28/08/17

KEHIDUPAN.

RUPA-RUPA PELIKNYA KEHIDUPAN: CERITA DI BALIK KEMEGAHAN DUNIA DAN MISTERI ROH SEMESTA

Sikap yang baik tanpa teleng aling-aling adalah celengan tabungan kehidupan berkah Roh Semesta yang ampuh, yang akan diterima secara tidak terduga pada akhirnya***.

Melky Pantur
_____________________________________________________

“Kehidupan adalah ziarah kewajiban. Dalam ziarah itu, tiap-tiap apapun hadir dengan maksud menyelesaikan tugas tertentu. Seorang anak laki-laki ataupun perempuan dihadirkan ke bumi. Seseorang dipanggil untuk menjadi arsitek, Imam, jurnalis, kontraktor, pemimpin dan lain sebagainya untuk melaksanakan kewajiban. Setiap yang sudah usai ziarahnya dinyatakan melalui usia tua dan akan dimudakan lagi dengan kehadiran yang lainnya. Seakan tidak berkesudahan kecambah-kecambah muda itu terus bertumbuh silih berganti di atas permukaan bumi”, demikian guman seorang pria muda di dalam hatinya saat duduk di atas sebuah batu di puncak sebuah gunung yang tinggi yang terjal sembari matanya menatap panorama yang indah lereng-lereng gunung persekitaran dan hamparan hijau menjurus ke tepi pantai dengan deburan air laut samudera yang tengah bergelora.

“Selain itu, tiap tugas ziarah memiliki cerita tersendiri dengan lakon tersendiri pula. Terkadang, orang yang lahir dari berbeda benua bisa bertemu di sebuah kantor dengan profesi yang sama. Orang asing yang tidak pernah dijumpai, bisa menjadi suami atau istri. Oh, rupa-rupa kehidupan. Seperti air mengalir ke tempat yang rendah lalu ketika penuh pindah ke tempat yang rendah lainnya seakan berlalu begitu saja. Hari terus berlalu seiring dengan berlalunya pula perubahan di atas bumi. Kendati sangat benar apa yang dikatakan orang bahwa perbedaan di dunia sebenarnya hanyalah perbedaan jumlah”, lanjut pria muda itu sembari tetap merenung.

“Oh, sungguh sangat pelik kehidupan ini belum lagi saat sekarang, ada yang sedang tertawa, sedang berpesta, ada yang tengah menangis, ada pula yang tengah terkena stroke dan sudah lama menderita. Yah, nyaris tak jauh berbeda dengan perkataan Pengkotbah saja”, gumannya lagi dalam hati sembari melempar-lempar batu kerikil ke persekitaran sisi gunung itu.

“Lalu, uniknya lagi semua rupa dan model akan berlalu seiring pula dengan berlalunya masa. Sungguh ibarat gajah meninggalkan gadingnya dan orang-orang hidup hanya meninggalkan nama dengan peran masing-masing. Benar juga perkataan orang-orang, dunia adalah panggung sandiwara”, lanjut gumannya sambil bercucuran air mata.

Ditengah kepedihan hati pria itu, tiba-tiba muncul seorang pria tua dan dua orang pria parubaya dari berbagai sisi bukit terjal itu. Seorang pria tua lalu bangkit dari persilaannya dengan berkata: “Hai anak muda, kami telah mendengar gumanmu. Sama seperti engkau yang telah melempar kerikil-kerikil batu ke arah yang tidak jelas kendati engkau hanya melempar untuk menemani permenunganmu, namun telah mengenai kepala kami hingga kepala kami bercucuran darah. Ketahuilah, engkau anak muda, memang kau tidak bersalah dalam hal ini karena engkau tidak mengetahui bahwa kami berada di tempat yang kau lempari tetapi dalam ketidaksadaranmu engkau telah melukai kami. Yah, engkau tidak bersalah. Sama seperti seorang nelayan yang menangkap ikan tengah malam di tengah laut dan melemparkan jalanya untuk menangkap ikan-ikan tersebut sementara nelayan itu tidak tahu bahwa salah satu dari ikan yang dijalanya memiliki ribuan butir telur yang siap menetas menjadi ikan-ikan kecil dari dalam perutnya untuk melanjutkan generasi mereka. Jika, dari miliaran ikan yang ada di tengah laut hanya itu yang betina dan sedang bertelur sementara sudah ditangkap dan selainnya adalah jantan, tentu berakhirlah ikan-ikan tersebut sebab generasi mereka telah punah tetapi Yang Mahakuasa tahu bahwa hal itu tidak mau dibuat-Nya yang memang bisa dilakukan-Nya. Begitulah kehidupan”, sahut pria tua itu sambil menghampiri pria muda itu dengan mengelus-elus rambutnya dan membelainya dengan lembut bak mempelai pria yang baru menikah membelai mempelai wanitanya di pelaminan dengan penuh kasih sayang.

Pria tua itu kemudian kembali berkata: “Janganlah sedih hatimu tuan muda karena perbuatanmu yang tidak sengaja itu akan melahirkan perkara-perkara baru. Setiap perbuatan apapun akan melahirkan perkara yang lain, entah dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar. Ketahuilah, janganlah engkau tangisi alam dan seluruh isinya tetapi lihatlah bahwa itu tampak karena kedua bola mata telah melihat hal itu. Semua itu adalah bumbu-bumbu lezat dan adonan-adonan enak untuk mata dan rasa kenikmatan semata pada saat sesuatu itu terjadi. Sebelum dan sesudahnya hanyalah jalan pencapaian, baik sebelum dan sesudah direnungkan. Ketahuilah pula, bukan kamulah yang telah berkata-kata di dalam hatimu yang juga turut mempengaruhi pikiranmu tetapi Dialah yang telah hadir kepada kamu agar apapun menjadi hidup lebih hidup”, wejang pria tua sambil mengangkat jarinya menunjukkan indahnya alam persekitaran kepada pria muda tersebut.

Salah satu dari kedua pria parubaya yang menguping pembicaraan pria tua itu pun kemudian berkata: “Pria muda, kamu telah melihat apa yang ada di depanmu. Semuanya itu indah pada waktunya. Kamu juga belum tahu, bukit permenungan ini akan menjadi sebuah tanda dan pada suatu saat akan berguna bagi saudara/i, sahabat kenalan dan handaitaulan di mana pun mereka berada karena dari atas bukit ini Dia akan mengangkat belaskasihan-Nya kepada semua manusia untuk menata dunia ini menjadi dunia yang baru, baik suka maupun duka seturut pengertian yang diberikan kepada manusia. Jika puncak gunung yang kau injak ini tidak menghasilkan buah yang ranum, maka dunia tidak akan berubah. Ketahuilah setiap perubahan butuh pengorbanan, sama seperti seorang pemahat kayu tidak bisa menghasilkan patung yang indah yang layak dijual dan laku di pasaran internasional, manakala kayu pahat tersebut tidak telah mengorbankan tetumbuhan di sekitarnya saat dipotong sebagai sebuah pohon yang tumbuh tegak di tengah belantara bahkan sarang burung yang memiliki telur di dalamnya pun yang persis berada di tengah ranting-ranting pohon itu saat dichainsaw turut menjadi saksi sebuah perubahan. Ingatlah, pahatan kayu yang membentuk gambar yang indah yang dipajang di ruang tamu istana-istana kerajaan dan negara adalah sebuah seni, seni yang telah mengorbankan yang lainnya. Dunia kerap berkumandang demi kebaikan, kebaikan juga butuh pengorbanan meski hal itu entah sadar ataupun tidak sadar. Semua hal itu berjalan seperti angin yang tidak tahu dari mana datangnya dan ke mana angin itu bergegas ke arah yang lain yang disukainya. Kami akan menunjuk tempat lain yang indah kepadamu di mana engkau berkuasa kelak dan yang tidak pernah engkau bayangkan dan pikirkan sebelumnya. Di tempat tersebut, engkau akan memimpin bangsa-bangsa, dan negeri itu, rakyatmu penuh dengan akan kemakmuran”, banding pria parubaya itu dengan hati yang lembut dan manis.

Selang jedah yang begitu singkat, setelah salah seorang pria parubaya yang telah meneguhkan hati pria muda itu, pria parubaya yang tengah berdiri di samping mereka bertiga dengan sigapnya mengangkat tinggi jauh lengan pria muda itu bergegas jauh dari puncak gunung itu ke puncak gunung yang lain yang lebih nyaman namun dapat melihat dengan jelas peristiwa apa yang sedang berlangsung di depan matanya.

Letusan yang dahsyat pun terjadi, lahar-lahar panas dari sumber magma yang jauhnya 500 kilometer di bawah perut bumi tersembur keluar. Langit menjadi gelap, lereng-lereng gunung yang tadinya jamrud dengan bentangan dataran yang tadinya hijau menawan menenangkan sejauh mata memandang berubah seketika menjadi lautan debu vulkanik yang meranggaskan segala sesuatu. Buah-buah yang tengah ranum, belalang yang tengah kawin, katak yang tengah mengeluarkan ratusan telurnya dari dalam rahimnya, burung yang tengah bersiul indah, udang-udang di kali yang tengah bermesraan, ikan-ikan yang larut dalam gelora cinta asmara, dan bunga-bunga cantik yang tengah bermekar dalam sekejab berubah total menjadi tanah ratapan, tangisan dan air mata. Tak ketinggalan, anak-anak kecil, orang-orang muda dan orang-orang tua, para-para tetua kehilangan harapan mereka. Orang-orang yang tinggal di dekat puncak gunung tersebut menjadi sedih.

Lalu, lagi pria tua itu kemudian berkata kepada pria muda itu: “Hai anak muda, lihatlah! Engkau telah melihat apa yang barusan terjadi. Apa yang kau pikirkan tentang alam ini? Bagaimana perasaanmu?”, pria tua mengangkat tangan kanan anak muda itu dengan memerintahkannya menunjukkan jari telunjuk tangan kanannya ke tempat apa yang sudah terjadi.

Pria muda itu pun diam tepekur. Dirinya menyaksikan segala apa yang telah terjadi di depan matanya. Seluruh apa yang telah dilihatnya seakan-seakan terkesima laksana dalam sebuah mimpi saja. Pria muda itu pun terheran-heran.

Ibarat di alam peri, pria tua itu menyuruh pria muda itu meminta sesuatu untuk menyembuhkan apa yang sudah terjadi. Jawab pria muda itu: “Terima kasih, maaf Tuan! Aku mau supaya lautan debu vulkanik yang menutupi dedaunan hijau yang tidak terkena lahar tidak ditutupi lagi debu panas vulkanik agar masyarakat sedikit hilang penderitaan mereka”, pinta pria muda itu dengan seluruh tubuhnya merinding, bibir dan tangannya tampak gemetar ketakutan.

Pria muda itu disuruh merundukkan kepalanya lalu merenungkan nasib masyarakat yang terkena kesulitan. Seketika itu juga langit menjadi gelap pekat gulita, culomolonimbus keluar dari sarangnya, guntur dan petir pun tak mau memonitor saja tetapi turut membahana di angkasa bagaikan langit yang didandani percikan bunga kembang api yang penuh gemerlap indah. Seolah-olah Nirwana memancarkan kasih karunia yang takberhingga. Awan mengeluarkan butiran-butiran airnya ditambah dengan angin sedang menyapu bersih semua debu-debu yang bertebaran tersebut.

Sungguh betapa kagetnya pria muda itu. Ia pun berkata dalam hatinya sembari menutup kedua bibirnya dengan tangan kanannya keheran-heranan: “Sebenarnya, apa yang tengah terjadi di depan mataku? Oh, sungguh menakjubkan. Rerumputan yang tadinya ditutupi debu panas vulkanik kini seakan terlahir kembali seperti sediakala. Oh Tuhan terpujilah namamu selama-lamanya, alleluya!”.

Pria tua itu pun membuka mulutnya lagi dan berkata: “Anak muda! Engkau telah melihat dengan mata kepalamu sendiri bahwa jika Dia, Yang Mahakuasa menghendakinya, maka apapun bisa terjadi. Engkau yang telah melihat saja perasaan hatimu sangat berduka lara lalu bagaimana dengan masyarakat di sana yang telah merasakan secara langsung kepedihan itu dan telah melihatnya? Hari ini telah berlalu dan besok hari lain lagi muncul. Apa yang mereka lihat hari ini sangat berbeda dengan apa yang mereka lihat hari esok dan hari-hari selanjutnya. Teguhkanlah hatimu agar jika hal itu terjadi janganlah engkau heran karena segala sesuatu yang terjadi bukanlah kehendak kalian. Biarkanlah hal itu terjadi karena demikianlah adanya”.

Kemudian, pria tua itupun berkata lagi: “Pergilah ke tengah masyarakat yang kau lihat. Hiburkanlah hati mereka agar mereka tidak larut dalam kepedihan. Bangunlah negerimu dengan belaskasihan. Janganlah cemas hatimu sebab kami akan menyertaimu hingga engkau mampu mengurus segalanya dan engkau akan menang dalam banyak hal”. Sementara, seorang pria parubaya yang lain mengangkat pria muda itu ke sebuah dataran hijau yang indah ditumbuhi berbagai jenis bunga-bunga yang indah yang dipenuhi tetumbuhan jambu ranum dan burberi yang matang juga cermele hutan yang siap dipanen.

Betapa terkejutnya, bak di firdaus, pria muda itu melihat ke samping kiri kanannya. Dia tidak melihat siapapun. Dia kemudian memangil-manggil dan mencari ke sana kemari. Pria muda itu hanya melihat jambu ranum, burberi matang, dan cermela masak yang siap dipanen dihiasi pula dengan cemara hutan yang indah menambah cantiknya pemandangan. Pria muda itu pun meneteskan air mata, seolah mendapat berkat dari Yang Mahakuasa. Pria muda itu menikmati beberapa waktu di tempat tersebut dengan menikmati buah-buahan yang lezat, lalu memetik buah masak lainnya sebagai perbekalannya kembali pulang untuk berada di tengah-tengah dan memimpin masyarakatnya.

Setiba di tengah negerinya, pria muda itu pun diterima dengan sorak-sorai oleh seluruh penghuni negerinya karena sekian lama ia menghilang dan oleh seluruh orang telah mencari di mana-mana. Pria muda yang senang membantu sesamanya di negerinya itu, kehadirannya ibarat kemarau setahun dihapus dengan hujan sehari. Masyarakat yang tadinya sedih sekilat melupakan pengalaman pedih mereka karena mereka mendapatkan kembali anggota masyarakat mereka yang mereka cari-cari dan nanti-nantikan. Pria muda itu pun dinobatkan oleh seluruh penghuni negeri itu menjadi pemimpin atas negeri itu dan negeri itu semakin aman, makmur dan sejahtera. ---INSPIRASI, 29 Agustus 2015. Oleh: Melky Pantur***

JOROK TAPI ASYIK.

Manga pota lamba nua leong papang lǝmpe bea mese, kanta rakot koet lolong lewe robo lalong, ninik ruis nggolo lakang, todo tekar kolang tukǝ rami rimang lo'ok, kengko racang wǝri nio ranggi, kǝdel wae mau wae rana, lengga cumpǝ wenggul sama rinca rǝwas pateng mǝlǝr tungkal paleng wǝri ata lawir wancang, wuas wela loce, mǝsa wera pulang pangga weleng warat, sasa muntung bari lite, tungkal dur jaong rangkat, toe gincu cancar londang congkar wae raja popo.

Pasti Anda bertanya, kalimat apakah di atas? Di atas adalah nama-nama kampung di Nuca Lale. Ketika disusun rapi, lihatlah membentuk sebuah kalimat yang agak jorok tetapi menarik.

Perhatikan kalimat berikut dengan saksama:

Todo lolong lewe ruis lakang robo nara lalong; popo pota nggolo rum; jaong popo lite weri ruis nio nanga rana, mǝti wae papang; rangkat popo lite!

Coba perhatikan pula dari versi bahasa Indonesia.

Cara galang pacar lajang baru bajak lewat barang tenar gincu sama sisir baru suka pada tampak; tampar pacar, pulang buruk pandang pada raka sama rai; cara bilas barang baru; kaca tampak buruk; peri lajang mau tampar raka sama rai; jarak pandang tanjung tampak sama; peri lajang tampak buruk; suka sama lida peri lajang; gincu peri lajang tampak buruk; peri suka sama suka; raka robek gumbang kaca; jarak Subu; suka tebang, gulung arus; talang pandang.

Coba perhatikan nama kampung berikut di Manggarai sesuai abjad, sebagai berikut:

Arus
Bajak, Barang, Bari, Baru, Bea Mese,
Cancar, Cara, Congkar, Copu, Cumpe, 
Galang, Gincu, 
Jaong, Jarak
Kǝdel, Kengko, Kukung,
Lae, Lamba, Lalong, Latung, Lawir, Lǝdek, Lǝdǝng, Lenga, Lǝmbur, Leong, Loce, 
Lempa, Lǝmpe, Lentang, Lewat, Lewe, Londang, Lo'ok, Lopa, 
Mbelaing, Mburak, Meler, Mena, Mǝsa, Mǝti, 
Nanga, Necak, Ngangel, Nio, Nua, 
(Kampung) Ujung, Kisar, Koet,
Pacar, Pada, Paka, Paleng, Papang, Pasa, Pel, Peot,  Pering, Pitak, Poco, Poka, Pota, Porong Tedeng, Pulang, Purang,
Raba, Racang, Rai, Ranggi, Raka, Rakot, Rami, Ratung, Rewas, Rinca, Ri'i, Robek, Robo, Ruis, Rum,
Sama, Sasa, Sepok, Sesa, Sita, Sisir, Sok, Subu, 
Talang, Tanjung, Tenda, Tenar, Tengku La'e, Teong Telo, Teras, Tilir, To'e,
Tuke
Urang, 
Wancang, Wae Kelambu, Wae Mese, Wae Racang, Wae Rana, Warat, Watu Nggǝlek, Watu, Weleng, Wǝnggul, Wela, Wǝra, Weri, Wuas,
Patǝng, Lajang, Golo Mǝnǝs, Cecer, Golo Leleng, Paku, Muntung, Leka, Lia, Comu, Wunis, Tahang, Raci, Rǝpi, Wae Kanta, Popo, Lus, Cunga Dur, Beci, Manga, Peri, Buruk, Pandang, Nanga Lili, Lite, Wae Raja, Rewas, Pasi, Todo, Lando, Weri Ata, Rawuk, Rimang, Pangga, Nantal, Kolang, Nggolo, Tado, Tebang, Lakang, Ninik, Nua, Masing, Monsok, Para, Nara, Bilas, Suka, Kotok, Sama, Lida, Tungkal, Gulung, Tampak, Limba, Kaca, Tampar, Kole, Rum, Tengger, Wae Lolong, Lalong, Rangkat, Karot, Watu, Pelus, Wenggul.
Ditulis oleh: Melky Pantur***, Senin (28/8/2017).  


Dan, ketika nama-nama kampung itu tersebut disusun membentuk kalimat yang indah.

Asyiknya khazanah kehidupan orang Manggarai. Nama-nama kampung ketika disusun akan membentuk kalimat yang ranum. Gemes dan kinclong pun enak didengar.


26/08/17

GOLO NDERU.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Sabtu (26/8/2017).

Golo Nderu, Desa Bangka Lao, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Benua Asia.

Ritual tiba meka atau penerimaan tamu. Tampak Wakil Bupati Manggarai, Sabtu (26/8/2017) di Gǝndang Golo Nderu.

Mengenakan topi dan selendang.


Suku-suku di Golo Nderu.

Adapun suku-suku tersebut, di antaranya: Lao, Kepe, Manong, Repok, Copu, Dalo, Wangkung, dll.

Cǝki di Golo Nderu.

Lao ber-cǝki Kaba, Kepe ber-cǝki Rutung, Manong ber-ceki Teu Rembung. Sedangkan, suku-suku lainnya belum diketahui, belum ditanya Penulis.

Rutung (babi landak, porcupine). Rutung ini totemnya Suku Kepe di Golo Nderu.

Teu rembung (tebu merah, sugar cane).
Teu rembung ini totem dari Suku Manong di Golo Nderu.

Suku Awal.

Suku awal yang memasuki Golo Nderu adalah Lao keturunan dari Kondamari. Keturunan Kondamari (2017) bernama Alex Kembus sebagai Tu'a Golo kemudian suku Kepe dan suku-suku lainnya.

Silsilah Kondamari.

Kondamari memperanakkan Nancung, Nancung memperanakkan Namat, Namat memperanakkan Ngarim Reba, Ngarim Reba memperanakkan Maris Mangi kemudian generasi berikutnya - lagi dicari.

Cǝki Kaba.

Awalnya, acara wagal di wilayah Manggarai Timur. Pihak anak wina tidak membawa kerbau, sementara pihak anak rona terus mendesak maka timbullah rasa jengkel. Keluarga anak wina ata mbeko mese - paranormal, kemudian memanggil isteri dari pria yang hendak di-wagal tersebut, dia membawanya ke purang atau kubangan kerbau. Perempuan itupun berubah wujud menjadi seekor kerbau betina.

Kaba (kerbau, buffalo). Kaba ini totem orang Suku Lao di Golo Nderu.

Keturunan Suku Lao ber-cǝki kaba. Tampak Alex Kembus didampingi oleh Kades Compang La'o, Rian Keka dan jubir adat Robertus Gamput.

Anak rona yang terus mendesak lalu meminta kepada anak wina untuk menunjukkan kerbau yang mereka bawa. Pihak anak wina pun mengamini dan mempersilahkan mereka mengambil ikatannya di purang.

Kerbau ini pun di-ceang, disembelih. Setelah disembelih makanan yang keluar dari perut kerbau itu adalah makanan manusia, seperti daun ubi dan makanan lainnya. Mereka pun terheran dengan isi perut kerbau tersebut.

Setelah anak rona menyembelih kerbau itu, lalu mereka mencari anak perempuan mereka, isteri dari pria anak wina yang hendak di-wagal-kan.

Anak rona bertanya: 'Di mana anak perempuan kami?'. Apa jawaban anak wina? 'Dia sudah disembelih, kerbau yang kalian sembelih itulah dia!'. Semuanya merasa kesal terutama anak rona. Maka, sejak saat itulah, cǝki keturunan Kondamari adalah kaba atau kerbau.

Lingko Gǝndang Golo Nderu.

Alex Kembus mengatakan, lingko Gǝndang di sana terdiri dari Lingko Kenda, Lingko Mulu, Lingko Pelus, Lingko Golo Nderu I dan II. Sedangkan, Wae Barong Gendang Golo Nderu namanya Wae Kampas. Menurut Kembus, di sana terdapat temek (rawa-rawa) dan airnya cino atau jernih. Wae kampas hampir sama dengan wae cino.

Asal Mula Nama Nderu.

Menurut Kembus,

Aleks Kembus, Tua Golo Gǝndang Nderu.

Nderu (jeruk).

nama kampung Nderu berawal dari tetumbuhan jeruk di dekat compang atau radi di depan Gǝndang - radi sama dengan Gǝndang. Dulu, katanya, ada tiga pohon nderu yang tumbuh sendiri di depan Gǝndang sejak nenek moyang mereka yang pertama dan baru ditebang beberapa tahun silam. Belum diketahui persis, jeruk apa yang tumbuh di depan rumah tersebut.

Sejarah Suku Kǝpe Masuk Nderu.

Bene Baduk,
Bene Baduk bersama Isterinya Kristina Jelau.

mengatakan Suku Kǝpe di Manggarai memiliki banyak versi, baik versi La'o maupun versi Kotok dan Beo Kina.

Menurut Baduk, awal mula keturunan mereka berasal dari Todo dan kisah itu mulai terukir melalui bang motang - mencari babi hutan.

Kilasan Cerita Lalo Koe.

Pada zaman dahulu, ada kakak beradik tinggal di Todo. Nama mereka Wengke Wua dan Lalo Koe. Wengke Wua sebagai seorang kakak, sedangkan Lalo Koe seorang adik.

Awal Kisah.

Mereka berdua masih bujang atau belum mempunyai isteri.

Di Todo Pu'u, ada satu pohon nderu yang buahnya hanya dua. Tidak ada pohon nderu lain di situ. Si Wengke Wua memilih nderu atau jeruk yang lebih tua (borot dalam bahasa Manggarai), sedangkan adiknya memilih yang masih muda. Hal itu karena si Wengke Wua memaksa adiknya untuk memetik yang belum matang. Si adik pun mengamini saja, maka mereka pun memetiknya.

Keajaiban.

Siapa sangka, sebelum mereka memakan dua buah jeruk tersebut, kedua jeruk tersebut berubah menjadi dua orang perempuan. Jeruk yang belum matang berubah menjadi seorang gadis belia nan cantik rupawan, sementara jeruk yang sudah ranum menglangsat berubah menjadi perempuan yang agak tua.

Iri dan Cemburu.

Betapa terkejutnya si Wengke Wua karena Lalo Koe mendapat gadis belia sementara dirinya mendapat perempuan tua. Mereka pun bersitegang dengan mana si Wengke Wua bersikeras memaksa adiknya untuk menjadikan gadis belia itu sebagai isterinya. Keduanya pun saling cemburu merebut gadis belia itu.

Tipu Daya Wengke Wua.

Suatu hari, Wengke Wua mengajak Lalo Koe berburu babi hutan. Bukannya babi hutan yang mereka lihat malahan rutung (babi landak). Mereka membawa serta anjing mereka. Tiba di nua rutung (lubang masuk babi landak), anjing mereka mengikuti rutung tersebut ke dalam lubang. Lalo Koe turut ikut masuk ke dalam. Kesempatan emas itu pun dimanfaatkan oleh Wengke Wua untuk menutup lubang masuk itu dengan batu. Lalo Koe pun tertinggal di dalam.

Laporan Palsu.

Tiba di kediaman dengan isak tangis, Wengke Wua melaporkan kepada isterinya dan isteri adiknya bahwa adiknya Lalo Koe telah tiada diserang babi hutan. Isteri Lalo Koe sempat merasa kehilangan namun ia sama sekali tidak percaya begitu saja.

Perjanjian Cǝki.

Menurut Sobina Sidung - seorang Nenek dari Penulis yang menuturkan sejarah itu saat Penulis masih SD), di dalam gua yang gelap itu terdapat ruangan yang besar dan banyak babi landak di situ. Ruangan bagian dalam yang gelap itupun berubah menjadi terang. Betapa kagetnya si Lalo Koe, bukannya rutung yang dia lihat tetapi para manusia.

Dibuatlah perjanjian dengan Lalo Koe bahwa pihaknya siap menolong Lalong Koe asalkan saja mereka jangan memangsa keturunan mereka termasuk keturunan Lalo Koe di kemudian hari. Perjanjian itupun dilakukan.

Para manusia babi landak tersebut pun menggali lubang keluar dan sambil bernyanyi para siluman tersebut pun berhasil mengeluarkan Lalo Koe dengan selamat.

Upaya Perselingkuhan.

Niat bersenggama Wengke Wua kian menjadi-jadi. Dia sering menawarkan isteri Lalo Koe untuk bercinta erotik. Pelbagai cara dilakukan Wengke Wua untuk mendapatkan mahkota kecantikan isteri adiknya namun selalu mendapat jalan buntu.

Haju Uwu Penyelemat.

Tiap kali Wengke Wua hendak menawarkan persetubuhan, isteri Lalo Koe selalu menunjukkan benda merah di tangannya. "Ayolah sayang, kita bercinta", demikian Wengke Wua. Dengan cerdiknya perempuan itu menunjukkan warna merah di tangannya dan berkata: " Aku lagi datang bulan. Lihat saja darah di tanganku ini!".

Wengke Wua percaya begitu saja tanpa investigatif. Ternyata, isteri Lalo Koe ini mengambil kulit haju uwu - kaer loken,dan melumaskan ke tangannya agar pada saat Wengke Wua berhasrat tinggi, niatnya luntur karena melihat haid di tangan isteri adiknya. Upaya isteri Lalo Koe pun berhasil.

Permainan Caci.

Baduk kemudian menuturkan tidak lama berselang, persis ada caci di dekat Todo waktu itu. Lalo Koe yang belum kembali ke rumahnya mengikuti caci. Lalo Koe ini pandai bernyanyi. Isterinya pun mendengar nenggo dan landu dari suaminya. Ia memperhatikan betul tarikan suara dari suaminya itu.
Kemudian, ia menonton caci dan memperhatikan serius suaminya. Sontak ia mulai kegirangan kendati masih sanksi.

Dendam yang Terbalas.

Kejengkelan hati Lalo Koe terobati. Pada saat itu, Wengke Wua mengikuti caci. Mereka pun par cama tau - baku lawan adik kakak. Amarah Lalo Koe pun memuncak, ia memeceti Wengke Wua hingga rowa - tewas di arena caci. Lalo Koe pun tak dipersalahkan dan sejak saat itu ia kembali bersatu dengan isterinya di Todo sementara isteri Wengke Wua menghilang entah pergi ke mana.

Kemudian......

Keturunan Lalo Koe.

Lalo Koe memperanakkan Ndampa, Ndampa memperanakkan Sola, Sola memperanakkan Kondo, Kondo memperanakkan Baduk atau dikenal dengan Podok, Baduk memperanakkan Kapu, Kapu memperanakkan Nggoro, dan Nggoro memperanakkan David Jampur. Anaknya Baduk atau Podok tidak hanya Kapu tetapi juga Tontang, Nggai dan Pempo.

Masuknya Orang Asing.

Orang asing dari luar membawa atas nama Raja kemudian memasuki Todo. Ndampa pun berpindah dari Todo Pu'u ke Todo Koe atas perintah mereka.

Tapak Ndampa.

Ndampa bersama Sola diperintahkan oleh Todo untuk purak wajo kampong atau memerangi Limba dan Ndueng. Limba dan Ndueng pun lari porak poranda, sehingga atas keberhasilan tersebut Raja pun menyerahkan Lingko Rengga di Papang dengan batas timur Wae Mantar, batas selatan Cunga Ulu Ngali, batas barat Wae Kaman dan batas utara Wae Ros.

Orang Kepe Asli Lari ke Poco Leok.

Orang Kepe asli pun ketakutan bila Ndampa dan Sola akan menyerang. Agar tidak menerima resiko, mereka pun bertolak ke Poco Leok. Ndampa pun tinggal di bangka Kepe di Limbung dari Todo Koe.

Penjara.

Dulu ada namanya rapas - perang yang tersembunyi tanpa ada pemberitahuan ke pihak sebelah atau purak. Mereka purak ke Narang. Mereka menjarah semua padi yang sudah dingetam atas perintah Todo. Keturunan Ndampe dan Sola tersebut mengambil juga lepo dari orang Narang. Lepo tersebut terbuat dari anyaman pandan yang dibuat dalam bentuk karung. Ternyata, orang di Narang menaruh rapu atau mayat di dalam lepo tersebut. Kapu bersama tentaranya membawa serta mayat di dalam lepo tersebut.

Semua orang purak tersebut pun disel dan kemudian mereka ditarik untuk tinggal di Pongkor bahkan karena kecerdasan mereka, mereka malahan dijadikan sebagai jubir Pongkor.

Persebaran Keturunan Podok atau Baduk.

Beka agu buar semakin berbuah bagi keturunan Baduk, generasi Lalo Koe. Keturunan Baduk pun sudah tersebar di Timbun, Ruwat, Mbelaing, Lida, Beo Kina, Kotok dan Nderu.

Kusu Kisah Lampau.

Keturunan Baduk awalnya bersama Suku Mbaru Asi datang dari arah Selatan di Satar Mese untuk tinggal di Ngkor tetapi Suku Mbaru Asi tidak mau. Suku Mbaru Asi hanya menguasai Kusu dan Gǝndang Kusu awalnya milik Suku Mbaru Asi. Namun, kemudian mereka tidak mau lalu memilih untuk menetap di Cumbi, sehingga di Cumbi banyak Suku Mbaru Asi sekarang ini

Ekspedisi Hijrah.

Setelah lama di Pongkor, keturunan Ndampa, Sola sampai pada Tantu pada garis keturunan berikutnya bertugas menjaga Lingko Nua dekat Wae Rani, dari Lingko Nua mereka kemudian bertolak ke Lolang dari Lolang ke Mantek Poncung kemudian ke Lao dan Ngkor. Keturunan tersebut pun ada yang tinggal di Likeng, Kotok dan beberapa kampung lainnya sekarang ini.

©©©®®®®©©©
Potret Warga Gǝndang Golo Nderu.



Para Tetua Adat di Gǝndang Golo Nderu.

Kampung-kampung di Persekitaran Golo Nderu.

Adapun nama-nama kampung tersebut, di antaranya Dalo, Ngkor, Kusu, Cumbi, Lagur, Langkas, Wangkung, Rai, Pinggong. 

Arti dari Nama Kampung Persekitaran.

Dalo artinya panjang misalnya panjang bambu dari pangkal hingga ujung, sedangkan cǝ tede adalah bagian dari dalo; Ngkor adalah sejenis burung bubut (Latin, centropus sinensis), warnanya seperti mbe kondo.

Ngkor.

Pinggong.

Kusu adalah jenis pohon. Langkas artinya tinggi yang tampak dalam ungkapan: Langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Wangkung adalah jenis tetumbuhan sakral bagi orang wangkung. Dan, pinggong adalah sejenis pinang hutan.

Catatan: 

Lalo artinya yatim piatu, koe artinya kecil sedangkan wengke artinya melipat, menggulung, wua artiya rotan. Wengke wua artinya menggulung rotan.


Bacaan Tambahan:

Wangkung Medium Perutusan


Budaya pembagian lingko di Manggarai begitu unik. Seorang Tua Tǝno (Salah satu pemimpin adat yang bertugas sebagai pembagi tanah lazimnya menancapkan tǝno di tengah lingko yang dikenal dengan lodok (pusat kebun) sebelum moso (bagian lahan yang dibagi dari lingko yang berbentuk piramida/kerucut) dibagikan ke beberapa pemilik atau perorangan. Lingko tersebut berbentuk sarang laba-laba (spider web system) yang miripnya sama dengan rumah adat (Mbaru Tǝmbong/Mbaru Gǝndang).


Wangkung.

Penulis saat mengambil gambar, Jumat 14 April 2013 di Lumu - Langkas.
 
Dalam sebuah lingko yang berbentuk sarang laba-laba tersebut terbagi ke dalam beberapa moso.  Pusat lingko disebut lodok sedangkan batas luar disebut cicing, sehingga dikenal dengan sebutan lodok onen cicingn peang. Batas antara moso disebut langang. Batas antara petak-petak dalam moso disebut pematang atau tanggul kecil. 

Namun ternyata, dalam konsep tanda batas langang di Manggarai tidak semuanya
sama, ada suku yang unik. Pilar langang yang menggunakan wangkung termasuk unik. Hal ini berdasarkan hasil telusuran penulis.

Dalam budaya Manggarai yang lazim, di tengah lingko ditancapkan kayu tǝno dan setiap moso tepatnya di langang (batas antara moso) ditancapkan sebuah pohon nao. Hal ini menjadi kewajiban bahwa setiap pembagian lingko, langang moso wajib ditancapkan nao

Suku Wangkung Nunuk yang agak berbeda dengan budaya Manggarai pada umumnya.

Menurut Darius Dambut (60), 



(Darius Dambut).

warga Langkas, Desa Po’ong Murung, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT di Langkas, Jumat (12/4/2013) kepada penulis mengatakan jika batas antara kebun adik-kakak kandung yang merupakan keturunan Wangkung, di langang harus ditancapkan bunga wangkung. Tetapi jika batas langang dengan orang lain di luar keturunan Wangkung harus dibatasi dengan nao, tidak bisa dengan wangkung.


(Nao - ada pula kampung Nao dekat Dahang, Manggarai Barat bukan Dahang di Manggarai Timur).

Dikatakan Darius, ada sejarahnya makanya tanda batas antara langang di Manggarai - Wangkung menggunakan wangkung. Sejarah itu berkaitan dengan keturunan Wangkung yang merupakan keturunan asli di Manggarai, bukan datang dari mana-mana. Sayangnya, Darius Damput belum punya waktu saat
itu untuk menjelaskan tentang sejarah asal-muasal nama wangkung dan asal-usul keturunan Wangkung yang merupakan keturunan asli di Wangkung
dan sekitarnya.

Bunga Wangkung Menobatkan Kades dan Dusun Terpilih.

Dijelaskannya pula bahwa penobatan seorang tokoh, seperti Kepala Desa, Kepala Dusun yang terpilih harus dilakukan di depan bunga wangkung karena merupakan ruku, sǝrong dise ǝmpo mbate dise ame (merupakan kebiasan, peninggalan nenek moyang). Meski yang terpilih itu adalah orang di luar Suku Wangkung Nunuk tetapi wajib dinobatkan di depan bunga tersebut, tidak harus putra asli keturunan Wangkung.

Penobatan oleh wangkung sebagai tanda bahwa orang yang sudah terpilih yang memimpin desa di wilayah Wangkung meski berasal dari luar dengan dinobatkan dengan wangkung tersebut orang bersangkutan menjadi bagian dari orang Wangkung yang merupakan suku asli. Hal itu masih dilakukan sejak nenek moyang pertama dan hingga hari ini masih dilangsungkan ritus demikian sekalipun pelan-pelan hilang.

Wangkung Menghilangkan Petir.
 
Menurut Gaspar Genggot (59), 



(Gaspar Garung).

warga Langkas, Desa Po’ong Murung, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai di Langkas, Jumat (12/4) saat menunjukkan bunga wangkung yang tumbuh di dekat kebunnya  kepada penulis mengatakan bahwa wangkung tidak hanya sebagai bunga untuk penobatan orang besar di desa yang terpilih tetapi juga banyak manfaatnya, di antaranya sebagai obat dan penangkis petir (ta'ang pasat).

Caranya menanam dekat rumah atau mengambil daunnya lalu ditaruh di dalam di bawah bubungan rumah. Jika di rumah adat ditaruh di ujung sepot neka lelo.

Cǝki cik Totem Wangkung Nunuk.

Untuk diketahui Suku Wangkung Nunuk ini memiliki totem (totem disebut tabu atau larangan suku memakan cǝki) yang harus dihargai oleh generasinya adalah cǝki cik (larang makan burung pipit). Hal itu merupakan pantangan nenek moyang melalui bentuk perjanjian tertentu dengan nenek moyang pada zaman lampau.

Cik atau burung pipit. Wangkung Nunuk ber-cǝki cik.

Uniknya, sejarahnya nyaris sama dengan Suku Ndewa di Golomori. Tabir gelap yang menutupi sejarah Wangkung sebagai orang asli di Manggarai belum digali semuanya.

Akibat Serangan Ndampa dan Sola terhadap Limba.

Dalam Tapak Ndampa.

Di atas telah tertulis, Ndampa bersama Sola diperintahkan oleh Todo untuk purak wajo kampong ataumemerangi Limba dan Ndueng. Limba dan Ndueng pun lari porak poranda, sehingga atas keberhasilan tersebut Raja pun menyerahkan Lingko Rengga di Papang dengan batas timur Wae Mantar, batas selatan Cunga Ulu Ngali, batas barat Wae Kaman dan batas utara Wae Ros.

Relasi dengan Empo Rua di Sampar. 

Empo Rua di Sampar, sekarang Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejarahnya mulai nyambung dengan serangan Ndampa di Limba masa dulu. 

Dari penelusuran lebih lanjut, Penulis menemukan, Rua bukan berasal dari keturunan Empo Repong dan Paleng tetapi Rua berasal dari keturunan Nua di Wela. Artinya, Rua keturunan Nua. Itu berarti sejarah sebelumnya keliru karena Ayahnya Empo Rua berasal dari Nua.

Keturunan Empo Rua berasal dari Nua di Wela dikatakan oleh Herman Kiot di Sampar, 1 Januari 2017.

Selanjutnya........

Sekilas tentang Keturunan Suku Nua di Wela.

Diedit oleh Melky Pantur dari tulisan asli Jumat (20/1/2017) dari sisi penulisan tetapi tidak merubah alur ceritanya. Bisa dibandingkan dengan tulisan di bawah ini:

Lih. http://atawelasoo.blogspot.co.id/2015/08/awal-mula-suku-nua-di-wela-cancar.html. Bandingkan dengan cerita ini: https://plus.google.com/117748896674938088790/posts/4ddXkZwAbMM

Awal Mula Suku Nua di Wela.

Letak.

Wela di sini adalah sebuah kampung yang terletak di Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT.

Awal Cerita.

Pak Frans Menceritakan.

Dikatakannya, Juli  2013 keluarga besarnya dari Suku Nua, yaitu Pedi, Mau, dan Tarung  mengadakan acara syukuran di Wela.

Hewan kurban yang digunakan waktu itu, ceritanya, menggunakan kaba bakok/pera atau kerbau putih. Hewan korban lainnya adalah ayam jantan dan ayam hitam.

Sebelum dimulainya ritus, mereka kemudian menggali asal usul leluhurnya.

Awal Petualangan Leluhur.

Adalah Sungga nama Kakek itu. Beliau datang dari Limba (Nua) di Pongkor, Satar Mese. Limba terletak di Pongkor.

Mulanya, Pongkor dan Todo merupakan  dua kampung yang warganya asal mulanya kakak beradik. Sang kakak tinggal di Todo, sementara adiknya tinggal di Pongkor.

Disharmoni Antara Todo dan Pongkor.

Lambat laun, relasi kekeluargaan dan persaudaraan pun retak. Hal itupun terjadi antara Todo dan Pongkor. Disharmoni pun terjadi dengan mana terjadi peperangan Todo - Pongkor. Perselisihan tersebut berawal dari  salah paham ketika ada kematian di Todo. Pasalnya, keluarga di Pongkor tak menunjukkan rasa  keprihatinan sebagai satu keluarga sebagaimana aturan adat lazimnya. Keluarga adik di  Pongkor tetap beraktivitas sebagaimana  biasa, termasuk mengiris enau (pante tuak) sementara bunyi meriam bambu  tanda duka di Todo menggema begitu kuat, namun keluarga di Pongkor  tetap "dontor  lopo" (pukul atap enau untuk dapatkan air tuak).

Nah, aksi Pongkor ini memicu reaksi dari Todo. Todo melihat ini sebagai suatu pembangkangan terhadap otoritas  hak kesulungannya. Atas sikap bandel Pongkor ini, Todo mengambil sikap keras. Maka, terjadilah perang (purak mukang  wajo kampong).

Limba Turut Diserang.

Perang saudara pun tak terhindarkan. Bukan hanya Pongkor yang diserang tetapi juga Limba, kampung halamannya Sungga. Orang Limba lari terbirit-birit, pontang-panting menyelamatkan diri. Karena warga Limba lari, Kampung Limba dibakar. Orang-orangnya dikejar untuk dibunuh oleh pasukan perang Todo. Sungga sesepuh kampung tak luput dari pengejaran.

Kakek Limba Menyelamatkan Diri.

Sungga Bersembunyi di dalam Lubang Galiannya.

Karena merasa terjepit, Sungga  berusaha menyelamatkan diri. Dia menggali lubang lalu memasukkan diri untuk bersembunyi di dalam gua yang digalinya. Ketika pasukan dari Todo melihat tempat itu, yang ada hanya  tebing kokoh. Mereka  enggan untuk melakukan pencarian lebih lanjut untuk membunuh Sungga yang  sudah melarikan diri ke dalam lubang - nua dalam bahasa Manggarai.

Selamat dari Kejaran.
Awal Mula Predikat Nama.

Pasukan Todo kembali ke kampung halamannya. Sungga selamat  berkat menyembunyikan di dalam lubang gua. Sungga keluar dari  lubang persembunyiannya. Begitu dia merasa kondisinya sudah aman, maka  dia kelaur dari persembunyiannya. Dia tak mendiami kampung Limba lagi. Karena  diselamatkan oleh lubang atau nua, maka  Sungga memberi tambahan nama dirinya menjadi Sungga Nua.

[Belum diketahui siapa isteri dari Kakek Sungga Nua dan asalnya dari mana].

Bergegas ke Tenda Ruteng.

Kampung Limba sudah jatuh ke tangan Todo termasuk lingko-nya. Sungga Nua tidak berbalik tetapi  kemudian menuju ke Tenda Ruteng.

[Tenda masa lampau, lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/manggarai-tempoe-doeloe.html].

Indahnya, jauh sebelum perang dengan Todo meletus, saudari dari Sungga sudah menikah dengan orang Tenda - Ruteng. Konon suaminya tinggal di rumah adat Gendang Tenda. Karena  ras  iba,  ipar (kesa)  dan saudarinya  mengajak Sungga Nua  untuk tinggal di Tenda - Ruteng. Sungga pun menetap di Tenda - Ruteng.

Keributan Kecil di Tenda.

Lama berselang, Sungga mulai menguasai  rumah bahkan tanah ulayat Tenda.

Ceritanya, Sungga suka minum, terutama  moke (tuak). Karena posisi sebagai anak rona, Sungga meminta agar dilayani terus, termasuk dalam urusan minuman kesukaannya ini.

Persis suatu ketika, Kakek Sungga ini merasa pelayanan iparnya itu tidak maksimal, maka dia pun marah lalu ke pohon enau (raping). Dia memotong atap (ndara) enau yang sedang dirawat oleh  iparnya. Iparnya marah besar. Namun, menyadari posisi mereka selaku  pihak keluarga yang perlu menghormati keluarga asal perempuan (anak rona),  ipar dan isterinya  mengalah. Mereka meninggalkan Tenda menuju ke  daerah Cibal. Mereka tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama.

Leluhur Marah.

Tindakan sabotase Sungga Nua berakibat fatal dengan mana dia terkena sakit yang sulit untuk disembuhkan. Dia berobat ke mana-mana namun tak kunjung disembuhkan.

Titah Seorang Dukun.

Suatu hari, dia mendatangi dukun untuk mengetahui penyebab sakitnya. Dukun itu memberitahu kalau penyebab dirinya sakit karena telah menyabotase hak anak wina di Tenda. Sang Dukun memberi syarat kalau dirinya mau sembuh harus memanggil kembali saudari dan iparnya itu dari Cibal. Hal itu diamini Sungga dan dia pun sembuh setelah dibuatnya proses rekonsiliasi secara adat berupa hambor.

Kesanya Menghibahkan Wae Buka.

Berkat relasi perkawinan, Sungga Nua pun diberikan lingko oleh iparnya tepatnya di Wae Buka. Di Wae Buka menghasilkan beberapa keturunan. Bagi Pak Frans, Sungga tutup usia di Wae Buka Ruteng. Alasan tempat untuk bercocok tanam kian sempat, maka keturunan Sungga lalu hijrah ke Wela dan Kolang.

Ekspedisi ke Wela dan Kolang.

Dua titisan Sungga Nua bergegas ke Wela dan Kolang. Mereka adalah Ngkaru - Ngkarak dan Kala Batang - Pedi Jeri.

Ngkaru - Ngkarak menikah dengan  perempuan yang berasal dari Suka (Kolang). Pedi Jeri menikah dengan Woni - Wuni - dialek Kolang, perempuan dari Teno (Kolang). Kalang Batang menikah dengan orang Wela. 

Ngkaru - Ngkarak itulah yang menjadi leluhur Suku Nua yang mendiami Suka,  Satar Ara, Leda  dan Lambur. Salah satu tokoh Suku Nua di Satarara, yakni Martinus Mero.   Sedangkan, Kalang Batang menjadi leluhur Suku Nua yang tinggal di Wela - sekarang yang melahirkan Nemo, Andreas Mantol, Hatal, Ambok.

Catatan:

[Ada  versi  lain yang mengatakan bahwa untuk Nua 1 di Wela dan Nua Satara Ara, leluhur  yang  datang  dari  Wae Buka itu bernama Anco  Anca, Pedi - Pidi dialek Kolang].

Titisan Empo Sungga Nua di Wela dan Kolang.
Di Kolangnya Rejing dan Kotok.

Titisan di Wela.

Keturunan Sungga Nua di Wela terbagi dalam dua kelompok. Paguyuban kelompok ini berdasarkan ikatan darah. Hal itu sering disebut: sa paki ela - satu babi kurban persembahan. Di sini mereka sehati sejiwa dalam mengurusi persoalan paguyuban, baik dalam masalah  kelahiran, kematian, sekolah maupun perkawinan.

Enau Sumber Perselihan dan Perpisahan.

Sekitar tahun 1960- an, terjadi perbedaan pendapat memperebutkan  pohon enau di Lingko Bangka. Mereka yang   yang bersengketa  adalah  Baduk dengan  Hatal (Emad Belo).

Dalam perjalanan waktu, Baduk ini sendirian sementara Hatal dibela oleh saudara-saudaranya, seperti Nemo, Mantol, dan Ambok. Mereka pun berpekara hingga ke meja Dalu - waktu itu Wela masuk dalam wilayah Kedaluan Lelak dan Dalu waktu itu dijabat oleh Menanggur.

Singkat cerita, Dalu Menanggur memutuskan, Baduk keluar sebagai pemenang dengan mana enau itupun menjadi milik Baduk.

Sejak saat itulah, Baduk dan Nemo cs memulai menangani urusan peguyuban secara tersendiri dalam keluarga.

Baduk akrab dengan saudara-saudaranya di Rejing dan Kotok, sedangkan Nemo cs bersama Hatal dan Bernadus Bakal. Masing-masing persekutuan tersebut berlangsung hingga, 31 Agustus 2015 - sesuai catatan penulis asli.