Penulis.
Sǝrnai, Motang Rua, Lalong Bakok, Ndewa, Ndiwar Kewali, Watu Ranggi
Sǝrnai, Kisah Perang Tempo Dulu
Watu Ranggi.
Salah satu tempat menarik yang memiliki nilai sejarah tinggi adalah Watu Ranggi. Watu (batu) tersebut terletak di Desa Ranggi, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Mengapa dikatakan sebagai watu ranggi?
[Watu Ranggi]
Menurut Yohanes Ngagut, salah seorang tokoh di Ranggi, mengatakan, watu tersebut disebut watu ranggi karena saat perang antara Todo melawan Cibal dulu, prajurit mengikatkan barang mereka di sana. Ranggi tersebut diartikan mengikat.
[Yohanes Ngagut]
Konon, cerita Ngagut, sebelum berperang melawan musuh acara selek (membereskan semua peralatan perang dilakukan di watu ranggi tersebut). Selain tempat selek saat perang, di tempat itu juga gong tanda perang dibunyikan. Kalau gong itu dibunyikan dari situ, maka semua orang berilmu dan semua orang pandai berperang berkumpul di tempat itu untuk pergi berperang.
Peperangan antara Todo dan Cibal tempo dulu didukung oleh sekutu masing-masing. Todo bersama Ruteng melawan Cibal yang bersekutu dengan Bore (Ndoso), Rahong (Rangges) termasuk Cibal (Wudi).
Alasan Ruteng mendukung Todo melawan Cibal dilatarbelakangi oleh kaena perkawinan. Kedua persekutuan tersebut, sebelum melawan Cibal, mereka mempersiapkan alat perang mereka dari dan di watu ranggi . Perang selalu dimenangkan oleh Todo-Ruteng.
Menurut Ngagut, orang pertama yang mendiami kampung Ranggi adalah keturunan Maro. Namun, belum diketahui apakah ada hubungan dengan Maro orang Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai.
Maro, menurut Yohanes, mempunyai keturuanan beranama Suing. Maro, kata dia, dulu datang di tanah Nucalale dengan menggunakan sampan dan nama sampan itu adalah nuling. Karena disebut nuling, maka cǝki atau totem mereka adalah nuling. Nuling tersebut adalah pohon rutǝng itu sendiri.
Kemudian, Suing kian dewasa dan memperanakan Sangka, Bero, Mero, Kembang, dan Wanda. Sangka ini melahirkan keturunan Rensi Ambang di Cumbi; Bero memperanakan keluarga Wotok; Mero memperanakan keluarga yang juga ada di Purek; Kembang memperanakan keluarga yang juga ada di Taga; dan Wanda menghasilkan keturunan orang Ranggi.
Dari keturunan Maro tersebut, Wandalah yang mendiami kampung Ranggi pertama kali. Wanda memperanakkan Antal, Antal memperistrikan Iju. Antal memperanakkan Calang, Mbaka dan Tangkas. Calang memperanakkan Alfons Daha, Bertolomeus Abut, Ana Sinung, Yohanes Ngagut, Elisabet Ngilut, Markus Akang, Bernadus Nggadu.
Mbaka memperanakkan Hanis Ronco, Sobina Sidung, Kelara Ngamur, Maria Mbahung. Hanis Ronco memperanakkan Hendrikus Sonto. Tangkas memperanakkan Anton Pal, Petrus Ndadut, Rius dan Matius Ero.
Selanjutnya, pada masa Wanda, perang Todo versus Cibal meletus. Wanda dipercayakan oleh Todo untuk memimpin perang yang dimulai di Ranggi. Wanda inilah yang bergelar Sernai, Keraeng Sernai. Konon, Wanda kemudian dipercayakan oleh Todo untuk mengurus taki mendi. Persis tempo itu, Todo harus membayar upeti ke Bima dengan bahkan menggunakan sistim taki mendi.
[Rupa bendera yang pernah dikibarkan di Golo Curu].
Disebut Watu Ranggi, yang kemudian menjadi nama kampung Ranggi karena Wanda sang komdan perang selalu mengikat peralatan perang mereka di watu ranggi. Peralatan mereka diikat di Watu Ranggi, baik saat mau pergi berperang ataupun sesudah pulang, di sanalah perkakas tersebut diikat kembali.
Di watu ranggi itu pulalah, gong perang ditabuhkan. Ketika gong itu berbunyi, maka tanda perang dimulai lagipula tempat tersebut sangat strategis berdekatan dengan Ndoso dan Cibal yang memang menjadi musuh Todo masa itu. Usai perang, pasukan kembali ke Todo melewati Golo Curu lalu ke Ruteng (kota sekarang-red). Di puncak Golo Curu itulah bendera kemenangan ditancapkan. Bendera tersebut berwarna merah putih berbentuk runcing kerucut (seperti bendera Hastinapura dalam kisah Mahabharata-red).
[Keris inilah yang telah membunuh Mori Reok oleh Sernai]
Yohanes Ngagut tengah memegang keris pusaka milik Sernai
Salah satu peninggalan sejarahnya adalah keris pusaka yang merupakan milik Sernai yang disimpan Yohanes Ngagut hingga sekarang di Ranggi, yang menurut ceritanya keris tersebutlah yang pernah dihunuskan untuk membunuh salah seorang pemimpin penting di Reo zaman itu. Barang tersebut, pasalnya, dibawa dari Minangkabau. Uniknya, keris tersebut memiliki wera (kekuatan sinar, cahaya). Ngagut mengaku wera ituberbentuk naga ular api yang bercahaya yang pada waktu tertentu hadir dalam bentuk seperti bola api di bubungan rumahnya di Ranggi. Hal itu kadang terjadi.
Edisi Heroik Ngalor Sua, Kisah Permulaan Patriotisme.
Sejarah tentang Guru Ame Numpung yang dijuluki Motang Rua dan sebagai lalongn Manggarai yang dikenal sebagai ata rani, sebagai orang yang jago perang dengan bermodalkan kapak dan parang melawan Belanda adalah cerita yang mengambarkan dirinya sebagai orang yang lihai dalam urusan pertempuran. Guru Ame Numpung, sang pemimpin perang berintelek.
[Motang Rua atau Guru Amed Numpung]
Menurut cerita dari Yohanes Ngagut, di kampung Ranggi, Rabu (15/8/2012) di kediamannya, Motang Rua bukanlah seorang yang pandai membunuh, suka membunuh, seorang yang pandai berkelahi tetapi Guru hanyalah seorang yang cerdik, pintar dan pandai berpolitik. Guru diakui sangat lihai dalam menghadapi lawan-lawannya di medan tempur.
Peristiwa Ngalor Sua kala itu, yang menewaskan 10 orang serdadu Belanda di Ngalor Sua hanya sebuah kecerdikan belaka. Yang membunuh ke-11 serdadu Belanda bukanlah tetapi 1 orang lain yang jago rani, jago berkelahi.
Cikal Bakal Perang Ngalor Sua.
Demikian Yohanes, menurut tuturan langsung Motang Rua kepadanya di Ranggi dulu, Perang Ngalor Sua bermula dari sebuah kejadian. Konon, suatu hari ada seorang anak (muda) dari Rutǝng pergi ke Borong membawa kopi dan beras untuk ditukarkan dengan uang.
Sesampai di Borong, anak itu dipukul oleh orang Bugis. Anak muda itu pun pulang ke Rutǝng dan melaporkan kejadian itu kepada keluarga. Maka, turunlah Motang Rua dan Beo Menggong ke Borong menghajar orang yang telah memukul anak tersebut.
Orang Bugis itupun segera melaporkan kejadian yang menimpa drinya kepadaSerdadu Belanda di Maumere. 11 Serdadu Belanda pun mencari Guru dan Beo Menggog di Beo Kina. Pihak Guru dan Beo Menggong mendengar kabar tersebut lalu mengumpulkan orang-orang yang pandai berperang dan menghadang 11 serdadu tersebut di Ngalor Sua. Ketika ke-11 serdadu tersebut masuk lembah kali, kelompok Guru mengempung dari semua arah.
Ke-11 serdadu tersebut tidak berdaya sehingga pihak Motang Rua dalam bahasa Manggarai cikat keta (belah tanpa karuan). Saat tengah berlangsung pertempuran, tinggal satu saja Serdadu Belanda yang selamat.
Serdadu yang selamat tersebut berhasil menembak salah seorang teman perang Guru, dalam bahasa Manggarai empo data Nangka (keturunan Nangka) saat mengejar serdadu tersebut. Empo data Nangka ditembak mati dan persis terkena peluru bedil di bawah dagu hingga kepala terbongkar. Begitu, keturunan Nangka tersebut tewas, maka berlarilah anggota pasukan Motang Rua.
Serdadu yang selamat tersebut kemudian menyembunyikan diri di Tengku Lait dan berhasil meloloskan diri lau melaporkan peristiwa tersebut kepada atasannya di Maumere.
Tiga bulan berselang, datanglah serdadu Belanda ke Kuwu dengan membawa begitu banyak serdadu dan menyerang dari tiga arah. Tiga arah tersebut arah Wae Garit, arah Taga dan di tengahnya.
Mendengar kabar kedatangan pasukan Belanda, kelompok Guru akhir berkumpul untuk menghadapi perang kedua.
Sayangnya, kelompok Guru dan Beo Menggong hanya melawan serdadu yang satu arah sementara dua arah lainnya tidak diketahui. Pasukan Motang Rua dan Beo Menggong pun lari. Kekalahan taktik perang itulah menimbulkan banyak jatuh korban di Kuwu terutama mereka yang jago perang.
Melihat peristiwa tersebut, maka larilah Guru ke Nanga Leca dekat Wae Racang (dikatakan Nanga Leca karena satu saja nanga yang tumbuh di situ), sementara Beo Menggong lari di Tengku Mori di Watu Wirung di bawah tengku Wae Garit).
Belanda ke Beokina Menangkap Isteri Guru.
Pihak serdadu Belanda mencari otak dari pembunuhan di Ngalor Sua yang menewaskan 10 serdadu Belanda waktu penyerangan pertama. Maka tangkaplah isterinya Motang Rua di rumahnya.
Saat ditangkap, pihak serdadu memberi perintah agar memberitahu persembunyian Motang Rua. Maka disuruhlah salah seorang untuk mencari dan memberitahu persembunyian Motang Rua.
Sesampai di Nanga Leca, pengkabar tersebut memberitakan kepada Motang Rua tentang istrinya yang sudah ditahan serdadu. Bergegaslah Guru ke Beo Kina.
Di Beo Kina, dengan menggunakan kode-kode tertentu yang diberitahukan oleh serdadu Belanda, maka Motang Rua mengangkat tangannya ke atas tanda menyerah. Nasib yang sama juga dialami oleh Beo Menggong.
Uniknya saat ditahan, Guru dipaksakan oleh serdadu Belanda untuk diasingkan dan dipenjarakan, Guru menolak karena hanya sendirian, Guru meminta harus dengan Beo Menggong. Maka berangkatlah Guru dan Beo Menggong ke Maumere (dipenjara di sana). Kemudian mereka dibawa dari Maumere ke Kupang (di Kupang dipenjara).
Ada pun Guru dikenal oleh serdadu sebagai orang yang jago rani dan berilmu tinggi (mbeko mbeter). Dari Kupang, Guru dilemparkan ke Batavia (Jakarta sekarang) dari Batavia dipenjarakan di Nusakembangan.
Guru Melumpuhkan Nepa/Ular Sanca Besar.
Di Nusakembangan, Guru dipenjara dengan orang-orang yang paling jago berkelahi dan berperang yang ditahan oleh serdadu Belanda dari berbagai daerah.
Suatu ketika, ada seorang yang perawakannya besar. Orang tersebut yang paling jago berkelahi di penjara (zaman mereka), maka ditawarkanlah dirinya untuk bertarung dengan Guru. Guru tidak menolak. Sebelum orang jago bertarung dengan Motang Rua, orang tersebut telah menewaskan dua orang lawannya. Sementara, perkelahian mereka menggunakan senjata tajam yaitu masing-masing mengenggam sebilah pisau.
Saat pertarungan tengah berlangsung, Guru sangat lihai dalam mbeter (dia pandai menghindar dengan melompat silih, badannya lincah menyilih). Tiga kali serangan diarahkan kepada Guru, namun dia melompat silih, mbeter maka karena saking marah, hanya sekali tusuk Guru pun menggugurkan lawan tarungnya.
Melihat peristiwa tersebut, orang sepenjara menjadi takut pada Guru karena yang dibunuhnya adalah orang yang paling geng, paling sangar dan ditakuti seluruh penghuni sel. Pihak sel pun melemparkan Guru ke sebuah ruangan yang lain. Saat Guru berada dalam ruang tahanan tersebut, pihak penjara melepaskan seekor ular nepa/sanca besar yang panjangnya 5 meter sementara tinggi tembok 6 meter.
Lazim Guru selalu mengikatkan pinggangya dengan kain gereng, kain berwarna merah. Guru mendengar sebuah suara dan suara tersebut ternyata nepa yang dilepaskan ke ruang tahanannya. Guru tidak hilang akal, dilepaskanlah gereng tersebut dari pinggangnya dan dilemparkannya ke tiang lintang di bawah atap. Waktu itu kayu lintang hanya satu saja di bawah atap seng. Guru kemudian mengikat ujung gereng tersebut dengan sebuah benda dan dilemparlilitkan di balok talang. Dia naik ke balok talang tersebut dengan kain gereng tersebut. Usaha Guru berhasil dengan memeluk di talang balok tersebut selama beberapa jam.
Nepa yang lapar tersebut berusaha meraihnya di atas balok selama tiga kali. Karena tinggi tembok 6 meter, panjang nepa tersebut hanya 5 meter. Ketika nepa tersebut berusaha meraihnya, nepa tersebut jatuh ke lantai semen hingga hanya 3 kali, lalu mati karena kepala dan badannya terbentur lantai semen. Mulut nepa tersebut mengeluarkan darah dan akhirnya mati.
Melihat itu, Guru menjadi agak tenang. Awalnya, Guru tidak percaya, maka selang beberapa menit kemudian, Guru turun turun memeriksa keadaan nepa tersebut dengan batuan kain tadi. Guru memang canggung, awalnya dia ragu tapi setelah dicek tenyata nepa itu sudah tidak bernyawa lagi.
Seluruh penghuni sel semakin takut kepada Guru. Belanda pun putus asa. Belanda kemudian memanggil Guru menghandap. Mereka pun menanyakan kepadanya bagaimana cara dia mengalahkan nepa tersebut.
Guru kembali tidak hilang akal. Dia kemudian menipu serdadu Belanda. Saat ditanya bagaimana caranya, Guru pun menjawab bahwa dia koket (hanya dengan satu pukulan dengan satu tangan saja nepa tersebut langsung mati) saja ular tersebut dan langsung mati. Melihat demonstrasi dan mendengar kesaksian Guru, pihak serdadu menjadi amat takut dan dirinya dipulangkan ke Batavia.
Awalnya, hanya Guru saja yang diizinkan untuk dipulangkan ke Batavia dan kembali Manggarai, tetapi Guru menolak karena harus dengan Beo Menggong. Pihak Belanda menolak, tetapi karena Guru mengancam akan membunuh semua orang yang ada di dalam penjara tersebut, Belanda pun menjadi ketakutan dan kemudian mengamini permintaan Guru. Guru akhirnya dibawa ke Batavia bersama Beo Menggong.
Jalan Kaki dari Batavia Tembus Surabaya.
Dari Batavia, Guru bersama Beo Menggong berjalan kaki menuju Surabaya. Di Surabaya Guru dan Beo Menggong binggung pulang lewat mana. Saat tengah di Surabaya, mereka berjumpa dengan dua orang perempuan kakak-beradik dan tinggal dalam satu rumah.
Karena binggung pulang, Guru kemudian memperistrikan adik sementara Beo Menggong memperistrikan kakak dari istrinya Guru. Kedua perempuan tersebut melahirkan anak. Guru dan Beo Menggong menetap dua tahun di Surabaya. Suatu hari, Guru dan Beo Menggong pergi mencari kayu api di hutan di pesisir pantai. Maka tiba-tiba muncullah sebuah kapal dan setelah mereka memperhatikannya dengan baik ternyata kapal tersebut dari Reo.
Kapal tersebut masih secara sembunyi bersandar di tepi pantai. Saat itu, Guru dan Beo Menggong berusaha mendekati kapal tersebut dan ketika mereka melihat, kapal tersebut mirip kapal dari Reo. Lalu mereka bertanya kepada awak kapal dalam bahasa Manggarai. Ternyata kapal tersebut dari Reo. Dengan senang hati dan penuh gembira, Guru dan Beo Menggong pulang ke Manggarai melewati Reo. Sampai di Reo, mereka lalu menuju Ruteng dan lalu kembali ke Beokina.
Berdasarkan tuturan Guru melalui Ngagut tergambar dengan jelas bagaimana peristiwa heroik di Ngalor Sua dari pasukan Guru melawan Belanda, yang sekalipun berawal dari hal yang sepele namun terpancar dengan sangat terang sikap patriotisme kelompok Motang Rua pada waktu itu sebagai bagian dari upaya membebaskan diri dari tekanan penjajah, dan berusaha untuk memulangkan serdadu Belanda dari bumi Congka Sae kendatipun mengorbankan diri dan kehilangan arah masa depan keluarga yang ditinggalkannya selama mengalami proses pembuangan dari satu tempat ke tempat yang lain bahkan disel di beberapa tempat dengan situasi yang serba genting karena harus menghadapi pelbagai tantangan berat. Sebuah kisah perjuangan yang amat menyanyat hati dan layak mendapat predikat patriot-patriot Congka Sae.
Lalong Bakok Korban Mata Pisau Perang Aceh versus Kompeni.
Japarang kelahiran 1939, warga asal Pulau Mesa, Desa Pasir Putih, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, di Warloka, Sabtu (23/2/2013).
Menurut Japarang, keturunan Motang Rua datang dari Minangkabau. Mereka datang ke Warloka. Nenek moyang pertama mereka adalah Datuk Ince Ismail dengan istri dan anaknya. Anaknya Datuk Ince Ismail ini bernama Datuk Muhamad Sidi. Datuk Muhamad Sidi ini kemudian mengambil istri dari Todo, namanya Saima. Bapaknya Saima berasal dari Narang, namun namanya tidak diketahui. Bapaknya Saima rait-nya (Rait adalah predikat yang ditunjukkan seseorang pada dirinya sendiri. Rait diberikan oleh diri sendiri. Biasanya, rait diberikan oleh Roh Tuhan yang mengilhami, menginspirasi seseorang sehingga seseorang itu berilmu tinggi atau seseorang menjadi paranormal-red) adalah Laki Rantang. Laki Rantang ini adik-kakak bapak dengan Motang Rua. Laki Rantang ini lahir di Todo. Asal kudanya Laki Rantang dari Warloka. Ayah dari Lalong Bakok dan Motang Rua adalah Laki Rae.
Istri Lalong Bakok berasal dari Todo. Ciri-ciri Lalong Bakok, yaitu: badan besar, kaki dan tangan berbulu semua dengan posisi berdiri, suara besar, rambut berdiri ke atas, kumisnya panjang dan berputar naik ke atas, janggut hitam panjang dengan posisi ke bawah lalu naik ke atas, badannya kuning langsat, rambut depan telinga juga naik ke atas, senang disebut sebagai Panglima Perang.
Menurut Japarang, bahwa dirinya adalah anak angkat dari Lalong Bakok. Pada umur 50-an, setelah pulang perang dari Aceh, Lalong Bakok sering menggendong Japarang bahkan tinggal dengannya.
Lalong Bakok Perang ke Aceh.
Ini adalah cerita lansung Lalong Bakok kepada Japarang
Awalnya Lalong Bakok dipanggil oleh Belanda ke Ruteng. Lalong Bakok tinggal di Beo Kina. Pada saat itu, Belanda kewalahan menghadapi Aceh karena itu mereka mencari orang yang jago berkelahi. Maka dapatlah kabar, Belanda segera menuju Beo Kina dan membujuk Lalong Bakok. Belanda menipu Lalong Bakok untuk mengikuti sidang di Mbai. Pada saat itu, Surabaya adalah Mbai kedua.
Lalong Bakok ditipu dan menuju Reo. Mereka ada 9 orang yang dipimpin oleh Lalong Bakok. Dari Reo kapal mereka menuju ke Aceh. Sampai di Aceh, kapal bersandar di pantai.
Sesampai di tepi pantai, Serdadu Belanda tidak turun dari kapal tetapi menyuruh kesembilan orang itu untuk menyerbu benteng Aceh. Namun karena benteng kerajaan ada di puncak gunung yang dikelilingi tebing, tujuh teman Lalong Bakok meninggal saat menaiki tebing karena pihak Aceh menjatuhkan potongan-potongan besi besar yang berbentuk selinder sehingga menggenai ketujuh orang tersebut dan meninggal.
Hanya dua orang yang luput, yaitu Mayong sepupu bapaknya dan Lalong Bakok. Itupun karena mereka berdua menadah besi-besi besar yang dijatuhkan Aceh dengan pundak mereka. Waktu itu perang berlangsung selama lima hari. Yang memimpin perang dari Aceh adalah Sultan Muhammad. Pada hari kelima, Lalong Bakok berunding dengan Mayong untuk menggunakan meriam. Mereka bersepakat siapa duluan.
Hasil kesepakatan, Lalong Bakok naik di atas anak meriam dan anak meriam tersebut ditembakkan oleh Mayong dari kapal. Upaya mereka berhasil. Meriam masuk di istana, di benteng pertahanan. Begitu pula Lalong Bakok berhasil sampai di atas benteng. Namun, Lalong Bakok langsung dirantai besi, dipancung di dua buah kayu kemudian diikat ke dua tangannya dengan rantai besi.
Suatu waktu tepatnya hari Jumat. Hari itu pasukan Aceh pergi sholat di Masjid, sementara tidak ada yang menjaga Lalong Bakok. Konon Lalong Bakok berilmu tinggi. Dengan santai dia menghancurkan kedua rantai yang membelenggu tangannya. Sepulang ngaji, pasukan Aceh kaget karena dia terlepas.
Keesokan harinya, dibuatlah kesepakatan, undian dengan Sersan III pasukan Aceh. Kesepakatannya adalah Lalong Bakok ditembak oleh Pasukan Aceh dengan jarak 7 meter. Saat ditembak, senjata tidak mengeluarkan suara dan patah dengan sendirinya menjadi dua. Lalong Bakok tidak mati.
Tibalah giliran Mayong. Sersan III pasukan Aceh kemudian menembak Mayong dengan senjata, jaraknya 7 meter. Tetapi sebelum menembak, mereka membuat kesepakatan. Kesepakatannya adalah kalau penembak mati, Mayong tidak boleh dihukum. Suasana semakin tidak dipercaya karena Sersan Aceh tidak percaya. Kesepakatan itupun diterima. Penembakan itu disaksikan banyak orang.
Mulailah penembakan. Sersan III Aceh mengarahkan senjatanya ke arah Mayong. Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah pada saat tembak, senjata terlipat ke bawah dan malah peluru keluar mengenai tubuh penembak, yaitu tubuh Sersan III Aceh. Maka tinggallah Lalong Bakok dan Mayong di benteng tersebut.
Timbul ide dari Mayong dan Lalong Bakok untuk menciptakan rasa damai dan tidak menimbulkan kecurigaan orang Aceh.
Saat orang Aceh yang beragama Islam ke Masjid, Lalong Bakok dan Mayong ikut berdoa di Masjid, sehingga orang Islam Aceh menganggap mereka adalah orang Muslim. Begitupun pada saat orang Kristen ke Gereja, mereka turut ke Gereja. Konon Gereja dan Masjid di situ berdekatan. Trik mereka berhasil akhirnya perang tidak meletus antara mereka berdua dengan Kerajaan Aceh.
Mereka kemudian tinggal di Aceh selama dua tahun dan mengambil istri di sana. Masing-masing mereka memiliki anak. Setelah dua tahun berselang, Lalong Bakok kembali ke Manggarai melalui Reo. Sedangkan, Mayong turun di Lombok Timur, namun Mayong meninggal di Labu Padi-Sumbawa. Istri Mayong adalah orang Bajo.
Motang Rua Diduga Titisan Sang Ndewa.
Pra kemerdekaan NKRI, Manggarai dikuasi oleh Sultan Bima yang kemudian membagi dalam bentuk Dalu. Di Nucalale, Dalu (Camat zaman sekarang-red) yang berkuasa pada zaman itu (zaman sebelum kemerdekaan RI-red) hanya ada tiga, yaitu Dalu Bajo, Dalu Sanga Dewa dan Dalu Todo. Todo kemudian membagi beberapa Dalu lagi.
Ketiga Dalu tersebut masing-masing berasal dari Keturunan Ndewa, Goa dan Minangkabau. Dalu Todo adalah keturunan Minangkabau, Goa diduga dari Minangkabau, sedangkan Sanga Ndewa adalah keturunan asli Golomori.
Pada zaman Belanda, diangkatlah Raja Manggarai pertama dari keturunan Mashur yaitu Raja Baruk. Mashur menurut buku Histiografi Manggarai, Damian Toda, datang dari Mata Wae, Manggarai Barat. Di Todo dia mengambil seorang perempuan. Isteri Mashur yang melahirkan keturunan Raja Baruk adalah keturunan manusia roh atau manusia langit bernama Rewung Ngoel. Rewung Ngoel diduga berasal dari keturunan Kodalam asal Turki. Kodalam melahirkan Juawone dan Juawone memperisterikan darat yang terkenal dengan sejarah Pong Dode di Mano, Manggarai Timur. Kembali ke Ndewa, menurut warga Warloka, H. Muhammad Raila, menuturkan, keturunan Ndewa ada hubungannya dengan Sultan Bima.
Ndewa Hubungan dengan Daerah Lainnya.
Berdasarkan pengalaman sejarah, daerah-daerah di Manggarai yang mungkin erat kaitannnya dengan Ndewa-Golomori yang mempunyai hubungan dengan manusia langit adalah sejarah Ruteng Pu’u di Ruteng, Watu Compang Tureng di Desa Ceka Luju di Satar Mese Barat, sejarah kampung Kaca di Wae Ajang, Satar Mese, sejarah Poco Kuwus dan Watu Ompu dekat Semang dan Tado, dan salah satu tempat di Macang Pacar.
Dari sisi keperkasaan dan ilmu yang dimiliki oleh Motang Rua dan kakaknya Lalong Bakok, erat kaitannya dengan Ndewa di Golomori. Diduga ayah dari Motang Rua adalah Empo Rae atau dikenal Laki Rae yang berasal dari keturunan Ndewa di Golomori. Ibu dari Motang Rua berasal dari Narang keturunan Todo. Sedangkan, Motang Rua adalah salah satu keturunan dari Todo, keturunan berdasarkan silsilah matrilineal. Secara Matrilineal, Motang Rua adalah keturunan Ndewa. Hal itu didukung oleh ilmu yang dimiliki oleh Laki Bakok dan Motang Rua. Dari perkawinan Laki Rae dan istrinya (namanya belum diketahui) menghasilkan Laki Bakok dan Motang Rua. Laki Bakok berhasil berperang melawan Raja Aceh karena dihasut oleh Belanda, sedangkan Motang Rua berhasil membunuh 10 tentara Belanda di Ngalor Sua bersama Beo Menggong yang kemudian dibuang dan dipenjarakan di Nusa Kembangan.
Warga Lo’ok di Golomori menilai berdasarkan sejarah, Motang Rua adalah darah keturunan Ndewa.
Golomori, Ndewa dan Ndiwar Kewali Harta Karum Sejarah yang Terpendam.
Cerita tentang Golomori begitu panjang. Berikut sejarahnya.
Awal Mula Penciptaan.
Penuturan Lain tentang Sejarah Golomori dan Ndewa
Menurut Mela (71), warga Tao, Desa Golomori, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/2/2013) mendengar cerita orang tua dan nenek moyangnya menuturkan awal mula kehidupan orang pertama yang mendiami Golomori (Golomori---nama sekarang ini-red) adalah orang keturunan Suku Ndewa atau Sanga Ndewa.
Mela menuturkan, dulu di Golomori dan sekitarnya tidak ada manusia. Di Lo’ok ada sebuah sungai (ngalor), telaga dan pohon beringin (langke dalam bahasa Manggarai-red).
Di suatu pagi, turunlah 7 gadis cantik dan hendak mandi di sebuah telaga, tepatnya di ngalor Lo’ok. Nama ketujuh gadis itu (sebut saja-red), Pitu (7), Enem (6) Lima (5), Pat (empat), Telu (3), Sua (dua), Ca (1). Anehnya, si Ca (1) menjadi manusia laki-laki tetapi mulutnya kecil seperti ikan ipun (ipung).
Dari hari ke hari mereka semakin dewasa. Mereka tinggal di gua dan karena begitu dekat mereka kemudian saling jatuh cinta, maka lahirlah seorang anak. Dan mereka kemudian tinggal di Lencung. Tempat timba air mereka bernama Ngila atau di Ngila.
Kemudian sejarah tentang kedua manusia itu seakan-akan hilang ditelan masa hingga ribuan bahkan jutaan tahun kemudian.
Era Baru Mulai Dirajut.
Lalu mulailah dengan benang baru. Sejarah keturunan Ndewa mulai terungkap lagi sejak keturunan Sie dan Hada. Mereka berdua adalah satu garis keturunan. Sie nama panggilnya Pindes, sedangkan Hada nama panggilannya Amnama.
Hada ini tidak diketahui nama orang tuanya, sedangkan Sie adalah adik dari ayahnya Hada. Karena itu, status Sie berasal (entah bapak kecil atau bapak tua-red) dari Hada. Sie istri pertamanya Laci (Serlalo), istri keduanya Sie adalah Ampeng. Anaknya Laci adalah Ratu. Anaknya Ratu adalah Surdin. Anaknya Ampeng adalah Usud Saman. Anaknya saman adalah Usu Sahar, anaknya Saman adalah Daud. Sedangkan, anaknya Hada bernama Rana. Anaknya Rana adalah Sawa.
Mulai dari keturunan Saman hingga keturunan Ndewa sampai tahun 2013 adalah keturunan yang 35 atau sekarang garis keturunan yang ke-35 ditarik dari zaman Saman. Sedangkan, mulai zaman hingga ke-7 gadis yang turun di telaga Lo’ok garis keturunannya tidak diketahui. Diuga ribuan, jutaan, bahkan lebih garis keturunan sejak dunia dijadikan. Hal ini berdasarkan informasi yang diberikan oleh orang Golomori.
Cikal Bakal Nama Golomori.
Pertanyaannya, mengapa disebu1t Golomori? Ini pertanyaan penting untuk mengungkap sejarah Golomori. Disebut Golomori, menurut Mela, Sie mempunyai seorang nenek moyang perempuan yang bernama Ndiwar Kewali.
[Puncak Golomori di Lo'ok]
Sisi lain dari Golo!ori.
Ndiwar Kewali ini semakin tumbuh dewasa karena itu orang tuanya membuat kamar sendiri. Mereka juga memelihara binatang piaraan seperti anjing. Suatu sore, seekor anjing mengonggong dan anehnya tidak ada seorang manusia pun yang melihat.
Suami Ndiwar Kewali dan Pelanggaran Perjanjian.
Suatu malam, orang tua Ndiwar Kewali merasakan sepertinya ada kehadiran seorang di kamar Ndiwar Kewali. Dan itu terjadi selama 3 malam berturut-turut. Saking penasaran, orang tuanya Ndiwar Kewali bertanya tentang keberadaannya. Karena terus didesak kedua orang tuanya, Ndiwar Kewali meminta pertimbangan tamu kamarnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
Untuk dapat melihat roh yang bercakap-cakap dengan Ndiwar Kewali, roh itu membuat perjanjian. Janjinya adalah dilarang menangkap udang. Lalu Ndiwar Kewali menceritakan kepada kedua orang tuanya ihwal pesan roh tersebut. Kedua orang tuanya Ndiwar Kewali menerima perjanjian tersebut, maka tampaklah di depan mereka seorang pria tampan.
Dari hasil hubungan antara Ndiwar Kewali dengan roh tersebut, lahirlah seorang anak perempuan. Pada saat usianya 7 malam, ayahnya Ndiwar Kewali pergi ke kali menangkap udang tepatnya di Ngila, Rancung.
Pada zaman mereka, mereka membuat telaga kecil dan sering menangkap udang di telaga kecil yang mereka buat tersebut. Namun, selama 9 bulan lebih, mereka tidak memakan daging udang karena berdasarkan perjanjian tadi.
Usai melanggar janji tersebut, maka hilanglah roh (anak mantunya), perempuan dan cucu mereka. Tiba-tiba munculah angin puting beliung (buru pote---dalam bahasa Manggarai-red). Mereka semua terbang dibawa angin, kecuali kedua orang tua Ndiwar Kewali.
Besok malamnya, orang tua Ndiwar Kewali bermimpi. Dalam mimpinya, roh itu berpesan bahwa apa yang muncul besok di Lo’ok semuanya akan menjadi milikmu. Lalu, orang tua Ndiwar Kewali itu ke Lo’ok pada pagi hari dan uniknya tidak ada seekor anjing pun yang mengonggong. Di Lo’ok dia melihat banyak sekali rusa ada yang berwarna putih, berwarna merah dan rusa biasa.
Hari kedua, mereka bermimpi lagi dengan berpesan bahwa roh itu membuat batas antara dirinya dengan orang tua Ndiwar Kewali. Tepatnya ada sebuah kali kecil di Jarak. Dalam mimpi tersebut, dia berpesan bahwa siapa pun keturunan perempuan dari Ndewa yang melewati kali itu tidak akan kembali lagi.
Peristiwa Tenteng Lawe.
Mengapa disebut Tenteng Lawe? Pada saat terjadinya puting beliung, benang tenun milik Ndiwar Kewali yang sedang dijemur juga terbawa tiupan angin puting beliung dan yang melihat itu adalah saudara sepupu laki-laki. Benang tenunan tersebut kemudian jatuh di padang. Padang tersebut diberi nama Tenteng Lawe sampai sekarang ini. Lalu, puting beliung tersebut bertiup dan berakhir di Golomori. Mereka ke Golomori.’ Ndiwar Kewali, suami dan anaknya ke puncak Golomori.
Lontar Ajaib, Misteri Kenischayaan.
Dua sejarah penting yang terjadi di Golomori pada masa lampau, yakni sejarah asal muasal nama Golomori dan lontar keramat yang berusia sudah berabad-abad sementara anak lontar tersebut banyak yang sudah lapuk.
[Lontar Ajaib]
Pertama, nama Golomori. Dinamakan Golomori, menurut tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Golomori periode 1988-1999, yang juga pernah menjabat Sekretaris Desa Golomori tahun 1979-1988, Abdul Karim (59), warga kampung Jarak, Desa Golomori, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, kepada Media Inspirasi, Sabtu (23/11/2012) di Golomori.
Awalnya, menurut cerita orang tua dulu, nama suku Ndewa ini berawal dari pernikahan roh yang diduga dari Golomori dengan mengambil gadis Lo’ok. Dari perkawinan itu maka lahirlah seorang anak. Mereka mempunyai perjanjian tertentu dengan keluarga gadis Lo’ok tersebut.
Karena melanggar, setelah itu mereka sekeluarga pun menghilang dan pergi ke angkasa (terbang), menuju ke langit dengan arahnya tidak tahu. Dari hasil kehilangan mereka, diketahui bahwa mereka melewati sebuah tempat bernama Tenteng Lawe dekat Golomori, di Tenteng Lawe itulah benang tenunan istrinya Ndewa jatuh.
Dari nama Ndawe itulah makanya bukit tersebut disebut Golomori. Golo artinya bukit, gunung. Mori adalah Allah, Tuhan. Ndewa, Dewa atau Allah, Tuhan. Ndewa adalah Tuhan Allah. Disebut Golomori karena Mori atau Allah, Dewa, Tuhan itu berdiam di sana.
Kedua, lontar keramat. Salah satu pohon lontar yang tumbuh di Golomori diduga puntung rokoknya Ndewa. Puntung rokok yang berubah menjadi lontar usianya sudah berabad-abad. Uniknya pohon lontar tersebut tidak bisa dinaiki oleh siapapun dan kalau naik ada saja gangguan.
Menurut Karim, dulu pernah seorang Bima yang memiliki ilmu tinggi dan mampu mengusir jin-jin di berbagai tempat dan pernah memanjat pohon lontar tersebut hingga ke bagian tengah namun orang tersebut ketika sampat di tengah badannya seperti terangkat. Juga pernah ada yang mencoba memanjatnya namun ada saja angin kencang yang berhembus dengan kencangnya.
Keunikan lain dari lontar keramat tersebut usianya hingga berita ini turun belum senja, banyak anaknya yang sudah mati, anak beberapa garis keturunan yang jatuh dari pohonnya sudah tua, lapuk, termakan usia, tetapi pohon tersebut belum apa-apa. Uniknya lagi lontar keramat tersebut masih segar.
Di lontar keramat tersebut, jelas Karim, belum diketahui bahwa ada orang yang pernah bertapa. Sepengetahuannya, bila ada orang yang bertapa di lontar keramat tersebut rahasianya bisa terbongkar tetapi hingga kini belum diketahui kekuatannya. Akan tetapi, orang tua dulu menduga bahwa pohon lontar tersebut berbeda dari pohon lontar lainnya. Lontar tersebut adalah puntung rokoknya Ndewa.
Sedangkan, terkait kedatangan pertama Ndewa ke bukit tersebut belum diketahui pasti. Tetapi yang jelas versi sejarah lisan nenek moyang bahwa ia muncul di atas puncak Golomori. Diakui orang tua, bahwa Ndewa itu bukanlah manusia tetapi dia adalah Dewa.
Ndiwar Kewali dan Empo Mburing.
Dari hari ke hari, anak perempuan Ndiwar Kewali semakin tumbuh dewasa. Anak perempuan itu pun ke Warloka, sementara di Warloka hiduplah seorang pria bujang bernama Umpu Mburing. Umpu Mburing adalah orang pertama yang memasuki dan tinggal di Warloka.
Di Warloka, bertemulah perempuan tersebut dengan Umpu Mburing dan tidak lama kemudian mereka mengikat sebuah perjanjian dengan tidak diperbolehkan makan ikan teri. Dari hasil percintaan mereka, maka hamilah perempuan tersebut. Akan tetapi, karena Umpu Mburing menangkap ikan teri (yang hari-hari sebelumnya, Umpu Mburing makan ikan teri tetapi selama dengan anaknya Ndiwar Kewali dilarang makan-red) dan kemudian memakannya, maka istrinya yang beberapa hari lagi melahirkan tersebut melarikan diri ke Sarmolo atau dikenal dengan Selat Molo.
Dulunya di Selat Molo tidak ada air, akan tetapi kaki anaknya Ndiwar Kewali menginjakkan kakinya di antara Sarmolo, maka terpisahlah Pulau Flores dan Pulau Rinca sekarang. Makanya, ada Pulau Mulo, selat Mila dan berpisah dengan Rinca. Dulu, Flores, Mulo dan Rinca satu pulau.
Kemudian perempuan yang sedang hamil tersebut ke pinggir laut, tepatnya di Wae Timba pada bagian timur Pulau Rinca. Di Wae Timba air ketuban perempuan tersebut keluar dan dicucinya di sana. Kemudian tepatnya di Lokima, Pulau Rinca lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Kare Pata. Kare Pata itu kemudian ke Dima atau Bima dan dia menjadi Sultan Bima atau Mori Dima.
Warloka, Temuan di Zaman Kontemporer.
Pada tahun 1960 ditemukan banyak harta karum terpendam dalam kuburan di Desa Warloka. Terkait dengan beradanya benda-benda tersebut, muncul dua tafsiran. Versi pertama, pionir kerajaan China pernah menguasai perdagangan rempah-rempah untuk Indonesia Timur. Versi kedua, tempat ini adalah tempat bersenang-senang saat waktu luang Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit di Jawa pada abad ke-14.
Terkait hubungannya dengan Kerajaan Majapahit terutama Raja Hayam Wuruk, beberapa temuan asali dari Warloka adalah tempat Wuruk Loka (tempat milik atau kepunyaan Wuruk). Sementara di Warloka ditemukan benda-benda peninggalan tempo dulu seperti kalung dari emas, gelang-gelang dan piring-piring dari porselin. Ada porselen orang China dulu kala baik dari Dinasti Sung 960-1279), Dinasti Yun (1260-1386), dan Dinasti Ming (1368-1644).
Di atas bukit dekat Warloka masih ditemukan pecahan dari benda-benda dari Vietnam dan Thailand abad ke-14 dan ke-15 yang terletak di dekat gua. Di sana juga ditemukan banyak pillar (batu yang ditanam berbentuk persegi 8 dan sejumlah meja batu di atas bukit).
Tiang-tiang dan balok-balok batu ini berada dalam wilayah seluas 3 km2. Dua tiang dari batu berbentuk seperti tiang kayu yang berdiri miring, tumbuh kokoh di atas tanah kerikil yang keras. Keempat sisinya masing-masing licin bagaikan diskap. Bagian atas masing-masing berbentuk seperti ujung sebuah tiang kayu persegi empat. Posisi tiang-tiang dan balok-balok yang berserakkan di sana-sini memberikan kesan seolah sedang ada persiapan membangun rumah baru.
Berdasarkan budaya Megalitikum, Warloka diperkuat dengan temuan tim Arkeolog dari UGM Yogyakarta dan sejumlah Arkeolog Australia yang berhasil menemukan situs manusia purba di Desa Warloka. Tidak hanya situs manusia purba ditemukan pula sejumlah artefak kuno yang diduga berasal dari China, seperti piring siladon, keramik dan kalung perunggu. Para arkeolog menemukan 4 kerangka manusia purba modern atau homo sapiens. Dari 4 kerangka yang ditemukan, 3 di antaranya adalah kerangka manusia dewasa, satu kerangka lain adalah anak kecil.
Empat kerangka manusia itu diperkirakan ditemukan pada abad ke-10 hingga abad 17 masehi dan sekitar zaman Majapahit, yaitu zaman budaya megalik atau austro melanosoid. Ketua teliti Tular menyampaikan 9 situs manusia purba, 6 di antaranya belum diteliti.
Ritus Ti’ka, Budaya Jamuan Mengaduk Rezeki.
Tepatnya, Sabtu (13/3/2012) silam, para nelayan yang tersebar di sepanjang pinggir pantai mulai dari Wae Lengga sampai dengan Wae Care di Nanga Lanang melakukan tidak melaut selama lima hari tetapi melakukan ritual adat Ti’ka. (Ritual Ti’ka adalah memberi makan tanah dan memberi makan laut atau berdoa kepada pemilik laut dan tanah yang dalam bahasa daerah takung tana agu takung tacik-red). Hal ini dilakukan oleh suku Rongga di Dermaga Borong, Watu Rejo, yang sudah ditinggalkan sejak 36 tahun silam.
Tua Suku Adat Rongga, yang dikenal sebagai Mutu Poso Ana Haki, Kasianus Kaja, kepada wartawan mengatakan bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam acara tersebut menggunakan ayam merah, kambing merah dan babi merah. “Acara ini semuanya menggunakan hewan persembahan berwarna merah. Alasannya karena mau memohon ampun kepada nenek moyang atas kesalahan dan kekilafan dan meminta kepada nenek moyang untuk memberikan ikan yang melimpah”, jelas Kaja.
Ketika hendak melakukan upacara ritual adat Ti’ka atau Takung, sejumlah ikan kecil dan ikan besar tepatnya samping dermaga Borong melompat ke udara serta ke pinggir pantai. Kejadian tersebut nyaris 10 menit. Kejadian tersebut membuat semua warga yang hadir kagum dan heran dengan tingkah laku ikan yang tiba-tiba bersahabat dengan nelayan.
Menanggapi kejadian ini, Tokoh Adat Rongga yang dijuluki Mutu Puso Anas Say, Antonius Lajo, mengatakan kejadian itu sebagai pertanda baik di mana ikan mau bersahabat dengan nelayan. Karena itu, jangan membunuh mereka dengan membuang obat beracun apalagi merusak mereka dengan cara dibom”, ungkap Lajo.
Wae Rebo, Maro dan Watu Ranggi Cerobong Tabiran Sejarah Silam.
Wae Rebo dengan Maro tak terpisahkan. Wae Rebo terletak di dusun terpencil di desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kampung tersebut berada pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut.
Menurut Isidorus, awalnya Maro datang dari Todo dan menetap di kampung Wae Rebo. Maro datang bersama saudaranya bernama Bimbang, istri dan 7 orang anaknya. Bimbang kemudian bersuami di Lembor, Manggarai Barat.
Kedatangan mereka berawal dari sebuah peristiwa. Suatu pagi di kediaman Maro di Todo didatangi musang (kula) melalui pintu depan. Maro awalnya tidak percaya. Karena sering datang, Maro membuat pesan perjanjian (wada). Wada-nya adalah apabila pertanda baik, biarkanlah Maro dan keturunannya segera ikut. Maka bergegaslah mereka semua dengan dituntun musang. Perjalanan mereka berlangsung pada malam hari, paginya tiba di Wae Rebo. Ketika sampai di Wae Rebo, musang tadi menghilang. Maka dibuatlah perjanjian bahwa Maro dan keturunannya tidak boleh makan daging musang (kula). Karena itu, totem (cǝki) mereka adalah cǝki kula.
Mereka membawa serta keris emas, tongkat emas, gong emas, panggal emas dan barang emas lainnya. Namun sekarang semua barang sejarah tersebut hilang. Dan, menurut Isidorus, yang pantas menjadi raja Manggarai dulu bukan Raja Hambur tetapi keturunan Maro.
Watu Ranggi, Batu Bersejarah Perang.
Salah satu tempat menarik di Kabupaten Manggarai yang memiliki nilai sejarah tinggi adalah Watu Ranggi di Desa Ranggi, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai. Mengapa dikatakan sebagai watu ranggi?
Menurut Yohanes Ngagut, salah seorang tokoh di Ranggi bahwa watu tersebut disebut watu ranggi karena saat perang antara Todo melawan Cibal dulu di watu ranggi semua peralatan perang diikat, karena ranggi berarti mengikat. Sebelum berperang melawan musuh selek (membereskan semua peralatan perang adalah di watu ranggi tersebut), selain tempat selek dari perang di tempat itu juga gong tanda perang dibunyikan. Kalau gong itu dibunyikan dari situ maka semua orang berilmu dan semua orang jago berperang berkumpul di tempat itu untuk pergi berperang.
Peperangan antara Todo dan Cibal mempunyai sekutunya masing-masing. Todo bersama Ruteng, Cibal dengan sekutunya Bore (Ndoso), Rahong (Rangges) dan Cibal (Wudi). Orang Todo mengambil orang Pongkor yang adalah tuan tanah dan Ruteng dari Mandusawu tinggal di Ruteng Runtu yang adalah tuan tanah. (Ruteng Runtu tuan tanah). Jadi saat perang, orang Todo dan Ruteng mempersiapkan alat perang mereka dari watu ranggi dan mereka selalu menang.
Menurut Ngagut, di Ranggi, orang pertama yang mendiami kampung tersebut adalah keturunan Maro yang adalah nenek moyang di Wae Rebo. Maro adalah adalah kakak dari keturunan orang Todo, adiknya Maro adalah (diperkirkan-red) Mashur. Maro awalnya tinggal di Todo tetapi kemudian pergi ke Wae Rebo.
Hubungannya dengan Wae Rebo.
Menurut Isidorus saat ditanyai wartawan pada November 2011 yang merupakan keturunannya Maro di Wae Rebo, bahwa Maro dulu datang dari Todo pada waktu malam hari. Maro membawa serta 7 anaknya dan istrinya. Anehnya Maro dibimbing oleh musang (dalam bahasa daerah kula). Di Wae Rebo ada tujuh niang karena ada 7 anaknya Maro. Ketujuh anaknya Maro sudah tidak diingat oleh keluarga Maro.
Dan menurut cerita orang Wae Rebo, Maro memiliki panggal emas, tongkat emas, gong emas dan barang-barang pusaka lainnya yang dibawa dari Minangkabau namun kini barang-barang tersebut sudah hilang semuanya.
Salah seorang keturunan Maro menurut Yohanes adalah Suing. Menurut Yohanes juga, Maro dulu datang di tanah Nucalale dengan menggunakan sampan dan nama sampan itu adalah nuling. Kemudian dikatakannya, Suing memperanakan Sangka (keturunan Rensi Ambang di Cumbi), Bero (keluarga Wotok), Mero (keluarga Purek), Kembang (Taga) dan Wanda (Ranggi).
Maka yang mendiami Ranggi pertama kali adalah Wanda. Wanda memperanakkan Antal. Antal memperistrikan Iju. Antal memperanakkan Calang, Mbaka dan Tangkas. Calang memperanakkan Alfons Daha, Bertolomeus Abut, Ana Sinung, Yohanes Ngagut, Elisabet Ngilut, Markus Akang, Bernadus Nggadu. Mbaka memperanakkan Hanis Ronco, Sobina Sidung, Kelara Ngamur, Maria Mbahung. Hanis Ronco memperanakkan Hendrikus Sonto. Tangkas memperanakkan Anton Pal, Petrus Ndadut, Rius dan Matius Ero.
Yang menyimpan barang pusakanya Empo Maro, Empo Suing, Empo Wanda, Empo Antal, Empo Calang adalah Yohanes Ngagut. Barang pusaka berupa keris dan parang tersebut masih disimpan ketika Empo Wanda mengurus taki mendi di Reo. Barang pusaka Empo Maro yang dibawa dari Minangkabau memiliki wera (benda berbentuk naga ular api yang bercahaya). Wera itulah yang biasanya datang mendekati keris dan parang pusaka tersebut. Empo Wanda oleh keturunannya dan pada zamannya disebut sǝrnai, dia gagah perkasa dan lihai dalam berperang terutama saat memimpin perang Todo-Cibal. Wanda adalah keturunan Todo dari suku Nuling. Wando dari Maro. Maro kakaknya Mashur keturunan Todo.
Manusia Pertama, Sebuah Kisah Kejadian.
Menurut P. Bernard Raho, SVD, dalam Majalah Manggarai, edisi 15 Maret-15 April 2005, hal 24-26 menulis kisah tentang Awal Mula Kehidupan Orang Manggarai terutama tentang mitologi asal-usul manusia pertama, mengisahkan bahwa dunia pada awalnya kosong dan tidak memiliki apa-apa sehingga disebut tana lino. Tana berarti tanah atau bumi sedangkan lino berarti kosong. Tana lino berarti tanah atau bumi yang kosong (empty earth). Kehidupan dari orang Manggarai berasal dari perkawinan Ame-Ema Eta di langit dan Ine-Ende Wa di bumi.
Menurut mitologi tersebut, tulis Pater Bernard, manusia Manggarai pertama berasal dari sinar matahari yang terpancar dari langit. Sinar itu terpancar pada satu rumpun bambu di sebuah gunung yang tinggi dan dari dalam rumpun bambu itu keluarlah dua orang manusia, yakni pria dan wanita. Pada mulanya, kedua manusia itu memakan tumbuh-tumbuhan dan daun-daunan sebagai makanan pokok.
Mereka membuat api dari bambu dengan cara digesek-gesek kedua bambu yang kering. Pakaian mereka terbuat dari kulit kayu lale. Kedua manusia itu kawin dan melahirkan seorang anak laki-laki. Namun, pada saat anak itu berusia 5 tahun, ayahnya bermimpi. Dalam mimpi itu ia bertemu dengan Morin agu Ngaran – Jari agu Dedek (Allah Pencipta Semesta-red), yang memerintahkan dia untuk mengambil beberapa kayu teno dan batu.
Orang itu disuruh membakar kayu-kayu tersebut sehingga asapnya menyebar. Kemudian, Morin agu Ngaran – Jari agu Dedek memerintahkannya untuk menggunakan batu-batu memotong pohon-pohon dan membuka kebun baru yang disebut lingko. Lalu, ia diperintahkan untuk membunuh anaknya yang tunggal serta mencincang daging anak itu dan menanamnya pada kebun yang sudah disediakan.
Mimpi itu ditanggapi lurus-lurus oleh manusia tadi. Mula-mula ia membuka lahan untuk berkebun. Setelah kebun dikerjakan, maka orang itu mengirim istrinya mengirim anak tunggalnya pergi ke kebun membawa makanan. Ketika anak itu tiba, orang itu melakukan seperti yang telah diperintahkan kepadanya lewat mimpi, yakni membunuh anak itu dan mencincang dagingnya lalu menyiram ke seluruh kebun. Ketika kembali ke rumah, sang suami melapor kepada istrinya bahwa anak mereka tidak sampai di kebun. Kemungkinan besar ia diculik oleh roh-roh jahat. Sang istri percaya pada cerita itu dan kedua orang tua itu meratapi ‘kematian’ anak tunggal itu.
Lebih lanjut, Pater Bernard menulis, sesudah tiga hari, tanaman di kebun mulai tumbuh. Orang itu selalu memperhatikan pertumbuhan tanaman-tanamannya. Setelah cukup lama, tanaman-tanaman itu mulai menghasilkan bermacam-macam buah seperti padi, jagung, kestela, papaya dan mentimun. Tatkala sang ayah coba memetik buah-buah itu, ia terperanjat karena ternyata buah-buah tersebut bisa berbicara: “Ema, aku ho’o ce’e (Bapa, saya ada di sini). Orang itu menyadari bahwa buah-buahan itu adalah anak yang telah dibunuh, dicincang, yang daging serta darahnya disiramkan ke segenap penjuru kebun.
Pada malam harinya, orang itu bermimpi lagi. Morin agu Ngaran – Jari agu Dedek berkata kepadanya: “Buah-buah yang tidak berteriak ketika engkau memetiknya adalah buah-buah yang sudah matang dan bisa dimakan. Sedangkan, buah-buah yang berteriak adalah buah-buah yang tidak matang dan janganlah engkau memetiknya.
Orang itu pun melakukan seperti apa yang dikatakan dalam mimpi. Kemudian dia membawa buah-buahan itu kepada isterinya. Sang isteri menanyakan asal-usul buah-buahan itu. Orang itu tidak langsung menjawab pertanyaan isterinya, melainkan menyuruh sang isteri ke kebun. Setiba di kebun, ia mengalami seperti apa yang dialami oleh suaminya saat memetik buah-buah di kebun itu. Ia terkejut ketika buah-buah itu berteriak: “Ende, aku ho’o ce’e”. (Mama, saya di sini).
Sang isteri menanyakan suaminya tentang arti dari semua itu. Lalu sang suami menjelaskan dengan panjang lebar tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Pada mulanya sang isteri menangis karena mengetahui bahwa anaknya dibunuh. Tetapi pada akhirnya dia bergembira juga karena anak yang telah dibunuh itu telah menjelma menjadi makanan yang bisa memberikan kehidupan kepada mereka. Sesudah itu, mereka melahirkan anak-anak lagi, dan hidup sejahtera.
Relasi dan Cikal Bakal Weri Ata.
Bene Baduk.
Cerita Bene Baduk, dahulu kala di Desu, hiduplah dua orang suami-isteri. Mereka hanya dua orang saja. Suatu ketika, entah kenapa mereka mencincang tubuh anak mereka yang satu-satunya itu. Tubuh anak itu mereka wecak - ditaburkan di atas tanah. Tak lama kemudian, darah, daging dan tulang anak itu menghasilkan benih seperti padi, jagung dan berapa barang makanan lainnya kecuali ubi kayu. Itulah makanya, weri ata dinamakan demikian karena mereka menanam anak kandung mereka sendiri. Weri artinya menanam, sedangkan ata artinya orang. Cerita kejadian seperti ditulis oleh P. Bernard Raho, SVD di atas tepat seperti kisah weri ata di Desu, Manggarai, Flores.
Note: Bahan-bahan lain akan ditambahkan oleh Penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar