19/04/22

MANUNGGÉ: UPAYA KOMPARASI DAN ANALOGI


DAFTAR  ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
DAFTAR ISI
BAB I. MANUNGGÉ
1.1 Apa Itu Manunggé?
1.2 Bentuk.
1.2.1 Ciri Khusus.
1.2.2 Pembentukan.
1.2.3 Sifat.
1.3 Habitat.
1.4 Tugas dan Fungsi.
BAB II. PERSPEKTIF
2.1 Budaya.
2.2 Agama.
2.3 Pemikir Kontemporer.
BAB III. KOMPARASI
3.1 Naga.
3.2 Api.
BAB IV. ANALOGI
4.1 Versi Manggarai.
4.2 Kisah Jawa Kuno.
4.3 Menurut Hinduisme dan Budha.
4.4 Tradisi China.
4.5 Tradisi Jepang.
4.6 Pandangan Eropa.
4.7 Mitologi Yunani Kuno.
4.8 Tafsiran Agama.
BAB V. EKSISTENSI SUPRANATURAL
5.1 Cara Berada.
5.2 Relasi.
BAB VI. REPRESENTASI
6.1 Pemelihara.
6.2 Simbol Kedewasaan.
6.3  Kekuatan Alam
BAB VII. REALITAS TERTINGGI
7.1 Manifestasi Ilahi.
7.2 Triesa.
BAB VIII. KISAH NYATA
8.1 Guru Penawar.
8.2 Tuhan Sayang Manusia.
8.3 Kesaksian.
PENUTUP

                     
https://youtu.be/lJ3kD4JIoYA

Ini gambaran manunggé (Foto: Istimewa)

MANUNGGÉ: 
         KOMPARASI DAN UPAYA ANOLOGI

BAB I. MANUNGGÉ

1.1 Apa Itu Manunggé?

Manunggé adalah binatang mitologi dalam bahasa Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Manunggé terbentuk diyakini karena merupakan dampak dari metamorfosisnya. 

Manunggé terkadang disebut kakartana (binatang bumi yang sifat). Manunggé adalah binatang yang merupakan ciptaan Tuhan untuk maksud yang khusus. 

Manunggé diduga tersebar di berbagai daerah di dunia hanya saja namanya berbeda sesuai dengan bahasa setempat. 

Manunggé secara umum dianggap sebagai binatang mitologi di mana hanya berada di dalam dunia fantasi semata. Meski demikian, ada pula orang yang menyakini manunggé itu sungguh ada di dunia nyata. 

1.2 Bentuk.

1.2.1 Ciri Khusus.

Manunggé memiliki ciri-ciri khusus, yaitu seperti ular biasa pada umumnya, di kepalanya terdapat mahkota yang bercahaya mengkilat, kakor (berkokok), panjangnya tidak sampai semeter. Warnanya gelap.

1.2.2 Pembentukan.

Manunggé dibentuk dengan melewati tahapan, seperti kaka ta'a (ular hijau), liko dango (ular hijau yang ekornya sudah mulai menghitam), mbawarani (hitam), manunggé. Ketika bertumbuh menjadi mbawarani, jarang dilihat oleh manusia. Mbawarani sudah mengarah menjadi binatang supranatural.

1.2.3 Sifat.

Manunggé sifatnya tersembunyi. Kehadirannya dalam dunia nyata sebagai tanda ajal dan kematian. Tidak senantiasa terlihat dan selalu menyembunyikan diri dari manusia. Kehadirannya dalam dunia nyata bersifat pribadi dan dinyatakan melalui pesan mimpi. 

Sama halnya dengan manunggé, mbawarani juga demikian amat tersembunyi dan sebagai tanda kematian. Bagi yang memiliki guru (mantra khusus), manunggé dapat dijinakkan walaupun perkataan ini masih anggapan karena amat sulit diterima akal masyarakat milenial.

1.3 Habitat.

Manunggé berada di pong cengit (daerah mata air yang memiliki rawa-rawa), di berada di hutan dan pengunungan. Dapat pula berada di dekat pemukiman warga hanya saja tidak kelihatan. Kehidupannya di dalam gua-gua dan berada di dalam tanah. 

1.4 Asumsi.

Manunggé diasumsikan sebagai londé. Londé biasanya terbang di pagi hari, saat subu. Bentuknya seperti bola api terbang dan ular terbang tetapi berwarna merah. 

Londé sebagai pengkabar kematian dan dianggap sebagai roh yang mencabut nyawa manusia. 

1.5 Tugas dan Fungsi.

Manunggé bertugas untuk menjadi eksistensi alam terutama mata air dan hutan-hutan. Ular hijau awalnya hidup di semak-semak, memakan tikus, kadal, katak. Pada tahap menjadi mbawarani dan manunggé, eksistensinya yang serba supranatural sulit diketahui apa makanannya. Manunggé diduga bertugas menggerakkan biji-biji dan tetumbuhan agar tumbuh subur. Dan melalui kekuatannya, hama dapat dijauhkan.

1.6 Kekuatan.

Manunggé tidak memiliki kekuatan sendiri. Manunggé hanyalah ular hijau biasa tetapi tingkatannya yang bisa selamat dari metamorfosisnya membuat eksistensinya serem menurut manusia. Manunggé diberi kekuatan oleh Roh sehingga menjadi supranatural. Manunggé adalah energi bumi yang berasal dari dalam bumi untuk menggerakkan.

1.7 Makanan.

Karena ini tulisan analogi, manunggé yang sifatnya supra tidak memiliki makanan jasad atau fisik. Sama seperti roh-roh halus lainnya yang mana makanannya adalah nyawa manusia. 

1.8 Eksekutor Mantra.

Manunggé diduga sebagai eksekutor mantra. Artinya, semua racun hewan berbisa dapat ditangkalnya. Sama seperti karena terangnya, ia memberi kekuatan sebagai penjaga untuk memberi kesuburan.

BAB II. PERSPEKTIF

2.1 Budaya.

Menurut asumsi budaya, manunggé adalah kekuatan alam bawah tanah. Dalam budaya Manggarai, ada sebutan naga tanah. Naga tanah itu bercahaya. 

Dapat dianalogikan, karena manunggé itu bercahaya, naga tanah yang dipercaya itu adalah manunggé. Naga tanah adalah pemberi kekuatan, rezeki dan berkat bagi suatu daerah.

Dalam budaya Manggarai, ritual takug naga mbaru, takung naga golo kerap dilakukan. Maksudnya, boto goro bongkok, gege leles, lekas lepas (rumah menjadi kuat dan kokoh). Selain itu, orang yang mendiami rumah diberi kesejukan, betah dan ketenangan. 

Pratik budaya takung naga tana diduga memohon bantuan manunggé untuk berkomunikasi dengan dengan makhluk, hewan dan binatang mempengaruhi mereka menjauh dari tanaman yang ditanam oleh manusia. 

2.2 Agama.

Dalam kejadian, kisah adam dan hawa di sana dijelaskan tentang ular yang melambangkan setan. Di sana ular berbicara. Di sini, apakah itu ular sanca ataukah justru manunggé yang menguji manusia? 

Dalam Hindu, apakah manunggé identik dengan tatsaka? Dalam kebudayaan China, apakah manunggé adalah naga barong?

2.3 Pemikir Kontemporer.

Masa kontemporer, segala perkara terkait mistis adalah hal yang absurd. Orang-orang lebih bergeliat pada hal-hal yang faktual, bukan fiksi, imajinatif, utopis dan fantasi.  

Sesuatu yang bersifat mitos dijauhkan. Apa pun harus bersifat faktual kendati masih ada orang yang percaya pada kekuatan roh-roh alam. 

BAB III. KOMPARASI

3.1 Naga.

Cerita tentang naga, seperti naga brola, naga baruna apakah merupakan representasi dari manunggé? Manunggé tidak bertanduk sebagaimana digambarkan para pelukis zaman postmodern. 

Tetapi banyak kisah, penglihatan dan mimpi di mana ada ular yang memiliki mahkota di kepalanya. Manunggé yang sifatnya supranatural sulit diketahui perubahan selanjutnya setelah statusnya menjadi manunggé. 

3.2 Api.

Manunggé memiliki cahaya di kepalanya. Itu dapat dikatakan, ia memiliki api dari eksistensinya yang supra itu. Secara logika, kepalanya yang bermahkota cahaya dan oleh karena kekuatan yang dimilikinya, ia sudah barang pasti bisa hidup dalam tiga dunia, di lautan, gunung berapi, terbang dan hutan belukar.

BAB IV. ANALOGI

4.1 Versi Manggarai.

Orang Manggarai mengenal naga tanah. Naga tanah itu memiliki cahaya. Lazimnya, agar sebuah gendang berdiri makmur digelarlah ritual takung naga golo. 

Kemudian, manunggé diceritakan amat menyeramkan dan bahkan dijuluki kakartana (poti). Karena stigma yang disematkan, manunggé kemudian menjadi makhluk yang ditakuti karena cerita tentangnya pasti seputaran ajal. 

Menurut orang Manggarai, naga mbaru dan naga golo itu bercahaya. Bagi yang mempunyai ilmu kanuragan dan sakti mandraguna, mereka bisa melihat naga tanah yang bercahaya dari dalam tanah. Tidak semua orang mampu melihat itu kecuali orang-orang terpilih saja. Tentu itu semua sesuai dengan kehendak Yang Kuasa.

4.2 Kisah Jawa Kuno.

Banyak kisah Jawa Kuno terutama yang paling terkenal adalah Raja Malwapati, Angling Dharma. Kisah epik Jawa itu mengisahkan bagaimana Naga Brola memberi sebuah ajian senyawa atau ajian gening kepada Angling Dharma. 

Raja Angling kemudian mengetahui semua jenis bahasa binatang. Banyak kisah lain di Jawa tetapi yang paling tersohor adalah kisahnya yang hebat. 

Apa yang dimiliki oleh Raja Angling, tahun 1900-an di Ruteng juga ada orang yang memiliki ajian serupa. Ajian itu diberikan oleh seekor belut. Sama halnya dengan kisah-kisah awal totemisme di Manggarai di mana orang-orang zaman dulu dapat berbicara dengan binatang. 

Kebiasaan bermalirupo juga hal biasa. Hal mana seperti kisah Empo Siuk orang Wangkung yang berceki cik petola. Cik petola hanya ada di pong cengit. Sangat susah untuk melihatnya.

Mitologi yang paling menarik juga adalah soal ratu pantai selatan. Ratu pantai selatan dalam tradisi Jawa selalu berhubungan seekor naga. Hal inilah yang perlu dicocok-cocokkan apakah itu wujud dari manunggé? Manunggé bukan lagi dilihat sebagai yang serem tetapi juga penyeimbang. 

Apakah Manunggé juga adalah Dewa Baruna, naga Baruna? Lukisan-lukisan naga bertanduk berbeda dengan Manunggé yang bertugas menjaga keseimbangan alam. Lukisan cukup membuat tafsiran menjadi bingung. 

4.3 Menurut Hinduisme dan Budha.

Dalam Hindu terdapat gambaran Sri Kresna atau Dewa Visnu yang bersandar di tubuh ular yang berkepala delapan. Tetapi ular itu adalah ular kobra. 

Menurut pengetahuan orang Manggarai, dari semua jenis ular yang berubah bentuk hanya ular hijau. Ular lainnya tidak berubah menuju kesupraan. Ular yang lain diciptakan bentuknya sama sejak lahir sampai ular itu mati. Ular kobra hanya ukuran panjangnya yang bertambah begitupun ular sanca. Berbeda dengan ular hijau, ular hijau berubah bentuk menjadi pendek tetapi kemudian menjadi manunggé. 

Lukisan-lukisan ular kobra tentu sesuai dengan tradisi India di mana Dewa Siva berkalungkan ular kobra. Ular kobra di leher Sri Siva sebenarnya adalah Dewa juga tetapi bermalirupa seperti ular. 

Dalam sejarah Hindu, dikenal dengan ular tatsaka (ular berkepala manusia). Tatsaka dalam kisah epik Mahabharata membantu kelompok Duruyudana. Bahkan untuk menyerang Pandawa, ular-ular terbang dikirim untuk menghantam Arjuna.

4.4 Tradisi China.

China khususnya Tiongkok memiliki tradisi yang sama. Kisah-kisah Sun Go Kong  dengan Biksu Tang atau perjalanan ke timur kaitannya Dewi Kwan Im juga menggambarkan tentang naga. Kisah ini tentu berada di planet bumi. 

4.5 Tradisi Jepang.

Orang-orang Jepang juga mengenal yang namanya naga. Negara Shinto di mana bagi mereka Tuhan adalah terang. Di sana ada pemahaman masyarakat lokal soal naga.

4.6 Pandangan Eropa.

Orang-orang Eropa pada umumnya tidak yakin dengan dunia mitos. Mereka masyarakat sains yang bergantung sepenuhnya pada akal budi. Bagi mereka ular apa pun hanya ciptaan. 

Masyarakat Eropa hanya percaya pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Ular apa pun adalah ciptaan Tuhan semata.

4.7 Mitologi Yunani Kuno.

Dalam budaya Yunani Kuno, ular adalah simbol dewi kesuburan. Hanya saja apakah yang dimaksudkan adalah manunggé? 

Ini adalah pertanyaan penting bagi generasi milenial untuk mencaritahu soal keberadaan manunggé relasinya dengan kepercayaan masyarakat di belahan dunia lainnya.

4.8 Tafsiran Agama.

Banyak tafsiran agama soal naga. Bagi agama Islam dan Kristen, naga simbol setan, kehancuran. Dalam agama samawi, ular adalah pembawa sial. 

Ular pun diidentikkan dengan maut. Tidak ada tempat bagi yang namanya ular untuk dihormati. Mengacu pada Wahyu Yohanes, ular disimbolkan sebagai kiamat, murka Allah. 

Berbica tentang ular tentu topik yang tidak diinginkan karena stigma apalagi kisah awal tentang kisah penciptaan manusia, ular adalah tokoh antagonis yang dibenci oleh kelompok agama. Apa peran peran penting ular tidak dibicarakan dalam agama. 

Ditilik dari sisi pertanian, orang Yunani malahan melihat ular sebagai dewi kesuburan. Mengapa? Hadirnya ular justru membuahkan hasil yang melimpah. 

Padi dengan hasil yang berlimpah ketika ada ular di dalamnya, maka tikus-tikus tidak berkeliaran. Burung-burung pipit pun ketakutan. Pandangan tentang ular amat berbeda untuk tiap budaya.

Bagi masyarakat Hindu, ular kobra sangat dihormati karena ada hubungannya dengan Dewa Siva (Trimurti). Yah, tergantung pemahaman masing-masing daerah. 

BAB V. EKSISTENSI SUPRANATURAL

5.1 Cara Berada.

Cara berada manunggé tergantung Roh. Kekuatan yang berasal dari Roh membuatnya berguna. Mahkota di kepalanya melekat pada hukum determinan. Hukum determinan adalah hukum pemberian. 

Artinya, Yang Kuasa adalah pemberi kekuatan melalui representasi Roh. Manunggé juga adalah binatang bermalirupa. Roh adalah kekuatan utama manunggé karena itu ia bertugas untuk menjaga keseimbangan alam.

5.2 Relasi.

Manunggé tentu saja memiliki relasi dengan makhluk halus lainnya. Dengan belut besar seperti gendang (tuna gendang) memiliki relasi satu sama lain. Mereka adalah bangsa ular. 

BAB VI. REPRESENTASI

6.1 Pemelihara.

Manunggé adalah pemelihara, penyeimbang sekaligus penyelaras alam. Di mana hal itu sesuai dengan kehendak Yang Kuasa, Allah yang maha tinggi. 

Sebagai pemelihara, ia berhak menegur sekaligus memberi hukuman ketika alam dirusak oleh tangan manusia. 

6.2 Simbol Kedewasaan.

Manunggé adalah simbol kesabaran, mawas diri dan kedewasaan. Dalam penempaannya yang panjang, ia diuji sampai tahap tertinggi di mana ia menemukan identitasnya. 

Ziarah ular hijau tidak mudah. Tentu banyak tantangan sampai ke tahap manunggé. Tantangannya adalah manusia, binatang buas lainnya, bencana alam seperti kebakaran hutan. 

Kucing hutan termasuk menjadi pemangsanya. Belum lagi faktor alam yang lain yang membuat proses pembentukan jati dirinya bisa kandas di tengah jalan. Jadi, tidak gampang ditapaki untuk menjadi sempurna.

6.3 Kekuatan Alam. 

Manunggé memberi kekuatan pada alam. Menggerakkan kehidupan sesuai tugasnya yang ia emban dari Tuhan. 

Manunggé tidak bergantung pada kekuatannya sendiri terutama pada saat statusnya yang hanya sebagai ular. Ular tak ubahnya binatang melata. Bentuknya yang tidak berdaya simbol kesabaran. 

Ia bergegas dengan perutnya menapaki hidup. Ziarah hidupnya sama yaitu menanti belas kasihan dari Yang Mahakuasa tetapi kekuatan alam dilimpahkan kepadanya sebagai satpam. 

BAB VII. REALITAS TERTINGGI

7.1 Manifestasi Ilahi.

Manunggé sebenarnya adalah manifestasi Ilahi. Manunggé adalah cahaya Ilahi itu sendiri. Sama seperti manusia adalah citra, demikianpun manunggé adalah manifestasi Ilahi.

7.2 Triesa.

Manunggé adalah manifestasi Triesa. Triesa adalah Allah Tritunggal Mahakudus. Bukan hanya manunggé, setiap makhluk baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan berasal dari Triesa itu. 

Semua kekuatan makhluk berasal dari Triesa. Atas izinNyalah, apa pun memiliki kuasa di bumi. Triesa selalu berada di dalam setiap makhluk.

BAB VIII. KISAH NYATA

Manunggé adalah sejenis binatang supranatural yang sangat sulit dijumpai oleh manusia di dunia nyata. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. 

Melihatnya tak ubahnya seperti mimpi dan merupakan pengalaman yang paling menarik selama berziarah di muka bumi. Apabila setelah melihatnya dalam dunia nyata masih diberi umur panjang, maka dipastikan itu adalah sukacita yang hebat. Mengapa? Melihat binatang itu identik 
dengan sial dan kematian walau ada yang pernah menjumpainya secara langsung tetapi orang itu masih hidup. Itu adalah berita yang mencengangkan. Manunggé oleh sebagian orang adalah binatang yang hanya ada dalam dunia
mitologi tetapi justru ada orang yang pernah bertemunya secara langsung nyaris beberapa meter saja (6 meter).

Menurut pengetahuan orang Manggarai, manunggé
adalah ular yang merupakan perubahan bentuk atau
metamorfosis keempat. Sebelum menjadi manunggé, prosesnya cukup panjang hingga ke tahap itu. Tahapan metamorfosisnya, yaitu ular hijau, liko dango, mbawarani dan terakhir berwujud manunggé. Tahap ketiga, yaitu mbawarani. Saat menjadi mbawarani, binatang itu 
sudah mulai tidak kelihatan oleh mata manusia. Siapapun yang dapat menjumpainya sudah pasti orang itu menemui ajalnya. Hanya dengan melihatnya, sudah pasti ajal menjemput apalagi digigit. Sedangkan, tahap kedua yaitu liko dango adalah tahap ular biasa. Tahap ini masih dijumpai oleh  orang-orang. Warnanya masih hijau tetapi ekornya sudah mulai berwarna hitam. Artinya, kalau digigit sudah pasti badan membengkak. Jika tidak ditangani, sangat berbahaya bagi keselamatan manusia apalagi ular hijau termasuk jenis ular berbisa.

8.1 Guru Penawar.

Jika digigit ular hijau, orang-orang 
dapat menangkalnya dengan obat-obatan. Para 
tabib sangat lincah mengetahui ramuan apa yang 
pas untuk menangkal racun ular hijau. Pada umumnya, bara api (ratung api) adalah penangkal terbaik untuk  membunuh racun ular hijau. Sama seperti apabila disengat lebah (ngkuang), racunnya yang panas dapat ditangkal dengan bara api. Racun ular tidak berdaya apabila berhadapan dengan api. Berbeda dengan ular kobra, racunnya cepat menyebar sehingga bara api yang terlambat
sudah pasti tidak menyelamatkan nyawa. Racun ular kobra, pasalnya cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Walau racun ular hijau atau kobra berbahaya, 
seperti halnya di daerah lain, guru (mantra) adalah cara terbaik agar terhindar dari gigitannya.
Mantra ular hijau, ada dua jeni,  yaitu guru hesing
(mantra untuk menghindar) dan guru akit (mantra 
penyembuhan pasca digigit).  Tanpa pengobatan 
herbal ataupun medis, racun bisa ular hijau tidak 
berfungsi sama sekali di dalam tubuh. Orang-orang di Manggarai kerap menggunakan mantra apabila mereka hendak ke hutan atau ke kebun. Bukan hanya mantra ular hijau, mantra-mantra lainnya juga dipakai. Bahkan, teknik sungké juga dipakai sebagai perisai dari gigitan binatang-binatang mematikan.

Di hutan, selain binatang berbisa ada juga tetumbuh-
an yang berbahaya apabila tersentuh.  Contohnya, 
lanteng (dalam bahasa Manggarai). Lanteng ada dua jenis, yaitu lanteng haju (pohon yang daunnya terasa gatal bila tersentuh) dan lanteng wasé (sejenis tanaman rambat). Biasanya, untuk menghindari lanteng, mantra adalah senjata terbaik. Tidak hanya guru lanteng, orang Manggarai juga menggunakan guru agar terhindar dari makhluk-makhluk halus yang mengusil. Mereka memakai 
mantra untuk menjauhkan makhluk halus. Mantra biasanya didapat melalui mimpi atau diwariskan dari nenek moyang. Mantra biasanya amat ampuh menghadapi tantangan di hutan, baik saat berburu, mencari kayu api maupun saat mencari pohon untuk dijadikan balok.

8.2 Tuhan Sayang Manusia.

Kendati Tuhan menciptakan binatang buas dan berbisa begitu pun tetumbuhan yang berbahaya, Yang Kuasa juga memberikan penawar, baik tanaman herbal, benda-benda seperti batu mau-
pun mantra-mantra penawar.  Di satu sisi, Tuhan begitu tega menciptakan benda-benda berbahaya, namun kasihNya tetap ada untuk manusia. Tuhan pula yang mengajarkan manusia mantra-mantraNya dalam pelbagai bahasa di muka bumi. Ajaran mantra bisa dapat melalui nipi/raja wié (mimpi) bisa juga didapat melalui raja leso (diajar secara langsung). Tuhan sayang pada manusia
dibuktikan dengan turunnya sabda suci yang diajarkanNya secara langsung. Memang, untuk mendapatkan mantra harus dicari ataupula didapat karena rahmat terberi.  Kecuali apabila ada upaya 
dari orang-orang untuk mencari mantra kepada orang-orang yang memilikinya. Mantra kerap juga diucapkan dalam hati saja berupa komunikasi intrapersonal (humit - dalam bahasa Manggarai).

8.3 Kesaksian.

Manunggé adalah binatang mitologi sekalipun itu nyata. Berdasarkan penuturan berbagai sumber, manunggé adalah ular yang bermahkota. Mahkota di kepalanya lebih besar dari tubuhnya. Mahkota di kepalanya bersinar. Kurang lebih sinar yang keluar dari mahkota di kepalanya berkedap-kedip seperti
lampu sirene mobil patroli polisi atau ambulance. Terkadang, sebelum berjumpa dengannya pada siang hari, ada proses perjumpaan raja wié. Seseorang yang berjumpa dengan manunggé dapat saja pada malam hari bermimpi bertemu dengan laki-laki berjubah putih. Sumber yang diperoleh Penulis, seorang perempuan yang berjumpa dengan manunggé itu salah satu kelopak matanya sela (semacam buta atau katarak). 

Perempuan itu berjumpa dengan manunggé pada siang hari di kebunnya. Malam hari ia bermimpi seorang pria berjubah putih menegurnya mengapa dirinya membakar kebunnya. Perempuan itu menjawab, ia hanya ingin membersihkan kebunnya. Siang hari saat ke kebun, betapa kaget perempuan itu melihat ular bermahkota terang di kepalanya itu. Peristiwa nyata itu terjadi di Kisol, Waé Korok. Saat perjumpaan itu, si ular tidak berkata apa-apa, hanya baku tatap berjarak 6 meter. Sejak peristiwa itu, perempuan itu hingga sekarang matanya katarak. Sebelum manunggé itu pergi, ia terlebih dahulu kakor (berkokok). Yah, bentuknya seperti ular tetapi panjangnya tak sampai semeter hanya kepalanya memiliki mahkota. Mahkotanya lebih besar dari kepalanya. 

Menurut seorang sumber, Sobina Sidung dari Sampar yang dituturkan kepada Penulis, manunggé adalah perubahan bentuk yang keempat. Menurut cerita, ada seorang laki-laki di Mbélaing kemudian meninggal karena digigit mbawarani. Banyak cerita tentang bertemu ular dalam dunia nyata misalnya kobra atau ular sendok, yah pada malam hari bermimpi bertemu dengan suster (biarawati/nun). 
Mimpi yang adalah bunga tidur, terkadang susah digubris oleh seseorang karena tidak tahu menganalisa kecuali oleh ahli tafsir mimpi.
Yang pasti bahwa mimpi adalah teka-teki, butuh analisis kalaupun mimpinya masih diingat. Pasca kejadian nyata baru menyadari mimpi semalam atau sebelumnya apalagi bukan ata waé nggéreng (ahli nujum).

Raja wié atau mimpi, bagi orang awam tentu tidak 
dianalisa karena selain tidak paham, ada pikiran
hanya membuang-buang waktu. Menurut beberapa
sumber, mimpi yang terus-menerus butuh didiskusikan ke orang mata gérak. Pasalnya, memberi kabar tertentu. Dalam budaya Manggarai, terkadang ditafsir lalu dibuatlah ritual adat kando nipi da'at (ritual tolak bala). Tetapi, mimpi yang hanya sekali tampaknya susah untuk dipikirkan 
karena berbagai kesibukan. Yah, mimpi mengandung pesan tetapi pesannya teka-teki. Karena teka-tekinya itu, orang-orang kemudian tidak mau ambil pusing. Contohnya peristiwa yang sebagaimana dialami oleh seorang perempuan di Kisol beberapa tahun silam yang namanya dirahasiakan Penulis. Tentu ada juga orang zaman lampau yang mengalami perjumpaan dengan manunggé hanya saja tidak diceritakan.

Manunggé dipercaya menempati daerah-daerah rawa-rawa dekat mata air, di hutan-hutan lembab. Manunggé diduga sebagai pelindung hutan dan mata air.


PENUTUP

Tulisan ini sebagai bahan informasi tentang sisi lain kehidupan orang Manggarai. Orang Manggarai 
yakin benar bahwa manusia hidup berdampingan dengan roh alam. Orang Manggarai juga percaya
bahwa ada intervensi dari pihak lain soal kesuburan. Praktik ngelong dan takung adalah catatan tebal 
orang Manggarai. Orang Manggarai yakin sekali adanya Tuhan yang representatif. Karena itu, ritual adat pra dan pasca panen pastidilakukan. Hasil yang melimpah bagi orang Manggarai terjadi karena intervensi Yang Kuasa. Jika ada binatang di tanah yang menderita, mereka meminta maaf dengan dibuatnya ngelong.Dewa kesuburan dihormati dengan cara takung (meminta perlindungan)
atas segala niat dan karya. Bukan menyembah berhala.

Dengan demikian, manunggé adalah binatang yang nyata yang juga memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati.

Pembaca disarankan untuk menggali dan mencari refrensi tambahan tentang binatang mitologi dalam budaya atau daerah-daerah lainnya di nusantara dan dunia. Mengapa? Tulisan ini masih perlu refrensi pembanding atau analogi lainnya. Dan tulisan masih perlu disempurnakan secara terus-menerus menuju ke kesempurnaannya karena harus disandingkan dengan pelbagai pandangan dan budaya di dunia. 

REFRENSI

1. Pengalaman pribadi.
2. Wawancara.
3. Buku-buku.
4. Tradisi.
5. Agama

Penulis:
Melky Pantur.
Ruteng.
Senin (8/4/2022).




17/04/22

Kajian Teoritik: Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai

Melky Pantur
 

DAFTAR ISI

Pengantar
Pembahasan
I. Pendahuluan
II. Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai
2.1 Arti Kata dan Penjelasan
2.1.1 Mori
2.1.2 Keraéng
2.1.3 Adak
2.1.4 Tu'a
2.2 Identitas Status.
2.2.1 Mori Adak.
2.2.2 Keraéng Tu'a.
2.2.3 Keraéng Mori.
2.2.4 Keraéng Adak.
2.2.5 Tu'a Adak. 
2.3 Unsur Ketuhanan.
2.3.1 Pandangan Realitas Tertinggi.
2.3.2 Mori Keraéng.
2.4 Aktivitas Ritual.
2.4.1 Adak Mori.
2.4.1.1 Relasi Manusia.
2.4.1.2 Relasi dengan Leluhur.
2.4.1.3 Relasi dengan Alam
2.4.1.4 Relasi dengan Roh Alam
2.4.1.5 Relasi dengan Tuhan
2.4.2 Adak Keraéng.
2.4.2.1 Berstrata Tinggi.
2.4.2.2 Masyarakat Biasa.
III. Penutup
Refrensi

                               KAJIAN    


Pengantar
Pembahasan

I. Pendahuluan

Sebelum membahas tulisan ini, ada tiga hal penting yang perlu dicermati sebagai kategori yang saling bertautan, yaitu identitas status, ketuhanan, dan aktivitas ritual. 

Identitas status berkaitan dengan predikat Mori Adak, Keraéng Tu'a, Keraéng Mori, Keraéng Adak, dan Tu'a Adak. Unsur ketuhanannya seperti sebutan untuk realitas tertinggi orang Manggarai adalah Mori Keraéng. Sedangkan, sebutan aktivitas ritual yang ada hubungannya dengan identitas status tampak dalam frasa adak mori, adak keraéng. 

Tulisan ini mengangkat tema: Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai, yang mana kajiannya untuk mempermudah generasi milenial termasuk kelompok-kelompok sporadis dari Nuca Lalé ataupula bagi keraéng-keraéng pendatang yang ingin mencari ilmu pengetahuan ataupun para pendatang yang sekedar mencari nafkah di Nuca Lalé. Tugas generasi asli menulis dan menarasikan itu agar diketahui. 

II. Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai

2.1 Arti Kata dan Penjelasan

Sebelum mengkaji lima identitas di atas, hal pertama adalah membahas 4 (empat) kata kunci untuk menjelaskan sebutan identitas sosial: Mori, keraéng, Adak, Tu'a.

2.1.1 Mori

Mori artinya Allah, Tuhan. Mori juga berarti tuan. Bila ditambah dehakamenpresty n, maka menjadi morin. Morin artinya pemilik. Contoh sebutan: Mori jari (Tuhan penumbuh dan pemelihara).

2.1.2 Keraéng

Keraéng artinya seseorang yang dituakan, dipertuankan, diperpuankan. Keraéng adalah panggilan untuk status sosial yang dituakan, dihormati. Kata keraéng bisa untuk jenis kelamin laki-laki, bisa untuk jenis kelamin perempuan. Misalnya, frasa keraéng Ema (bapak-bapak), keraéng Endé (ibu-ibu). 

2.1.3 Adak

Adak artinya Raja. Adak juga dapat berarti ritual (suatu rentetan aktivitas ritual). Misalnya, adak wé'é mbaru (ritual adat atas terselesainya pembangunan sebuah rumah). Adak berkonotasi Raja, misalnya sebutan Adak Todo (Raja Todo). Adak bagi orang Manggarai bukanlah Raja karena Adak orang Manggarai menganut sistem trias partiarkif dialogis. 

2.1.4 Tu'a

Tu'a artinya besar, yang diagungkan. Tu'a berbeda dengan tua. Tua artinya muncul. Tu'a dapat berarti usia tua. 

2.2 Identitas Status.

Terdapat lima sebutan identitas (status) yang dipertuankan dalam budaya orang Manggarai, antara lain:

2.2.1 Mori Adak.

Frasa Mori Adak adalah predikat untuk sebutan Raja yang dihormati. Terjemahan lain, frasa ini mau menjelaskan Tuhan adalah Raja. Predikat lainnya adalah tuan dari para Raja adalah Tuhan, Allah. Bila ditulis Morin Adak, maka ini adalah frasa ekspresif di mana Tuhan adalah pemilik dari Raja, yang memilih dan mengangkat seseorang menjadi Raja. 

Konteks budaya dan tradisi, sebutan Mori Adak menunjuk pada identitas tertinggi strata sosial kemasyarakatan. Mori Adak dapat diartikan sebagai para Raja. Sebutan Adak orang Manggarai bersifat partiarki, sehingga menunjuk pada sifat kepriaan. Tradisi Manggarai menganut sistem kelas subordinatif kendati hanya dalam urusan kedudukan (jabatan) dan pemecahan masalah (problem solver) saja. 

Sebutan Mori Adak agak enggan digunakan dalam konteks kaitannya dengan status puteri Raja atau putera mahkota walaupun orang Manggarai asli tidak mengenal istilah Raja. Adak sebetulnya bukan merujuk pada kata Raja karena orang Manggarai tidak mengenal kata Raja yang selalu berkonotatif penuh haus kuasa, tiran dan diktator. Raja adalah predikat sosial terapan yang diambil dari sistem kepemimpinan di negeri lain. Sifat Raja sangat absolut dan perkataannnya adalah undang-undang. 

Berbeda dengan Adak orang Manggarai. Adak orang Manggarai bukanlah Presiden sebagaimana dianut dalam sistem presidensil. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin mirip Raja yang absolut. Baik sistem presidensil, demokrasi terpimpin maupun bersistem Raja tetap tidak sama dengan sistem Adak orang Manggarai. Trias Politica juga tidak sama dengan sistem Adak orang Manggarai. Presiden mengangkat yudikatif berdasarkan persetujuan legislatif. Sistem pengangakatan ini berbeda dengan sistem Adak orang Manggarai. 

Adak orang Manggarai terdiri atas Tu'a Golo, Tu'a Gendang dan Tu'a Teno. Ada pula sebutan Tu'a Béo, Tu'a Panga, Tu'a Kilo. Konteks Cibal, ada pula nama status Adak lazim disebut Tu'a Lumpung. Adak tertinggi ada tiga, yaitu Tu'a Golo, Tu'a Gendang, Tu'a Teno. Tugas dan fungsi dari Tu'a itu diatur secara lisan. Kasus pidana diurus oleh Tu'a Gendang. Kasus perdata diurus oleh Tu'a Teno bersama Tu'a Gendang. Tu'a Golo mengurus masalah berkaitan dengan kasus-kasus dengan gendang lainnya. Tu'a Golo adalah orang pertama yang membuka kebun dan mendiami salah satu kampung adat. Tu'a Golo adalah pemimpin tertinggi. 

Predikat Tu'a di atas itulah yang disebut dengan Mori Adak walau dalam kondisi lain, sebutan Mori Adak bisa juga untuk penyematan terhadap tamu kehormatan. Era abad 21, sebutan Mori Adak amat luas digunakan. Pejabat negara dan orang-orang yang dituakan dapat dipanggil sebagai Mori Adak. Dalam satu acara adat misalnya, tongka (jubir adat) dapat dipanggil Mori Adak. Hal mana pemakaiannya dalam interaksi sosial dapat digunakan secara umum dan massif situasional. Konteks memasukkan unsur ekspresi itu sebetulnya sebagai bentuk sentimen pemertuaan, penghargaan dan pemosisian diri terhadap identitas sosial baik umum maupun situasional terhadap subjek yang merasa perlu dipertuakan.

2.2.2 Keraéng Tu'a.

Frasa ini lazim dipakai dalam strata, interaksi dan relasi sosial. Amat erat kaitannya dengan prinsip pemertuanan. Keraéng Tu'a menunjuk pada identitas partiarkif (maskulinisme). Dalam kaitannya dengan kelompok srikandi, ucapan yang populer digunakan adalah keraéng Endé. Etika komunikasi sosial, baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi sosial umum, dalam diskusi kelompok dan dialog, prinsip-prinsip etika pasti terlontar secara reflektif. Rasa etis bisa saja dipakai lalu muncul ekspresi-ekspresi bukan penyetaraan identitas dengan sebutan keraéng Endé

Predikat untuk status Keraéng Tu'a biasanya orang yang dituakan, seperti: Bapak kandung, kakak kandung, subjek-subjek sosial yang memiliki pengaruh sosial, baik karena etos kerja, pembawaan sosial maupun strata sosial. Penyematan status keraéng tu'a terhadap seseorang bisa ditempatkan pada orang yang umurnya lebih kecil yang hanya karena strata sosialnya, maka penyematan itu pantas diterimanya. Siapapun dapat dipanggil keraéng tua tergantung strata dan rasa mut (perasaan seseorang yang tiba-tiba senang terhadap subjek tertentu). 

Masa lampau, sebutan keraéng tua erat kaitannya dengan strata. Misalnya, status Adak. Kelaziman dan ngancek géal (biasa diungkapkan) apalagi konteks zaman milenial, seseorang wajar mendapat predikat keraéng tu'a apabila berprestasi dan masih dalam kategori konglomerat. Keraéng Tu'a masa lampau amat feodal. Masa kini (2022), pencatutan itu sudah amat situasional. Panggilan keraeng tu'a terkadang sengaja dihembuskan dengan maksud terciptanya relasi intimitas antara komunikan dan komunikator dalam percakapan formal dan informal. Tujuannya komunikasi responsif, dialogis dan diskursus berjalan sesuai asa komunal.  

2.2.3 Keraéng Mori.

Keraéng mori nyaris sama dengan sebutan umum. Konteks tertentu, ekspresi keraéng mori sifatnya tidak terikat pada usia dan strata sosial seseorang. Sifat ekspresinya fleksibel dan kontekstual dan umum.

Sebutan keraéng mori bisa menunjuk pada entitas sosial yang tidak ada relasi atau sangat berjauhan satu sama lain. Misalnya sebutan ini: Keraéng mori lau Amerika, Eropa, Asia. 

Kendati sebutan itu juga menunjuk pada keprerogatifan Tuhan, di mana Allah adalah tuan, namun tidak lumrah memang dipakai dalam interaksi sosial harian tetapi lazim digunakan dalam situasi-situasi khusus dengan penekanan pada sebutannya. 

Sebutan keraéng mori sifatnya khusus dan nilai estetik linguisnya halus, sopan dan sederajat. Sebutan itu menunjukkan peramahan, intimitas absolut, tanpa beban, dekat, akrab dan penuh perkoncoan. Walau amat halus, bagi yang tidak biasa mendengar (subjek yang dipredikat) bisa merasa gerah, minder dan kaku karena sesuatu ketidaklaziman. Lama-lama akan menjadi sapaan perekatan pertemanan.  Berbeda dengan panggilan keraéng tu'a karena terlalu kental dan stratif berbeda dengan panggilan keraéng mori yang amat cair dan arif. 

2.2.4 Keraéng Adak.

Sebutan ini lazim dipakai untuk sinis dan sindir. Semacam bahasa perendahan. Dalam komunikasi sosial, penekanan ungkapan ini sifatnya situasional tergantung subjek pengguna. Respon komunikan akan tidak baik apabila komunikator menggunakan ungkapan keraéng adak. 

Keraéng Adak adalah sebuah posisi, strata, jabatan, kedudukan bukan sebuah ekspresi komunikasi sosial. Keraéng Adak adalah entitas sosial. Entitas itu adalah tetua adat. Jadi, bukan ekpresi komunikasi sosial tetapi problem solver mandegnya interaksi sosial. 

Ketika komunikan dan komunikator menggunakan sebutan keraéng adak sebagai frasa dalam menyampaikan pesan, maka ada unsur perendahan terhadap status subjek. Ekspresi penyetaraan dan pemertuanan lazimnya memakai sebutan keraéng tu'a dan keraéng mori. Keraéng adak adalah ungkapan peremehan di bawah posisi kata hau (kau). Artinya, keraéng adak masih halus dari kata hau.

2.2.5 Tu'a Adak. 

Tu'a Adak adalah tokoh-tokoh adat, tetua adat, Adak Telu (Tu'a Golo, Tu'a Gendang dan Tu'a Teno). Tu'a Adak adalah nama dari strata sosial keadatan di Manggarai.

2.3 Unsur Ketuhanan.

2.3.1 Pandangan Realitas Tertinggi

Realitas tertinggi bagi orang Manggarai digambarkan melalui ungkapan ini: Mori agu Ngaran, Jari agu Dédék (Tuhan Pemilik, Penumbuh, Pencipta). Ungkapan lain untuk menyebut realitas tertinggi adalah parn awo kolepn salé; tanan wa, awangn éta (mulai terbit hingga terbenamnya; langit dan bumi).

Sebutan Yang Kuasa bagi orang Manggarai amat abstrak bukan person. Parn awo, kolepn salé adalah predikat tentang Allah yang menjadikan siang dan malam. Sebutan ini tentu sesuai dengan konteks eksistensi kehidupan dan wujud alamnya. Manggarai memiliki waktu siang dan malam masing-masing 12 jam. Khusus untuk predikat tanan wa, awangn éta, sebutan ini amat simbolik. Mengapa? Unsur kekelaminannya ada, yaitu kategori feminim dan maskulin.

2.3.2 Mori Keraéng.

Yang menarik dari gambaran tentang Allah menurut orang Manggarai adalah predikat Jari Dédék. Jari Dédék (Tuhan Allah) adalah sesuatu yang mencipta. Sesuatu yang mencipta tentu memiliki unsur idea, seni, arsitektur. Unsur-unsur dalam Jari Dédék, seperti: pemikir, estetika, dan desainer. Itu artinya bersifat inovatif dan kreatif. Terlepas jika dihubung-hubungkan dengan konsep agama berkaitan dengan kata "citra", itu penjelasan lainnya. Apabila manusia adalah gambaran Allah, citra-Nya, maka pengaruh teologi kristen di sini masuk. Yang pasti bahwa ekspresi Jari Dédék menurut orang Manggarai abstraktif. Upaya aufklarung analogi antara konsep adat, tradisi dan agama lazim dilakukan para teolog kontemporer. Di sini hanya sebatas menjelaskan tentang frasa berdasarkan konteks lokal saja. Upaya pencarian penghubungan tugas oleh pembaca sendiri.

Kemudian, identitas Allah oleh orang Manggarai kerap diungkapkan melalui gambaran maskulin dan feminim. Hal itu tampak dalam ungkapan: Amé rinding mané, Iné rinding wié. Ungkapan ini lebih condong ke person walaupun ungkapan ini kerap menegaskan bahwa ayah dan ibu adalah Allah yang kelihatan. Ayah dan Ibu oleh orang Manggarai adalah sosok Allah yang nyata.  

Sebagaimana sebutan keraéng bukan hanya untuk jenis kelamin laki-laki tetapi juga untuk jenis kelamin perempuan, maka nama Mori Keraéng terdiri dari sosok laki-laki dan perempuan. Jadi, Mori Keraéng adalah sosok yang memiliki dua jenis kelamin (yang dipertuankan dan diperpuankan). Menurut konsep ini, maka gambaran tentang Allah mengambil tipe laki-laki dan perempuan (Ayah Ibu). 

Allah yang seolah-olah vegetatif itu, dapat disetarakan dengan ungkapan Amé rinding mané, Iné rinding wié; kémbé lé, tadu lau; réa éta, cakat wa; raés salé, raop awo, ciki cimping. Artinya, Mori Keraéng digambarkan sebagai pelindung, perisai, penganyom siang dan malam. 

Ketika gambaran tentang Allah orang Manggarai bisa dipertegas oleh konsep-konsep ke-Allah-an menurut agama-agama, tentu itu sebuah tindakan analogif atau upaya pemertautan dua hal bisa dipertalikan yang kemudian mendapat benang merahnya. Hal itu misalnya, konsep ke-Allah-an dalam kekristenan dan hinduisme tetapi agar tidak mencocok-cocokan apalagi itu nanti panjang ulasannya dengan mengacu pada berbagai refrensi, Penulis menghindari pembahasan analogifnya karena tulisan ini hanya untuk menjelaskan frasa-frasa seturut konteks budaya Manggarai saja.

2.4 Aktivitas Ritual.

2.4.1 Adak Mori.

Frasa ini kebalikan dari frasa Mori Adak. Adak di sini erat hubungannya dengan ritual. Adak mori adalah suatu aktus terciptanya relasi dengan sesama, roh leluhur, alam, roh alam, dan Tuhan. Praktik-praktik riil adak mori tampak dalam ritual-ritual adat tertentu sesuai dengan subjek yang dituju atau meminta rezeki dan pengampunan. 

Praktik ritual adak mori, misalnya ritual selek dan caca selek, ritual ngelong, dan ritual barong. Ada banyak hal ritual adak mori sesuai jalur dan tujuannya. Berikut rinciannya:

2.4.1.1 Relasi Manusia.

Ritual adak mori kaitannya dengan manusia secara runut mulai dari céar cumpé hingga kélas. Disebutkan misalnya, sélék dan caca sélék, hambor, pongo, oké dara ta'a. Adak mori di sini amat klop dengan ritual berkaitan dengan strata sosial, misalnya ritus adat untuk keturunan tuan tanah (lord land).  

2.4.1.2 Relasi dengan Leluhur.

Sesajian terhadap leluhur dapat dimengerti sebagai adak mori. Bentuk ritualnya adalah téing hang wura agu ceki. Biasa juga disebut téing hang kolang. Ritual lainnya adalah takung waé cemok. 

2.4.1.3 Relasi dengan Alam.

Ritual yang dipakai di sini bisa dalam bentuk ngelong, kaér ulu waé (ritual di mata air) dan barong waé. 

2.4.1.4 Relasi dengan Roh Alam.

Orang Manggarai percaya bahwa setiap mata air ada penjaganya. Manusia menjalin relasi dengan penjaga itu. Ritual yang dibuat sebagai bentuk adak mori. Ritual yang dilakukan berupa takung. Takung di sini bukan lancung karena orang Manggarai percaya, roh penjaga mata air adalah representasi dari Jari Dédék.

2.4.1.5 Relasi dengan Tuhan.

Adak mori di sini bisa dalam bentuk ritual hambor asé ka'é weki, paki jarang bolong, penti, congko lokap, kaér ulu waé.

Jadi, adak mori adalah sebuah ungkapan yang ada hubungannya dengan ritual dan acara-acara baik menurut tradisi dan budaya setempat sesuai konteks.

2.4.2 Adak Keraéng.

Adak keraéng hampir mirip dengan adak mori hanya saja keraéng adalah predikat yang bersifat pemberian. Artinya setiap orang bisa diberi pangkat keraéng tetapi bukan mori. Keraéng adalah tuan, sedangkan mori adalah pemilik.  Lord land misalnya adalah terjemahan dari morin nuca (tuan tanah). Bisa juga pemilik lingko-lingko. Sedangkan, keraéng bisa sematan status kepada pendatang atau bukan lord land, bisa juga tamu kehormatan. 

Hal yang lazim misalnya curu keraéng atau kerap dilakukan acara tuak curu (penjemputan secara adat). Di sana tidak disebutkan curu mori tetapi curu keraéng. Ketika dikatakan curu mori, maka konotasinya mengarah ke realitas tertinggi. Karena yang dijemput adalah manusia yang berstrata, maka disebutlah istilah curu keraéng. Adak keraéng dan adak mori dalam runutan ritus-ritus hampir sama hanya saja kedua frasa itu masing-masing memiliki penekanan dan makna tersendiri yang tidak bisa diselaraskan. 

2.4.2.1 Berstrata Tinggi.

Adak keraéng erat pula dengan status kelas sosial, berstrata tinggi. Ritu s adak keraéng misalnya syukuran keturunan (kaér ulu waé), paki kaba bakok dilakukan termasuk pada saat kelas menggunakan kerbau. Adak keraéng dalam hal ini ada hubungannya dengan pangkat keadatan. 

2.4.2.2 Masyarakat Biasa.

Sebutan adak kéraeng bisa juga disematkan pada masyarakat biasa tetapi orang kaya kendatipun bukan tuan tanah. Karena ekonomi tinggi dan kuat, masyarakat pendatang yang kemudian memiliki relasi kawin mawin ataupun tidak dengan tuan tanah, ritus adat baginya bisa disebut sebagai adak keraéng. 

Zaman milenial, pandangan tentang keraéng bukan mori sudah berubah dari status keadatan (Adak, Raja) ke orang-orang yang memiliki ekonomi dan relasi sosial yang tinggi. Dengan demikian, sematan keraéng sudah sesuai konteks zaman. 

III. Penutup
Refrensi

Melky Pantur.
Ruteng.
Jumat, 15 April 2022