09/08/17

AJANG.

Congko Lokap Gendang Ajang dalam Tapak Sejarah.

Gendang Ajang, Desa Bangka Ajang, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia, Rabu (9/8/2017) menggelar congko lokap.

Gendang Ajang ini sebenarnya sudah beberapa kali melakukan congko lokap, tidak hanya tiga kali tetapi jauh sebelumnya sudah pernah dilakukan apalagi Mbaru Gendang yang sekarang merupakan gendang perpindahan kedua setelah sebelumnya berada di bangka. Bangka adalah bekas mbaru gendang yang dibangun sebelumnya atau kerap disebut Bangka Ajang. Di lokasi berdirinya sekarang sudah digelar tiga kali.

Gendang Ajang memiliki dua compang atau mezbah adat, yang pertama terletak di bangka dan yang kedua yang sudah barusan digelar ritusnya. Itupun congko lokap di lokasi dibangunnya gendang sekarang sudah ketiga kalinya.

Kilasan Sejarah Wae Ajang.

Perpindahan lokasi compang dan gendang tidak terlepas dari aspek sejarah. Hal itu tampak dalam menggelar congko lokap di mana warga adat Gendang Ajang setelah menggelar barong wae dan boa - berdoa dan menggelar ritus mata air dan kuburan leluhur, mereka lazimnya melakukan ritus di compang lama. Itu dilakukan agar jangan ada nangki - diberi ketidaknyamanan terhadap warga gendang. Karena itulah, mereka menggelar ritus barong compang atau semacam tesi atau melapor kepada roh leluhur dan ceki. Kerap disebut wura agu ceki - roh leluhur dan Tuhan.

Leluhur.

Yang datang pertama ke Wae Ajang namanya Lenje. Lenje ini memiliki putera bernama Kampu dan Lagar. Mereka datang dari Supe - Ngkor dekat Dalo di Kecamatan Ruteng. Anak rona Lenje itu berasal dari Weol - Cancar. Anak rona itu artinya keluarga dari pihak isteri.

Nobertus Sawa dan Kosmas Lawang, warga Ajang mengaku, Lenje ini memiliki nama leluhur mereka sebelumnya yang bernama Ndele Woa. Ndele Woa ini memiliki tubuh yang dipenuhi buluh-buluh atau berbadan buluh. Mereka ber-ceki atau bertotem sebuah pohon yang dalam bahasa lokalnya haju supe atau giro. Cerita tentang ceki atau totem tersebut berawal dari bahan dasar pembuatan rumah yang dalam bahasa lokal ngando - dua tiang lurus ke atas di bawah bubungan. Nah, pohon giro itulah sebagai bahan dasarnya.

Pohon giro memang tidak kuat, maka ngando tersebut patah maka seluruh bubungan rumah amblas. Atas dasar peristiwa itulah, mereka pun bernazar untuk tidak memanfaatkan giro lagi sebagai balok ngando dan sejak saat itu mereka bertotem pohon giro.

Tiga Niang Kecil di Beranda Gendang.

Sebagaimana terlihat dalam gambar, Mbaru Gendang Ajang memiliki tiga niang di depannya. Di tengah tampak tinggi sedangkan di sisi kiri kanan tampak agak rendah dan rata. Sawa dan Lawang saat ditanya Penulis mengaku sebelah timur adalah simbol cako atau solo dalam dunia tarik suara, di tengah adalah tempat di mana mereka berkumpul untuk memecahkan pelbagai persoalan, sedangkan bagian baratnya adalah wale - menjawab. Dalam teori komunikasi, bagian timur disebut komunikator, di tengah adalah mediator sedangkan bagian barat adalah komunikan. Ketiga niang tersebut adalah simbol komunikasi dan pemecahan soal (problem solving).

Makna Lain dari Tiga Niang Kecil.

Tiga niang itu adalah simbol how to solve some of problems - bagaimana memecahkan soal-soal. Mereka adalah forms of representatives atau bentuk keterwakilan. Tiga niang itu juga simbol dari struktur pemerintahan adat. Secara teologi Kristen, tiga niang itu adalah simbol integritas Trisuci (integrity of Trinity symbol).

Sekedar informasi, niang adalah salah satu bagian mbaru atau rumah dari orang Manggarai yang ditinggali oleh kepala suku atau dalam bahasa lokal disebut panga. Panga itu sendiri artinya cabang. Sedangkan, mbaru terdiri dari mbau dan ru. Mbau artinya tempat teduhan, bagian dari teduhan di bawah pohon yang tidak dimasuki sinar matahari, sedangkan ru artinya punyaku sendiri. Dengan demikian, mbaru artinya tempat berteduh, meletakkan kepala punyaku sendiri.

Secara lain, niang-niang itu adalah lonto leok - dialog partisipatif demokratis terutama dalam penataan individualitas entitas-entitas masyarakat adat.

Suku-suku yang Mendiami Wae Ajang.

Wae Ajang memiliki lebih dari satu suku, baik karena pertalian perkawinan maupun persahabatan dan kekerabatan dalam bentuk lainnya. Data yang dihimpun Penulis, suku-suku Ajang, di antaranya: Welak, Supe, Wontong, Racang, Ling, Kolang, Dalo, Taga, Lentang, Weol, Waso, Lidang, Ngkaer.

Mengapa Disebut Wae Ajang dan Bangka Ajang?

Stefanus Jemparus dan Pius Ampus mengatakan, disebut Ajang karena di kampung itu dulu dipenuhi dengan pohon bernama ajang atau kerap disebut haju ajang. Disebut Wae Ajang karena tepatnya di mata air sebagai wae barong Gendang Ajang bernama Wae Pong Puca - puca dalam bahasa lain disebut cengit atau serem. Di mata air itu dikelilingi pepohonan ajang dalam sebutan lokalnya. Dan, bagi perempuan kalau mau mandi di situ saat mengkeramas rambut tidak boleh dibiarkan terurai ke bawah tetapi harus diikat. Jika tidak diikat akan berhubungan dengan darat atau kuntilanak. Hal itu pernah terjadi karena melanggar, perempuan yang melanggar itu meninggal.

Soal larangan tersebut, Penulis belum dapat menggali lebih dalam mengapa rambut perempuan saat mandi tidak boleh terurai?

Untuk diketahui, nama kampung Ajang diambil dari nama kayu dengan mana di situ terdapat banyak sekali jenisnya nyaris sama dengan kampung Ntalung di Coal, Satar Ara, Golo Worok dan beberapa nama kampung lainnya.

Compang Mistik.

Compang Bangka Ajang terbilang mistik. Stefanus Jemparus dan Pius Ampus mengaku terkadang pada malam tertentu di atas compang Bangka Ajang akan terdengar seperti benturan tongkat dengan batu. "Terkadang seorang lelaki tua datang ke situ dan kami semua sangat ketakutan", aku Pius dan Stefanus.

Terlihat memang di situ menggeluarkan cahaya berbentuk cakra dari tengah compang Bangka Ajang. Compang tersebut pun bahkan termasuk lokasi mistik. Ketika Anda keluar dari compang tersebut seperti mengeluarkan diri dari pelbagai beban. Compang tersebut baik untuk meminta rezeki dan pahala leluhur dan Tuhan. Tetua penjaga compang tersebut memegang tongkat kebesaran Ilahi.


Compang Bangka Ajang dibuat oleh darat, namun karena mereka digonggong anjing maka pembangunannya belum sempurna. 


Sae (dance) sebelum menyembahkan hewan kurban berupa kerbau di compang atau mezbah.


Acara teing cepa kepada para tamu atau undangan atau menjamu para undangan dengan sirih pinang.


Sae di alun-alun atau natas (town square)


Rumah di depan  compang. Bangka Ajang. Tampak  Bapak Sefanus Jemparus dan Bapak Pius Ampus, Pak Hendrik Amal dan Pak Melky Pantur.


Pa Hendrik Amal lagi gambaran di samping compang Bangka Ajang.


Nobertus Sawa dan Kosmas Lawang.


Lilik compang - memutar compang selama 5 kali. 


Prosesi lilik compang sebelum roban kaba congko lokap.


Pemilik compang, Tuhan Allah persembahan, penyuci persembahan. Tuhan yang turun menyucikan persembahan di mezbah adat atau compang. Tuhan yang hadir di compang


Roban kaba congko lokap.


Sisi lain dari Ajang.



Ditelusuri dan ditulis oleh: Melky Pantur, Rabu (9/8/2017).

Note:
Data lain akan ditambahkan kemudian oleh Penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar