28/09/17

ANTARKARANA ALAM DARI LUMPUNG RACANG.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Jumat (29/9/2017).

[Lumpung Racang]

Pengantar.

Antarkarana/Wera.

Dalam pemahaman Bali Hindus, Tuhan memberikan manusia hidup dan kekuatan melalui antarkarana atau tali spiritual. Antarkarana itu rupanya seperti sinar putih yang mengalir terus ke inti Cakra Sahasrara yang letaknya bersesuaian dengan ubun-ubun di atas kepala.

[Bdk. http://www.tejasurya.com/meditasi-yoga/35-antah-karana.html].

Namun tahukah Anda? Sebenarnya ada bermacam-macam antarkarana, yaitu antarkarana alam semesta dan antarkarana tubuh manusia, hewan dan tetumbuhan.

[Gambaran atau ilustrasi dari Antarkarana]

Mirip dengan ajaran Hindu Bali, tetapi apa yang dilihat oleh Penulis persislah yang dijelaskan orang Bali Hindu. Lah, antarkarana alam itu adalah cahaya Kristus yang memberikan seluruh kekuatan sebagaimana dipahami oleh Hindu dalam Trimurti. Sebenarnya, Kristus dalam Kristen adalah Trimurti itu sendiri (Dewa Wisnu, Brahma dan Siwa) Trinitas itu sendiri. Trinitas kan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ketiganya satu kesatuan. Mereka juga adalah Trimurti atau inti dan sumber alam semesta itu sendiri. Nah, Tuhan Yesus Allah yang turun ke bumi menciptakan alam semesta dari cahaya keilahiannya itu. Tuhan Yesus Allah itu mengeluarkan antarkarana dari tangan-Nya, cahaya berupa cakra Ilahi. Pada waktu itu alam semesta belum terbentuk, tidak ada ujung dan akhir. Melalui sinar keilahian dari tangannya, maka dijadikanlah bumi dan seluruh isinya. Teologi Kristen menyebut, Kristus adalah alfa dan omega (awal dan akhir - pu'ung agu turung cemoln).Jawabannya adalah iya.

Lalu, apa itu antarkarana tubuh? Kehidupan manusia dikuatkan oleh antarkarana. Antarkarana itu adalah refleksi, mata ketiga, nyawa, jiwa pikiran. Bentuk asli antarkarana seperti sinar putih berkabut tetapi kabut itu kilat seperti petir, putih seperti salju. Ukuran antarkarana, sinar Ilahi dari tangan-Nya sama seperti ketika Tuhan Yesus itu memberkati bumi dengan sinar api dari tangannya di mana seluruh kekuatan alam bergerak karenanya.

Perhatikanlah ketika orang hendak mau tidur. Antarkarana (cahaya atau sinar ketuhanan) akan keluar melalui ubun-ubun, maka seseorang akan kelelapan tidur dan masuk dalam alam mimpi. Mimpi itu terjadi karena antarkarana pergi di semesta sesuai kehendaknya. Orang bilang: Saya bermimpi begini dan begitu. Antarkarana kan menembus ruang dan waktu. Karena antarkarana itulah, kita bilang saya melihat itu dan melihat ini dalam mimpi. Antarkarana punya mata sendiri. Dalam Hindu, mata antarkarana seperti mata ketiga Dewa Siwa. Coba perhatikan, ketika orang memejamkan mata namun bisa melihat masa lampau dan masa depan kok bisa? Yah, mata Anda tertutup tetapi mata antarkarana melihat ke depan dan belakang. Mata antarkarana itulah nama lain dari mata batin atau kerap disebut indra keenam. Intinya, antarkarana bergerak sendiri dan memiliki pengetahuan dan mata sendiri.

Saat antarkarana sudah puas mengembara di alam mimpi, maka ia akan kembali masuk dan menyadarkan Anda kembali. Anda pun dibangunkannya! Lalu, ada istilah Manggarai reme jǝngǝ jiut (masih samar-samar di mana kepala Anda masih berat terutama ketika ada orang lain yang membangunkan Anda dengan paksa). Pada saat itu, antarkarana belum sempurna masuk karena ia harus ditarik kembali ke dalam tubuh melalui ubun-ubun. Ketika ia sempurna masuk, kesadaran Anda penuh.

Antarkarana itulah yang membuat orang tidak sadarkan diri mesti jiwa Anda masih menyatu dengan tubuh atau pada saat Anda masuk pada dunia yang lain. Orang Manggarai bilang kerap menyebutnya saat boat lewe (mati suri).

Saat boat lewe, keputusan ada pada Pemberi Antarkarana apakah wakar (jiwa) Anda tetap menyatu dengan tubuh atau tidak? Ketika diminta kembali, maka Anda akan siuman. Nah, makanya saat boat lewe penting sekali berdoa agar antarkarana diberikan kembali oleh Tuhan pada orang bersangkutan.

Bagaimana dengan orang yang sudah mati lalu hidup kembali? Apa jawabannya? Jawabannya, antarkarana-nya dipadukan lagi ke dalam tubuh dan menyatu kembali dengan jiwa, maka hiduplah orang itu. Itulah cikal bakal ilmu rawarontek dan pancasona.

Lalu, bagaimana dengan orang yang jiwanya berkelana dan melayang-layang di bumi? Apa jawabannya? Jawabannya adalah misalnya orang tenggelam atau antarkarna dan jiwanya belum sempurna dipanggil Tuhan. Jiwa akan tetap menyatu dengan antarkarana maka jiwa orang itu masih hidup. Jiwa tidak bisa mati, dia abadi dan kekal. Ketika jiwa masuk ke inti Tuhan maka dalam Hindu moksa tercapai.

Ketika jiwa dan antarkarana masih menyatu, maka jiwanya belum bisa tenang. Ketika ketiganya berpisah, maka barulah kembali ke titik awal yaitu jiwa, antarkarana dan tubuh itu sendiri menyatu dengan Ilahi. Tubuh kembali ke tanah, antarkarana kembali ke Tuhan.

Bagaimana dengan ritus teing hang wura agu cǝki - memberi makan leluhur dan Tuhan dalam budaya Manggarai?

Kehidupan selalu mengarah kepada Tuhan atau inti antarkarana. Salah satunya belum menyatu, maka belum dikatakan sempurna. Itulah mengapa orang Manggarai melakukan ritus teing hang wura agu cǝki. Wura itu adalah roh nenek moyang atau kerap disebut antarkarana nenek moyang, sedangkan cǝki adalah Tuhan yang diwakilkan, Tuhan representasi.

Ketika jiwa dan antarkarana nenek masih moyang menyatu, maka mereka masih hidup di bumi dan karena itu harus diberi makan. Jiwa dan antarkarana mempunyai kekuatan luar biasa. Roh nenek moyang itu bisa berbicara hanya saja dia tidak terikat lagi oleh tubuh. Dapat berkata-kata iya. Apa maksud teing hang wura agu cǝki, teing hang itu adalah persembahan suci agar apa yang kita upayakan diberkati dan dilindungi.

Orang bilang, Tuhan Yesus (Trimurti itu hidup). Jawabannya iya karena Tuhan Yesus sumber kehidupan itu sendiri.

Wera Mirip Londe tetapi Bukan Londe.

Wera bukanlah londe atau bola api seperti kembangan api seperti kondisi rambut panjang perempuan yang tengah terbang di udara yang berwarna seperti api yaitu kuning api. Begitupun londe yang panjang seperti ular. Londe panjang seperti ular berarti simbol atau tanda kematian pria, sedangkan londe bola api menyurapai uraian rambut perempuan yang terbang tanpa diikat oleh ikat rambut yang dibiarkan terurai adalah tanda kematian seorang perempuan.

Londe juga bukan api ja, yaitu sejenis api berwarna hjiau di malam hari berbentuk seperti nyala obor. Bahkan, wera juga bukan mata mbǝre yaitu sejenis api yang bergerak berwarna hjiau tua sebesar ukuran mata cincin batu akik.

Wera persis seperti sinar dalam cerita Reba Ruek di Liang Bua. Wera seperti sinar cakra Wisnu dalam Hindu atau seperti gambaran dari cahaya Kristus dalam buku Kerahiman Ilahi Sr. Faustine atau seperti sinar Antarkarana.

Ada ungkapan bahasa Manggarai khususnya ciri-ciri seorang pemimpin, mereka bilang: "Toe manga weran Kǝraeng hio - Tuan itu tidak punya sinar ketuhahan di dalam dirinya!". Wera itu adalah suatu cahaya yang berasal darimTuhan atau boleh disebut antarkarana.

Awal Cerita.

Asal Mula Nama Kampung Racang.


Andreas Sabin (65) didampingi Benediktus Dasot dan Agustinus Nego menceritakan, dahulu di Racang sebelum lahirnya nama kampung tersebut, ada sebuah wera (sinar cakra seperti antarkarana) turun di atas sebuah bukit kecil di dekat sawah (di sawah sana Racang).

[Ada sebuah bukit di sekitar sawah inilah, wera batu asah itu dulu muncul].

Kemudian lama sekali berselang, ada seorang Kakek bernama Yohanes Gasong mengambil wera atau sinar cahaya yang tidak tahu berasalnya datang dari mana yang kemudian berubah menjadi sebuah batu. Wera tersebut berubah menjadi batu asah. 

[Andreas Sabin]

Kakek Gasong, demikian Andreas, mengambilnya lalu dibuatlah compang persis di Kapela Racang sekarang ini di mana batu wera tersebut disimpan dan diritualkan oleh Yohanes - batu wera itu mirip batu asah milik Raja Alengka Dirja, Rahwana yang disimpan di istana Alengka yang kemudian berhasil dicuri oleh Hanoman sebagai Panglima Perang Sri Rama dan Laksamana saat Dewi Shinta diculik Rahwana pada waktu itu. Ketika itu, versi Jawa, Sri Rama berhasil dipanah oleh Rahwana. Panah itu tidak bisa dicabut. Maka, disuruhlah  Hanoman mengambil batu asah tetapi bersinar itu di Alengka Dirja. Batu asah bercahaya itu berhasil dibawa kabur oleh Hanoman di tempat perkemahan perang Sri Rama. Batu asah lalu dipadukan dengan panah tadi. Tidak lama kemudian, Sri Rama pun selamat dari serangan panah itu. Atas kejengkelan itu, Sri Rama murka lalu menghukum Rahwana).

[Di atas Kapela inilah compang pertama batu asah itu dibangun oleh Yohanes Gasong kala itu].

Tidak lama kemudian, batu asah keramat tersebut pun dipindahkan di dekat compang Lumpung Racang persis di dekat alun-alun. Yohanes Gasong dan orang tua di zaman itu pun akhirnya bersepakat kampung tersebut namanya Racang. Racang sama dengan dali, batu asah.

Andreas Sabin menuturkan, batu asah tersebut tidak akrab ditaruh di dekat compang. Compang dan batu asah tersebut tidak mau tingal sama - rupanya, orang tua di sana tidak boleh memindahkannya ke dekat compang kecuali menyusunnya dalam bentuk susunan batu yang indah karena tidak baku cocok antara batu itu dan compang kalau ditaruh bersama.

Jejak yang Hilang.

Mathias Simoson, Sekretaris Desa Watu Baur menceritakan batu asah tersebut sempat diletakan di dekat compang namun karena ulah ata mbeko (paranormal), mereka hendak membongkar batu tersebut kemudian batunya hilang entah kemana sekarang.

(Mathias Simoson, Sekretaris Desa Baur tengah menunjukkan batu asah itu pernah disimpan dan kemudian jejaknya hilang]

Sementara, Andreas Sabin (65) mengatakan batu asah tersebut sudah terbagi tiga pada waktu itu dan kemudian hilang entah di mana sekarang ini.

Asal Mula Lumpung Racang.

Lumpung berbeda dengan Gǝndang. Lumpung adalah turunan dari Gǝndang. Lumpung masih di bawah kendali Gǝndang. Ada lumpung Rangko Gǝndang, ada lumpung leca Gǝndang. Lumpung Leca Gǝndang adalah lumpung yang hanya dimiliki oleh satu Gǝndang atau warisan satu Gǝndang saja, sementara rangko Gǝndang berarti lumpung yang merupakan gabungan pemberian dari beberapa Gǝndang berdasarkan persetujuan Tu'a - Tu'a Gǝndang.


Lumpung Racang merupakan gabungan dari tiga Gǝndang, yaitu Gǝndang Ruis, Kilit dan Ketang. Gabungan ketiganya berdasarkan kesepakatan tetua adat dari tiga Gǝndang.

Kedatangan Awal.

Agustinus Nego (82), mengatakan yang datang pertama kali di Racang namanya Ǝmpo Punu.

[Agustinus Nego]

Menurut Nego ada tiga Suku di Lumpung Racang, yaitu Pane (Agustinus Nego) ber-cǝki kula, lalu Suku Poco dan Ngine. Kedua Suku tersebut tidak mempunyai cǝki/totemnya.

Cǝki.

Menurut Benediktus Dasot berasal dari Suku Poco. Menurutnya, mereka tidak mempunyai ireng atau cǝki dalam keturunannya - kebenarannya masih ditelusuri Penulis.

[Bene Dasot]

Letak.

Lumpung Racang terletak di Desa Baur, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Benua Asia.

Lingko di Lumpung Rancang.

Ada beberapa lingko di Lumpung Racang, di antaranya: Mberbega, Purang, Bike Lǝwing, Kaca, Dǝngǝr, Cece, Wǝjang Ka, Wagang 1, 2 dan 3, Dulang Emas, Lingko Golo Roho, dan Lingko Mentrahak.

Mata Air.

Beberapa mata air di Lumpung Racang, di antaranya: Wae Lawar, Cǝpang, Wae Tumur, dan Wae Mentrahak. Wae Cǝpang dan Wae Tumur yang kerap mengeluarkan air.

Wae Barong.

Wae Barong lumpung Racang namanya Wae Keramak.

Dataran/Bea. 

Ada pun nama bea/dataran di Racang namanya Bea Wunis, Bea Nio dan Bea Laco.

Bukit.

Ada dua bukit di Lumpung Racang, yaitu Golo Kaca dan Golo Cece.

Dusun.

Ada dua Dusun di Desa Watu Baur, yaitu Dusun Wae Lawar dan Dusun Wae Tumur.
®®®®®®®

Potret Kebeng Lumpung.

Cibal, Kajong dan Loce termasuk Ruis tidak mengenal apa yang disebut dengan congko lokap. Mereka hanya mengenal istilah kǝbǝng. Benda kebeng tergantung, bisa kerbau bisa juga babi. Di Ruis, Loce dan Kajong tidak mengenal apa yang disebut dengan cahir Gǝndang. Mereka hanya menyebut hǝsǝ atau cahir lumpung. 


[Pemain Caci]

[Ronda]

[Tudak]

[Curu]

[Paki Reis]

[Tuak Curu]

[Akrab: Ande Sabin dan Agus Nego]

[Anak SD]

[Padir wa'i, rentu sa'i].

Karakteristik.

Gǝndang ketika dicahir, maka otoritas ada di Gǝndang masing-masing. Tetua Adat di Gǝndang baru dianggap ru tǝng atau diri sendiri yang kuat. Bahasa Soekarno berdikari. Sedangkan, lumpung itu amat fleksibel dengan mana bisa rangko Gǝndang atau leca Gǝndang. Lumpung pun masih bertanggung jawab terhadap Gǝndang utama mereka masing-masing. Misalnya, lumpung Racang bertanggung jawab terhadap Gǝndang masing-masing berdasarkan dari mana suku-suku itu berasal Gǝndang mereka. Namun, tiap acara apa saja di Lumpung Racang tiga Gǝndang wajib mengikuti begitupun bila ada acara di salah Gǝndang, maka warga Lumpung Racang wajib terlibat.


©©©©©©©©©

Mengenal Gǝndang Ruis.

Menurut Andreas Panto, 


[Andreas Panto]

Lumpung Rancang salah satu sumbernya berasal dari Gǝndang
Ruis, Desa Ruis, Kecamatan Reok. Gǝndang Ruis membagi dirinya menjadi beberapa lumpung, yaitu Lumpung Wora, Lumpung Mondak di Desa Ruis termasuk Lumpung Racang. 

Yang datang pernah di Gǝndang Ruis. Ǝmpo dari Keraeng Petrus Aman. Yang kemudian sebagai Tua Golo. Gendang Ruis memiliki 4 panga, Ninge Nampo, Ninge Tu'a, Teke, Poka.

Nenek moyang Petrus Aman berasal dari Nanga Ninge di bagian sekitar Dampek.

Sedangkan, nenek moyang Andreas Panto, datang dari To'e, Desa To'e, Kecamatan Reok Barat. Nama Empo itu Odam. Odam memperisterikan Tinam.

Cǝki Warga Gǝndang Ruis.

Panto mengatakan, di Gǝndang Ruis, Nuku Ninge Nampo bertotem kode termasuk Ninge Tu'a. Suku Teke bertotem tokek. Suku Poka ber-cǝki belum diketahui (Di sini bukan Poka Carep Rutǝng tetapi Poka Ruis). Keturunan Poco berasal dari Gǝndang Poco Kǝtang di Desa Watu Tango, Kecamatan Reok. 

Lingko-lingko di Gǝndang Ruis.

Adapun lingko-lingko di Gǝndang Ruis, di antaranya: Lingko Bu'ar, Lingko Nggolong Watu, Lingko Mberong, Lingko Rame Kukung, Lingko Dǝngǝr (haju dǝngǝr bukan denger jamur), Lingko Nunang, Lingko Golo Lindung, Lingko Purang, Lingko Kero (ada pong kǝro di situ), Lingko Golo Kantor, Lingko Wontong.

Wae Barong.

Gǝndang Ruis memiliki wae barong bernama Wae Re'a. Disebut Wae Re'a karena di situ dulu banyak pohon pandan sebagai bahan dasar pembuat loce (tikar atau mat).

Sumber Mata Air.

Nama sumber mata air di Gǝndang Ruis, antara lain:  Wae Sosor, Wae Natu, Wae Re'a, Wae Babel, Wae Dalu (Dalu Nagong di sini mata air khusus bermandi. Dia adalah Dalu Ruis).

Kali.

Semua kali atau ngalor di Gǝndang Ruis, antara lain: Ngalor Wae Natu, ngalor Wae Waso, ngalor Tengku Kandok, ngalor Wae Pering, ngalor Wae Beci, ngalor Wae Mbeak. Wae Natu, Wae Waso, Tengku Kandok, Wae Pering ketemu di ngalor Wae Mbeak dan berakhir ketemu di Wae Nggorang, Desa Bajak, Kecamatan Reok. Wae Beci ketemu di jembatan Batok. Ulun (hulu) Wae Beci, wain Wae Mes. Wae Mes hilirnya ketemunya di jembatan Batok, Desa Salama.

Bukit.

Adapun nama-nama bukit di Gǝndang Ruis, antara lain: Golo Peri, Golo Kero, Golo Kantor. 

Dataran.

Dataran atau bea-nya, yaitu Bea Bu'ar dan Bea Wunis.

Datum Lain.

Menurut Andreas Panto, di Wae Wua, Desa Sambi, Reok Barat. Ada batu tersusun seperti batu asah).

Kemudian

Awal Mula Nama Kajong. 

Di mata air Wae Kajong zaman dahulu,  demikian Wenslaus Salo,
[Wenslaus Salo]

ada dua laki-laki jalan bersama di dekat mata air Wae Kajong. Yang satu sudah mempunyai isteri dan yang satu masih bujang. Tibalah suatu malam, yang masih muda kedinginan maka dia membuat api unggun. Tiba-tiba, yang satu tengah bersama isterinya merasa kegigilan. Ia pun lalu meminta yang satu itu tidur bersama isterinya, sedangkan dia sendiri menghangatkan badan di api buatan pemuda tadi.

"Ayo, kamu tidur dengan isteriku. Biar aku yang duduk di situ dekat tungku api!", seru lelaki yang sudah mempunyai isteri itu. Pemuda itupun mengamini saja. Salo menuturkan, belum diketahui siapa kedua lelaki itu.

Menurut Salo, di Wae Kajong dahulu ditumbuhi oleh pohon bernama Ajang. Lalu, karena kerap digunakan mereka pun menambahkan ka di ajang sehingga disebut Kajong saja. 

Misteri Tak Terpecahkan.

Salo pun menuturkan, pada bulan 7 - 10 setiap tahun, setiap malam di Kajong sering merasa dingin. Dia mengatakan fenomena alam seperti itu hingga fenomena itu tak terpecahkan warga sekitar.


Foto dan sumber diabadikan, Kamis (28/9/2017) di Kampung Racang oleh Penulis.

26/09/17

AJI GENING DARI WAE TEKU PAU RUTƎNG.


Ditulis oleh: Melky Pantur***, Selasa (26/9/2017).

Aji Gening adalah ilmu yang diberikan untuk memahami setiap bahasa binatang/hewan. Ilmu itu pernah dimiliki Prabu Angling Dharma, Prabu di Kerajaan Malawapati. 

[Wae Teku Pau].

Namun tidak hanya dimiliki Prabu Angling Dharma, ilmu Aji Gening tersebut pernah diajarkan kepada salah seorang gadis mudi bernama Yuliana Jemen di Wae Teku Pau Ruteng, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rǝmbong, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, Indonesia, Benua Asia.


Awal Cerita.

Menurut sumber yang diterima Penulis, enggan menyebutkan namanya, Yuliana Jemen gadis, Jumat siang kala itu, dari rumah di Tulung pergi menimba air di mata air Wae Teku Pau. 

Di mata air itu ada batu bundar kecil (seperti tampak pada gambar). Yuliana mudi bertolak ke sana bersama teman sebayanya.

Suatu Keajaiban.

Ketika Yuliana dan teman mudinya itu tiba di sana, ada dua lubang air yang keluar sebagaimana lazim sebelumnya namun ajaib betul siang itu, satu pancurannya tidak mengeluarkan air. 

Tuna Gǝndang Tampak.

Saat airnya tidak keluar, muncullah seekor tuna gǝndang (belut besar berukuran pendek). Teman Yuliana mudi pun melihat tuna-nya sebagian kepalanya telah bersandar di batu lempeng tersebut. Karena merasa takut, gadis itu pun berteriak hendak memberitahu orang banyak sekitar perihal kejadian itu. Ia berteriak dengan kerasnya sembari tidak meninggalkan bahasa ibunya yang amat kental: "Tuna tompok ho'o ce'e, tuna tompok ho'o ce'e! - Belut besar pendek ini di sini! Sayang benar, suara panggilan mudi itu tak terdengar warga sekitar karena jarak dari rumah warga agak jauh.

Berbincang dengan Tuna Gǝndang

Sementara teman gadis dari Yuliana mudi itu sibuk berteriak ke warga, Yuliana mudi mengambil moment yang tepat. Dia diajak oleh tuna gǝndang itu menawarkan suatu hal kepadanya. Terjadilah silang penawaran. Tuna itu berbicara dalam bahasa manusia,  yaitu bahasa Nuca Lale atau bahasa Manggarai. Temannya tengah berteriak tidak tahu kalau Yuliana mudi tengah berbincang dengan tuna gǝndang itu. Dia terus berteriak, namun tak satupun anak kecil yang tengah bermain-main atau tengah mengumpulkan kayu api tak kunjung datang-datang. 

Begini perkataannya: "Mai teku wae hau - Kamu datang timba air? Jawab Yuli: "Iyo hae!". Dia pun menjawab dengan rasa herannya. Kata tuna gǝndang itu lagi: "Hau ho'o, ngoeng keta campe ata! Kamu itu mau sekali membantu orang!. "Toe manga ha hae! Tidak adalah!", bantah Yuli. Demikian ucap tuna itu lagi: "Aku ngoeng campe hau hae! Hau laku kudut teing apa ho'o tǝlatang'tǝh hau! - Aku mau menolong kamu! Aku mau memberi benda ini kepada kamu! ". Tawaran tuna gǝndang itupun terus ditolak Yulia. 

Karena terus ditolak, tuna gǝndang itupun membuka mulutnya dan mengeluarkan sebuah benda sebesar satu biji padi. Katanya: "Eme kodǝl lehau apa ho'o, nganceng hau campe taung ata so'ot kudut loas da'at keta, nggitu kole so'ot toe nganceng ina one mbaru bǝti! - Jika kamu menelan benda ini, kamu bisa menolong orang yang sakit melahirkan meski parah sekali dan ditolak oleh rumah sakit sekalipun!". Ketegangan pun terjadi. 

[Sumber mata air Wate Teku Pau].

Tuna Gǝndang Kalah.

Yulia pun bersihkeras menolak. Lalu, tuna gǝndang itupun berkata: "Eme ogom hau, kong kodǝl kole lǝ rug! - Karena engkau tidak mau, biar saya kembali telan sendiri!". 
Kemudian, tuna gǝndang itu kembali berkata: "Hau eme tombo, bae lǝhau tombo de cik, tǝkur, mentik, sanggǝd kaka lelap, agu sanggǝd kaka! - Jika engkau bicara, engkau bisa mengetahui semua bahasa binatang!". 

[Batu lempeng di mana tuna gǝndang tersebut menyandarkan kepalanya saat menawarkan ilmu Aji Gening kepada gadis mudi bernama Yuliana Jemen. Gambar diabadikan oleh Penulis, Selasa (26/9/2017)].

Maka Terjadilah!

Berbaliklah kedua gadis belia itu. Persis saat pulang, burung-burung dan beberapa binatang di situ menyapa Yulia: "Kole teku waem hau? - Kamu pulang timba air?". Persis juga Yulia dan temannya saat pulang menginjak semut. Semut-semut itupun mengomel: " Ole toe kat lelo ami hau, meseng kaut beta meu bǝ wa ami! - Aduh kalian tidak menghiraukan kami hanya karena kalian di atas kami di bawah!". Lah, Yulia gadis saja yang mendengar sapaan dan rintihan mereka.

Mimpi. 

Waktu itu, gadis Yulia tengah dijaga ketat oleh sang pemuda bernama Gabriel Rotok. Pemuda Gabriel, sekalipun tidak disukai oleh Yulia mudi, dia tidak pernah putus asa dan menyudutkan diri.

Lanjut! Tidurlah di malam harinya. Mudi Yulia bermimpi didatangi oleh tuna gǝndang itu dan mencium di pipi kirinya. Besoknya, kemudian turun hujan dengan derasnya. Persis di samping rumah Yulia terdapat sebuah kali kecil. Usai hujan, saudaranya bernama Paulus Hari Baik melihat dan mendapati belut dari kali itu. Belut na'as itu pun didagingkan. Sekalipun sudah menjadi menu enak, Yulia mudi karena teringat akan mimpinya semalam memutuskan untuk tidak memakan hidangan belut itu di meja santapan.

Mengamini Tambatan Cinta.

Kendati tidak memakan daging belut itu, Yulia yang tampak berpegang pada mimpinya dan yang lalu tidak memakan daging belut itu kemudian awalnya merasa gatal di bagian pipi kirinya. Yulia kemudian menggaruknya. Karena kerap digaruk, pipinya pun luka dan infeksi. Lama berlalu, luka dipipinya pun terus menghantuinya. Yulia mudi pun nyaris berputus asa. 

Sang Penolong Hati.

Gabriel Rotok, salah seorang pemuda pencinta amat Yulia hari-harinya pun penuh dengan kekuatiran. Kegelisahan menyelimutinya. Rasa kering seperti lahan berbatu karang tidak ditembaki hujan selama berabad-abad membuatnya kian penasaran mendapati idaman jantung hatinya. Bak gayung bersambut, kemarau setahun dihapus dengan hujan sehari, hati pemuda Gabriel kian menemukan titik terang. Maka, datanglah kakak dari sang pemuda Gabriel dari Lamba Leda. Kakaknya bersedia mengobati luka diipipi Yulia gadis asalkan mau menerima lamaran dari pemujanya, adik terkasih Gabriel. "Aku sanggup menyembuhkan lukamu, asalkan engkau mau menerima lamaran dari adikku!", pesan kakaknya. Lalu, tak menanti lama, Yulia yang terjerat perihnya penderitaan 100% menerima pesan perjanjian itu. Ketika Yulia sembuh, Gabriel pun mempunyainya atasnya. Luka hati pemuda Gabriel lunas sembuh terobati. 

Titisan. 

Pemuda Gabriel lalu menjadi penjaga hati Yulia yang hebat. Gabriel memperanakkan Mia Rotok, Mikael Rotok, Getrudis A. Rotok, Kristina L. Rotok, Maria F. Rotok, Christian Rotok, Kurnia Rotok, Anastasia Rotok, Martina M. Rotok, dan Margaretha Rotok. 

Sang Pemopuler. 

Dari 10 bersaudara/i, tumbuh seorang pemuda bernama Christian Rotok. Ia adalah anak keenam. Pa Christ demikian sapaan akrabnya kemudian berhasil menyabet gelar politik sebagai Bupati Manggarai periode 2005 - 2015. Bersama konconya, Dr. Deno Kamelus yang sama-sama jebolan PMKRI kemudian menahkodai Manggarai dua periode sebagai Wakilnya. Awal memang dilematis karena harus berusaha mengalahkan gurunya sendiri, Drs. Anton B. Dagur yang menjabat sebagai Bupati sebelumnya. Ramalan bintang politik sungguh berpihak kepada Pa Christ, guru versus murid namun sang guru harus diganti sang murid. CREDO demikian akronim mereka meraih bintang. Seturut bergegasnya saat, perdamaian politik antara guru dan murid mulai tampak langgeng kembali ketika pertarungan rekannya, Dr. Deno Kamelus yang bersanding bersama Drs. Victor Madur melawan Hery G.L Nabit dan Adolf Gabur mulai dan berlangsung. Permainan catur politik,  crew Deno - Madur mengukir prestasi stampuk kepemimpinan. They were the winner! 

Christian Kecil. 

Drs. Christian Rotok mulai melewati masa rangkakan. Kendati belum bisa berbicara, maklum masih bayi sekali namun berhasil mengucapkan kalimat ini: "Hatiku milik Allah, hidungku milik Allah, mulutku milik Allah!". Yulia ibu, lalu merasa tercengang mendengar seruan bak bisikan sang Nabi di tengah sahara sementara si kecil Christ tidak mengingatnya lagi ketika ditanya Bundanya soal apa yang telah diucapkan. Hal itu membuat Bundanya kian bertanya-tanya, kok balita yang belum bisa ngomong dapat berkata-kata layaknya seorang Nabi. Yulia bunda menyimpannya di dalam hati hingga puteranya tumbuh dewasa. Karena itulah, Yulia ibu mengimpikan buah hatinya menjadi seorang Imam Katolik yang taat karena seruan kenabian itu namun bukan kehendak Sang Kuasa, Pa Christ dipilih menjadi Sang Bupati. Rupanya, kepemimpinan Pak Christ menjawab ungkapan kudus itu bukan menjadi sang Klerus.

Kemudian daripada itu.........

Budaya Ngǝlong.

Benarlah apa yang dialami oleh Ibu Yulia masa mudi, ketika seseorang mengikatkan dua tetumbuhan dengan tali hingga sengsara maka mereka akan menangis kesedihan begitupun ketika telah menyengsarakan binatang, mereka akan menjerit kepada Sang Ilahi.

Ketika tetumbuhan dan hewan menjerit karena disengsarakan oleh perbuatan manusia, maka seseorang akan nangki (sial). Caranya melakukan rekonsiliasi atau ngǝlong

Seorang perempuan, halnya Ibu Yulia, Sobina Sidung dari Sampar pernah berkata kepada Penulis: "Padi yang tengah bertumbuh pun jika tidak diperhatikan tuannya akan merintih kesakitan karena lapar terutama di musin kering karena tidak ada air!".

[Sobina Sidung]

Aristoles bilang dalam teori anima vegetatif di mana tiap-tiap tetumbuhan ada jiwanya. Begitupun, dalam budaya Manggarai: Haju, rǝmang nggitu kole kaka manga dǝ tilud te senget, mata tǝ lelo agu mu'u tǝ tombo - pohon, tetumbuhan, binatang melata ada mata untuk melihat, mulut berbicara dan merintih, telinga untuk mendengar! Maka, pengalaman Ibu Yulia adalah bukti bahwa relasi antara sesama manusia, alam lingkungan, roh alam dan Tuhan tidak bisa terlepas bilamana Aji Gening dimiliki oleh manusia hingga bisa mendengar semuanya itu dan mengetahui rahasia-rahasia buku kehidupan.

Relasi:
Roko Molas Poco, Hǝse Ngando dan Congko Lokap.

Ritual tersebut di atas dilakukan tepat seperti apa yang dialami oleh Ibu Yulia mudi boto babang agu bǝntang, lasa one ranga, bǝti one wǝki, lako ngando, goro bongkok, gege leles, durs bubung, lǝntangs lǝpar, giuks siku - agar jangan ditanya, rumah pun tidak tenang didiami. Dibuatlah acara rekonsiliasi karena mereka adalah makhluk berjiwa agar hidup manusia aman dan tenang.

Pengaitan.

Kisah Mistis di Pau Ngawe.

Tiap-tiap daerah pasti memiliki sejarahnya masing-masing, namun siapa sangka Pau, Pau Ngawe, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rǝmbong memiliki kisah mistis yang betul-betul nyata yang mungkin belum pernah ditulis oleh generasi masa kemarin bahkan termasuk di Wae Ulu Gǝndang Lawir, Kelurahan Lawir, Kecamatan Langke Rǝmbong, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Propinsi NTT, Indonesia. Hal itu dikatakan oleh Aleksius Hambur (62), Minggu (24/9/2017).

Pertama, Mistis di Mata Air Gǝndang Pau.

Di Gǝndang Pau, ada sebuah mata air. Di mata air tersebut mereka menaruh sosor - pipa yang terbuat dari bambu. Di mata air tersebut, terkadang ikan emas kecil keluar sendiri dari mata air tersebut dari lubang mata air tanpa ada yang melepasnya.

Ular Magis.

Tidak hanya ikan emas, bahkan ada ular besar yang tinggal di dekat mata air yang hingga tulisan ini dibuat, tidak seorang pun yang berani memasuki tempat itu terutama mencari tahu keberadaan dari ular itu. Ular itu sifatnya magis dan nyata bahkan seperti tuna gǝndang di  mata air Wae Tuka di Pau Ngawe.

Kedua, Kisah Mistis Mata Air Wae Tuka.

Di Pau Ngawe terdapat sebuah mata air namanya Wae Tuka. Hambur menceritakan, pada suatu ketika Keraeng Nelis Pujeng menimba air di mata air Wae Tuka. Dia menimba air dengan ember. Air itu cino (bening). Saat dia membawanya dari mata air, di dalam ember tersebut tidak ada apa-apanya. Namun, ketika tiba di rumah betapa kagetnya dia melihat belut kira-kira 20 cm dan besarnya berdiameter 50 cm. Keraeng Nelis pun dengan rasa tercengang dan penuh heran mengembalikan belut (tuna gǝndang) itu ke mata air Wae Tuka.

Mobil Berjalan Sendiri.

Bahkan suatu ketika, Ketua Panwaslu Kabupaten Manggarai, NTT, Ibu Marselina Lorensia, perempuan Alumni Unika Kupang dan pernah menjadi dosen Magister Matematika di STKIP St. Paulus Rutǝng, Senin (25/9/2017), menceritakan kepada Penulis, ada dua mobil yang off tengah parkir di alun-alun Tambor dari kampung Pau Ngawe. Banyak warga di sana menyaksikan hal itu di mana salah satu mobil mendorong mobil yang masih parkir di depannya ---sejenis mobil Avansa yang parkir di belakang mendorong sebuah mobil pick up di depannya. Mobil pick up itu terdorong ke depan tanpa ada orang atau manusia yang mendorong mereka padahal mesin dari kedua mobil itu sedang off. Warga yang menyaksikan kejadian itu pada waktu itu keheranan dan ketakutan. Mereka pun membiarkan kedua mobil itu berjalan. Untung saja, setelah beberapa meter pick up didorong ke depan, ceritanya, ada onggokan benda sehingga kedua mobil itu pun berhenti. Kondisi alun-alun datar.

Kisah nyata lanjutan dari mata air Wae Tuka. Suatu ketika, ada banyak warga Pau Ngawe yang melihat tuna gendang di mata air tersebut. Hambur mengisahkan, warga beramai-ramai menangkap tuna gendang tersebut. Mereka pun berhasil menangkapnya dengan menggunakan campat - jaring lonjong yang terbuat dari rotan (wua). Dengan gembira, mereka membawa ke kampung. Tiba di dalam rumah, mereka pun hendak menyembelihnya. Saat mau disembelih, tuna gendang itu pun hilang dengan sendirinya dari dalam rumah.

Tidak lama berselang, hanya beberapa menit usang mela (hujan rintik di siang bolong menyelimuti kampung itu). Bahkan, setelah itu banyak warga yang terkena sakit.

Ketiga, Mata Air di Lawir.

Jarak dari Gǝndang Pau ke Pau Ngawe hanya sekitar 150 meter lebih, sedangkan dari mata air (ngalor) Gendang Lawir diperkirakan tidak sampai 200 meter. Di mata air (wae barong) Gǝndang Lawir salah satu tempat mistis. Di situ uniknya ada banyak katak. Ketika orang hendak memberi umpan sekalipun berapa pun besar katak itu umpannya tidak dimakan. Bila orang hendak mengambil katak di mata air itu dampaknya akan terkena nangki (sial dalam hidup). Hal itu pun pernah dikatakan oleh Donatus Saka, mantan Lurah Lawir namun pada saat sekarang baru Penulis mengabadikannya dengan tulisan.
Semua hal di atas adalah nyata.

Simak di sini:
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/09/kisah-mistis-pau-ngawe-ruteng.html

©©©©©©©©©©©©

Seputar Aji Gening.

Prabu Anglingdarma adalah nama seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Salah satu keistimewaan tokoh ini adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata.

Garis silsilahSunting

Anglingdarma merupakan keturunan ketujuh dari hidayat, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut tradisi Jawa, kisah Mahabharata dianggap benar-benar terjadi di Pulau Jawa.[butuh rujukan]
Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu berputra Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra Jayabaya. Jayabaya memiliki putri bernama Pramesti, dan dari rahim Pramesti inilah lahir seorang putra bernama Prabu Anglingdarma.

KelahiranSunting

Semenjak Yudayana putra Parikesit naik takhta, nama kerajaan diganti dariHastina menjadi Yawastina. Yudayana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada Gendrayana. Pada suatu hari Gendrayana menghukum adiknya yang bernama Sudarsana karena kesalahpahaman. Batara Narada turun dari kahyangan sebagai utusan dewata untuk mengadili Gendrayana. Sebagai hukuman, Gendrayana dibuang ke hutan sedangkan Sudarsana dijadikan raja baru oleh Narada.
Gendrayana membangun kerajaan baru bernama Mamenang. Ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Jayabaya. Sementara itu, Sudarsana digantikan putranya yang bernama Sariwahana. Sariwahana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada putranya yang bernama Astradarma.
Antara Yawastina dan Mamenang terlibat perang saudara berlarut-larut. Atas usaha pertapa kera putih bernama Hanoman yang sudah berusia ratusan tahun, kedua negeri pun berdamai, yaitu melalui perkawinan Astradarma dengan Pramesti, putri Jayabaya.
Pada suatu hari Pramesti mimpi bertemu Batara Wisnu yang berkata akan lahir ke dunia melalui rahimnya. Ketika bangun tiba-tiba perutnya telah mengandung. Astradarma marah menuduh Pramesti telah berselingkuh. Ia pun mengusir istrinya itu pulang ke Mamenang.
Jayabaya marah melihat keadaan Pramesti yang terlunta-lunta. Ia pun mengutuk negeri Yawastina tenggelam oleh banjir lumpur. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Astradarma pun tewas bersama lenyapnya istana Yawastina.
Setelah kematian suaminya, Pramesti melahirkan seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Kelahiran bayi titisan Wisnu tersebut bersamaan dengan wafatnya Jayabaya yang mencapai moksa. Takhta Mamenang kemudian diwarisi oleh Jaya Amijaya, saudara Pramesti.

Pernikahan pertamaSunting

Setelah dewasa, Anglingdarma membawa ibunya pindah ke sebuah negeri yang dibangunnya, bernama Malawapati. Di sana ia memerintah dengan bergelar Prabu Anglingdarma, atau Prabu Ajidarma.
Anglingdarma sangat gemar berburu. Pada suatu hari ia menolong seorang gadis bernama Setyawati yang dikejar harimau. Setyawati lalu diantarkannya pulang ke rumah ayahnya, seorang pertapa bernama Resi Maniksutra. Tidak hanya itu, Anglingdarma juga melamar Setyawati sebagai istrinya.
Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim telah bersumpah barangsiapa ingin menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Maka terjadilah pertandingan yang dimenangkan oleh Anglingdarma. Sejak saat itu, Setyawati menjadi permaisuri Anglingdarma sedangkan Batikmadrim diangkat sebagai maha patih di Kerajaan Malawapati.
Pada suatu hari ketika sedang berburu, Anglingdarma memergoki istri gurunya yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar. Anglingdarma pun membunuh ular jantan sedangkan Nagagini pulang dalam keadaan terluka.
Nagagini kemudian menyusun laporan palsu kepada suaminya, yaitu Nagaraja supaya membalas dendam kepada Anglingdarma. Nagaraja pun menyusup ke dalam istana Malawapati dan menyaksikan Anglingdarma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati. Nagaraja pun sadar bahwa istrinya yang salah. Ia pun muncul dan meminta maaf kepada Anglingdarma.
Nagaraja mengaku ingin mencapai moksa. Ia kemudian mewariskan ilmu kesaktiannya berupa Aji Gineng kepada Anglingdarma. Ilmu tersebut harus dijaga dengan baik dan penuh rahasia. Setelah mewariskan ilmu tersebut Nagaraja pun wafat.
Sejak mewarisi ilmu baru, Anglingdarma menjadi paham bahasa binatang. Pernah ia tertawa menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu membuat Setyawati tersinggung. Anglingdarma menolak berterus terang karena terlanjur berjanji akan merahasiakan Aji Gineng, membuat Setyawati bertambah marah. Setyawati pun memilih Pati Obong, yaitu bunuh diri dalam api untuk mengembalikan harga dirinya. Anglingdarma berjanji lebih baik menemani Setyawati mati, daripada harus membocorkan rahsia ilmunya.
Ketika upacara pembakaran diri digelar pada tanggal 14 bulan purnama, Anglingdarma sempat mendengar percakapan sepasang kambing. Dari percakapan itu Anglingdarma sadar kalau keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan emosional yang justru merugikan rakyat banyak. Maka, ketika Setyawati terjun ke dalam kobaran api, Anglingdarma tidak menyertainya.

Masa hukumanSunting

Perbuatan Anglingdarma yang mengingkari janji sehidup semati dengan Setyawati membuat dirinya harus menjalani hukuman buang sampai batas waktu tertentu sebagai penebus dosa. Kerajaan Malawapati pun dititipkannya kepada Batikmadrim.
Dalam perjalanannya, Anglingdarma bertemu tiga orang putri bernama Widata, Widati, dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta kepada Anglingdarma dan menahannya untuk tidak pergi. Anglingdarma menurut sekaligus curiga karena ketiga putri tersebut suka pergi malam hari secara diam-diam.
Anglingdarma menyamar sebagai burung gagak untuk menyelidiki kegiatan rahasia ketiga putri tersebut. Ternyata setiap malam ketiganya berpesta makan daging manusia. Anglingdarma pun berselisih dengan mereka mengenai hal itu. Akhirnya ketiga putri mengutuknya menjadi seekor belibis putih.
Belibis putih tersebut terbang sampai ke wilayah Kerajaan Bojanagara. Di sana ia dipelihara seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Pada saat itu Darmawangsa raja Bojanagara sedang bingung menghadapi pengadilan di mana seorang wanita bernama Bermani mendapati suaminya yang bernama Bermana berjumlah dua orang.
Atas petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar Bermana palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin Wiratsangka. Atas keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat sebagai hakim negara, sedangkan belibis putih diminta sebagai peliharaan Ambarawati, putri Darmawangsa.

Kembali ke MalawapatiSunting

Anglingdarma yang telah berwujud belibis putih bisa berubah ke wujud manusia pada malam hari saja. Setiap malam ia menemui Ambarawati dalam wujud manusia. Mereka akhirnya menikah tanpa izin orang tua. Dari perkawinan itu Ambarawati pun mengandung.
Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung tanpa suami. Kebetulan saat itu muncul seorang pertapa bernama Resi Yogiswara yang mengaku siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati.
Yogiswara kemudian menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati. Setelah melalui pertarungan seru, belibis putih kembali ke wujud Anglingdarma, sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim. Kedatangan Batikmadrim adalah untuk menjemput Anglingdarma yang sudah habis masa hukumannya.
Anglingdarma kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari perkawinan kedua itu lahir seorang putra bernama Anglingkusuma, yang setelah dewasa menggantikan kakeknya menjadi raja di Kerajaan Bojanagara. iya pun mempunyai musuh yang bernama durgandini dan sudawirat
Pada suatu saat kerajaan Angling Dharma berjaya dan mampu menaklukan musuh-musuhnya, dan saat itulah sudawirat terbuka hatinya untuk mengabdi kepada Kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma.

SinetronSunting

  • Angling Dharma (2001-2005)
  • Angling Dharma 2014 (2013-2014)
  • Di daerah pati tepatnya di desa baleadi terdapat sumur yang bernama 'sumur jolotunda' sumur tersebut peninggalan Nagaraja yg letaknya di sebelah selatan makam dari Anglingdarma dan setiap bulan syura banyak dikunjungi masyarakat dari jauh.
  • Dan disebelah timur desa baleadi tepatnya di desa kedung winong terdapat makam patih batik madrim juga dalam kisahnya kerajaan malawapati mempunyai kerajaan sahabat yg bernama kerajaan kalinggapura, kerajaan tersebut ada di wilayah kabupaten jepara diperbatasan dengan kabupaten pati yg saat ini dikenal dengan " KELINGAN " oleh karena itu saya yakin dan percaya kalau kerajaan malawapati dulu ada di daerah.

Refrensi tambahan: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Anglingdarma.