DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
DAFTAR ISI
BAB I. MANUNGGÉ
1.1 Apa Itu Manunggé?
1.2 Bentuk.
1.2.1 Ciri Khusus.
1.2.2 Pembentukan.
1.2.3 Sifat.
1.3 Habitat.
1.4 Tugas dan Fungsi.
BAB II. PERSPEKTIF
2.1 Budaya.
2.2 Agama.
2.3 Pemikir Kontemporer.
BAB III. KOMPARASI
3.1 Naga.
3.2 Api.
BAB IV. ANALOGI
4.1 Versi Manggarai.
4.2 Kisah Jawa Kuno.
4.3 Menurut Hinduisme dan Budha.
4.4 Tradisi China.
4.5 Tradisi Jepang.
4.6 Pandangan Eropa.
4.7 Mitologi Yunani Kuno.
4.8 Tafsiran Agama.
BAB V. EKSISTENSI SUPRANATURAL
5.1 Cara Berada.
5.2 Relasi.
BAB VI. REPRESENTASI
6.1 Pemelihara.
6.2 Simbol Kedewasaan.
6.3 Kekuatan Alam
BAB VII. REALITAS TERTINGGI
7.1 Manifestasi Ilahi.
7.2 Triesa.
BAB VIII. KISAH NYATA
8.1 Guru Penawar.
8.2 Tuhan Sayang Manusia.
8.3 Kesaksian.
PENUTUP
https://youtu.be/lJ3kD4JIoYA
Ini gambaran manunggé (Foto: Istimewa)
MANUNGGÉ:
KOMPARASI DAN UPAYA ANOLOGI
BAB I. MANUNGGÉ
1.1 Apa Itu Manunggé?
Manunggé adalah binatang mitologi dalam bahasa Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Manunggé terbentuk diyakini karena merupakan dampak dari metamorfosisnya.
Manunggé terkadang disebut kakartana (binatang bumi yang sifat). Manunggé adalah binatang yang merupakan ciptaan Tuhan untuk maksud yang khusus.
Manunggé diduga tersebar di berbagai daerah di dunia hanya saja namanya berbeda sesuai dengan bahasa setempat.
Manunggé secara umum dianggap sebagai binatang mitologi di mana hanya berada di dalam dunia fantasi semata. Meski demikian, ada pula orang yang menyakini manunggé itu sungguh ada di dunia nyata.
1.2 Bentuk.
1.2.1 Ciri Khusus.
Manunggé memiliki ciri-ciri khusus, yaitu seperti ular biasa pada umumnya, di kepalanya terdapat mahkota yang bercahaya mengkilat, kakor (berkokok), panjangnya tidak sampai semeter. Warnanya gelap.
1.2.2 Pembentukan.
Manunggé dibentuk dengan melewati tahapan, seperti kaka ta'a (ular hijau), liko dango (ular hijau yang ekornya sudah mulai menghitam), mbawarani (hitam), manunggé. Ketika bertumbuh menjadi mbawarani, jarang dilihat oleh manusia. Mbawarani sudah mengarah menjadi binatang supranatural.
1.2.3 Sifat.
Manunggé sifatnya tersembunyi. Kehadirannya dalam dunia nyata sebagai tanda ajal dan kematian. Tidak senantiasa terlihat dan selalu menyembunyikan diri dari manusia. Kehadirannya dalam dunia nyata bersifat pribadi dan dinyatakan melalui pesan mimpi.
Sama halnya dengan manunggé, mbawarani juga demikian amat tersembunyi dan sebagai tanda kematian. Bagi yang memiliki guru (mantra khusus), manunggé dapat dijinakkan walaupun perkataan ini masih anggapan karena amat sulit diterima akal masyarakat milenial.
1.3 Habitat.
Manunggé berada di pong cengit (daerah mata air yang memiliki rawa-rawa), di berada di hutan dan pengunungan. Dapat pula berada di dekat pemukiman warga hanya saja tidak kelihatan. Kehidupannya di dalam gua-gua dan berada di dalam tanah.
1.4 Asumsi.
Manunggé diasumsikan sebagai londé. Londé biasanya terbang di pagi hari, saat subu. Bentuknya seperti bola api terbang dan ular terbang tetapi berwarna merah.
Londé sebagai pengkabar kematian dan dianggap sebagai roh yang mencabut nyawa manusia.
1.5 Tugas dan Fungsi.
Manunggé bertugas untuk menjadi eksistensi alam terutama mata air dan hutan-hutan. Ular hijau awalnya hidup di semak-semak, memakan tikus, kadal, katak. Pada tahap menjadi mbawarani dan manunggé, eksistensinya yang serba supranatural sulit diketahui apa makanannya. Manunggé diduga bertugas menggerakkan biji-biji dan tetumbuhan agar tumbuh subur. Dan melalui kekuatannya, hama dapat dijauhkan.
1.6 Kekuatan.
Manunggé tidak memiliki kekuatan sendiri. Manunggé hanyalah ular hijau biasa tetapi tingkatannya yang bisa selamat dari metamorfosisnya membuat eksistensinya serem menurut manusia. Manunggé diberi kekuatan oleh Roh sehingga menjadi supranatural. Manunggé adalah energi bumi yang berasal dari dalam bumi untuk menggerakkan.
1.7 Makanan.
Karena ini tulisan analogi, manunggé yang sifatnya supra tidak memiliki makanan jasad atau fisik. Sama seperti roh-roh halus lainnya yang mana makanannya adalah nyawa manusia.
1.8 Eksekutor Mantra.
Manunggé diduga sebagai eksekutor mantra. Artinya, semua racun hewan berbisa dapat ditangkalnya. Sama seperti karena terangnya, ia memberi kekuatan sebagai penjaga untuk memberi kesuburan.
BAB II. PERSPEKTIF
2.1 Budaya.
Menurut asumsi budaya, manunggé adalah kekuatan alam bawah tanah. Dalam budaya Manggarai, ada sebutan naga tanah. Naga tanah itu bercahaya.
Dapat dianalogikan, karena manunggé itu bercahaya, naga tanah yang dipercaya itu adalah manunggé. Naga tanah adalah pemberi kekuatan, rezeki dan berkat bagi suatu daerah.
Dalam budaya Manggarai, ritual takug naga mbaru, takung naga golo kerap dilakukan. Maksudnya, boto goro bongkok, gege leles, lekas lepas (rumah menjadi kuat dan kokoh). Selain itu, orang yang mendiami rumah diberi kesejukan, betah dan ketenangan.
Pratik budaya takung naga tana diduga memohon bantuan manunggé untuk berkomunikasi dengan dengan makhluk, hewan dan binatang mempengaruhi mereka menjauh dari tanaman yang ditanam oleh manusia.
2.2 Agama.
Dalam kejadian, kisah adam dan hawa di sana dijelaskan tentang ular yang melambangkan setan. Di sana ular berbicara. Di sini, apakah itu ular sanca ataukah justru manunggé yang menguji manusia?
Dalam Hindu, apakah manunggé identik dengan tatsaka? Dalam kebudayaan China, apakah manunggé adalah naga barong?
2.3 Pemikir Kontemporer.
Masa kontemporer, segala perkara terkait mistis adalah hal yang absurd. Orang-orang lebih bergeliat pada hal-hal yang faktual, bukan fiksi, imajinatif, utopis dan fantasi.
Sesuatu yang bersifat mitos dijauhkan. Apa pun harus bersifat faktual kendati masih ada orang yang percaya pada kekuatan roh-roh alam.
BAB III. KOMPARASI
3.1 Naga.
Cerita tentang naga, seperti naga brola, naga baruna apakah merupakan representasi dari manunggé? Manunggé tidak bertanduk sebagaimana digambarkan para pelukis zaman postmodern.
Tetapi banyak kisah, penglihatan dan mimpi di mana ada ular yang memiliki mahkota di kepalanya. Manunggé yang sifatnya supranatural sulit diketahui perubahan selanjutnya setelah statusnya menjadi manunggé.
3.2 Api.
Manunggé memiliki cahaya di kepalanya. Itu dapat dikatakan, ia memiliki api dari eksistensinya yang supra itu. Secara logika, kepalanya yang bermahkota cahaya dan oleh karena kekuatan yang dimilikinya, ia sudah barang pasti bisa hidup dalam tiga dunia, di lautan, gunung berapi, terbang dan hutan belukar.
BAB IV. ANALOGI
4.1 Versi Manggarai.
Orang Manggarai mengenal naga tanah. Naga tanah itu memiliki cahaya. Lazimnya, agar sebuah gendang berdiri makmur digelarlah ritual takung naga golo.
Kemudian, manunggé diceritakan amat menyeramkan dan bahkan dijuluki kakartana (poti). Karena stigma yang disematkan, manunggé kemudian menjadi makhluk yang ditakuti karena cerita tentangnya pasti seputaran ajal.
Menurut orang Manggarai, naga mbaru dan naga golo itu bercahaya. Bagi yang mempunyai ilmu kanuragan dan sakti mandraguna, mereka bisa melihat naga tanah yang bercahaya dari dalam tanah. Tidak semua orang mampu melihat itu kecuali orang-orang terpilih saja. Tentu itu semua sesuai dengan kehendak Yang Kuasa.
4.2 Kisah Jawa Kuno.
Banyak kisah Jawa Kuno terutama yang paling terkenal adalah Raja Malwapati, Angling Dharma. Kisah epik Jawa itu mengisahkan bagaimana Naga Brola memberi sebuah ajian senyawa atau ajian gening kepada Angling Dharma.
Raja Angling kemudian mengetahui semua jenis bahasa binatang. Banyak kisah lain di Jawa tetapi yang paling tersohor adalah kisahnya yang hebat.
Apa yang dimiliki oleh Raja Angling, tahun 1900-an di Ruteng juga ada orang yang memiliki ajian serupa. Ajian itu diberikan oleh seekor belut. Sama halnya dengan kisah-kisah awal totemisme di Manggarai di mana orang-orang zaman dulu dapat berbicara dengan binatang.
Kebiasaan bermalirupo juga hal biasa. Hal mana seperti kisah Empo Siuk orang Wangkung yang berceki cik petola. Cik petola hanya ada di pong cengit. Sangat susah untuk melihatnya.
Mitologi yang paling menarik juga adalah soal ratu pantai selatan. Ratu pantai selatan dalam tradisi Jawa selalu berhubungan seekor naga. Hal inilah yang perlu dicocok-cocokkan apakah itu wujud dari manunggé? Manunggé bukan lagi dilihat sebagai yang serem tetapi juga penyeimbang.
Apakah Manunggé juga adalah Dewa Baruna, naga Baruna? Lukisan-lukisan naga bertanduk berbeda dengan Manunggé yang bertugas menjaga keseimbangan alam. Lukisan cukup membuat tafsiran menjadi bingung.
4.3 Menurut Hinduisme dan Budha.
Dalam Hindu terdapat gambaran Sri Kresna atau Dewa Visnu yang bersandar di tubuh ular yang berkepala delapan. Tetapi ular itu adalah ular kobra.
Menurut pengetahuan orang Manggarai, dari semua jenis ular yang berubah bentuk hanya ular hijau. Ular lainnya tidak berubah menuju kesupraan. Ular yang lain diciptakan bentuknya sama sejak lahir sampai ular itu mati. Ular kobra hanya ukuran panjangnya yang bertambah begitupun ular sanca. Berbeda dengan ular hijau, ular hijau berubah bentuk menjadi pendek tetapi kemudian menjadi manunggé.
Lukisan-lukisan ular kobra tentu sesuai dengan tradisi India di mana Dewa Siva berkalungkan ular kobra. Ular kobra di leher Sri Siva sebenarnya adalah Dewa juga tetapi bermalirupa seperti ular.
Dalam sejarah Hindu, dikenal dengan ular tatsaka (ular berkepala manusia). Tatsaka dalam kisah epik Mahabharata membantu kelompok Duruyudana. Bahkan untuk menyerang Pandawa, ular-ular terbang dikirim untuk menghantam Arjuna.
4.4 Tradisi China.
China khususnya Tiongkok memiliki tradisi yang sama. Kisah-kisah Sun Go Kong dengan Biksu Tang atau perjalanan ke timur kaitannya Dewi Kwan Im juga menggambarkan tentang naga. Kisah ini tentu berada di planet bumi.
4.5 Tradisi Jepang.
Orang-orang Jepang juga mengenal yang namanya naga. Negara Shinto di mana bagi mereka Tuhan adalah terang. Di sana ada pemahaman masyarakat lokal soal naga.
4.6 Pandangan Eropa.
Orang-orang Eropa pada umumnya tidak yakin dengan dunia mitos. Mereka masyarakat sains yang bergantung sepenuhnya pada akal budi. Bagi mereka ular apa pun hanya ciptaan.
Masyarakat Eropa hanya percaya pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Ular apa pun adalah ciptaan Tuhan semata.
4.7 Mitologi Yunani Kuno.
Dalam budaya Yunani Kuno, ular adalah simbol dewi kesuburan. Hanya saja apakah yang dimaksudkan adalah manunggé?
Ini adalah pertanyaan penting bagi generasi milenial untuk mencaritahu soal keberadaan manunggé relasinya dengan kepercayaan masyarakat di belahan dunia lainnya.
4.8 Tafsiran Agama.
Banyak tafsiran agama soal naga. Bagi agama Islam dan Kristen, naga simbol setan, kehancuran. Dalam agama samawi, ular adalah pembawa sial.
Ular pun diidentikkan dengan maut. Tidak ada tempat bagi yang namanya ular untuk dihormati. Mengacu pada Wahyu Yohanes, ular disimbolkan sebagai kiamat, murka Allah.
Berbica tentang ular tentu topik yang tidak diinginkan karena stigma apalagi kisah awal tentang kisah penciptaan manusia, ular adalah tokoh antagonis yang dibenci oleh kelompok agama. Apa peran peran penting ular tidak dibicarakan dalam agama.
Ditilik dari sisi pertanian, orang Yunani malahan melihat ular sebagai dewi kesuburan. Mengapa? Hadirnya ular justru membuahkan hasil yang melimpah.
Padi dengan hasil yang berlimpah ketika ada ular di dalamnya, maka tikus-tikus tidak berkeliaran. Burung-burung pipit pun ketakutan. Pandangan tentang ular amat berbeda untuk tiap budaya.
Bagi masyarakat Hindu, ular kobra sangat dihormati karena ada hubungannya dengan Dewa Siva (Trimurti). Yah, tergantung pemahaman masing-masing daerah.
BAB V. EKSISTENSI SUPRANATURAL
5.1 Cara Berada.
Cara berada manunggé tergantung Roh. Kekuatan yang berasal dari Roh membuatnya berguna. Mahkota di kepalanya melekat pada hukum determinan. Hukum determinan adalah hukum pemberian.
Artinya, Yang Kuasa adalah pemberi kekuatan melalui representasi Roh. Manunggé juga adalah binatang bermalirupa. Roh adalah kekuatan utama manunggé karena itu ia bertugas untuk menjaga keseimbangan alam.
5.2 Relasi.
Manunggé tentu saja memiliki relasi dengan makhluk halus lainnya. Dengan belut besar seperti gendang (tuna gendang) memiliki relasi satu sama lain. Mereka adalah bangsa ular.
BAB VI. REPRESENTASI
6.1 Pemelihara.
Manunggé adalah pemelihara, penyeimbang sekaligus penyelaras alam. Di mana hal itu sesuai dengan kehendak Yang Kuasa, Allah yang maha tinggi.
Sebagai pemelihara, ia berhak menegur sekaligus memberi hukuman ketika alam dirusak oleh tangan manusia.
6.2 Simbol Kedewasaan.
Manunggé adalah simbol kesabaran, mawas diri dan kedewasaan. Dalam penempaannya yang panjang, ia diuji sampai tahap tertinggi di mana ia menemukan identitasnya.
Ziarah ular hijau tidak mudah. Tentu banyak tantangan sampai ke tahap manunggé. Tantangannya adalah manusia, binatang buas lainnya, bencana alam seperti kebakaran hutan.
Kucing hutan termasuk menjadi pemangsanya. Belum lagi faktor alam yang lain yang membuat proses pembentukan jati dirinya bisa kandas di tengah jalan. Jadi, tidak gampang ditapaki untuk menjadi sempurna.
6.3 Kekuatan Alam.
Manunggé memberi kekuatan pada alam. Menggerakkan kehidupan sesuai tugasnya yang ia emban dari Tuhan.
Manunggé tidak bergantung pada kekuatannya sendiri terutama pada saat statusnya yang hanya sebagai ular. Ular tak ubahnya binatang melata. Bentuknya yang tidak berdaya simbol kesabaran.
Ia bergegas dengan perutnya menapaki hidup. Ziarah hidupnya sama yaitu menanti belas kasihan dari Yang Mahakuasa tetapi kekuatan alam dilimpahkan kepadanya sebagai satpam.
BAB VII. REALITAS TERTINGGI
7.1 Manifestasi Ilahi.
Manunggé sebenarnya adalah manifestasi Ilahi. Manunggé adalah cahaya Ilahi itu sendiri. Sama seperti manusia adalah citra, demikianpun manunggé adalah manifestasi Ilahi.
7.2 Triesa.
Manunggé adalah manifestasi Triesa. Triesa adalah Allah Tritunggal Mahakudus. Bukan hanya manunggé, setiap makhluk baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan berasal dari Triesa itu.
Semua kekuatan makhluk berasal dari Triesa. Atas izinNyalah, apa pun memiliki kuasa di bumi. Triesa selalu berada di dalam setiap makhluk.
BAB VIII. KISAH NYATA
Manunggé adalah sejenis binatang supranatural yang sangat sulit dijumpai oleh manusia di dunia nyata. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya.
Melihatnya tak ubahnya seperti mimpi dan merupakan pengalaman yang paling menarik selama berziarah di muka bumi. Apabila setelah melihatnya dalam dunia nyata masih diberi umur panjang, maka dipastikan itu adalah sukacita yang hebat. Mengapa? Melihat binatang itu identik
dengan sial dan kematian walau ada yang pernah menjumpainya secara langsung tetapi orang itu masih hidup. Itu adalah berita yang mencengangkan. Manunggé oleh sebagian orang adalah binatang yang hanya ada dalam dunia
mitologi tetapi justru ada orang yang pernah bertemunya secara langsung nyaris beberapa meter saja (6 meter).
Menurut pengetahuan orang Manggarai, manunggé
adalah ular yang merupakan perubahan bentuk atau
metamorfosis keempat. Sebelum menjadi manunggé, prosesnya cukup panjang hingga ke tahap itu. Tahapan metamorfosisnya, yaitu ular hijau, liko dango, mbawarani dan terakhir berwujud manunggé. Tahap ketiga, yaitu mbawarani. Saat menjadi mbawarani, binatang itu
sudah mulai tidak kelihatan oleh mata manusia. Siapapun yang dapat menjumpainya sudah pasti orang itu menemui ajalnya. Hanya dengan melihatnya, sudah pasti ajal menjemput apalagi digigit. Sedangkan, tahap kedua yaitu liko dango adalah tahap ular biasa. Tahap ini masih dijumpai oleh orang-orang. Warnanya masih hijau tetapi ekornya sudah mulai berwarna hitam. Artinya, kalau digigit sudah pasti badan membengkak. Jika tidak ditangani, sangat berbahaya bagi keselamatan manusia apalagi ular hijau termasuk jenis ular berbisa.
8.1 Guru Penawar.
Jika digigit ular hijau, orang-orang
dapat menangkalnya dengan obat-obatan. Para
tabib sangat lincah mengetahui ramuan apa yang
pas untuk menangkal racun ular hijau. Pada umumnya, bara api (ratung api) adalah penangkal terbaik untuk membunuh racun ular hijau. Sama seperti apabila disengat lebah (ngkuang), racunnya yang panas dapat ditangkal dengan bara api. Racun ular tidak berdaya apabila berhadapan dengan api. Berbeda dengan ular kobra, racunnya cepat menyebar sehingga bara api yang terlambat
sudah pasti tidak menyelamatkan nyawa. Racun ular kobra, pasalnya cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Walau racun ular hijau atau kobra berbahaya,
seperti halnya di daerah lain, guru (mantra) adalah cara terbaik agar terhindar dari gigitannya.
Mantra ular hijau, ada dua jeni, yaitu guru hesing
(mantra untuk menghindar) dan guru akit (mantra
penyembuhan pasca digigit). Tanpa pengobatan
herbal ataupun medis, racun bisa ular hijau tidak
berfungsi sama sekali di dalam tubuh. Orang-orang di Manggarai kerap menggunakan mantra apabila mereka hendak ke hutan atau ke kebun. Bukan hanya mantra ular hijau, mantra-mantra lainnya juga dipakai. Bahkan, teknik sungké juga dipakai sebagai perisai dari gigitan binatang-binatang mematikan.
Di hutan, selain binatang berbisa ada juga tetumbuh-
an yang berbahaya apabila tersentuh. Contohnya,
lanteng (dalam bahasa Manggarai). Lanteng ada dua jenis, yaitu lanteng haju (pohon yang daunnya terasa gatal bila tersentuh) dan lanteng wasé (sejenis tanaman rambat). Biasanya, untuk menghindari lanteng, mantra adalah senjata terbaik. Tidak hanya guru lanteng, orang Manggarai juga menggunakan guru agar terhindar dari makhluk-makhluk halus yang mengusil. Mereka memakai
mantra untuk menjauhkan makhluk halus. Mantra biasanya didapat melalui mimpi atau diwariskan dari nenek moyang. Mantra biasanya amat ampuh menghadapi tantangan di hutan, baik saat berburu, mencari kayu api maupun saat mencari pohon untuk dijadikan balok.
8.2 Tuhan Sayang Manusia.
Kendati Tuhan menciptakan binatang buas dan berbisa begitu pun tetumbuhan yang berbahaya, Yang Kuasa juga memberikan penawar, baik tanaman herbal, benda-benda seperti batu mau-
pun mantra-mantra penawar. Di satu sisi, Tuhan begitu tega menciptakan benda-benda berbahaya, namun kasihNya tetap ada untuk manusia. Tuhan pula yang mengajarkan manusia mantra-mantraNya dalam pelbagai bahasa di muka bumi. Ajaran mantra bisa dapat melalui nipi/raja wié (mimpi) bisa juga didapat melalui raja leso (diajar secara langsung). Tuhan sayang pada manusia
dibuktikan dengan turunnya sabda suci yang diajarkanNya secara langsung. Memang, untuk mendapatkan mantra harus dicari ataupula didapat karena rahmat terberi. Kecuali apabila ada upaya
dari orang-orang untuk mencari mantra kepada orang-orang yang memilikinya. Mantra kerap juga diucapkan dalam hati saja berupa komunikasi intrapersonal (humit - dalam bahasa Manggarai).
8.3 Kesaksian.
Manunggé adalah binatang mitologi sekalipun itu nyata. Berdasarkan penuturan berbagai sumber, manunggé adalah ular yang bermahkota. Mahkota di kepalanya lebih besar dari tubuhnya. Mahkota di kepalanya bersinar. Kurang lebih sinar yang keluar dari mahkota di kepalanya berkedap-kedip seperti
lampu sirene mobil patroli polisi atau ambulance. Terkadang, sebelum berjumpa dengannya pada siang hari, ada proses perjumpaan raja wié. Seseorang yang berjumpa dengan manunggé dapat saja pada malam hari bermimpi bertemu dengan laki-laki berjubah putih. Sumber yang diperoleh Penulis, seorang perempuan yang berjumpa dengan manunggé itu salah satu kelopak matanya sela (semacam buta atau katarak).
Perempuan itu berjumpa dengan manunggé pada siang hari di kebunnya. Malam hari ia bermimpi seorang pria berjubah putih menegurnya mengapa dirinya membakar kebunnya. Perempuan itu menjawab, ia hanya ingin membersihkan kebunnya. Siang hari saat ke kebun, betapa kaget perempuan itu melihat ular bermahkota terang di kepalanya itu. Peristiwa nyata itu terjadi di Kisol, Waé Korok. Saat perjumpaan itu, si ular tidak berkata apa-apa, hanya baku tatap berjarak 6 meter. Sejak peristiwa itu, perempuan itu hingga sekarang matanya katarak. Sebelum manunggé itu pergi, ia terlebih dahulu kakor (berkokok). Yah, bentuknya seperti ular tetapi panjangnya tak sampai semeter hanya kepalanya memiliki mahkota. Mahkotanya lebih besar dari kepalanya.
Menurut seorang sumber, Sobina Sidung dari Sampar yang dituturkan kepada Penulis, manunggé adalah perubahan bentuk yang keempat. Menurut cerita, ada seorang laki-laki di Mbélaing kemudian meninggal karena digigit mbawarani. Banyak cerita tentang bertemu ular dalam dunia nyata misalnya kobra atau ular sendok, yah pada malam hari bermimpi bertemu dengan suster (biarawati/nun).
Mimpi yang adalah bunga tidur, terkadang susah digubris oleh seseorang karena tidak tahu menganalisa kecuali oleh ahli tafsir mimpi.
Yang pasti bahwa mimpi adalah teka-teki, butuh analisis kalaupun mimpinya masih diingat. Pasca kejadian nyata baru menyadari mimpi semalam atau sebelumnya apalagi bukan ata waé nggéreng (ahli nujum).
Raja wié atau mimpi, bagi orang awam tentu tidak
dianalisa karena selain tidak paham, ada pikiran
hanya membuang-buang waktu. Menurut beberapa
sumber, mimpi yang terus-menerus butuh didiskusikan ke orang mata gérak. Pasalnya, memberi kabar tertentu. Dalam budaya Manggarai, terkadang ditafsir lalu dibuatlah ritual adat kando nipi da'at (ritual tolak bala). Tetapi, mimpi yang hanya sekali tampaknya susah untuk dipikirkan
karena berbagai kesibukan. Yah, mimpi mengandung pesan tetapi pesannya teka-teki. Karena teka-tekinya itu, orang-orang kemudian tidak mau ambil pusing. Contohnya peristiwa yang sebagaimana dialami oleh seorang perempuan di Kisol beberapa tahun silam yang namanya dirahasiakan Penulis. Tentu ada juga orang zaman lampau yang mengalami perjumpaan dengan manunggé hanya saja tidak diceritakan.
Manunggé dipercaya menempati daerah-daerah rawa-rawa dekat mata air, di hutan-hutan lembab. Manunggé diduga sebagai pelindung hutan dan mata air.
PENUTUP
Tulisan ini sebagai bahan informasi tentang sisi lain kehidupan orang Manggarai. Orang Manggarai
yakin benar bahwa manusia hidup berdampingan dengan roh alam. Orang Manggarai juga percaya
bahwa ada intervensi dari pihak lain soal kesuburan. Praktik ngelong dan takung adalah catatan tebal
orang Manggarai. Orang Manggarai yakin sekali adanya Tuhan yang representatif. Karena itu, ritual adat pra dan pasca panen pastidilakukan. Hasil yang melimpah bagi orang Manggarai terjadi karena intervensi Yang Kuasa. Jika ada binatang di tanah yang menderita, mereka meminta maaf dengan dibuatnya ngelong.Dewa kesuburan dihormati dengan cara takung (meminta perlindungan)
atas segala niat dan karya. Bukan menyembah berhala.
Dengan demikian, manunggé adalah binatang yang nyata yang juga memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati.
Pembaca disarankan untuk menggali dan mencari refrensi tambahan tentang binatang mitologi dalam budaya atau daerah-daerah lainnya di nusantara dan dunia. Mengapa? Tulisan ini masih perlu refrensi pembanding atau analogi lainnya. Dan tulisan masih perlu disempurnakan secara terus-menerus menuju ke kesempurnaannya karena harus disandingkan dengan pelbagai pandangan dan budaya di dunia.
REFRENSI
1. Pengalaman pribadi.
2. Wawancara.
3. Buku-buku.
4. Tradisi.
5. Agama
Penulis:
Melky Pantur.
Ruteng.
Senin (8/4/2022).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar