakil Bupati Manggarai, Dr. Deno Kamelus, SH, MH bersama Kasdim 1612 Manggarai, Marselus Sudirman, SH]
Kedua, disebut demikian.

Tak lazim mata (eyes) dapat terbang, yang diungkapkan dengan seruan ini: Mata mbər  e – those eyes are flying, now atau mata itu terbang, sekarang! Dengan demikian, inlogic sebuah mata dapat terbang. Mata yang lain oleh orang Manggarai disebut mata mbəre atau cahaya, terang, sinar seperti bulan kecil berwarna hijau sebesar bola buluh tangkis. Lalu, tidak jelas seruan kok mata mbər e menunjukkan nama dari sebuah benda.

[Tuak kapu baro cai atau reis/sapa]

Mata mbəre adalah benda yang lain berbentuk mata dan itu adalah tanda kehadiran roh-roh alam. Selain mata mbəre ada juga api ja dan londe. Mata mbəre, api ja dan londe semuanya bisa terbang. Mata mbəre  dapat tertangkap camera dan bisa berjalan pada malam hari atau siang hari. Sedangkan, api ja dan londe berjalan pada malam hari.

Kita bisa bandingkan mata mbəre berikut, seperti terlihat di atas kepala Pak Christ Rotok pada saat kunjungan ke Koko, 2 November 2010 Pukul 01.01 WITA disandingkan dengan mata mbəre yang ini – sebagaimana tampak dalam gambar.

[Gambar diambil oleh Albert Efendi, S.Fil., M.Pd., saat ritual We'e Kantor Panwaslu Kabupaten Manggarai, Senin (23/10/2017). Lihatlah wujud mata mbəre di lantai dekat pintu itu].

Lazim, pada saat ritus adat, mata mbəre tampak selalu hadir. Ketika Penulis bertanya kepada kepada orang di Koko pada saat itu, ternyata mereka menyimpan semacam uang logam dari nenek moyang yang kemudian menjadi ceca atau jimat yang terus disimpan generasi mereka. Ceca itu masih disimpan di Koko saat ini.

[Helang atau sesajian]

Di satu sisi, mata mbəre mirip gelembung Rahwana, seorang Raja Alengka Dirja dalam kisah Ramayana. Itu hanya kemiripan saja tetapi yang pasti mata mbəre adalah benda mistis dari alam lain yang tampak nyata di depan mata manusia pada saat-saat tertentu sebagaimana londe dan api ja.

Mata mbəre tidak harus disebut sebagai energi negatif tetapi merupakan tanda kehadiran suatu yang lain. 


21/10/17

SANGKULERONG.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Minggu (22/10/2017).


Setiap pria dalam hidupnya mengimpikan seorang 'nocanpermaidikara' untuk mendampingi hidupnya. Itu bukan angan-angan yang mudah. Untuk menggapainya, butuh perjuangan yang amat sangat. Nocan (nona cantik), permaidikara (permai artinya elok, indah dan dikara artinya indah atau mulia - permaidikara artinya elok mulia). Sang prigan (pria ganteng) tidak hanya membutuhkan paras si nocan yang elok tapi juga hatinya mulia.

Sebaliknya, seorang nocan dalam ziarah tapaknya amat membutuhkan seorang prigan intim. Prigan artinya pria ganteng, sedangkan intim (idaman hati yang menawan). Menawan tentu berdikara atau prigandikara. Dengan demikian, nocan membutuhkan sekali prigandikara.

Nocanpermaidikara dan Prigandikara Teks Manggarai.

Telah diulas di atas, apa itu arti etimologik dari nocanpermaidikara dan prigandikara. Teks Manggarainya, nocanpermaidikara lazim diungkapkan dengan perkataan ini: molas taran neho lasar pandang pacun lasar pau cait paling keta ranti gawas nain; leong neho bali belo woko lelo'ǝyǝh; kantis nain woko cabi, kancak taran woko labar ka'eng cama; inggos pion woko kilon; ombeng kondeng'ǝn toe ropes loken woko ka'eng po'e sangkulerong.

[Penulis]

Di sini, nocanpermaidikara adalah sangkulerong lawe lenggong. Lihatlah benang, tampak elastis, lembut dan bisa mengikat sesuatu dengan kain jahitan. Jarum ibarat sang prigandikara, benang adalah nocannya. Maka, nocanpermaidikara disebut lawe lenggong di mana seorang gadis jalannya lenggong, menyapu debu, menarik minat jantan persekitaran, menarik, menawan, menggoda, manis sehingga banyak prigan ingin memiliki 'atasanbawahannya'.

Lirik lagu sangkulerong, begini:

Sangkulerong, sangkulerong lawe lenggong
Tǝbang sunding, tǝbang sunding mane tana
Cala retang tǝnang naram ta weta
Neka weong ta weta
Mai cama dered'ǝh, mai cama nakad'ǝh
Tǝ mamur pa'it kasiyasi

Cai bombang beli, wa nanga
Wa nanga tuke talas'egah
Denge dere mane tana
Tau yembong anak lembu nain 2x

Sangkulerong, sangkulerong lawe lenggong
Tǝbang sunding tǝbang sunding mane tana
Cala retang tǝnang naram ta weta
Neka weong ta weta
Mai cama dered'ǝh, mai cama nakad'ǝh
Tǝ mamur pa'it kasiyasi


Sedangkan, prigandikara lazim diungkapkan: Nara bambas nain gawas; nara rǝba lema emas luju mu'un; lomes woko holes, pidik wiwitn, ler jern, podok tombon; nera bendarn, bombong tokon, roncak wongkan, geal tekar, leros embong'ǝn, landun naun'ǝn embong'ǝn nenggon. Itu adalah identitas pria yang cakep, berwibawa, mampu menghibur dan memiliki integritas diri yang sangat normatif bebas tetapi bertanggung jawab. Pria seperti itu yang menjadi incaran para nocan di mana pun. 

Itulah sedikit penjelasan tentang sangkulerong sebagai bahasa simbolik atau kiasan dari diri seorang isteri, bini. Isteri nama lain dari sangkulerong.

Sangkulerong terdiri atas dua kata, yaitu sangku dan lerong. Sangku adalah sontak yang digunakan oleh para ibu-ibu atau bapak-bapak yang kerap cepa (memakan sirih pinang) yang karena tidak bisa mengunyahnya maka terpaksa di-sontak (ditumbuk hingga halus) di dalam sangku. Sangku juga dapat disebut sebagai tempat untuk menyimpan tahang (batu kapur) untuk sirih pinang. Sangku sama dengan bako kope (sarung belewang). Sedangkan, lerong artinya selalu dibawa ke mana-mana. Kalau lerong sangku maka artinya membawa sangku ke mana-mana pun pergi. Sangku juga dapat diartikan sebagai tempat atau sarung dari pante yang berfungsi sebagai pengiris batang buah nira dari enau maka dikenal sangku pante. Namun jika disebut sangkulerong maka itu adalah ekspresi perhalusan untuk menyebut seorang isteri.

Sangku persis mirip dengan alu dan lesung. Tempat yang ditumbuk dari sontak itulah sangku, sedangkan ketika ada benda penumbuk maka keduanya disebut sebagai sontak. 

Diedit lagi oleh Penulis, Jumat (27/4/2018).


Penafsiran Makna Lirik Lagu Sangkulerong

1.1 Sangkulerong, Sangkulerong Lawe Lenggong.

1.1.1 Sangkulerong.

Sangkulerong adalah bahasa kiasan sebagai pengganti diri dari seorang isteri. Sangkulerong terdiri dari dua kata, yaitu sangku dan lerong.

1.1.1.1 Sangku.

Sangku adalah sebuah wadah untuk menyimpan sesuatu berupa kapur sirih, dapat juga diartikan sebagai sebuah wadah untuk menumbuk sirih pinang dan termasuk menyimpan pante berupa pahat untuk mengiris batang buah dari enau muda dengan maksud mengambil niranya. Lihatlah bagaimana peran isteri memeras isi air di dalam pelir yang disalurkan melalui penis sang suami sehingga alhasil keturunan pun berkeriapan.

1.1.1.2 Lerong.

Lerong artinya membawa serta, ikutdisertakan, mengikut serta, turut dibawa. Misalnya, membawa tas, membawa ajudan, membawa sesuatu yang bakal dibawa. Contoh kalimat: Lerong agu kope eme ngo yone uma le gula (tolong bawa serta dengan parang/belewang ketika hendak pergi ke kebun di pagi hari). Ibarat lawe (benang) yang senantiasa mengikuti arah jarum jahit. Ketika ada jarum, maka pasti dibawa serta dengan benangnya.

1.1.2 Lawe Lenggong.

Lawe artinya benang, sedangkan lenggong artinya cara jalan dari seorang puteri, perempuan yang cantik,  anggun, indah, elok, menawan, menarik perhatian sehingga membawa orang melihatnya melotot-melotot tidak pernah puas-puasnya dan maunya dimanjain. Lawe lenggong adalah bahasa kiasan yang memuji keelokan perempuan, keanggunan tubuhnya, meliak-liuk, elok, manis, rambutnya terurai panjang indah dan berparas cantik.

1.1.3 Maknanya.

Sangkulerong, sangkulerong lawe lenggong, artinya seorang isteri yang cantik menawan, rambutnya panjang terurai seperti elastisnya benang. Jalannya indah dan parasnya teramat menggoda.

1.2 Tǝbang Sunding, Tǝbang Sunding Mane Tana.

1.2.1 Tebang Sunding.

Tebang artinya meniup, sunding artinya seruling. Lazimnya, seruling ditiup pada senja hari untuk melipur lara sekaligus mengusir sepi yang tengah mengusik jiwa yang sepi.

1.2.2 Mane Tana.

Mane artinya senja, sedangkan tana artinya bumi. Mane tana artinya senja hari, petang hari. Mane tana adalah simbol kesejukan dan kemerdekaan. Mane tana juga simbol kepulasan, simbol ketentraman bahwa segala sesuatu ada batasnya, seperti Kidung Agung menulis: Segala sesuatu ada waktunya! Malam hari adalah waktu istrahat membebaskan dari upaya kerja keras mulai fajar menyingsing hingga sang surya menengok ciptaan Ilahi dari cakrawala di ufuk barat.

1.2.3 Maknanya.

Makna dari tebang sunding mane tana artinya seorang isteri yang tengah mengendong anaknya, dia begitu rindu pada suaminya. Dia merenung akan kehadiran suami di sisinya saat itu.

1.3 Cala Retang Tǝnang Naram Ta Weta, Neka Weong Ta Weta.

1.3.1 Cala Retang Tǝnang Naram Ta Weta.

Cala (mungkin), retang (menangis), tenang (rindu akan, mengingat sekali), naram (suami tersayang, saudara rusuk), ta weta (Yah saudariku, isteriku?). Dengan demikian, artinya mungkinkah engkau saudari/isteriku tengah merindukan saudara/suamimu saat sekarang ini?

1.3.2 Neka Weong Ta Weta.

Neka (jangan), weong (bersedih, merana). Dengan demikian, janganlah engkau bersedih saudariku/isteri tersayangku!

1.3.3 Maknanya.

Mungkinkah engkau isteri merindukan suaminya hai nona, jangan bersedih hai saudariku!

1.4 Mai Cama Dered'ǝh, Mai Cama Nakad'ǝh, Tǝ Mamur Pa'it Kasiyasi.

1.4.1 Mai Cama Dered'ǝh, Mai Cama Nakad'ǝh

Mai (kemari, ke sini), cama (sama-sama), dered (kita bernyanyi), nakad (menyambut kedatangan dengan gembira dan riang).

1.4.2 Tǝ Mamur Pa'it Kasiyasi.

Te (untuk), mamur (melupakan, menghilangkan rasa), pa’it (pahit, hidup yang pahit), kasiyasi (hidup lara, miskin, merana, melarat).

1.4.3 Maknanya.

Mari kita sama-sama bernyanyi dan menyambut kedatangannya guna menghilangkan rasa sedih di hati]

1.5 Cai Bombang Beli Wa Nanga, Wa Nanga Tuke Talas'egah.

1.5.1 Cai Bombang Beli Wa Nanga.

Cai (datangnya), bombang (air laut yang besar), beli (dapat membawa malapetaka, petaka, musibah), wa (di bawah situ, di bawah sana), nanga (muara, hilir dekat laut).

1.5.2 Wa Nanga Tuke Talas'egah.

Tuke (naik, menaiki, memanjat, panjat), talas (talas berasal dari kata tala atau denda yang juga dapat dimengerti sebagai memberikan sesuatu berupa misalnya belis dalam bentuk uang yang ditaruh di atas tikar yang tengah membentang. Nah, talas artinya menaruh di depan banyak orang di atas bentangan tikar dan talas adalah suatu perintah untuk menyimpan di depan di atas tikar yang telah dibentang di mana-mana orang-orang duduk melingkar seperti lonto leok dengan kaki bersila sopan. Air ombak besar (bombang) yang dapat membawa malapetaka menggulung-gulung ke muara daratan. 

Ombak besar yang tengah menaik dan menghantam seperti semburan air laut tsunami menuju daratan ke tepi pantai, Itulah yang disebut dengan talas. Bombang artinya gulungan air laut yang besar yang akan membawa malapetaka hingga ke daratan. Di muara ia naik dan menyembur rata ibarat membayar semua hutang-hutang atau tala dalam bahasa Manggarai. Sedangkan, 'egah adalah seruan kepastian permintaan.

1.5.3 Maknanya.

Saat ombak besar datang yang bakal menghantam daratan. Ia terurai seperti rambuat yang barusan diikat oleh ikat rambut dan ketika ia terurai, tersembur merata dapat menghantam apa saja di daratan. Maka, timbullah ketakutan dan kecemasan ibarat gulungan ombak tsunami yang menghantam daratan.

1.6 Denge Dere Mane Tana, Tau Yembong Anak Lembu Nain.

1.6.1 Denge Dere Mane Tana.

Denge (mendengar, mendengar cerita – orang), dere (menyanyi) di petang hari. Lazim, orang-orang di Manggarai senang berdendang (landu dan nenggo) di petang hari. Bahkan, mereka bernyanyi saat mengiris batang nira dari enau.

1.6.2 Tau Yembong Anak Lembu Nain.

Tau (bertanya tengah atau sendang), yembong (timang bayi), anak (anak, buah hati), lembu (menghibur), hati (hati, nyawa), nai (n) (hidupnya, nyawanya, hatinya).

1.6.3 Maknanya.

Mendengar lantunan dendangan lagu dari sesuatu ‘isteri’ tersayang dengan irama musik seruling yang indah di petang hari dengan maksud menghibur sang buah hati yang amat disayanginya.

1.7 Kesimpulan.

Dengan begitu, lirik lagu di atas dapat bermaksud sebagai ekspresi rasa cinta dari seorang isteri yang parasnya cantik menawan, rambutnya panjang terurai seperti elastisnya benang. Jalannya pun indah dan parasnya teramat menggoda tengah meniup seruling di petang hari sembari mengendong anaknya. Dia tampak begitu rindu pada suaminya. Dia merenung akan kehadiran suami di sisinya saat itu.

Lalu, ada suara lain yang berkumandang entah dari mana dan bersahut dengan maksud untuk menghibur dan kemudian bertanya mungkinkah engkau hai perempuan merindukan suamimu hai nona, tolonglah janganlah bersedih! Mari kita bernyanyi bersama-sama menyambut kedatangan’nya’ guna menghilangkan rasa sedih di hati. Saat itu, perempuan itu tengah meniup seruling di sore hari sembari menimang-nimang anaknya yang tersayang dan menghibur sang buah hati itunya.

Ketika ombak besar datang yang bakal menghantam daratan – ia terurai seperti rambut yang barusan diikat oleh ikat rambut dan ketika ia terurai, tersembur merata dapat menghantam apa saja di daratan. Maka, timbullah ketakutan dan kecemasan karena gulungan ombak tsunami besar yang menghantam daratan. Talas adalah gulungan ombak yang kemudian terurai merata.

18/10/17

Kisah Lampau Pela dan Resem.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Rabu (18/10/2017).

Cerita zaman lampau di Nuca Lale, Pulau Flores, ada dua orang di dekat Watu Alo. Nama mereka Pela dan Resem. Pela dan Resem memiliki kebun di dekat Watu Alo sebelum memasuki Poco.

Awal Kisah.

Suatu hari, Resem dan Pela berkebun. Kebun mereka berdampingan. Mereka berdualah yang pertama kali membuka kebun di sana. Konon, manusia bak onggokan perahu di bentangan samudera yang sangat luas kala itu.

Pada waktu itu pun, alam masih sangat perawan. Jamrud tengah merona membentang cantik nan ayu seolah-olah alam menghadirkan firdaus yang indah. Binatang melata, baik di darat maupun hewan di air berkeriapan. Lauk pauk berkelimpahan, kelezatan masih menjamu menyatu dengan manusia.

Tarik ke Awal Kisah......

Pada saat mau makan siang, Pela memanggil nama Resem. Demikian Pela memanggil: "Resem.........poli hau hang ko - Resem kamu sudah makan siang kah?". "Toe di ye Pela....belum Pela!", jawab Resem. Kemudian, Resem membalas: "Eng e, aku ba to'ong - Iya, saya bawa sebentar!", sahutnya lagi.

Malirupo.

Tidak lama berselang, Pela pun tampak di depan mata si Resem. Diperkirakan selang beberapa menit saja usai saling memanggil. "Ho'os bo hang so'o ge, hang dǝ ga - Ini saya sudah siapkan makanannya, ayo kita makan sudah!", Pela menawarkan. "Eng e, hang dǝ ga - Iya, kita makan zu!", balas Resem dengan polosnya lagian dia tengah laper buanget bolong itu.

Makan dengan Lahap.

Mereka berdua pun makan dengan lahapnya. Si Pela telah menyiapkan menu yang amat lezat berupa daging katak masak (nakeng pake alias nakeng ngerek).

Pamit Dadakkan.

Usai makan, si Pela pun langsung balik 360 derajat tanpa menunggu lama dari hadapan Resem. Bahkan, si Resem pun tidak sempat meminum air, si Pela kabur seketika. Demikian Pela beralasan: "Aku ge ngok ga! Ai manga cik sina uma agu nanang teing wae. Aku no wa kat'gǝh silin - Saya pergi sudah, banyak burung pipit di kebun dan saya juga mau mengairi kebun. Saya ikut ke bawah ini saja!". Jawab Resem: "Eng ge, wali di'as tǝlatang hang dite bo ga - Iya sudah, terima kasih atas makanannya tadi!". Si Pela pun mengikuti kali di bawah kebun itu dan tidak begitu lama langsung menghilang. Hilang seketika saja. Si Resem pun merasa heran karena dalam sekejap saja, si Pela menghilang. Dia bertanya-tanya di dalam pikirannya: Ada apa ini?

Kemudian, tidak lama berselang.............

Matahari pun hari kian menukik ke arah Barat di sebalah onggokan bukit Golo Watu dan Golo Bilas. Sedikit sengatan panasnya agak menyegar bugar karena agak menepi ke ufuk Barat. Tak pelak, Resem yang dalam kecapaiannya pun kian tidak bersemangat lagi karena terus memikirkan apa gerangan dengan si Pela kok sekejab saja terhalau dari kelopak matanya saat itu. Ia menghilang laksana tiupan angin kencang.

Bertolak ke Gubuk.

Temba golo leso sale - surya kian condong ke arah Barat, memerah padam tampaknya. Mereka pun segera bergegas ke gubuk. Waktu mau mau berbalik, Resem memanggil si Pela: "Pela.....mai ge, we'er ga - Pela, mari sudah, kita pulang!". "Eng e, gereng eta Resem - Iya tunggu di atas sana Resem!", Pela membalas sahutan.

Tiba di Kebunnya Resem.

Resem langsung menyambar dengan sahutan: "Pela, engp ta dǝ, lako dǝ hau bao haer lako dǝ buru warat poli kat ba hang agu hang sio bo, toe kat di wa hang ga, lako  kat'ǝh koleh ga - Pela, aduh kamu jalan tadi ya, cepat sekali seperti angin topan saja. Barusan makan selesai, kok langsung cabut lalu dalam sekejab mata saja tak terlampaui mataku!". "Aeh, toe keta manga ba hang gaku bao mai. Sili uma kig'ǝh aku bao main, reme riang pǝti agu teing wae - Aduh, saya tidak pernah membawa makanan kepada Anda tadi. Saya masih di bawah kebun lagi menjaga burung pipit dan mengairi kebun!", balasnya. "Asi ge Pela, asi kat dǝ do tombo ga. Lakor ga, cai sina kat di pong tombo laku - Sudah, tidak usah diomongin dulu. Sampai di sana baru saya sampaikan kepada Anda!", heran si Resem semakin menyekapnya dalam kemurungan yang kian menjadi-jadi.

Tiba di Tempat Berteduh.

Resem lalu mengajak si Pela untuk berhenti sejenak, katanya: "Asi di ta Pela, aku manga tombo ge - Berhenti dulu Pela, saya mau omong sesuatu dulu pada kamu!". "Co'o ta - Apa ya?", Pela penasaran. Resem kemudian menanyai Pela, katanya: "Pela, tu'ung keta toe hau hot ba hang aku bao leso ko - Pela, apakah betul bukan Anda yang membawa makan ke saya tadi siang?". Jawab Pela: "Ta de, co'op tara palin laku e. Toe aku hitu bo - Yah, untuk apa saya menipu kamu. Bukan aku itu tadi!". Lalu, Pela mengatakan: "Ole darat hitu ta - Aduh, itu kuntilanak tadi!", katanya. Resem menyekap mulutnya dengan kedua tangannya sembari terheran-heran, sahutnya: "Ole, tu'ung eme nggitu ta - Aduh, betul kalau begitu sudah!".

Kemudian daripada itu........

Atas peristiwa itu, nama Resem dan Pela pun oleh generasinya menjadikan nama mereka sebagai nama tempat Resem atau Pela sekarang ini sebagai peringatan akan mereka berdua setelah menceritakan kisah itu kepada anak cucu mereka. Hanya saja, kisah selanjutnya belum diketahui persis tapak tilasnya.



17/10/17

Ritual Manuk Cǝpang Karong Salang Wae.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Selasa (17/10/2017). 


Nama Ritual.

Salah satu ritual orang Manggarai selain ritual-ritual lainnya adalah 'manuk cǝpang karong salang wae'. Ritual tersebut akan dilakukan ketika saat mengalirkan air ke ladang-ladang, lahan sawah-sawah pertanian dan perkebunan mereka.


Nenek moyang orang Manggarai sebelum mengalirkan air dari kali ke ladang mereka diawali dengan ritual takung. Hal itu dimaksudkan agar 'toe babang agu bǝntang lǝ yata ngara tana' kemudian air yang diambil membawa berkat bagi pemilik ladang di mana air itu mengalir dan memberi kehidupan.

Toe babang agu bǝntang maksudnya, setiap air yang mengalir diatur oleh alam dan atas kehendak Yang Mahakuasa semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Dipercaya, air yang diambil dari kali sangat berpengaruh terhadap kehidupan di sekitar kali tersebut terutama parit yang dibuat merugikan makhluk lain. Disadari seperti binatang yang dapat berbicara dengan manusia berupa aji gening tidak memyukai perbuatan mereka sehingga mereka mengeluh bahkan termasuk oleh roh alam dan pemilik dari makhluk-makhluk tersebut.

Maka dibuatlah ritual tersebut agar boto rǝnco ngalor atau kalinya longsor sehingga airnya kerap terganggu untuk mengalir ke tempat yang seharusnya dituju. Karena itulah, digelarlah ritual rekonsiliasi dengan alam. Ekspresi orang Manggarai menunjukkan kebersatuan dengan alam tampak dalam ungkapan: toe hanang ite kanang ka'eng yone nuca, kaka agu sanggen kat caoca gǝjur mese dǝ Mori Jari Dedek manga rajan tara labar yone tana yitu tara bantang cama boto babang agu tala wiga mangan campang tae lasa yone bǝrambang agu gala, bǝtin yone wǝki, tepar yone le'as, hǝrut yone tǝngu, kǝrkutuk yone wuwung, bǝnta tuju weong ejor pangga wakar, gonggem mose - bukan manusia saja yang tinggal di bumi, semua makhluk yang merupakan ciptaan Ilahi ada maksud mereka hidup dan karena mereka menjadi korban demi manusia maka harus meminta maaf terutama Roh yang berkuasa atas mereka agar manusia diberi berkat, sakit dan penyakit pun terhindari.

Ada beberapa hal, penggalian sebuah parit merusak kehidupan di sekitar parit tersebut maka agar mereka tidak marah terutama pemberi kehidupan bagi makhluk tersebut orang Manggarai sadar bahwa harus dibuatlah ritual meminta maaf. Ritual tersebut sama seperti ritual ngǝlong atau takung.

Benda Ritual.

Ada beberapa hewan kurban yang diperlukan dalam ritual tersebut berupa manuk lalong cǝpang wulu telu, mbe kondo atau mbe ruca dan ǝla balo. Sebelum semuanya dilakukan diawali dengan ritual tuak laing atau ngǝlong baro di mana Tuhan dan roh leluhur dipanggil menyaksikan ritual itu sekaligus memberi berkat atas terlaksananya ritual tersebut. Benda yang digunakan adalah telur ayam kampung (ruha manuk kampong)

[Seekor babi balo disembelih di bendungan. Darahnya dibiarkan menetes dan masuk ke mengalirnya air. Darah tersebut sebagai peringatan dan rekonsiliasi dengan alam]

[Tak pelak, mbe kondo atau mbe ruca pun dipersembahkan di situ agar air itu mengalir tanpa ada halangan]

Ritual tuak laing dilakukan di bendungan lalu diikuti dengan disembelihnya mbe kondo dan ǝla balo. Ritual puncaknya adalah menyembelih lalong cǝpang. Lalong cǝpang di-torok di bendungan lalu setelah didoakan, ayam jantan itu dibawa bersama rombongan ke ujung di mana air usai digali. Ayam jantan tersebut baru disembelih di ujung dari di mana parit atau kali itu digali. Ritual itu disebut sebagai: lalong cǝpang karong salang wae.

[Air mengalir seperti di relung palungan]

Ayam itu dibawa hingga ke ujung penggalian irigasi ini oleh juru kunci ritual. Hal itu dilakukan karena ayam itulah yang akan menunjuk jalan air itu ke depannya dan tetap seperti itu.

Manuk lalong cǝpang tersebut akan disembelih di sini. Dibuat di sini agar airnya tetap mengalir di masa depan. 

Tujuan Ritual.

Adapun ritual karong salang itu agar air itu tidak terjadi mǝna ali cǝngkang, do'ong ali ronggo, caka lǝ watang, tadu lǝ watu, culǝng neho kumpǝk - tidak terhalang oleh batu, kayu dan daun-daun saluran airnya. Dengan dibuatnya ritual tersebut semua pekerjaan itu akan sukses. 
Intinya air tersebut akan mengalir tanpa ada halangan dan lebih lagi tidak tertutup lagi dengan tanah dan benda apa pun juga.

Istilah yang dipakai oleh para leluhur hingga generasi masa kini, yaitu agar jangan goro tonggong, raga tana, lur agu lus pumpuk, gak pematang, ronco golo - bukit, lereng dan pematang di mana air itu mengalir longsor dan jika demikian air tidak lagi mengalir ke jalur yang semestinya.

Arti.

Di sini, ǝla balo yaitu babi hitam berwarna putih. Itu adalah simbol warna bumi dan segala sesuatu apa pun di dalam tanah. Itu adalah simbol roh pelindung. Ketika ada yang mengganggu maka babi itu yang akan menghadang sehingga disebut bosuk nǝho kinay. Mbe kondo atau mbe ruca adalah simbol pelindung bumi dan terlebih lagi air yang mengalir melompat-lompat seperti kambing atau tekar nǝho mbe. Lalu, manuk lalong cǝpang wulu tǝlu di mana warna buluhnya ada tiga jenis yang mana itu simbol Yang Mahakuasa sebagai pemegang seluruh tatanan kehidupan. Cǝpang wulu tǝlu adalah simbol kemahakuasaan Trisuci.

12/10/17

Tour to Golomori.

[Come to Golomori. This is a first step went to there, onfoot]

[Mr. Dedy Naka and Mr. Melky Pantur]

[Togetherness come to us at that time]


[Drop under the tree]

[Lenteng, Mulo strait and Rinca Island. I had taken a picture from Lenteng]

[Lenteng as a tiny village]

[The top of Golomori when taken a picture from Jarak] 

Golo Mori or God Hill. Golo Mori is a Manggarai language where the first man be created, come to this world. Golo or Hill, Mori or God. This place is a history place where according to the Golomori people, especially Ndewa clan. 

They were born from the Spirit, that be claimed as a heaven Spirit. They are the source of Manggarainese history. And, they have an unique history about the man creation. The Ndewa clan can be claimed as a first man who come to this world, before Adam and Eva come to this world as of written in Old Testament.

But this place not popular, just little man who know this place and their history. If we come to there, we can feel an extraordinary strength or power of that mountain. If you don't believe, spend your time to know that place, please!

This place is located in Labuan Bajo, West Manggarai Regency, Flores Island, NTT - Indonesia country. And, this place is not far from Rinca Island and Komodo Island. Just 3 kilometers from Lenteng beach. And Lenteng beach just one hour by boat from Labuan Bajo beach. You can flying by a plane from your country to Labuan Bajo airport. Thanks.

[This is an information about that historic place and of course have many versions to expline the identity of that place!]

Jati as a tiny village. Those peoples used the buffalo as a modal of transportation.

[This is one of angle of Golomori]

[This is a potret of the Golomori at that time]


"Take your time, you will see the beauty of that trip".  
Our trip, on November 24, 2012.

Take your time, you will see the attractiveness of that trip! That is a nice trip place for your trip experience and that is you yourself book of life.

Come on, come over there......!!!

Written and posted by: Melky Pantur***, on October 12, 2017. 

Lodok di Golomori.

[Indahnya lodok tua di Golomori yang ditinggalkan]

[Tampak lodok di Golomori terlihat oleh googleearth]



Perhatikanlah, ada lodok di Golomori di bagian barat dari persawahan orang-orang Jati dan persis bagian utara dari kampung Jarak. Benar informasi yang pernah didengar oleh Penulis tahun 2012, ada Niang bahkan Gendang dulu di Golomori.


[Ini jalur dari Lenteng ke Jarak lalu Jati kemudian menuju Lo'ok]



Foto: googleearth.

11/10/17

Hambor Ase Ka'e Wǝki Bentuk Rekonsiliasi.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Rabu (11/10/2017).

Salah satu ritus rekonsiliasi orang Manggarai adalah hambor ase ka'e wǝki. Ada dua jenis hambor ase ka'e wǝki, yaitu hambor ase ka'e wǝki de ru dan hambor ase ka'e wǝki de wina rona. Hambor ase ka'e wǝki de ru lazim dilakukan oleh anak-anak masih muda atau masih mudi. Sedangkan, hambor ase ka'e wǝki de wina rona adalah rekonsiliasi ase ka'e wǝki ketika dua manusia sudah menjadi suami-isteri. 


[Potret acara takung ase ase ka'e wǝki dǝ wina rona]

Ritus takung ase ka'e wǝki suami-isteri maksudnya untuk mendamaikan hati kedua mempelai atau suami-isteri. Pemahaman ase ka'e wǝki orang Manggarai agak sulit memang dipahami oleh orang awam. Ase ka'e wǝki jika diterjemahkan secara lurus berarti adik kakak badan. Salah satu adik kakak dari badan adalah plasenta (mbau). Selain sebagai mbau, ase ka'e wǝki juga adalah Roh. Kerap disebut dengan ungkapan: Toing  ase ka'e wǝki! 

Pemahaman soal eksistensi ase ka'e wǝki memang amat abstrak sekali sifatnya karena keberadannya sangat misteris. Meski dianggap amat misteri, kepercayaan orang Manggarai, toe takung ase ka'e wǝki akan berdampak pada sulitnya seseorang mencapai kesuksesan karena rezeki dan damai dihalangi ketika tidak dilakukan. 

Bila hambor ase ka'e wǝki dilakukan oleh seorang pemuda atau pemudi, maka tujuannya agar cepat mendapat jodoh termasuk langgeng dalam urusan pekerjaan. Manakala dilakukan oleh pasangan suami-isteri (pasutri), tujuannya jelas cepat mendapat momongan atau ketika sudah ada momongan kehidupan rumah tangga jauh dari malapetaka, nasib baik senantiasa meliputi pasutri dan anak-anak mereka. Hal itu dilakukan agar senantiasa di dalam perlindungan Yang Maha Kuasa.

Jika sudah ada rencana atau kiat yang tulus namun belum bisa dilakukan, berlakulah istilah toe di haeng kawe, repeng pede. Intinya, takung kut hambor ase ka'e wǝki adalah medium rekonsiliasi agar mencapai kesuksesan dan kesejahteraan dalam rumah tangga. Lebih lagi, capus pa'u randut, wentar benta gelang lǝ Dewa, cakas labang ali da'at, teing cebo lewe mose nai. 

Agar diketahui pula, hambor ase ka'e wǝki sama persis dengan ngǝlong rimu po'ong agu weri, takung naga mbaru, takung naga golo. Ketika dibuat ritus rekonsiliasi saat menanam baik terhadap hewan di dalam tanah maupun terhadap tetumbuhan dan agar Tuhan menjaga jerih payah mereka, maka saat panenan dilakukanlah pǝnti. Sama hal pula dalam ritus wuat wa'i dan caca selek.

Benda-benda Ritual Takung Ase Ka'e Wǝki Wina Rona.

Ada pun benda-benda yang digunakan dalam ritual rekonsiliasi tersebut yang mesti dipersiapkan, di antaranya:

Pertama, telur ayam kampung.

Seseorang yang disebut sebagai juru kunci dibuatnya sebuah ritual rekonsiliasi tersebut memerlukan sebutir telur ayam kampung. Telur atau bahasa lainnya adalah tuak. Tuak tersebut diritualkan di depan pintu rumah. Setelah itu, barulah pasutri masuk ke dalam kamar tidur.

Kedua, kapur sirih pinang.

Ketiga benda tersebut (kala, raci agu tahang) wajib ada. Namun, daun sirih tidak boleh diambil sembarangan. Ada daun pilihan dengan syarat-syarat tertentu. Daun tersebut dijadikan sebagai alas atau piring untuk hang helang atau sesajian. Hal itu lazim hanya diketahui oleh juru kunci.

[Sirih pinang]

Ketiga, ayam.

Ayam lazim ditentukan berdasarkan penglihatan dalam mimpi atau berdasarkan titah dari juru kunci.

[Cepang wulu telu dipersembahkan di dalam kamar untuk meminta beka agu buar]

Tidak hanya di dalam kamar, akan ada lagi ayam jantan putih yang akan dikurbansucikan di ruang tamu rumah. Ayam tersebut pun di-torok atau didoakan oleh juru kunci pada saat itu.
[Ayam didoakan dengan menyebut nama Tuhan]

Ayam jantan putih tersebut harus di-torok atau didoakan dengam menyebut nama Tuhan. Hal itu terlihat dengan jelas dalam nada kidung Parn Awo Kolepn Sale. Artinya, Tuhan Yang Kuasa. 

[Ayam disembelih sebagai kurban suci]

[Darah kurban]

Dari darah hewan suci korban itu dan dari percikan darah ini di piring terlihat keturunan yang bakal menghiasi pasutri.

Keempat, rokok dan tuak.

Rokok, sopi atau tuak wajib dipersiapkan pada saat ritual berlangsung. Hal itu sebagai bentuk penghormatan sebagaimana lazim dilakukan leluhur saat masih hidup di bumi.

[Tuak, sopi atau bir dan rokok wajib dipersipkan pada ritual berlangsung].

Kelima, parang.

Hal itu tergantung kemauan anak rona. Nantinya, parang tersebut akan di-wali atau dibayar oleh anak wina. Anak wina yang menerimanya wajib menyimpan parang tersebut dengan baik.

[Parang widang atau hadiah dari anak rona tǝ caka bǝrambang, kumbu wuwung, ndorik toni, losis nggorik, cǝcaks cǝngkang, capu napung, weset seleng]

Parang sebagai simbol penjagaan diri, kekuatan, keberanian, kemahakuatan, dan berkat akan seorang putera yang bakal mewariskan idea kedua orang tua di masa depan. Tentu saja, pemberian itu perlu dihargai atau kerap disebut wali rang mese de anak rona.


[Wali di'a rang mese dǝ anak rona - memberikan tanda terima kasih atas berkat kekuasaan dari keluarga isteri yang diserahkan seorang laro tombo dǝ anak wina]
Kemudian, laro jaong dari anak wina akan menyambut kedatangan sang juru kunci dengan permisi dulu kepada penjaga rumah dan kampung. Inilah yang disebut dengan wali gawas di'a dǝ ine ame.

[Kapu gauk de Morin melalui juru kunci]

Materai.

Darah ayam jantan yang disembelih di dalam kamar harus dimaterai di jari telunjuk dari pasutri. Halnya pada saat cear cumpe harus dimateraikan di dahi anak yang dibaptis dan di jari kaki telunjuk kedua orang tua.


Juru kunci (ata tudak) melakukan pemateraian di jari telunjuk pasutri. Dan, tampak Keraeng Fortunatus Hamsah Manah menerima materai berkat dari wura agu cǝki sebagai tanda dimulainya rekonsilisi.

Toto Urat.

Untuk mengetahui apakah ritual tersebut berkenan kepada Tuhan dan leluhur (wura agu cǝki), maka dibuatlah toto urat (melihat usus ayam) sembelihan. Apakah terlihat bombong pesu langkas maja? Seorang juru kunci akan memberitakan kabar terkait ritual tersebut.


[Melihat usus dan empedu ayam korban]

Wali Urat Di'a.

Juru kunci kemudian menunjuk urat tersebut baik, maka ada istilah wali urat di'a. Wali urat di'a berupa memberikan sumbangan kepada juru kunci tanpa paksaan. Wali urat di'a tersebut diberikan oleh juru kunci kepada anak rona lain di sampingnya sebagai bentuk keikutsertaan dan persaudaraan. Wali urat di'a tersebut pembagiannya pun lazimnya sama rata atau tergantung teksnya saat itu. Wali urat di'a bentuk kontribusinya tergantung. Dengan berkembangnya zaman yaitu adanya alat tukar yang sah berupa uang, maka uanglah yang dipakai.

Catatan: Gambar dan ritual pada Sabtu, 7 Oktober 2017.