17/04/22

Kajian Teoritik: Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai

Melky Pantur
 

DAFTAR ISI

Pengantar
Pembahasan
I. Pendahuluan
II. Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai
2.1 Arti Kata dan Penjelasan
2.1.1 Mori
2.1.2 Keraéng
2.1.3 Adak
2.1.4 Tu'a
2.2 Identitas Status.
2.2.1 Mori Adak.
2.2.2 Keraéng Tu'a.
2.2.3 Keraéng Mori.
2.2.4 Keraéng Adak.
2.2.5 Tu'a Adak. 
2.3 Unsur Ketuhanan.
2.3.1 Pandangan Realitas Tertinggi.
2.3.2 Mori Keraéng.
2.4 Aktivitas Ritual.
2.4.1 Adak Mori.
2.4.1.1 Relasi Manusia.
2.4.1.2 Relasi dengan Leluhur.
2.4.1.3 Relasi dengan Alam
2.4.1.4 Relasi dengan Roh Alam
2.4.1.5 Relasi dengan Tuhan
2.4.2 Adak Keraéng.
2.4.2.1 Berstrata Tinggi.
2.4.2.2 Masyarakat Biasa.
III. Penutup
Refrensi

                               KAJIAN    


Pengantar
Pembahasan

I. Pendahuluan

Sebelum membahas tulisan ini, ada tiga hal penting yang perlu dicermati sebagai kategori yang saling bertautan, yaitu identitas status, ketuhanan, dan aktivitas ritual. 

Identitas status berkaitan dengan predikat Mori Adak, Keraéng Tu'a, Keraéng Mori, Keraéng Adak, dan Tu'a Adak. Unsur ketuhanannya seperti sebutan untuk realitas tertinggi orang Manggarai adalah Mori Keraéng. Sedangkan, sebutan aktivitas ritual yang ada hubungannya dengan identitas status tampak dalam frasa adak mori, adak keraéng. 

Tulisan ini mengangkat tema: Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai, yang mana kajiannya untuk mempermudah generasi milenial termasuk kelompok-kelompok sporadis dari Nuca Lalé ataupula bagi keraéng-keraéng pendatang yang ingin mencari ilmu pengetahuan ataupun para pendatang yang sekedar mencari nafkah di Nuca Lalé. Tugas generasi asli menulis dan menarasikan itu agar diketahui. 

II. Identitas yang Dipertuankan dalam Budaya Orang Manggarai

2.1 Arti Kata dan Penjelasan

Sebelum mengkaji lima identitas di atas, hal pertama adalah membahas 4 (empat) kata kunci untuk menjelaskan sebutan identitas sosial: Mori, keraéng, Adak, Tu'a.

2.1.1 Mori

Mori artinya Allah, Tuhan. Mori juga berarti tuan. Bila ditambah dehakamenpresty n, maka menjadi morin. Morin artinya pemilik. Contoh sebutan: Mori jari (Tuhan penumbuh dan pemelihara).

2.1.2 Keraéng

Keraéng artinya seseorang yang dituakan, dipertuankan, diperpuankan. Keraéng adalah panggilan untuk status sosial yang dituakan, dihormati. Kata keraéng bisa untuk jenis kelamin laki-laki, bisa untuk jenis kelamin perempuan. Misalnya, frasa keraéng Ema (bapak-bapak), keraéng Endé (ibu-ibu). 

2.1.3 Adak

Adak artinya Raja. Adak juga dapat berarti ritual (suatu rentetan aktivitas ritual). Misalnya, adak wé'é mbaru (ritual adat atas terselesainya pembangunan sebuah rumah). Adak berkonotasi Raja, misalnya sebutan Adak Todo (Raja Todo). Adak bagi orang Manggarai bukanlah Raja karena Adak orang Manggarai menganut sistem trias partiarkif dialogis. 

2.1.4 Tu'a

Tu'a artinya besar, yang diagungkan. Tu'a berbeda dengan tua. Tua artinya muncul. Tu'a dapat berarti usia tua. 

2.2 Identitas Status.

Terdapat lima sebutan identitas (status) yang dipertuankan dalam budaya orang Manggarai, antara lain:

2.2.1 Mori Adak.

Frasa Mori Adak adalah predikat untuk sebutan Raja yang dihormati. Terjemahan lain, frasa ini mau menjelaskan Tuhan adalah Raja. Predikat lainnya adalah tuan dari para Raja adalah Tuhan, Allah. Bila ditulis Morin Adak, maka ini adalah frasa ekspresif di mana Tuhan adalah pemilik dari Raja, yang memilih dan mengangkat seseorang menjadi Raja. 

Konteks budaya dan tradisi, sebutan Mori Adak menunjuk pada identitas tertinggi strata sosial kemasyarakatan. Mori Adak dapat diartikan sebagai para Raja. Sebutan Adak orang Manggarai bersifat partiarki, sehingga menunjuk pada sifat kepriaan. Tradisi Manggarai menganut sistem kelas subordinatif kendati hanya dalam urusan kedudukan (jabatan) dan pemecahan masalah (problem solver) saja. 

Sebutan Mori Adak agak enggan digunakan dalam konteks kaitannya dengan status puteri Raja atau putera mahkota walaupun orang Manggarai asli tidak mengenal istilah Raja. Adak sebetulnya bukan merujuk pada kata Raja karena orang Manggarai tidak mengenal kata Raja yang selalu berkonotatif penuh haus kuasa, tiran dan diktator. Raja adalah predikat sosial terapan yang diambil dari sistem kepemimpinan di negeri lain. Sifat Raja sangat absolut dan perkataannnya adalah undang-undang. 

Berbeda dengan Adak orang Manggarai. Adak orang Manggarai bukanlah Presiden sebagaimana dianut dalam sistem presidensil. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin mirip Raja yang absolut. Baik sistem presidensil, demokrasi terpimpin maupun bersistem Raja tetap tidak sama dengan sistem Adak orang Manggarai. Trias Politica juga tidak sama dengan sistem Adak orang Manggarai. Presiden mengangkat yudikatif berdasarkan persetujuan legislatif. Sistem pengangakatan ini berbeda dengan sistem Adak orang Manggarai. 

Adak orang Manggarai terdiri atas Tu'a Golo, Tu'a Gendang dan Tu'a Teno. Ada pula sebutan Tu'a Béo, Tu'a Panga, Tu'a Kilo. Konteks Cibal, ada pula nama status Adak lazim disebut Tu'a Lumpung. Adak tertinggi ada tiga, yaitu Tu'a Golo, Tu'a Gendang, Tu'a Teno. Tugas dan fungsi dari Tu'a itu diatur secara lisan. Kasus pidana diurus oleh Tu'a Gendang. Kasus perdata diurus oleh Tu'a Teno bersama Tu'a Gendang. Tu'a Golo mengurus masalah berkaitan dengan kasus-kasus dengan gendang lainnya. Tu'a Golo adalah orang pertama yang membuka kebun dan mendiami salah satu kampung adat. Tu'a Golo adalah pemimpin tertinggi. 

Predikat Tu'a di atas itulah yang disebut dengan Mori Adak walau dalam kondisi lain, sebutan Mori Adak bisa juga untuk penyematan terhadap tamu kehormatan. Era abad 21, sebutan Mori Adak amat luas digunakan. Pejabat negara dan orang-orang yang dituakan dapat dipanggil sebagai Mori Adak. Dalam satu acara adat misalnya, tongka (jubir adat) dapat dipanggil Mori Adak. Hal mana pemakaiannya dalam interaksi sosial dapat digunakan secara umum dan massif situasional. Konteks memasukkan unsur ekspresi itu sebetulnya sebagai bentuk sentimen pemertuaan, penghargaan dan pemosisian diri terhadap identitas sosial baik umum maupun situasional terhadap subjek yang merasa perlu dipertuakan.

2.2.2 Keraéng Tu'a.

Frasa ini lazim dipakai dalam strata, interaksi dan relasi sosial. Amat erat kaitannya dengan prinsip pemertuanan. Keraéng Tu'a menunjuk pada identitas partiarkif (maskulinisme). Dalam kaitannya dengan kelompok srikandi, ucapan yang populer digunakan adalah keraéng Endé. Etika komunikasi sosial, baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi sosial umum, dalam diskusi kelompok dan dialog, prinsip-prinsip etika pasti terlontar secara reflektif. Rasa etis bisa saja dipakai lalu muncul ekspresi-ekspresi bukan penyetaraan identitas dengan sebutan keraéng Endé

Predikat untuk status Keraéng Tu'a biasanya orang yang dituakan, seperti: Bapak kandung, kakak kandung, subjek-subjek sosial yang memiliki pengaruh sosial, baik karena etos kerja, pembawaan sosial maupun strata sosial. Penyematan status keraéng tu'a terhadap seseorang bisa ditempatkan pada orang yang umurnya lebih kecil yang hanya karena strata sosialnya, maka penyematan itu pantas diterimanya. Siapapun dapat dipanggil keraéng tua tergantung strata dan rasa mut (perasaan seseorang yang tiba-tiba senang terhadap subjek tertentu). 

Masa lampau, sebutan keraéng tua erat kaitannya dengan strata. Misalnya, status Adak. Kelaziman dan ngancek géal (biasa diungkapkan) apalagi konteks zaman milenial, seseorang wajar mendapat predikat keraéng tu'a apabila berprestasi dan masih dalam kategori konglomerat. Keraéng Tu'a masa lampau amat feodal. Masa kini (2022), pencatutan itu sudah amat situasional. Panggilan keraeng tu'a terkadang sengaja dihembuskan dengan maksud terciptanya relasi intimitas antara komunikan dan komunikator dalam percakapan formal dan informal. Tujuannya komunikasi responsif, dialogis dan diskursus berjalan sesuai asa komunal.  

2.2.3 Keraéng Mori.

Keraéng mori nyaris sama dengan sebutan umum. Konteks tertentu, ekspresi keraéng mori sifatnya tidak terikat pada usia dan strata sosial seseorang. Sifat ekspresinya fleksibel dan kontekstual dan umum.

Sebutan keraéng mori bisa menunjuk pada entitas sosial yang tidak ada relasi atau sangat berjauhan satu sama lain. Misalnya sebutan ini: Keraéng mori lau Amerika, Eropa, Asia. 

Kendati sebutan itu juga menunjuk pada keprerogatifan Tuhan, di mana Allah adalah tuan, namun tidak lumrah memang dipakai dalam interaksi sosial harian tetapi lazim digunakan dalam situasi-situasi khusus dengan penekanan pada sebutannya. 

Sebutan keraéng mori sifatnya khusus dan nilai estetik linguisnya halus, sopan dan sederajat. Sebutan itu menunjukkan peramahan, intimitas absolut, tanpa beban, dekat, akrab dan penuh perkoncoan. Walau amat halus, bagi yang tidak biasa mendengar (subjek yang dipredikat) bisa merasa gerah, minder dan kaku karena sesuatu ketidaklaziman. Lama-lama akan menjadi sapaan perekatan pertemanan.  Berbeda dengan panggilan keraéng tu'a karena terlalu kental dan stratif berbeda dengan panggilan keraéng mori yang amat cair dan arif. 

2.2.4 Keraéng Adak.

Sebutan ini lazim dipakai untuk sinis dan sindir. Semacam bahasa perendahan. Dalam komunikasi sosial, penekanan ungkapan ini sifatnya situasional tergantung subjek pengguna. Respon komunikan akan tidak baik apabila komunikator menggunakan ungkapan keraéng adak. 

Keraéng Adak adalah sebuah posisi, strata, jabatan, kedudukan bukan sebuah ekspresi komunikasi sosial. Keraéng Adak adalah entitas sosial. Entitas itu adalah tetua adat. Jadi, bukan ekpresi komunikasi sosial tetapi problem solver mandegnya interaksi sosial. 

Ketika komunikan dan komunikator menggunakan sebutan keraéng adak sebagai frasa dalam menyampaikan pesan, maka ada unsur perendahan terhadap status subjek. Ekspresi penyetaraan dan pemertuanan lazimnya memakai sebutan keraéng tu'a dan keraéng mori. Keraéng adak adalah ungkapan peremehan di bawah posisi kata hau (kau). Artinya, keraéng adak masih halus dari kata hau.

2.2.5 Tu'a Adak. 

Tu'a Adak adalah tokoh-tokoh adat, tetua adat, Adak Telu (Tu'a Golo, Tu'a Gendang dan Tu'a Teno). Tu'a Adak adalah nama dari strata sosial keadatan di Manggarai.

2.3 Unsur Ketuhanan.

2.3.1 Pandangan Realitas Tertinggi

Realitas tertinggi bagi orang Manggarai digambarkan melalui ungkapan ini: Mori agu Ngaran, Jari agu Dédék (Tuhan Pemilik, Penumbuh, Pencipta). Ungkapan lain untuk menyebut realitas tertinggi adalah parn awo kolepn salé; tanan wa, awangn éta (mulai terbit hingga terbenamnya; langit dan bumi).

Sebutan Yang Kuasa bagi orang Manggarai amat abstrak bukan person. Parn awo, kolepn salé adalah predikat tentang Allah yang menjadikan siang dan malam. Sebutan ini tentu sesuai dengan konteks eksistensi kehidupan dan wujud alamnya. Manggarai memiliki waktu siang dan malam masing-masing 12 jam. Khusus untuk predikat tanan wa, awangn éta, sebutan ini amat simbolik. Mengapa? Unsur kekelaminannya ada, yaitu kategori feminim dan maskulin.

2.3.2 Mori Keraéng.

Yang menarik dari gambaran tentang Allah menurut orang Manggarai adalah predikat Jari Dédék. Jari Dédék (Tuhan Allah) adalah sesuatu yang mencipta. Sesuatu yang mencipta tentu memiliki unsur idea, seni, arsitektur. Unsur-unsur dalam Jari Dédék, seperti: pemikir, estetika, dan desainer. Itu artinya bersifat inovatif dan kreatif. Terlepas jika dihubung-hubungkan dengan konsep agama berkaitan dengan kata "citra", itu penjelasan lainnya. Apabila manusia adalah gambaran Allah, citra-Nya, maka pengaruh teologi kristen di sini masuk. Yang pasti bahwa ekspresi Jari Dédék menurut orang Manggarai abstraktif. Upaya aufklarung analogi antara konsep adat, tradisi dan agama lazim dilakukan para teolog kontemporer. Di sini hanya sebatas menjelaskan tentang frasa berdasarkan konteks lokal saja. Upaya pencarian penghubungan tugas oleh pembaca sendiri.

Kemudian, identitas Allah oleh orang Manggarai kerap diungkapkan melalui gambaran maskulin dan feminim. Hal itu tampak dalam ungkapan: Amé rinding mané, Iné rinding wié. Ungkapan ini lebih condong ke person walaupun ungkapan ini kerap menegaskan bahwa ayah dan ibu adalah Allah yang kelihatan. Ayah dan Ibu oleh orang Manggarai adalah sosok Allah yang nyata.  

Sebagaimana sebutan keraéng bukan hanya untuk jenis kelamin laki-laki tetapi juga untuk jenis kelamin perempuan, maka nama Mori Keraéng terdiri dari sosok laki-laki dan perempuan. Jadi, Mori Keraéng adalah sosok yang memiliki dua jenis kelamin (yang dipertuankan dan diperpuankan). Menurut konsep ini, maka gambaran tentang Allah mengambil tipe laki-laki dan perempuan (Ayah Ibu). 

Allah yang seolah-olah vegetatif itu, dapat disetarakan dengan ungkapan Amé rinding mané, Iné rinding wié; kémbé lé, tadu lau; réa éta, cakat wa; raés salé, raop awo, ciki cimping. Artinya, Mori Keraéng digambarkan sebagai pelindung, perisai, penganyom siang dan malam. 

Ketika gambaran tentang Allah orang Manggarai bisa dipertegas oleh konsep-konsep ke-Allah-an menurut agama-agama, tentu itu sebuah tindakan analogif atau upaya pemertautan dua hal bisa dipertalikan yang kemudian mendapat benang merahnya. Hal itu misalnya, konsep ke-Allah-an dalam kekristenan dan hinduisme tetapi agar tidak mencocok-cocokan apalagi itu nanti panjang ulasannya dengan mengacu pada berbagai refrensi, Penulis menghindari pembahasan analogifnya karena tulisan ini hanya untuk menjelaskan frasa-frasa seturut konteks budaya Manggarai saja.

2.4 Aktivitas Ritual.

2.4.1 Adak Mori.

Frasa ini kebalikan dari frasa Mori Adak. Adak di sini erat hubungannya dengan ritual. Adak mori adalah suatu aktus terciptanya relasi dengan sesama, roh leluhur, alam, roh alam, dan Tuhan. Praktik-praktik riil adak mori tampak dalam ritual-ritual adat tertentu sesuai dengan subjek yang dituju atau meminta rezeki dan pengampunan. 

Praktik ritual adak mori, misalnya ritual selek dan caca selek, ritual ngelong, dan ritual barong. Ada banyak hal ritual adak mori sesuai jalur dan tujuannya. Berikut rinciannya:

2.4.1.1 Relasi Manusia.

Ritual adak mori kaitannya dengan manusia secara runut mulai dari céar cumpé hingga kélas. Disebutkan misalnya, sélék dan caca sélék, hambor, pongo, oké dara ta'a. Adak mori di sini amat klop dengan ritual berkaitan dengan strata sosial, misalnya ritus adat untuk keturunan tuan tanah (lord land).  

2.4.1.2 Relasi dengan Leluhur.

Sesajian terhadap leluhur dapat dimengerti sebagai adak mori. Bentuk ritualnya adalah téing hang wura agu ceki. Biasa juga disebut téing hang kolang. Ritual lainnya adalah takung waé cemok. 

2.4.1.3 Relasi dengan Alam.

Ritual yang dipakai di sini bisa dalam bentuk ngelong, kaér ulu waé (ritual di mata air) dan barong waé. 

2.4.1.4 Relasi dengan Roh Alam.

Orang Manggarai percaya bahwa setiap mata air ada penjaganya. Manusia menjalin relasi dengan penjaga itu. Ritual yang dibuat sebagai bentuk adak mori. Ritual yang dilakukan berupa takung. Takung di sini bukan lancung karena orang Manggarai percaya, roh penjaga mata air adalah representasi dari Jari Dédék.

2.4.1.5 Relasi dengan Tuhan.

Adak mori di sini bisa dalam bentuk ritual hambor asé ka'é weki, paki jarang bolong, penti, congko lokap, kaér ulu waé.

Jadi, adak mori adalah sebuah ungkapan yang ada hubungannya dengan ritual dan acara-acara baik menurut tradisi dan budaya setempat sesuai konteks.

2.4.2 Adak Keraéng.

Adak keraéng hampir mirip dengan adak mori hanya saja keraéng adalah predikat yang bersifat pemberian. Artinya setiap orang bisa diberi pangkat keraéng tetapi bukan mori. Keraéng adalah tuan, sedangkan mori adalah pemilik.  Lord land misalnya adalah terjemahan dari morin nuca (tuan tanah). Bisa juga pemilik lingko-lingko. Sedangkan, keraéng bisa sematan status kepada pendatang atau bukan lord land, bisa juga tamu kehormatan. 

Hal yang lazim misalnya curu keraéng atau kerap dilakukan acara tuak curu (penjemputan secara adat). Di sana tidak disebutkan curu mori tetapi curu keraéng. Ketika dikatakan curu mori, maka konotasinya mengarah ke realitas tertinggi. Karena yang dijemput adalah manusia yang berstrata, maka disebutlah istilah curu keraéng. Adak keraéng dan adak mori dalam runutan ritus-ritus hampir sama hanya saja kedua frasa itu masing-masing memiliki penekanan dan makna tersendiri yang tidak bisa diselaraskan. 

2.4.2.1 Berstrata Tinggi.

Adak keraéng erat pula dengan status kelas sosial, berstrata tinggi. Ritu s adak keraéng misalnya syukuran keturunan (kaér ulu waé), paki kaba bakok dilakukan termasuk pada saat kelas menggunakan kerbau. Adak keraéng dalam hal ini ada hubungannya dengan pangkat keadatan. 

2.4.2.2 Masyarakat Biasa.

Sebutan adak kéraeng bisa juga disematkan pada masyarakat biasa tetapi orang kaya kendatipun bukan tuan tanah. Karena ekonomi tinggi dan kuat, masyarakat pendatang yang kemudian memiliki relasi kawin mawin ataupun tidak dengan tuan tanah, ritus adat baginya bisa disebut sebagai adak keraéng. 

Zaman milenial, pandangan tentang keraéng bukan mori sudah berubah dari status keadatan (Adak, Raja) ke orang-orang yang memiliki ekonomi dan relasi sosial yang tinggi. Dengan demikian, sematan keraéng sudah sesuai konteks zaman. 

III. Penutup
Refrensi

Melky Pantur.
Ruteng.
Jumat, 15 April 2022




Tidak ada komentar:

Posting Komentar