30/03/18

Saung Rewos Data Manggarai


Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Sabtu (31/3/2018)

Tulisan ini bermaksud agar generasi sekarang mengenal dedaunan tidak hanya dalam bahasa Indonesia dan Latin tetapi juga nama lokal Nuca Lalenya. Tulisan ini akan secara pelan-pelan dimasukkan oleh Penulis bahkan beberapa kegunaannya nanti.

Berikut nama dedaunan di Manggarai berdasarkan abjabnya.

A.

B.

Bendes/Po’ang
(Remang) Betong

C.

Cawat
Ci’e
Cirek

D.

E.

F.

G.

H.

Helas 

I.

J.

K.

Kaweng
Kenda
Kenti (ciplukan,
Kuncang

L.

Lema Kaba
Legi
Lente
Lento
Lindang
Lurah
Lusa


M.

Menangis
Mene

N.

Nao (Andong, Cordyline fructicosa)
Ndusuk (senduduk)
Ngelong

O.

P.

Pandu (jarak)
Perongge (kelor)

Q.

R.

Rangat
Rentek
Ri’i

S.
Sama Ular (Anggrung, Trema Orientalis Bi)
Sensus (tekelan, kerenyuh, kopassanda)
Silamata

T.
Tongkak (pegagan)

U.

W.

Woing (legundi)

V.

X.

Y.

Z.


27/03/18

Budaya Dodo.


Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Selasa (27/3/2018).



[Penulis]
1. Arti Kata Dodo.

Secara etimologis, kata ini terdiri dari dua kata do dan do. Do artinya banyak, sedangkan do do artinya banyak-banyak. Contoh kalimat: Do do koe caok’en hang hitu Inang – ambil banyak-banyak (sedikit) nasi itu Tanta! Ketika dua kata tersebut digabungkan, maka menjadi dodo. Dodo itu jika diindonesiakan menjadi gotong royong. Kurang lebih demikian.

2. Aktus Pra Dodo.

Sebelum masuk pada kerja dodo. Sebaiknya kita simak dulu apa-apa saja aktus yang dilakukan sebelum dodo dilakukan. Beberapa aktus tersebut, di antaranya: Pertama, leis. Leis artinya pemberitahuan langsung sekaligus ajakan. Contoh kalimat: Ngo leis ise Inang le mbaru le hae, cala ngoeng ise duat wa uma, le seng ko le dodo Enu – Coba kamu bertandang ke rumah Tanta di sebelah rumah, barangkali mereka ingin bekerja di kebun entah dengan uang atau bersistem gotong royong! Kedua, wancung. Di sini berupa ajakan, meminta orang lain untuk terlibat aktif entah dengan imbalan ataupun tidak, atau membawa orang lain terlibat. Namun, pada konteks tertentu, wancung sama dengan aktivitas kerja dodo itu sendiri namun belum dilakukan atau disebut pra gotong royong, reme bantang. Contoh kalimat: Wancung cei duat dite sina uma – Mengajak siapa-siapa saja orang untuk dan yang bekerja di kebun Anda? Ha hae, com wancung ata ciwal hitu boto duat hanang koe dite – Yah, sebaiknya harus melibatkan orang lain dalam menyelesaikan pekerjaan itu daripada Anda bekerja sendirian! Ketiga, wencong. Wencong sudah mau masuk pada aktivitas kerja dengan mana leis sudah disetujui. Contoh kalimat: Ho’os ngod ise kut wencong duat le umak hae – Yah, mereka sudah mau bergegas ke kebun sekarang untuk mulai bekerja. Di situ sudah mau masuk pada aktivitas riilnya. Keempat, wajong. Wajong juga sudah masuk pada aktivitas riil yang mana orang sudah bekerja di kebun. Contoh kalimat: Wajong cei rebaong duat dite hae – Dengan siapa-siapa saja yang bekerja di kebunnya Anda tadi? Kelima, rambeng. Rambeng berarti mengajak orang. Di sana entah sistem dodo ataupun tidak yang pasti jika ada orang lain yang turut bekerja, itu disebut dengan rambeng ata (bersama dengan mengajak orang lain).

3. Relasi Antara Dodo dan Wancong.

Sebelum dodo dilakukan, sebelumnya dilakukan lonto leok atau duduk bersama beberapa orang sebelum suatu pekerjaan dilakukan. Sama halnya dengan gotong royong. Dodo tidak tidak sama dengan wancong. Dodo itu berimbalan jasa, artinya sistem bergantian tanpa menggunakan uang tetapi tenaga diganti dengan tenaga. Sedangkan, wancong lebih pada gratisan dan tanpa dibayar. Misalnya, untuk membangun sebuah rumah, seseorang cukup membunuh seekor anjing saja untuk menggali tanah tanpa harus dibayar dengan uang atau tenaga orang bersangkutan. Wancong lebih pada pekerjaan sukarela. Wancong lebih pada ‘solidaritas subdiaritas partisipatif’, sedangkan dodo lebih pada ‘solidaritas partisipatif’ karena tidak ada ‘subsidiaritas murni’ di dalamnya. ‘Subsidiaritas murni’ yaitu bantuan tanpa tawaran tetapi berdasarkan kesadaran sendiri seseorang karena dorongan roh untuk membantu orang lain dan tanpa paksaan dari siapa dan mana pun.

4. Apa itu Dodo?

Dodo dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa senasib dan sepenangungan demi meringankan beban dari sekelompok orang pada konteks masyarakat tertentu, misalnya dalam satu warga kampung adat, entah bagian dari gendang atau warga keseluruhan gendang. Atau pula, orang-orang yang ada dalam panga atau suku atau pula gabungan dari beberapa panga yang sudah terbagi dalam bendar-bendar. Prinsipnya jelas bahwa saya memberi maka saya menerima dengan tidak boleh dibedakan. Dodo prinsipnya tidak dipaksakan dan ketika ada kesepakatan harus dibalas. Ada dua hal, misalnya duat uma (bekerja kebun) entah membawa makanan sendiri atau tuan kebun yang menanggung makananya. Di sana tergantung kesepakatan sebelumnya.

5. Dodo Berbeda dari Kumpul Kope.

Kumpul kope sebenarnya dalam budaya Manggarai adalah aktivitas menyumbang dana dari anak ase ka’e ketika misalnya saat cekeng laki. Ketika seorang pemuda hendak meminang seorang gadis maka dilakukanlah kumpul kope dari ase kae dari pemuda tersebut. Hasil kumpul kope tersebut kemudian ditambahkan dengan uang sida laki one mai anak wina – berupa uang dari para saudari dari keluarga pemuda tersebut.

6. Penerapan.     
  
6.1 Kumpul Kope

Namun, penerapannya sekarang ini, kumpul kope penerapannya sudah masuk konteks sosial yang lebih besar yang melibatkan sahabat kenalan dan handaitulan turut terlibat. Dalam istilah orang Manggarai disebut one taung weki wae mbeleng lawa wae kang. Artinya, sudah banyak orang terlibat. Kumpul kope dapat pula disebut dodo.

6.2 Arisan.

Arisan juga dapat disebut dodo. Di sana persis sama penerapannya. Yah, hal mana juga dilakukan dalam kumpul kope ase kae internal (keluarga inti dan keluarga besar) dan ase ka’e lawa wae kang, weki wae mbeleng.

7. Manfaat Dodo.

7.1 Meringankan Beban.

Dodo sangat bermanfaat dalam meringankan beban pada orang atau kelompok tertentu.

7.2 Merekatkan Persaudaraan.

Selain meringankan beban, dodo juga dapat merekatkan pertalian persahabatan dalam konteks kelompok tertentu.

8. Dodo Konteks Sekarang.

8.1 Kumpul Kope Sosial.

Kumpul kope sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu dalam keluarga inti dan keluarga besar termasuk melibatkan banyak orang yang diundang. Kumpul kope sosial tidak dipaksakan beberapa pun besarannya dan tidak harus terlibat. Sedangkan, kumpul kope keluarga inti dan keluarga besar ditentukan besarannya dan disepakati dalam keluarga tersebut dan diwajibkan.

8.2 Arisan.

Sedangkan, bentuk lainnya misalnya dalam bentuk arisan. Arisan sebenarnya wujud konkret lain dari dodo. Di sana ditentukan besarannya dan merupakan keharusan. Artinya, tidak boleh kurang atau syukur kalau lebih dari yang disepakati. Lazimnya, arisan melibatkan banyak orang dan diwajibkan menentukan besaran yang harus disetor.

9. Bentuk Dodo.

9.1 Fisik.

Bentuk fisik berupa mengharuskan menghadirkan fisik dalam bekerja atau ketika berhalangan membayar orang lain sesuai ketentuan harian dari konteks masyarakat tertentu.

9.1.1 Kerja Kebun.

9.1.1.1 Babar.

Babar (terabas) di sini lazim dilakukan oleh para lelaki. Ada banyak model terabas di sini bisa babar pematang atau babar uma rana ko uma lokang (memotong berbagai jenis tetumbuhan di dalam kebun baru atau yang sudah lama untuk membersihkan kebun itu).

9.1.1.2 Pande Banta Uma.

Dalam mengerjakan ladang, bisa saja dengan bersistem dodo misalnya saat pande banta uma rana – membuat pematang untuk lahan yang baru. Hal ini lazim dilakukan oleh para lelaki.

9.1.1.3 Hoer dan Tawi.

Saat hoer atau menyiangi, lazim orang Manggarai bekerja dengan sistem dodo. Lazimnya, sesama perempuan. Hal yang sama dilakukan pula pada saat tawi (menyiangi padi).

9.1.1.4 Kedak dan Kalek.

Di sini bisa dilakukan dengan kaba atau dodo kaba. Saat menggarap dan membajak sawah, kerbau bisa digunakan termasuk para lelaki.

9.1.1.5 Rede.

Pada saat rede (menanam padi) dapat pula dilakukan pula dodo. Lazimnya dilakukan oleh para perempuan.

9.1.1.6 Ako Mawo/Woja.

Pada saat ako mawo/woja (menuai padi), para lelaki atau para ibu bisa juga dengan sistem dodo, namun berdasarkan waktu. Tentu bersistem 1:1.

9.1.2 Membangun Gubuk.

Saat membangun gubuk atau rumah, dapat pula bersistem dodo terkait pekerjaannya yah rambeng ata. Di sini lazim dilakukan para lelaki atau para ibu. Para ibu lazimnya untuk memasak. Di sini bisa dalam bentuk mengangkut balok dari kebun atau hutan, bisa juga jika rumah tersebut atapnya menggunakan atap dari ijuk (wunut) bisa dilakukan dengan sistem dodo.

9.1.3 Membuat Parit.

Membuat parit tergantung untuk keperluan siapa. Jika hanya ditujukan pada satu orang, bisa dilakukan dodo bisa juga dalam bentuk rambeng yang dibayar. Jika saja dilakukan untuk kepentingan umum, maka itu bukan lagi disebut dodo tetapi rambeng lawa tergantung kepentingannya meski di dalamnya ada aspek dodo-nya. Dodo di sini disebut dodo kut de lawa atau disebut dodo de gendang maksudnya itu kepentingan bersama misalnya membuat rumah adat dan parit untuk seluruh warga kampung.

9.1.4 Membuat Rumah Adat.

Dalam pembuatan rumah adat dapat pula dilakukan dengan sistem dodo. Namun, di sini jarang dilakukan di Manggarai. Kecuali yang dilakukan adalah sida pa’ang olo ngaung musi (semua warga kampung dalam gendang terlibat).

9.2 Benda.

Dodo bisa dalam bentuk uang atau benda tertentu. Ada beberapa hal di sini:

9.2.1 Uang.

Dodo bisa dilakukan dalam bentuk saling memberi bantuan berupa uang (seng).

9.2.1 Benda Lainnya.

Dodo juga bisa dalam bentuk misalnya, selain membantu dengan fisik bisa juga dalam bentuk dea (beras), kopi (kopi), latung (jagung), keboe (kacang hijau) tago rona (kacang panjang), kundung (sejenis kacang-kacangan), muku (pisang), koja (kacang tanah), lusa (gude) dan sebagainya. Yah, ada pelbagai macam dodo yang diterapkan. Misalnya, dodo pada saat laki ada sekelompok orang menyumbangkan kambing, ayam atau babi dan ketika itu dilakukan pada orang lain dalam kelompok tersebut, mereka akan turut terlibat.

9.3 Tempus Dodo.

Soal tempusnya, dodo dapat dilakukan sesuai kesepakatan tergantung musim misalnya saat musim menggarap, musim menyiangi, musim tuai ataupula pada saat laki dan bowo wae (saat orang meninggal). Yah, waktunya dapat disesuaikan berdasarkan kesepakatan dan amat berkonteks.

9.4 Personal.

Dodo dilakukan oleh personal dalam kelompok yang diikat oleh sebuah aturan atau kesepakatan yang sudah dibuat bersama melalui forum lonto leok, entah di mbaru gendang, tambor, niang, lumpung ataupun di bendar (rumah warga). Intinya, ada sistem pembalasan berdasarkan kesepakatan dalam kelompok.

10. Kelebihan dan Kekurangan dari Dodo.

10.1 Kelebihannya.

Di sini dapat meringankan beban tanpa harus menggunakan uang bila hoer, tawi, kalek, dan lain-lain karena ada prinsip solidaritas subsidiaritas di dalamnya. Kelebihan lainnya, dodo dilakukan baik untuk dilakukan oleh kelompok sosial yang berdomisili tetap. Kecuali kalau dodo dalam bentuk arisan yang menggunakan teknologi berupa menggunakan sistem ATM zaman now bila menggunakan rekening bank untuk menyalurkan besaran uang sesuai disepakati dari awal.

10.2 Kelemahannya.

Berbeda beban dalam arti apa yang dikerjakan. Misalnya, objek yang dikerjakan lebih sulit daripada yang lainnya. Artinya, berbeda dari tingkat kesulitan. Misalnya, waktu berjalan dan tempat berjalan termasuk pelayanannya. Bisa juga dari sisi waktu, misalnya terkadang dalam mengejerkan kebun ada yang saat kerja hujan ada yang waktunya cerah. Berbeda dengan kumpul kope laki de ase kae weda wuwung tau cama empo (satu nenek moyang/eyang) itu besarannya sama. Waktunya memang berbeda dan itu menjadi salah satu kelemahannya.

11. Dodo Bukan Buruh.

Para buruh tentu dibayar per harian atau per bulannya, sedangkan dodo tidak ada pimpinan, tidak ada bawahan. Semuanya adalah pimpinan dan bawahan. Dalam istilah orang Manggarai: eta golo cama-cama, wa wae cama-cama – berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Dodo sebenarnya forum kerja yang tidak terlalu mengikat. Jika arisan yang dinilai sebagai dodo bisa dibuat siapa ketuanya namun jarang orang melakukannya. Kalau dalam organisasi formal, struktur tidak harus melekat karena yang diutamakan di sana adalah persaudaraan dan persaudaraan.

12. Lodok Representasi dari Keadilan Dodo.

Bentuk lodok lingko di Manggarai adalah gambaran dari aktivitas kerja dodo orang Manggarai. Yang diutamakan di sana adalah satu dalam kebersamaan dan satu satu kecintaan. Jadi, dodo adalah wujud konkret dari cinta orang Manggarai.

Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/cinta-moral-dan-iman-teks-manggarai_18.html
Bahan lainnya akan diedit dan dilengkapi lagi oleh Penulis.

22/03/18

Wunis Peheng Identitas Wujud Konkret Rekonsiliasi Budaya Manggarai

Oleh: Melky Pantur***,
Jumat, 23 Maret 2018.

Salah satu bentuk rekonsiliasi orang Manggarai adalah hombor (rekonsiliasi). Ketika para pihak berseteru, dilakukanlah acara lonto leok caca mbolot di rumah adat. Hal itu dilakukan ata tu’an.  Istilah halus untuk tala ela wase lime ketika cabi taud rempa agu nata (jari dan telapak) adalah wunis peheng. Jika toe cabi taud rempa agu nata, tala ela wase lima kanang.

Tulisan ini akan dilengkapi lagi oleh Penulis.


Foto: Keraeng Fandry Nagur, Humas Kab. Manggarai, 8 September 2010 di Aula Nuca Lale, Kanbup Manggarai, Flores, NTT. Tampak dalam gambar Mantan Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, Bupati Manggarai (2018), Dr. Deno Kamelus, Mantan Sekda Manggarai 2010, Paul Bero, M.Kes, Mantan Kapolres Manggarai, Mantan Ketua DPRD Manggarai, Yoseph Bom, SH, Perwakilan Dandim 1612 Manggarai, dan PN Ruteng juga beberapa Kepala Dinas Lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010.


[Hambor]

19/03/18

Morin, Wura agu Ceki.


Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Senin (19/3/2018)

[Penulis]


DAFTAR ISI


BAB I ARTI KATA MORI KONTEKS MANGGARAI

            1.1  Awal Mula Bahasa             
1.2 Arti Kata Mori.           
1.3 Terang Sesungguhnya              
1.4 Filosofi Usang Ala Manggarai             
1.5 Menuju ke Indonesia             
1.6 Kita Menuju ke Manggarai – Flores         
1.7 Mori           
1.8 Mata Gerak

BAB II RITUS TAKUNG WAE CEMOK

2.1 Ritus Takung Wae Cemok Pemulihan Relasi dengan Leluhur
2.1.1 Leke Cebong
2.1.2 Memindahkan Wae Cemok
2.2 Sekilas Keturunan Ǝmpo Rua di Lale-Sampar
2.3 Apa Puncak Ritus Takung Wae Cǝmok
2.4 Tiap-tiap Orang Punya Mbau
2.5 Turǝng, Nama Lain dari Tempat Dikuburkannya
       Mbau de Ǝmpo
2.6 Apa Itu Teing Hang Wura agu Cǝki
2.7 Sekilas Tentang Burung Garuda
2.8 Cǝki Idiom Historisitas
2.8.1 Apa Itu Cǝki
2.8.2 Apa Itu Idiom
2.8.3 Apa Itu Historisitas
2.8.4 Mengapa Cǝki Disebut  Idiom Historisitas
2.9 Takung Wae Cǝmok Medium Rekonsiliasi
2.10 Kesaksian Cǝki
2.11 Macam-Macam Sajen Sedulur Papat
2.12 Apa Hubungan TWC dengan Upacara Slametan
2.13 Hubungan Antara Cear Cumpǝ 
        dan Sedulur Papat Lima Pancer
2.13.1 Apa Itu Cear Cump
2.13.2 Ritus Cear Cumpe
2.3.13 Hubungan Antara Slametan dan Penti Wǝki Peso Beo  

BAB III DEUS LORD

3. 1 Deus
3.2 Lord
3.3 Wini
3.4 Ejorn
3.5 Wake

BAB IV CINTA, MORAL DAN IMAN TEKS MANGGARAI

4.1 Cinta
4.1.1 Budaya
4.1.1.1 Budaya Kawing
4.1.1.2 Budaya Sida
4.1.1.3 Budaya Dodo
4.1.1.4 Budaya Kais
4.1.1.5 Ritual-Ritual Budaya
4.1.1.6 Pembagian Lingko
4.1.1.7 Budaya Caci
4.1.1.8 Budaya Hang Pa'eng
4.1.1.9 Budaya Randang
4.1.1.10 Budaya Rono dan Taeng
4.1.1.11 Budaya Hese Mbaru
4.1.1.12 Budaya Helang
4.1.2 Kesenian dan Cara Berdoa
4.1.2.1 Seni Ukir/Pahat
4.1.2.2 Seni Rupa
4.1.2.3 Cara Berujud pada Wujud Tertinggi
4.1.2.4 Seni Menyapa
4.1.2.5 Seni Permainan
4.1.2.6 Cara Bercocok Tanam
4.1.2.7 Seni Menjamu
4.1.2.8 Cara Bertandang
4.1.2.9 Seni Tari
4.1.2.10 Seni Musik
4.1.2.11 Seni Olah Vokal
4.1.2.12 Seni Berperang
4.1.3 Keamanan
4.1.4 Hukum
4.2 Moral
4.3 Iman

BAB V SEPUTAR RITUAL HESE NGANDO

5.1 Nangka dan Tǝno
5.2 Maksud dan Tujuan Ritual
5.3 Letak dan Cikal Bakal Kampung
5.4 Tapak Tilas Ziarah Petualangan Wura
5.4.1 Suku di Rangges
5.4.2 Awal Mula Cǝki Lusa
5.4.3 Mengungkap Kebenaran
5.5 Kampung Persekitaran Rangges

BAB VI HAMBOR ASE KA'E WƎKI BENTUK REKONSILIASI

6.1 Jenis Hambor Ase Ka'e Wǝki
6.2  Benda-Benda Ritual Takung Ase Ka'e Wǝki Wina Rona
6.2.1 Telur Ayam Kampung
6.2.2 Kapur Sirih Pinang
6.2.3 Ayam Kampung
6.2.4 Rokok, Sopi dan Tuak
6.2.5 Parang
6.3 Kapu Gauk de Morin
6.4 Meterai
6.5 Toto Urat
6.6 Wali Urat Di’a

BAB VII RITUAL MANUK CEPANG KARONG SALANG WAE

7.1 Nama Ritual
7.2 Hewan Kurban
7.3 Tujuan Ritual
7.4 Arti dari Ritual.

BAB VIII BUDAYA OKE COPEL 

8.1 Apa Itu Budaya Oke Copel
8.2 Relasinya dengan Ceki, Wada dan Torok
8.2.1 Ceki
8.2.2 Wada
8.2.3 Torok
8.2.4 Perbedaan Wada, Torok dan Tudak

BAB IX TANDA KEHADIRAN ROH DAN TAKUNG NAGA

9.1 Naga
9.1.1 Apa Itu Naga
9.1.2 Jenis-Jenis Naga
9.1.2.1 Naga Mbaru
9.1.2.2 Naga Nuca
9.1.2.3 Naga Golo
9.2 Roh
9.2.1 Roh Alam
9.2.2 Tuhan
9.2.3 Roh Manusia
9.2.4 Wura agu Ceki
9.2.5 Wakar dan Ase Ka’e Weki
9.3 Tanda Kehadiran Roh
9.3.1 Ayam Berkokok
9.3.2 Berupa Darah
9.3.3 Gatal dan Batuk
9.3.4 Angin
9.3.5 Gagalnya Ritual Berdasarkan Posisi Hewan Kurban
9.3.6 Meriang dan Merinding
9.4 Tanda Diberkatinya Ritual
9.3.7 Binatang yang Meronta atau Burung
9.3.8 Ritual dan Acara Terhambat
9.3.9 Cadel Dalam Torok dan Tudak

BAB X WUJUD NYATA PERJUMPAAN ORANG
           MANGGARAI DEKAT DENGAN ALAM
           DAN ROH PENCIPTA

10.1 Pengalaman Perjumpaan
10.1.1 Antarkarana Alam dari Lumpung Racang
10.1.1.1 Apa Itu Antarkarana
10.1.1.2 Antarkarana Alam
10.1.1.3 Antarkarana Tubuh
10.1.1.4 Relasi Antar Antarkarana
              dan Teing Hang Wura agu Cǝki
10.1.1.5 Wera Mirip Londe tetapi Bukan Londe
10.1.2 Asal Mula Kampung Racang
10.1.2.1 Awal Cerita
10.1.2.2 Jejak yang Hilang
10.1.3 Asal Mula Lumpung Racang
10.1.3.1 Kedatangan Awal
10.1.3.2 Ceki
10.1.4  Potret Kebeng Lumpung
10.1.4.1  Mengenal Gǝndang Ruis
10.1.4.2 Cǝki Warga Gǝndang Ruis
10.1.4.3 Lingko-Lingko di Gǝndang Ruis
10.1.4.4 Wae Barong
10.1.5 Fenomena Hawa Dingin dari Kajong
10.1.6 Cikal Bakal Gendang Kumba
10.1.6.1 Cikal Bakal
10.1.6.2 Titisan Sejarah Mula
10.1.6.3 Gendang Kumba Terbentuk
10.1.6.3.1 Awal Terbentuk
10.1.6.3.2 Culu Leca Dinilai Sebagai Ilusi
10.1.6.3.3 Kilasan Mistis Gendang Kumba
10.1.6.3.4 Bali Belo
10.1.6.3.5 Golo Curu
10.1.6.3.6 Disebut Tenda
10.1.7 Ritus Adat Pangga
10.1.7.1 Struktur
10.1.7.2 Medium yang Digunakan

10.1.7.3 Teing Hang Wura agu Ceki Ala Rongga

10.1.7.4 Benda dan Hewan Kurban
10.1.7.5 Prosesi
10.1.7.6 Gong dan Genderang Ditabuh
10.1.7.7 Toto Urat dan Helang
10.1.7.8 Bahasa Torok
10.1.7.9 Locus dan Tempus
10.1.7.10 Wali Urat Di'a dan Tegi Nabit de Anak Rona
10.1.7.11 Meterai
10.1.8  Peristiwa Penting dan Sejarah di Tiwu Riung di Taga Ruteng    
10.1.8.1 Minta Hujan
10.1.8.2 Pohon yang Ditebang Tersambung Kembali
10.1.8.3 Adanya Air Panas
10.1.8.4 Ratusan Kerbau Tiba-Tiba Muncul
10.1.8.5 Percikan Bunga-Bunga Api Kemerahan di Tiwu Riung
10.1.8.6 Foto tidak Menangkap Gambar
10.1.8.7 Kena Marah Jika tidak Permisi
10.1.8.8 Benda Pewujud Relasi
             Antara Manusia dengan Morin, Wura agu Ceki
10.1.9 Watu Waru dan Watu Ranggu
10.1.9.1 Watu Ranggu
10.1.9.2 Watu Waru
10.1.9.3 Batu Bulat di Kosta Rika
10.1.9.4 Ceca
10.2 Roh Ilahi
10.2.1 Hadir di Compang
10.2.2 Hadir pada Pribadi dan Tempat Tertentu

BAB XI BENTUK LIMA ORANG MANGGARAI

11.1 Struktur Rumah Adat
11.1.1 Model Keseluruhan
11.1.2 Tingkatan Bagian Dalam
11.1.3 Hubungannya dengan Tingkatan Universum
11.1.4 Relasinya dengan Indonesia
11.1.5 Relasinya dengan Dunia
11.2 Falsafah Dasar
11.2.1 Mbaru Gendang
11.2.2 Natas
11.2.3 Compang
11.2.4 Lingko
11.2.5 Wae Bate Teku
11.3 Wujud Tertinggi

BAB XII MEMAHAMI EKSISTENSI ALAM

12.1 Berbicara dengan Binatang
12.2 Mengetahui Fungsi Tanaman
12.3 Mengenal Alam Roh
12.4 Mengenal Dunia Alam Lain
12.5 Mengenal Pemali Enau
12.5.1 Syarat Menyadap
12.5.2 Manfaat Raping
12.5.3 Raping Simbol Perempuan
12.6 Alam Sebagai Guru Analogi
12.7 Berkutat dengan Pengobatan

BAB XIII ROH DALAM PERJANJIAN

13.1 Perjanjian Rambut
13.1.1 Locus
13.1.2 Kilasan Tapak
13.1.3 Leluhur
13.1.4 Makna dan Simbol
13.1.4 Etnis
13.1.5 Bentuk Perjanjian
13.1.6 Tanda Mistik
13.2 Perjanjian Kuse
13.2.1 Bentuk
13.2.2 Pelanggaran
13.2.3 Raja Wie
13.2.4 Perpisahan
13.2.5 Penciptaan Awal
13.3 Perjanjian Teri
13.3.1 Pelarangan
13.3.2 Lahirnya Putera
13.3.3 Kedua Anak Ndiwar Kewali Dimasukkan ke Bambu
13.4 Perjanjian Kain

BAB XIV KUNI AGU KALO SEBUAH RETORIS

14. 1 Sebuah Pengantar
14.2 Konsep, Rumusan dan Prinsip Orang Manggarai


PENGANTAR

Orang Manggarai sangat kental dengan kehidupan budayanya. Semua itu mencerminkan, orang Manggarai sangat dekat dengan Pencipta yang mereka sebut sebagai Morin Agu Ngaran Parn Awo Kolepn Sale, dekat dengan alam dan seluruh keutuhan ciptaan. Kedekatan tersebut mereka tunjukkan dengan berbagai ritus-ritus budaya untuk memperoleh kemurahan Tuhan, Wura agu Ceki.  Mereka percaya, segala sesuatu yang ada di universum hadir atas dasar kehendak Yang Kuasa. Karena semuanya milik Ilahi, apapun perbuatan yang dianggap salah secara pasti mereka akan melakukan rekonsiliasi yang mereka sebut sebagai hambor. Hambor tersebut pun tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan ase ka’e weki dan bahkan dengan alam ciptaan lain yang mereka istilahkan sebagai ngelong. Rekonsiliasi lain yang mereka lakukan adalah dengan ritual paki jarang bolong, oke dara ta’a, podos calang one wae mese agu cunga sebagaimana mereka istilahkan eme manga calang nggolong one gongs, nggoling one tonis, oke one waes laut, one lesos saled.
Ekspresi-ekspresi seperti itu disertai dengan aktus-aktus ritus yang mereka lakukan mulai saat seorang anak lahir ke bumi, saat lahir hingga kembali lagi ke Yang Kuasa. Semua adalah ritus. Jadi, budaya Manggarai tampak asri dan mencerminkan pentingdiutamakannya keselamatan manusia pada saat berziarah di bumi. Coretan ini akan mengupas sedikit dari bagaimana kira-kira perspektif orang tentang kehidupan mereka, baik falsafah hidup, pemahaman mereka tentang Tuhan dan relasi mereka dengan manusia, alam dan Tuhan itu sendiri maupun kreativitas yang mereka miliki untuk memahami kehidupan yang sebenarnya itu seperti apa? Untuk diketahui, tulisan ini hanya untuk mendapat wawasan bagi Pembaca dan sebagai informasi mula tentang Manggarai dan kemanggaraiaan.

 BAB I
ARTI KATA MORI KONTEKS MANGGARAI

1.1 Awal Mula Bahasa.

Orang Manggarai mengenal Allah diprediksi sejak mereka bisa berbicara dan diajarkan berbahasa Manggarai oleh ‘sesuatu’yang disebut Yang Lain itu, tetapi mereka belum mengenalnya secara pasti. Komunikasi perjumpaan awal itulah, manusia mulai mengungkapkan kata mori tersebut. Soal waktunya tentu sukar dihitung sejak kapan itu terjadi. Tetapi yang pasti, Roh Ilahi itu telah menyatakannya.
            Tentu, bahasa adalah alat komunikasi yang di gunakan oleh manusia untuk mengekspresikan maksudnya kepada lawan bicara, orang lain atau benda tertentu melalui sikap dan perbuatan tertentu. Ada bahasa verbal dan bahasa nonverbal (tindakan, aktus, ekspresi tubuh). Komunikasi bisa intrapersonal (berbicara dengan diri sendiri) bisa juga interpersonal (berbicara dengan orang lain) bisa dengan dialog, diskusi, interview, juga tulisan dan lain sebagainya. Namun, di sini Penulis tidak mau berbicara secara detail soal bahasa.  Yang saya ingin bahas adalah awal mula munculnya bahasa di bumi.
Menurut konsep agama, manusia adalah ciptaan Allah. Allah kemudian dimengerti oleh agama sebagai Roh, Jika begitu, bahasa diajarkan Allah melalui Roh-Nya. Yang diajarkan pertama kali oleh Roh tersebut adalah ungkapan dari sebuah bahasa lisan bukan bahasa tulisan. Ajaran yang diberikan oleh Roh itu berupa komunikasi langsung dengan manusia. Hal  itu oleh orang Manggarai disebut tombo raja leso. Tombo raja leso itu maksudnya diajarkan pada siang hari dengan saling bertemu oleh dan dengan Roh.
Tertulis, ada pelbagai pengalaman perjumpaan antara para Nabi dan Tuhan sebagaimana termuat dalam pelbagai Kitab Suci agama-agama di dunia termasuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mulai dari Kitab Kejadian hingga ke Kitab Wahyu tentang bagaimana pengalaman perjumpaan dengan Ilahi itu, bahkan soal cikal bakal Bangsa Israel. Tombo raja leso, oleh teolog kerap diungkapkan sebagai perjumpaan langsung dengan Allah.
Kemudian, konsep Allah menurut agama tertentu mengatakan, manusia adalah gambaran Allah. Memahami tentang kata ‘gambaran’ tentu sangat kompleks artiannya. Namun, jika dimengerti secara berbanding lurus dengan pengertian manusia, tentu rupa Allah itu sendiri seperti wujud manusia. Maka betul bahwa, manusia adalah gambaran Allah. Konsep manusia sebagai gambaran diri Allah tentu amat pas pada tataran kodratnya karena Allah tidak mungkin hadir dalam kodrat yang lain pada saat mengajar tentang bahasa, misalnya melalui binatang Komodo di Labuan Bajo tetapi hadir seperti wujud manusia. Allah yang menyerupai manusia itu lalu hadir mengajar manusia tentang bahasa. Pertanyaannya, bagaimana bentuk kehadiran-Nya itu? Nah, kita ke konsep tentang kata mori dalam bahasa Manggarai terlebih dahulu sebelum kita memahami pertanyaan di atas.

1.   2 Arti Kata Mori.

Kata mori dalam bahasa Manggarai nyaris sama dengan arti lainnya, seperti kata mbaru. Kalau kata mbaru terdiri dari suku kata mbau dan ru. Mbau dalam konteks kelahiran bayi artinya plasenta di mana sang bayi dibesarkan di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan. Kata mbau dimengerti sebagai bagian atau sisi dari sebuah benda yang sukar ditembus oleh pepohonan saat matahari tengah teriknya. Sedangkan, ru artinya milik, kepunyaanku sendiri. Hal itu kerap disebut lonto wa mbau haju (berteduh di bawah rindangan) Contoh kalimat: de ru gaku (kepunyaan atau milikku sendiri). Dengan demikian, mbaru (rumah) adalah tempat berteduh dari sinar matahari yang merupakan milik atau kepunyaanku sendiri.
Kita kemudian kembali bertolak ke kata mori. Secara etimologis, kata mori terdiri dari dua suku kata, mo dan ri. Kata mo nyaris sama dengan kata ngo. Kedua kata ini sama-sama berarti pergi dan merupakan kata kerja (dalam bahasa Manggarai mo niah hau – Anda mau pergi ke mana?).  Mo artinya pergi, niah artinya ke mana dan hau artinya Anda. Jadi itu adalah ke kalimat pertanyaan, kata bertanya. Kata mo dalam bahasa keseharian senantiasa diikuti dengan keterangan maksud dari sebuah tindakan pergi misalnya. Sedangkan, kata ri adalah sebuah kata seruan panggilan terhadap matahari. Kata ri biasa dipakai untuk memanggil matahari. Misalnya, ri ri ri ri ri....iiii.…! Hal itu kerap dilakukan oleh orang Manggarai, misalnya ketika memanggil terang matahari (saat tengah menjemur padi, jagung atau makanan sejenis lainnya) yang sedang diselimuti awan sehingga padi yang sedang dijemur menjadi mbau (mbau artinya tidak ditembusi sinar matahari). Ri berarti memanggil terang, sehingga jelas ri adalah sinar matahari, terang sehingga jelas ri. Jika demikian, ri adalah matahari, sinar terang matahari yang terang, bercahaya, sinar penerangan.
Berdasarkan dua suku kata tersebut, mori artinya adalah cahaya atau terang. Bagaimana jika ri (terang) itu mo (pergi) maka yang ada adalah kegelapan. Yang jelas segala jenis makhluk hidup tidak bisa hidup dan alam ini gelap gulita. Mori bisa diartikan secara terbalik berdasarkan urutan suku katanya, yang berarti terang kemarilah engkau. Siapakah terang itu? Terang itu adalah Allah (Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek).  Jadi, itulah konsep tentang mori dalam kehidupan orang Manggarai. Ri dalam dialek Kempo bisa juga berarti bertanya. Artinya, eksistensi Tuhan layaknya filsafat senantiasa ditanyakan oleh bangsa-bangsa tentang identitas-Nya. Mori/morin artinya milik, pemilik, Tuhan Semesta Alam.

1.   3 Terang Sesungguhnya!

Menurut konsep agama tertentu, Allah itu adalah terang yang bercahaya dalam kegelapan dan manusia adalah gambaran diri Allah itu sendiri. Tadi dikatakan bahwa Allah adalah terang dan bahwa Allah itu menyerupai manusia. Berdasarkan konsep tersebut, lalu siapakah manusia terang tersebut? Lalu, apa hubungan antara manusia terang dengan terang manusia? Nah, manusia terang itu adalah terang manusia, dan terang manusia itu adalah Allah.
Pertanyaan lanjutannya adalah yang mengajarkan manusia itu siapa? Jawabannya jelas bahwa yang mengajar manusia adalah terang itu sendiri. Terang itu adalah Roh Allah. Apa konsep Plato tentang manusia? Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga, yaitu jiwa, badan dan roh. Konsep Plato ini sama dengan konsep orang Manggarai tentang manusia di mana manusia terdiri atas weki, wakar agu ase ka’e weki. Siapakah ase ka’e weki tersebut? Ase ka’e weki itu adalah terang manusia atau Roh Allah yang memampukan manusia untuk melakukan dan menangkap semua ajaran yang telah diberikan-Nya kepada manusia termasuk bahasa lisan – soal bagaimana istilah ase ka’e weki dapat dipelajari dalam Kejawen Hindu Jawa.
Pertanyaan kemudiannya adalah bagaimana dengan laksaan bahasa di bumi? Bagaimana model pengajarannya? Jawabannya adalah Allahlah pemula bahasa-bahasa. Dia menciptakan bahasa-bahasa. Jika demikian, mengutip pesan salah satu ajaran bahwa bermacam-macam karunia tetapi satu Roh, bermacam-macam kemampuan di bumi tetapi satu Roh. Roh yang satu dan sama itulah yang memampukan segala sesuatu. Pertanyaan berikut, bagaimanakah dengan makhluk lain yang berinsting yang nyaris bersosial seperti manusia? Hal itu tampak dari sifat burung-burung, induk ayam yang memanggil anak-anaknya. Anak-anaknya diberi makan. Bagaimana keterlibatan Allah dalam kehidupan mereka? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anda pasti telah mendengar apa itu ajian senyawa/aji gening di mana manusia dapat mengenal bahasa binatang – perhatikan cikal bakal ceki orang Manggarai dan bagaimana legenda Raja Malwapati di Jawa, salah seorang Raja yang populer, Angling Dharma. 
Lalu, bagaimana bahasa itu diajarkan? Bahasa itu diajarkan oleh terang itu kepada manusia melalui perjumpaan langsung atau raja leso. Ajaran itu dilakukan oleh-Nya dalam pengalaman perjumpaan langsung. Ajaran tersebut tidak sekali jadi tetapi dari hari ke hari dan berlangsung lama. Terang itu memberi nama-nama dan diberitahukan kepada manusia. Terang tersebut dapat juga memberitahu langsung tanpa kehadiran fisik Roh-Nya tetapi dimasukkannya ke dalam pikiran (berupa antarkarana – akan dibaca pada halaman berikut) setelah diberikan-Nya dasar-dasar bahasa kepada manusia sebab dalam diri manusia sudah ada ase ka’e weki yang merupakan representasi kehadiran diri Allah. Benarlah dikatakan hidup adalah penyelenggaraan Ilahi. Dari pengalaman, pengetahuan manusia itu dikenallah istilah serong dise empo mbate dise ame (peninggalan nenek moyang yang merupakan kebiasaan mereka yang kemudian ditangkap dan diwarisi secara turun-menurun). Kebiasaan tersebut kerap disebut sebagai kebiasaan bahasa lisan. Setelah menguasai bahasa lisan, diajarkan-Nya bahasa tulisan kepada manusia-manusia. Namun perlu diketahui, ajaran bahasa lisan dan tulisan dapat dilakukannya melalui alam mimpi, dalam mimpi atau dikenal raja wie. Warisan bahasa tersebut sebagaimana telah dikatakan kemudian diteruskan oleh orang-orang yang telah mengalami perjumpaan langsung dengan yang dijuluki sebagai Terang Manusia tadi.


1.4 Filosofi Usang Ala Manggarai.

Bagaimana relasinya dengan sebutan usang orang Manggarai? Usang di sini bukan usang pakaian tetapi usang dalam arti hujan, rain (water). Jika dieja, kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu u dan sangU bisa abjad, bisa lambang. Sedangkan, sang adalah kata depan, kata predikat yang dimuliakan.  Lalu, mengapa orang Manggarai memberi using sebagai hujan? Nah, mungkin ini jawabannya! Kata u bisa simbol, lambang; bisa juga menunjukkan sebuah sang, kebesaran, persatuan. U bisa universum, union, umum. Universum adalah bahasa lain dari Roh Semesta, Budi Semesta, Allah. Dalam teologi Hinduisme, huruf u nyaris mirip dengan simbol yang ada di dahi Dewa Wisnu, Kresna. Hinduisme juga menyakini, Indra adalah Dewa Hujan. Yunani kuno memberi Zeus sebagai Dewa Hujan selain status Dewa Zeus sebagai Surya atau Dewa Matahari.
Kemudian, sebagaimana diketahui, proses terjadinya hujan melalui proses siklus yang cukup panjang. Lihatlah simbol Dewa Wisnu dalam Hinduisme yang berbentuk tulisan Y/U dan di tengahnya berwarna merah tegak lurus. Tanda Dewa Wisnu melambangkan keselamatan dan pengorbanan bahwa hidup harus berkorban sebagai wujud cinta. Siklus tersebut berawal dari pekerjaan Dewa Surya yang memanasi Dewa Waruna (air, laut dan samudera). Waruna membentuk gumpalan awan kecil yang kemudian pergi ke sana kemari atas bantuan Dewa Bayu (angin). Awan kecil ini kemudian membentuk cumulonimbus. Cumulonimbus inilah yang bakal memproduksi petir atau Dewa Maruta bekerja di sana. Atas bantuan Dewa Surya dan Dewa Maruta, maka terbentuklah butir-butir hujan. Hal itu terjadi atas kerjasama dengan Dewa Indra. Untuk menentukan lokasi penyiraman, Dewa Bayu yang mengatur titik lokasi turunnya, sementara Dewa Indra membasahi bumi. Beberapa Dewa yang telah bekerja, sebagaimana diketahui adalah wujud Trimurti. Wujud Trimurti tersebut adalah Dewa Wisnu, Kresna dengan lambang nyaris berbentuk U.

1.5 Menuju ke Indonesia.

Pancasila dengan lambang Burung Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu. Kresna adalah wujud dari bangsa ini. Kresna adalah simbol penjaga bangsa. Dan burung Garuda adalah wahana Dewa Wisnu itu sendiri sebagaimana tampak dalam gambar.

1.6 Kita Menuju ke Manggarai, Flores.

            Di Manggarai, salah satu bentuk budaya yang populer adalah bentuk pembagian lodok. Lodok adalah simbol matahari, simbol senjata Dewa Kresna, yaitu Cakra. Hal itu ternyata melalui cirinya yang khas berbentuk sarang laba-laba. Selain itu, salah satu dari lima filosofi budaya orang Manggarai adalah barong wae. Wae adalah air, adalah hujan, juga adalah usang.  Pertanyaan berikut, mengapa orang Manggarai menyebut hujan sebagai usang? Uniknya, usang dalam Bahasa Indonesia arti lainnya pakaian yang ngengat, tua. Nah, jika ingin bersih dan awet tentu menggunakan air, salah satunya adalah air hujan. Tentu, di situlah relevansi antara usang yang kemudian membersihkan benda usang. Hanya dengan usang, usang tidak berusang lagi karena wae juga berasal dari usang dan karena usang benda juga bisa usang sekalipun dengan usang pula usang akan berubah menjadi clean and fresh. Ini sungguh luar biasa.
Apa hubungan toka usang dalam konteks budaya pertanian di Manggarai? Lazimnya, pada musim tuai, orang Manggarai menggelar toka. Toka sebenarnya meminta kepada Dewa Bayu agar gumpalan awan di langit ditiuppindahkan ke tempat lain agar Dewa Surya tidak dihalangi dan aktivitas penuaian berjalann lancar. Kita kembali ke pertanyaan, mengapa orang Manggarai menyebut hujan sebagai usang?
Kalau wae atau air, water, aqua bisa berasal dari kata seruan wa'a e! Wa'a e artinya terhanyut atau terapung oleh embo atau banjir besar karena hujan/usang. Sedangkan, kata e merupakan pengganti nama orang lain yang mungkin ikut atau tidak mengetahui apa yang telah, tengah terjadi. Hujan lebat dalam ucapan bahasa Manggarai disebut usang nereng. Sedangkan, untuk buah-buahan yang tampak lebat disebut recut/rapos. Recut juga bisa diartikan perkelahian yang amat sangat sengit. Juga, hujan es bagi orang Manggarai disebut usang bua. Dan, menurut kepercayaan orang Manggarai, hal itu akan membawa hasil panen yang melimpah. Dalam ilmu alam, hujan es terjadi akibat awan cumolonimbus yang sulit dihancurkan petir hingg tidak murni menjadi air sesampai ke permukaan bumi. Mengapa disebut nereng? Disebut demikian karena hujan yang datang seperti gemuruh yang besar. Layaknya wae, orang Manggarai kerap memakai nama benda karena sebuah peristiwa. Usang sebenarnya seruan penghindaran. Lumrah pula, orang Manggarai, jika lari menghindar sambil berteriak sekaligus membuat pemberitahuan uuu....uuu...uuu, lalu bunyi air hujannya mirip sang apalagi ditambah dengan angin. Maka, air hujan mereka beri nama usang. Biasanya, dalam acara adat, orang tua adat kerap menyebut uuu...uuu...uuu...sampar raja wela...uuu...!
Hal itu tidak heran, nama kampung di Manggarai, nyaris 90% juga diberikan ke nama tetumbuhan dan pohon-pohon. Jadi, senang mencari nama-nama yang singkat dan sepadan sesuai kondisi.  Hal semirip, misalnya watu. Wa artinya di bawah, tu diambil dari hitu sehingga wa hitu kemudian menjadi watu. Dulu orang Manggarai bangun rumah dengan dasar batu, lalu batu-batunya diambil dari kali. Sama dengan buru atau angin. Lazimnya, kalau meniup api pasti bunyinya buw....! Sedangkan, ru gubahan de ru/kepunyaanku. Sehingga, disebut buru saja. Begitu juga api, api dalam bahasa Manggarai adalah lancing, maka dikenallah istilah watu lancing yang biasanya untuk api dibakar di bou (yang berasal dari enau) terlebih dahulu lalu dengan kayu bakar atau semak-semak kering. Dari sekian contoh di atas, orang Manggarai dulu memberi nama air hujan dari berdasarkan sebuah peristiwa namun tidak disadari bahwa usang adalah pengertian dari u dan sang, yang dimengerti sebagai Sang Universum. Hal itu orang Manggarai menyebut Sang Universum sebagai Awang agu Tana; Parn Awo Kolepn Sale.Usang menurut orang Manggarai berasal dari awang/langit sekalipun mereka tahu hujan datangnya dari rewung/awan. Karena itu, usang hampir sama dengan osang. Osang atau tempat berteduh, seperti rumah/mbaru. Ketika sudah atauatau tengah sampai tinggal di sebuah rumah pada saat hujan, bisa saja disebut: ho'o sang ga. Ho'o osang bisa disebut o lalu sang, maka disebut osang saja. Osang alias mbaru artinya nyaris sama, meski osang juga adalah kamar tidur atau juga disebut usung. Berkaitan dengan mbaru, juga terdiri atas dua kata mbau dan ru. Mbau artinya teduhan, ru artinya kepunyaan sendiri. Yah, mbau ru, tempat berteduh sendiri, osang bate ka’eng.
Berikut, apakah ada hubungan antara Ü-Tsang di Tibet dengan usang Manggarai? Ü-Tsang adalah pusat budaya masyarakat Tibet yang pusat perkembangan Budhism. Berdasarkan sejarah Indonesia jauh lebih dulu peradaban Hinduisme dan Budhisme masuk lagipula di Jawa amat populer dengan Kejawen dan Selamatan sekarang ini.  Kendati demikian, apakah nama usang dalam Bahasa Manggarai gubahan dari Ü-Tsang layaknya nama Mangko Tongkok yang sebenarnya Mangko Tiongkok? Nah, itu sulit dan itulah yang hendak diendus kemudian soal kebenarannya tetapi yang pasti layaknya sebutan moringe atau kelor atau perongge adalah sebutan untuk Sang Hyang Widi sekalipun hiang dalam Bahasa Manggarai juga diartikan sebagai "cinta hormat". Hiang bagi orang Manggarai berarti menghormati, misalnya dengan kalimat: Mori Keraeng yata hiang lami – Tuhan Allah yang kami hormati! Semua itu ada relasinya.

1.7 Mori.

Dalam kehidupan orang Manggarai, kata mori terdiri dari dua kata mo dan ri. Mo artinya kalimat pertanyaan pergi. Misalnya, mo nia ite ra? (Keraeng pergi ke mana?). Kata mo ini adalah dialek Kempo, yang dalam dialek Rahong disebut ngo. Sedangkan, kata ri adalah seruan panggilan. Seruan panggilan kepada matahari. Biasanya, jika orang tua menjemur padi, mereka sering memanggil riririri...riiiii.....manakala sinar mentari ditutupi awan. Ketika Dewa Surya dihalangi oleh Dewa Indra sebagai Dewa Cuaca, maka lahirlah panggilan ri, sehingga mori adalah terang sebagaimana Shinto Jepang juga memahaminya.
Mori dalam bahasa Manggarai adalah  Pemilik, Roh Semesta. Lebih umum disebut, Mori agu Ngaran, Pu'un Caoca. Lebih lagi, Mori adalah terang, cahaya.  Dalam Bahasa Jepang, kata Mori lebih diartikan sebagai hutan rimba. Lalu, dalam Hinduisme, hutan rimba dilambangkan dengan Dewa Siwa yang tinggal di Kailas yang sekalipun penuh dengan es. Dewa Siwa/Pelebur adalah bagian dari Trimurti. Ketika dihubungkan, akan ketemu makna dan artinya. Dalam  tradisi dan rentang ziarah Kekristenan sebagaimana ditulis dalam Alkitab, Tuhan Yesus sebagai Yang Mahakuasa diibaratkan dengan terang, terang abadi. Sebuah ungkapan popular: Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup; Aku adalah alfa dan omega, awal dan akhir (pu’ung du wangkan, turung du cemoln).
Itu semua refleksi komponen dari hidup kendati sebuah ajaran kerap dipaparkan melalui perumpamaan, peristiwa alam dan sebagainya dengan maksud memahamkan manusia di bumi kendati memang agak banyak hal yang sukar dipahami karena kekuatan hard disk dan gigabyte memory card pada manusia. Dan, apa hubungannya dengan usang? Menurut orang Manggarai apa pun berasal dari Morin. Semua yang datang dari atas berasal dari Terang. Hubungannya, kata usang dan mori nyaris bermakna sama ketika coba dibahas. Kedua kata ini sama-sama berarti Sang Universum, Ilahi sebagaimana Mori juga artinya hutan rimba sebagaimana arti kata bahasa Jepang dan yang terkenal dengan Shinto mereka.

1.8     Mata Gerak.

Terang bagi orang Manggarai  menyebutnya sebagai gerak. Gerak itu adalah cahaya. Untuk menyebut orang yang mempunyai indra keenam bagi orang Manggarai mereka namakan sebagai ata mata gerak atau ata bae jangka, atau terkadang disebut sebagai ata wae nggereng. Mata gerak menembus ruang dan waktu. Jika Tuhan Yesus adalah terang berarti guru dari guru ajian yang adalah pemilik terang itu sendiri, yah Tuhan Yesus sebagai terang itu sendiri. Lihat saja bagi orang asing, Tuhan itu disebut Deus, Lord.  Bagi orang Manggarai dues lord berarti sebuah aktivitas gerak hidup. Karena itu, Tuhan Yesus itulah gerak itu sendiri atau Allah sebagai terang, penggerak hidup bagi manusia.

BAB II

RITUS TAKUNG WAE CƎMOK


Untuk memahami Tuhan, maka orang harus pahami dulu bagaimana ritus-ritus budaya di Manggarai diwujudnyatakan.

2.1
Ritus Takung Wae Cǝmok  Pemulihan   Relasi dengan Leluhur.

Di tempat lain, takung wae cǝmok, seperti orang di Wela, Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai menyebutnya sebagai takung lekǝ cǝbong (takung artinya menyuapi nasi atau  memberi air oleh seorang kepada  - anak-anak seperti balita). Sementara, di Satar Mese Barat, takung wae cǝmok disebut nawi wolo cǝbong  (nawi artinya mencuci). Wolo arti lain dari leke (Leke adalah tempurung kelapa).

 2.1.1 Leke Cebong.

Leke cǝbong atau wolo cǝbong itu yang oleh orang Rahong disebut wae cǝmok arti lainnya disebut mbau de empo (ari-ari atau plasenta nenek moyang). Pada saat lahir, mbau seseorang lazimnya dikuburkan di tempat tertentu. Ketika pemilik mbau itu tiada dan dia mempunyai keturunan beberapa lapis di kemudian hari, di tempat di mana mbau tersebut dikuburkan, keturunannya selalu mengadakan korban persembahan ketika akan ada acara-acara syukuran, atau acara apa saja seperti terkait teing hang wura agu cǝki (kasih  makan roh nenek moyang meminta perlindungan dan berkat).
Secara harafiah, leke cebong adalah tempurung kelapa yang dijadikan sebagai gayung untuk menimba air atau untuk keperluan mandi karenanya disebut leke cebong. Leke cebong dapat diartikan juga sebagai seorang pria yang tampak dalam sebutan sebagai kakek, Eyang dari keturunan tertentu yang sudah lama dipanggil Sang Khalix. 

2.1.2 Memindahkan Wae Cemok.

Wae cǝmok  atau mbau de ǝmpo lazimnya setelah dilahirkan dari kandungan Ibu, dikuburkan di tempat tertentu. Jika ingin dipindahkan ke tempat lain, maka harus diadakan upacara pemindahan lokasi. Pemindahan tersebut memiliki alasan. Misalnya, salah satu upacara yang dibuat oleh warga Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, Rabu (18/3/2015) dari keturunan Ǝmpo Rua. Empo Rua dulu lahir di Laja, lalu mbau-nya dikuburkan di sana. Lama kelamaan, keturunannya semakin berkembang lalu hijrah ke suatu tempat. Semua keturunan dipersilahkan semua masuk ke dalam rumah untuk memulainya acara.
Dalam perjalanan, keturunan Ǝmpo Rua yang ber-cǝki (bertotem) lusa  (gude, kacang bali) itu hijrah ke Sampar lalu ke Lale-Sampar. Keturunannya mengalami berbagai tantangan dan cobaan hidup yang sangat besar bahkan berujung pada kematian beruntun. Karena penuh dengan hambatan, kematian maka timbullah upaya untuk melakukan ritus takung wae cemok. Ritus tersebut biasanya diperoleh dari nampo atau lewat nipi (mimpi). Bisa juga setelah mengalami banyak sekali kematian, timbullah pemikiran dari keturunannya bahwa barangkali berbagai persoalan tersebut karena nenek moyang mereka menginginkan agar mbau dari empo mereka harus dikuburkan dekat tempat tinggal mereka.
Proses pemindahan tersebut melalui tahap-tahap ritus tertentu. Ritus tersebut dengan menggali kembali bekas dikuburkannya mbau tersebut dengan diikutinya acara-acara khusus. Setelah dipindahkan, di tempat yang baru, beberapa ritus-ritus itu mulai diadakan. Kendati, takung wae cemok tidak harus dipindahkannya bekas kuburan mbau tetapi direvitalisasi dengan perbaikan-perbaikan berarti. Ritus takung wae cemok tetap dilaksanakan. Nah, setelah mbau telah dipindahkan (misalnya dari Laja ke Lale, Sampar), para keluarga, anak rona (keluarga laki-laki), anak wina (keluarga wanita) termasuk welad pe'ang (keturunan anak, cucu, ceceplence laki-laki dan perempuan harus dihadirkan ke tempat acara tersebut).  Lazimnya, pada malam hari diadakan ritus teing hang sangged wura agu cǝki) dari satu Empo (Kakek) tersebut lalu keesokan harinya ritus puncak.
Khusus untuk ceki lusa dari orang-orang di Sampar juga ada hubungannya dengan kisah ceki lusa orang Rangges di Kecamatan Rahong Utara. Keturunan ceki lusa itu kemudian berkembang pesat hingga ke pelosok-pelosok daerah Kabupaten Manggarai. Hanya saja, untuk menghubungkan relasi kefamilian mereka bertolak dari ceki lusa agak sulit karena ceki lusa dianggap sebagai ceki bersama. Rupanya mereka memiliki hubungan darah di masa lalu.

2.2 Sekilas Keturunan Ǝmpo Rua di Lale-Sampar.

Rua beristerikan Bambung. Anaknya Rua dan Bambung ada dua orang,  mereka bernama Robertus Ruma (Ema  Ume) dan Gaspar Garung (Ema Elong). Rua adalah anak dari Endong. Rua juga memperisterikan Lunung. Lunung melahirkan Ganawewa Gaul dan Regina Mamung. Ganawewa Gaul mempersuamikan Gabriel Tengko asal Taga-Ruteng. Sedangkan, Regina Mamung mempersuamikan Yakobus Jehadu. Robertus Ruma memperisterikan Maria. Robertus Ruma memperanakkan Nikolaus Labut, Theresia Banut, Petrus Garus, Dominikus Gaut, Stefanus Nagut, Hendrikus Egol, Paulinus Pait, Ester Jenut, dan Elisabeth Palut. Gaspar Garung memperisterikan Sobina Sidung asal Ranggi. Gaspar Garung memperanakkan Sebastiana Lahut, Romana Pahul, Herman Kiot, Veronika Danut, Wihelmina Bambung, dan Kristina Naut.  

2.3 Apa Puncak Ritus Takung Wae Cǝmok?

Ritus Takung Wae Cǝmok (dipersingkat TWC), puncaknya dilakukan pada hari terakhir setelah acara yang lain digelar termasuk memindahkan mbau data tu’a. Ritus tersebut dipandu oleh seorang ata tǝ torok (juru bicara ritus) yang  biasanya menggenakan pakaian khusus. Jubir tersebutlah yang memandu seluruh proses berlangsungnya ritus.
Acara permulaan di mana tetua atau kerabat keluarga memberikan petuah-petuah. Keturunan Ǝmpo Rua semua berkumpul lalu kemudian dibuatkannya ritus. Sebelum dimulainya torok, para tetua mengeluarkan petuah-petuah penting dengan ucapan adat tertentu disertai dengan tuak dan benda berupa uang. Misalnya, dengan ungkapan: “porong duat one uma neho lawe lujang, kole one mbaru dia koe mose - kerja di kebun seperti seperti burung Lawe Lujang, pulang ke rumah badan tetap sehat - ada juga ungkapan porong cimang neho rimang neho rimang rana, kimpur neho kiwung, neho kiwung tuak - agar keras seperti tulang ijuk dan keras seperti pohon enau - bolek kali loke, baca kali tara - sehat jasmani dan rohani dengan wajah tetap memancar ceria dan cerah - ho’o ami anak rona ata tukǝng agu lamid - ini kami pihak keluarga wanita yang menjaga dan melindungi tiap derap langkah kalian setiap hari! Di sana ada proses penyerahan hewan berupa uang, atau berupa parang, kain adat, payung (terlampir di gambar).
Baru setelah adanya peneguhan dari pihak keluarga perempuan (anak rona), maka selanjutnya dimulainya torok  (berupa doa adat yang ditujukan kepada roh nenek moyang dan Tuhan Yang Maha Kuasa), beberapa hewan persembahan dipersiapkan dan membawa masuk ke dalam rumah diadakannya ritus. Pada saat torok ditutup, hewan korban disembelih. Darah hewan korban kemudian dioles di dahi lalu toto urat (melihat hati hewan korban persembahan) dan dibuatlah hang helang (makanan hewan persembahan yang diberikan kepada Empo melalui doa-doa khusus). Hang helang biasanya ditaruh di tempat tertentu berupa piring, sedangkan salah satu sayap ayam korban persembahan diambil lalu digantung di tempat yang telah disiapkan, yaitu di langkar, yang ditaruh di bawah bubungan tiang tengah sebuah rumah
Adapun hewan persembahan yang digunakan dalam ritus puncak TWC adalah hewan yang warna buluhnya berupa manuk cǝpang rompok wulu telu (ayam jantan dengan buluh tiga warna), mbe tagi ngong mbe ruca (kambing jantan yang seluruh warna buluhnya seperti buluh rusa), ela rae (babi jantan berwarna juga seperti rusa).  Ketiga lambang warna buluh tersebut sebagai representasi dari warna mbau (ari-ari saat setelah melahirkan yang disebut ase ka'e wǝki). Wae cǝmok dapat diartikan air segelas, satu gelas. artinya se, satu, mok artinya gelas. Berbeda dengan cǝmek yang artinya meminum sedikit atau tanda cekoen/seruekn.
Wae cǝmok artinya sumber air, kakek asal muasal generasi. Melaui air satu gelas yang merupakan bahasa simbolis sama dengan sperm sebagai awal ada generasi. Ritus wae cǝmok itu adalah kidung kebaikan, balas jasa atas upaya dan keberadaan dǝ ǝmpo, wura masa lampau. 

2.4 Tiap-Tiap Orang Mempunyai Mbau.

Tiap-tiap orang saat setelah lahir pasti memiliki ari-ari. Ari-ari tersebut disebut ase ka'e wǝki. Makanya, ada istilah teing hang ase ka'e wǝki (memberi makan ari-ari), hambor ase ka'e wǝki (rekonsiliasi dengan ari-ari). Terkadang juga disebut hambor ase ka'e weki de wina rona (mendamaikan ari-ari suami-isteri).

2. 5 Turǝng, Nama Lain dari Tempat Dikuburkannya Mbau de Ǝmpo.

Ketika Mbau diamankan di tempat yang terhormat dekat dengan rumah, pada saat hewan persembahan selesai disabdakan secara adat, hang helang ditaruh di dekat turǝng.  Maksudnya agar Ǝmpo menerima dan memakannya dan dia akan mendamaikan seluruh perziarahan dari keturunannya. Turǝng tersebut bisa juga disebut tempat bersemanyannya wura.

2.6 Apa Itu Teing Hang Wura agu Cǝki?

Teing hang wura agu cǝki adalah pemberian sesajian melalui berupa benda tertentu. Wura bisa diartikan sebagai nenek moyang, cǝki adalah pantangan, roh penuntun nenek moyang. Namun, cǝki dapat juga diartikan pantangan suku, totem, larangan memakan sesuatu. Misalnya, cǝki kula (dilarang memakan musang). Larangan tertentu melalui proses sejarah tertentu. Cǝki merupakan penjelmaan dari roh penolong, Tuhan Sang Penuntun. Misalnya, kisah Mahabharata tentang Pandawa Lima. Pada saat akhir dari kisah mereka, sejarah itu menyebutkan kelima Pandawa ketika kembali ke pertapaan akhir setelah menikmati kejayaan Hastinapura dan Indraprasta. Sebuah sumber menulis Pandawa Lima dituntun oleh seekor anjing. Mereka mengira bahwa itu anjing padahal ayah dari saudara tertua Yudistira bernama Dewa Dharma. Artinya, Dewa Dharma menjelma menjadi anjing sebagai si penurut dan penjaga.
Kisah lainnya misalnya, sejarah Maro, nenek moyang dari orang Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai di mana saat ke Wae Rebo mereka dituntun oleh musang. Musang adalah penjelmaan dari Yang Maha Tinggi. Cerita cǝki lainnya, misalnya keturunan dari Theodorus Tamat di Coal, Desa Coal, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat yang ber-cǝki cemberuang. Cemberuang atau burung Garuda. Cemberuang dalam mitologi tertentu adalah kendaraan dari Dewa Kresna atau Dewa Wisnu dalam Trimurti Hinduisme.
Memang kisah tentang cǝki, memiliki sejarahya masing-masing. Hal itu terjadi karena secara perjanjian dan pertolongan tertentu. Misalnya, kisah cǝki ndaler (sejenis pohon) di Ndoso, cǝki cik (totem burung pipit) dari keturunan Wangkung Wenus, cǝki nderu (totem jeruk) dari keluarga Marsel Sudirman, SH, yang sekarang tinggal di Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai, dan cǝki pake (totem katak), cǝki kaba (totem kerbau) dari keturunan Alfons Lurus dari Lewur yang tinggal di Goro, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Masih banyak totem-totem lainnya dengan peristiwa sejarahnya masing-masing.

2.7 Sekilas Tentang Burung Garuda.

Garuda adalah burung yang sering dijadikan lambang oleh berbagai masyarakat dunia. Orang Mesopotamia, Mesir, India, Indonesia, bangsa asli Amerika, Indian mengenal burung itu, seperti  tercermin dalam sistem kepercayaan, legenda maupun simbol masyarakat mereka. Dalam dunia ilmiah fauna, nama Burung Garuda tidaklah dikenal, namun demikian Burung Garuda yang  menjadi lambang negara Republik Indonesia diciptakan dengan rupa representasi  Elang Jawa atau  Javan Hawk-Eagle  Nisaetus Bartelsi dengan warna buluh emas.  Keberadaaan dan sejarahnya bahkan  sudah  tercipta jauh  lebih lama dibanding berdirinya Negara Indonesia. Burung suci  ini juga dapat ditemukan dalam mitologi Hindu dan Buddha.
Di dalam mitologi Hindu, Garuda digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah burung  yang  menjadi kendaraan Dewa Wisnu dan merupakan raja dari para burung. Pada kisah Baghawad Gita juga disebut nama Burung Garuda oleh Khrisna di tengah perang Barata Yudha di Kurusetra, “Of birds, I am the son of Vinata (Garuda)”. Sedangkan, di dalam mitologi Budha, Burung Garuda digambarkan sebagai predator yang hebat dan pintar serta memiliki  kemampuan berorganisasi secara sosial. Garuda muncul dalam berbagai kisah yang melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin.
Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja Agung Para Burung”. Mirip penggambaran Simurgh Yang Agung, Raja para burung, dalam Kisah Musyawarah Burung karangan seorang  Sufi Agung, Faridu ‘Din Attar. Demikian sebuah sumber menulis sebagaimana dikutip Penulis.
Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila.  Menurut lampiran pada Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, menjelaskan bahwa lukisan Garuda diambil dari benda peradaban Indonesia yang tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke-6 sampai ke-16. Raja-raja di Indonesia sudah sejak lama memakai lambang Garuda. Seperti dalam sebuah buku  tentang lambang-lambang kerajaan yang terbit sekitar tahun 1483, termuat  lambang Raja Jawa yang memperlihatkan seekor burung Phoenix di atas api unggun, sedangkan Raja Sumatera berlambang rajawali digambar dari samping dengan  kedua cakarnya mengarah ke depan.

2.8 Cǝki Idiom Historisitas.

            Berbicara tentang cǝki sebagai idiom historisitas, kita harus bertolak dari empat pertanyaan penting: Apa itu cǝki? Apa itu idiom? Apa itu historisitas? Dan, mengapa cǝki disebut sebagai idiom historisitas? Hal itu akan dibahas secara rinci di bawah  ini: 

2.8.1 Apa Itu Cǝki?

Menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami terlebih dahulu mengapa cǝki itu ada? Bagaimana sejarahnya? Cǝki awalnya terjadi karena sebuah peristiwa, yaitu peristiwa pesan perjanjian. Perjanjian itu terjadi karena sebuah pertolongan, kesepakatan larangan antara manusia dengan roh (roh tersebut hadir dalam bentuk manusia dan binatang). Misalnya, perjanjian antara Ndiwar Kewali dan Umpu Mburing, perjanjian antara Ǝmpo Maro dan roh yang hadir dalam bentuk musang karena ditolong, dan perjanjian-perjanjian lainnya.
Namun, cǝki atau larangan, totem kebanyakan hanya dengan binatang atau hewan meski ada juga cǝki tetumbuhan. Misalnya, cǝki kula (larangan makan musang), cǝki cemberuang (larangan makan burung garuda), cǝki cik larangan makan burung pipit), cǝki rutung (larangan makan babi landak), cǝki acu (larangan makan daging anjing) dan cǝki -cǝki lainnya. Cǝki tetumbuhan, misalnya cǝki ndaler, cǝki nderu. Cǝki nyaris searti dengan wura agu ceki. Cǝki bisa diartikan sebagai aturan, bisa juga diartikan sebagai roh yang membuat aturan terhadap sebuah keturunan yang melahirkan cǝki. Diartikan sebagai roh yang mengajar, sering disandingkan dengan ungkapan toing le cǝki (ilmu yang diajar oleh roh yang membuat aturan dengan nenek moyang). Sedangkan, wura agu cǝki adalah nenek moyang yang telah meninggal. Maka, dikenal apa yang disebut dengan teing hang wura agu cǝki (kasih makan roh nenek moyang).

2.8.2 Apa Itu Idiom?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku, kelompok. Idiom dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai langgam suara, corak khas. Baiklah kita memahami idiom sebagai bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku dan kelompok yang tentu erat kaitannya dengan cǝki dan historisitas sebuah suku bangsa atau sebuah kelompok.

2.8.3 Apa Itu Historisitas?

Kata historisitas yang merupakan kata benda yang akar katanya histori atau sejarah. Histori itu sendiri adalah kata benda yang kalau dikaitkan dengan cǝki menjadi kata sifat historis karena menyangkut pendasaran sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, historisitas adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan sejarah. Sedangkan, kalau diartikan secara etimologi (asal kata), historisitas terdiri dua kata, yaitu historis (berdasarkan sejarah) dan itas (unsur, dimensi, kompenen, dan sekelompok).  Dengan demikian, historisitas adalah dimensi-dimensi waktu sejarah yang saling bertautan. Mengapa historisitas disebut kumpulan dimensi waktu sejarah yang saling bertautan? Jawabannya adalah karena historisitas merupakan kumpulan dimensi, yaitu waktu lampau, waktu sekarang dan waktu yang akan datang.

2.8.4 Mengapa Cǝki Disebut  Idiom Historisitas?

Sebagaimana penjelasan tentang cǝki di atas, maka kita mulai memahami bahwa cǝki adalah pesan perjanjian, aturan yang mulai diterapkan mulai dari zaman lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Melanggar cǝki mengakibatkan seseorang sakit, gila (wedol) yang berujung pada kematian.
Melanggar cǝki hampir sama dengan perbuatan kǝmbǝlu'ak (tidak mau tahu), kǝmbǝleis (sindir, sinis). Akibat dari kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis akan terjadi nangki (mengalami penderitaan, merasakan sakit dalam diri seseorang karena dikutuk atau melanggar).
Kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis ini menyebabkan itang (dapat dilihat karena ditunjuk melalui mimpi, penglihatan para normal dan nampo).  Solusinya adalah tolak bala (oke dara ta’a, keti le manuk mitǝng) sebagai bentuk rekonsiliasi.

2.9 Takung Wae Cǝmok Medium Rekonsiliasi.

Nangki karena melanggar cǝki yang tidak pernah direkonsiliasi menyebabkan disharmoni antara ase kae wǝki/dewa gong sendiri, wura agu cǝki, roh alam dan Morin agu Ngaran (Roh Tuhan). Itulah sebabnya ada yang disebut dengan sakit keturunan dan dara ta’a. Wujud dari sakit keturunan misalnya penyakit gila. Hal itu bersifat historisitas karena bila nenek moyangnya gila maka generasi berikutnya akan gila. Jika orang yang melanggar cǝki mempunyai keturunan, maka orang tersebut (melalui keluarganya mesti lakukan acara keti le manuk miteng) karena keturunannya mengalami hal yang sama di kemudian hari. Oleh sebab itulah, akibat melanggar cǝki itu berdampak pada tiga dimensi waktu tadi.
Lazimnya, nangki yang dialami seseorang diketahui melalui itang, baik melalui mimpi maupun nampo (teka latung agu nampo ruha). Karena nangki tadi, maka dicarilah wae nggerǝng (ata pǝcing, ata mata gerak, ata mbǝko di'a). Melalui wae nggereng itu itang diketahui bahwa apakah seseorang karena melanggar cǝki atau karena rudak. Sehingga dalam istilah orang Manggarai disebut inung wae cǝmok data kalau dikaitkan dengan nangki yang disebabkan oleh inung wae cǝmok data artinya jika ada orang lain yang hendak mencelakakan kita dengan membawa sebutir telur ayam kampung ke kuburan keluarga maka keluarga kita yang telah meninggal akan menuruti perintah pencelaka tersebut. Maka penting sekali teing hang wura agu cǝki dari ata tua leluhur yang sudah meninggal terutama memotong rantai nangki yang disebabkan oleh sikap kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis  terutama pelanggaran terhadap cǝki agar wura agu ceki dapat memaafkan dan senantiasa menolong kita dan ase kae wǝki senantiasa melindungi seseorang dan senantiasa diberi berkat yang berlimpah dalam keseharian hidup seseorang. Sebab gila (wedol) sebetulnya disharmoni antara ase kae wǝki dan jiwa orang bersangkutan. Dengan demikian orang tua yang baik adalah orang tua yang menceritakan kepada keturunannya tentang totem keluarga yang harus dihargai turun-temurun. Jadi, itulah makna atau arti dari cǝki idiom historisitas.

 2.10 Kesaksian Cǝki.

Dalam kisah Mahabaratha-Hinduisme, akhir cerita bagaimana Dewa Dharma, ayah dari Yudistira menjelma menjadi seekor anjing. Kitab Suci Perjanjian Lama (Old Testament), menulis cikal bakal mengapa bangsa Yakob yang disebut Israel, yang sekarang disebut Bangsa Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha? (Lih. Kej 32:22-32).
Yang lebih unik lagi, sejarah cǝki dari keturunan Marsel Sudirman, SH, dari Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai, yaitu cǝki nderu (totem jeruk). Totem tersebut bermula dari buah jeruk menjadi perempuan. Cerita singkatnya, suatu hari ada adik berkakak persis di suatu tempat melihat pohon jeruk. Jeruk tersebut buahnya hanya dua, satu sudah matang, masak, yang satu masih muda. Ini adalah cerita Wengkewua dan Lalo Koe di Todo masa dulu.
Saat melihat mereka berdua sempat berdiskusi, hasilnya si kakak memetik yang sudah matang, sementara si adik memetik yang masih muda. Usai dipetik, jeruk yang matang merubah wujudnya menjadi perempuan tua, sedangkan jeruk yang muda menjadi perempuan muda nan elok. Tentu saja terjadi proses perkawinan dan sekarang melahirkan keturunan yang salah satu darah mereka adalah Marsel Sudirman, SH. Hal ini seperti diceritakan oleh Bene Baduk: Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html.
Bagaimana Hubungan Antara mbau dan sedulur papat lima pancer dalam Ilmu Kejawen Jawa? Mengutip Wikipedia Bahasa Inonesia, ensiklopedia bebas di http://google.com, ilmu Kejawen memahami manusia pribadi memiliki saudara halus yang disebut sedulur papat (dalam bahasa Jawa, sedulur adalah saudara, papat adalah empat) atau memiliki empat saudara yang lain. Kerap disebut sedulur papat lima pancer.
Sumber itu menulis, dalam budaya Jawa terutama tumpeng, sega kuning atau nasi kuning yang dibentuk menjadi tumpeng, salah satu bagian sajen sedulur papat. Sajen sedulur papat adalah salah satu sesaji atau sajen yang berupa aneka macam jenis nasi atau sega untuk menghormati empat saudara gaib yang berada di empat penjuru mata angin atau biasa disebut dengan sedulur papat lima pancer.
Secara turun temurun, orang Jawa lekat dengan kepercayaan bahwa setiap orang memiliki empat saudara gaib yang di Utara, Selatan, Timur dan Barat sesuai arah mata angin. Saudara yang di sisi Timur disebut Tirtanata, di sebelah Utara disebut Warudijaya, di sebelah Selatan disebut Purbangkara, di sebelah Barat disebut Sinotobrata. Sedangkan, Pancer adalah diri sendiri atau hati nurani. Sedulur papat ini memiliki kemampuan dan mengendalikan hati nurani masing-masing orang. Dengan demikian, secara turun-temurun diyakini apabila seseorang selalu ingin dijaga, diingatkan atau dikendalikan dari keinginan dan pengaruh jahat, maka orang tersebut wajib menyapa keempat sedulur papat yang ada di masing-masing arah penjuru angin itu.

2.11 Macam-Macam Sajen Sedulur Papat.

Sega putih adalah ubo rampe yang berupa nasi putih. Nasi putih tersebut dibentuk tunpeng dan disajikan tanpa lauk pauk. Ubo rampe sega putih dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Timur atau orang Jawa menamainya Tirtanata. Sega putih ini untuk menggambarkan Kakang Kawah.
Sega cemeng atau nasi hitam adalah ubo rampe yang berupa nasi hitam. Nasi hitam terbuat dari nasi putih yang dicampur dengan jelaga hingga berwarna hitam dan terbentuk tumpeng. Ubo rampe nasi hitam dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah utara atau biasa disebut Warudijaya. Sega cemeng ini untuk menggambarkan Tali Pusar.
Sega abang atau nasi merah adalah ubo rampe yang berupa nasi merah. Nasi merah terbuat dari nasi putih yang dicampur dengan gula Jawa hingga berwarna merah dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi merah ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Selatan atau biasa disebut Purbangkara. Sega abang ini untuk menggambarkan Darah.
Sega kuning atau nasi kuning adalah ubo rampe yang berupa nasi kuning. Nasi kuning terbuat dari nasi putih yang bercampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi kuning ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Barat atau biasa disebut Sinotobrata. Sega kuning ini untuk menggambarkan Adi Ari-ari.
 Sumber lain menulis, manusia terdiri dari sedulur papat lima pancer kakang kawah ari-ari. Menurut ilmu Kejawen, tiap-tiap manusia terlahir sebagai lima bersaudara/saudara kelima (lima pancer). Oleh karenanya, masing-masing dari kita memiliki empat saudara (sedulur papat). Dalam wujud fisik, Kakang Kawah adalah air ketuban yang pecah sebelum kita lahir, sedangkan pancer (diri manusia) adalah si jabang bayi (orok, bayi yang belum berumur) yang lahir kemudian. Sementara, Adi Ari-ari merupakan batur atau ari-ari yang dikeluarkan paling akhir setelah kita dilahirkan. Sedangkan, saudara yang lain adalah Darah.

2.12 Apa Hubungan TWC dengan Upacara Slametan?

TWC adalah bentuk penghormatan terhadap Mbau. Mbau disebut pula adi ari-ari yang datang terakhir. Adi ari-ari atau mbau tersebut dikenal sebagai ase ka'e wǝki. Nah, takung wae cǝmok adalah upacara menghormati mbau. Maka, dikenal takung hang ase ka'e wǝki.
Dalam tradisi Jawa adalah Slametan sebagai upacara kelahiran yang dilakukan dalam 35 hari sekali. Dalam konteks sekarang, Slametan (Slamet artinya selamat, bahagia, sentosa) atau takung wae cemok, teing hang ase ka'e wǝki adalah upacara hari ulang tahun atau pesta Natal dalam Kekristenan. Budaya Manggarai disebut teing hang ase ka'e wǝki, hambor ase ka'e wǝki di mana ase ka'e wǝki harus tetap menjaga perziarahan hidup seseorang. Sedangkan, untuk menghormati leluhur disebut teing hang wura agu cǝki. Jika sudah berkeluarga, ada yang dikenal dengan teing hang ase ka'e wǝki wina rona atau hambor ase ka'e de wina rona.

2.13 Hubungan Antara Cear Cumpǝ dan Sedulur Papat Lima Pancer.

2.13.1 Apa Itu Cear Cumpǝ?

Cear cumpǝ merupakan salah satu istilah untuk menyebut ritus inisiasi dalam tradisi Manggarai pada umumnya. Di samping istilah ini, ada istilah lain yang sinonim dari istilah ini tetapi memiliki makna yang sama, seperti wa’u wa tana (di Congkar-Manggarai Timur). Istilah cear cumpǝ sendiri merupakan penggabungan dari dua kata dasar, yakni cear (membongkar api di tungku), cumpǝ (artinya tungku api) dengan mana selama lima hari ibu dan bayi tidak keluar dari rumah.

2.13.2 Ritus Cear Cumpe.

Istilah cear cumpǝ itu sendiri dapat diartikan sebagai upacara pada saat mana masa penantian seorang bayi dinyatakan selesai dan serentak dengan itu si bayi dilantik secara resmi menjadi anggota masyarakat setempat.  Seusai upacara ini, si bayi bersama ibunya boleh keluar dari rumah. Pada dasarnya, ritus cear cumpǝ sebagai: Pertama, masa penantian seorang bayi yang baru dilahirkan untuk masuk dan diakui secara sah ke dalam klen atau masyarakat setempat telah berakhir. Kedua, bayi diperkenalkan secara resmi kepada khalayak ramai. Ketiga, bayi dilantik secara resmi sebagai anggota suku atau masyarakat (bukan orang asing). Keempat, kesempatan untuk menyampaikan syukur dan terima kasih dan mohon berkat dari yang Tertinggi (cǝki) lewat doa dan persembahan. Ungkapan syukur disampaikan secara bersama-bersama dengan anggota masyarakat yang lain yang turut hadir mengikuti acara itu. Kemudian, setelah dilahirkan bayi bersama ibunya tetap tinggal di dalam rumah (di sekitar perapian yang sudah disiapkan atau (cumpǝ). Masa ini berlangsung selama 5 hari, tidak boleh kurang atau lebih. Selama masa ini, dalam masa ini semua kebutuhan sang ibu dan bayinya dilayani di dalam rumah.
Berikutnya, pada pelaksanaan ritus cear cumpǝ, tepat pada hari yang telah ditentukan keluarga sudah mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ritus itu sendiri. Setelah semua perlengkapan upacara disiapkan, pemimpin boleh memulainya. Acara cear cumpǝ sebaiknya dilakukan pada pukul 07.00-08.00 pagi. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat tentang siklus kehidupan manusia di mana pagi hari selalu dikaitkan dengan kehidupan yang secara konkret dihubungkan dengan masa kanak-kanak (bǝngkar wela, artinya mekarnya bunga-bunga). Upacara ini dipimpin oleh seorang yang dituakan dan berpengalaman.
Dalam upacara ini dipersiapkan pula bahan persembahan berupa ayam jantan. Bagi keluarga yang ekonominya memungkinkan ia bisa menambahkan binatang yang lebih besar lagi, seperti: babi atau anjing. Tetapi babi dan anjing hanya untuk perjamuan bersama, sedangkan untuk acaranya menggunakan ayam jantan. Tujuan upacara ini adalah untuk bersyukur pada Wujud Tertinggi (cǝki) atau arwah nenek moyang atas anugerah manusia baru yang terlahir dalam keluarga tersebut dan sekaligus memohon rahmat dan berkat serta perlindungan bagi bayi dan seluruh anggota keluarga. Selama ayam masih hidup dalam genggaman, pemimpin ritus, doa tetap dilantunkan (torok manuk). Selanjutnya, ayam dibunuh dan dibakar, diperiksa uratnya untuk melihat petunjuk atau tanda yang akan terjadi di kemudian hari atas bayi dan keluarganya. Di Ruis, tempat upacara dilaksanakan harus di halaman atau alun-alun depan rumah, di depan rumah di mana bayi tinggal. Halaman depan dianggap sebagai pintu menuju dunia yang luas dari lingkaran rumah. Doa diarahkan kepada Mori Mese (Tuhan Allah) dengan intensi syukur karena keselamatan yang dialami ibu dan bayi selama proses kelahiran berlangsung. Selain itu, doa juga diarahkan kepada arwah nenek moyang dari anak yang telah dilahirkan untuk meminta keselamatan dan perlindungan bagi anak itu dalam hidup selanjutnya.
Menurut tradisi Satar Mese, ayam yang disembelih itu harus diambil sedikit darahnya untuk dioles pada dahi anak yang diupacarakan. Sedangkan, pada kebiasaan Penulis, ayah bayi tersebut juga dioles di jari telunjuk kaki. Kalau menurut pemimpin ritus, dia itu tidak dikabulkan maka dia meminta keluarga untuk membuat ritus pemulihan. Karena barangkali ada kekeliruan dalam hidup harian seluruh anggota keluarga sebelum anak dilahirkan sampai ia terlahir ke dunia. Ritus inisiasi ini lazim lainnya dipimpin oleh seorang ibu atau bapak yang berpengalaman dan mampu mendaraskan syair-syair doa. Dalam tradisi masyarakat Manggarai, acara ini dipimpin oleh seorang yang berpengalaman yang dibantu oleh ibu-ibu yang lain untuk memangku bayi dan peralatan lainnya.
Di samping itu, ada juga salah satu dari yang hadir seperti tetua adat atau seorang yang berpengalaman berperan sebagai pendaras atau torok manuk. Lazimnya, kriteria yang harus dilihat dalam diri seorang pemimpin adalah mahir dalam mengucapkan doa dan mampu melihat tanda-tanda yang akan terjadi berdasarkan kenyataan yang terungkap dari kondisi hati atau empedu dan usus halus dari binatang yang dipersembahkan. Hal ini sesuai dengan tujuan pelaksanaan upacara yakni melihat dan mengatasi krisis yang akan dihadapi seorang bayi ketika ia masuk dalam anggota keluarga atau masyarakat.  Dalam hal cear cumpǝ atau permandian secara adat di mana bayi diberi nama, biasanya saat pemberian nama waktu torok harus diberi nama lima nama.
Masing-masing nama diberikan oleh orang yang ikut saat ritus tersebut termasuk oleh ayahnya. Saat pemberian nama, masing-masing ditunjuk lima orang untuk menyebut nama lain dari si bayi. Jadi, seorang bayi saat cear cumpǝ harus menyebut lima nama. Ayam yang dipakai adalah ayam jantan putih, atau manuk cǝpang (ayam jago berwarna merah, sedikit hitam dan sedikit putih). Nah, apa hubungan pemberian lima nama dalam cear cumpǝ dengan sedulur papat lima pancer? Lima nama dalam cear cumpǝ bisa menggunakan nama dari wura agu cǝki. Dengan demikian, pemberian lima nama pada saat cear cumpǝ nyaris sepaham dengan pemberian nama terhadap sedulur papat dalam ilmu Kejawen.
Pemberian kelima nama tersebut yang disebut ngasang tu’ung (nama sesungguhnya, nama ayam). Orang Manggarai menyebut nama orang, terdiri dari nama serani (nama Santo) dan ngasang tu’ung. Misalnya, nama Melkior Pantur (Melkior adalah nama serani atau Santo atau orang suci, sedangkan Pantur nama atau ngasang tu’ung, ngasang manuk). Arnoldus Sanpepi Juang Pantur, nama Santunya Arnoldus, nama ayamnya Sanpepi Juang Pantur, atau Pantur).

2.13.3 Hubungan Antara Slametan dan Penti Wǝki Peso Beo.

Slamet atau slametan adalah upacara penghormatan terhadap sedulur papat dengan membuat tumpeng. Sedangkan, pǝnti wǝki peso beo adalah upacara syukuran panen raya, bisa per tahun atau tergantung kesepakatan tua-tua adat di sebuah kampung adat. Pǝnti wǝki peso beo artinya bersyukur atas kebaikan Tuhan atas satu musim panen dan membersihkan diri dari warga kampung adat selama sebelum upacara pǝnti dilaksanakan. Upacara pǝnti berbeda untuk setiap kampung adat dan lazimnya melibatkan suku-suku dalam kampung tersebut.
Hubungannya dengan slametan karena setelah acara pǝnti bersama diadakan acara takung hang wura agu cǝki masing-masing rumah dengan mempersembahkan hewan korban berupa ayam jantan. Upacara bersama sebelum dilakukan di rumah masing-masing dilaksanakan upacara barong boa  (buat acara di kuburan), barong wae (buat acara di mata air), barong compang (altar adat). Upacara barong atau memberi makan roh penjaga mata air, roh leluhur dan Wujud Tertinggi di compang sesuai dengan filosofi orang Manggarai mengenai gǝndang onen lingkon pe'ang di mana ada rumah Gǝndang, compang, natas (alun-alun), mata air (mata wae) dan kebun (lingko). Yang dikenal mbaru bate ka'eng (rumah tempat tinggal berupa gǝndang), natas bate labar (alun-alun tempat bermain), compang bate dari (altar untuk berjemur sekaligus mempersembahkan korban), uma bate duat (kebun bekerja), dan wae bate teku (mata air untuk ditimba). Kelima unsur tersebut, tiap-tiap Gǝndang memilikinya. 

BAB III
DEUS LORD

Anda pasti sudah berpikir bahwa kata ini sudah jelas merupakan ungkapan Latin atau Inggris karena deus artinya Allah halnya deum, sedangkan lord dalam bahasa Inggris artinya Tuhan, Tuan. Dengan demikian, deus lord artinya Tuhan Allah. Ungkapan ikutan dari deus lord adalah deus lord wini, deum lord'm. Bahkan, ungkapan perpanjangnya deus deum lord wake wini. Ada juga tambahan ungkapan lain deus deum lord dǝ pangan, deus lord dǝ wake winin! Ungkapan sepadan deum lord dǝ waken, deus ejorn dǝ wini, deus wini!

3. 1 Deus.

Deus itu ungkapan Latin, artinya Allah. Namun, deus sebenarnya di sini adalah bahasa Manggarai yang merupakan gabungan dari kata deu + s. Deu artinya jauh, s-nya artinya mereka (telah, telah menjauh). Maka, deus artinya mereka jauh, (telah) jauh, mereka telah menjauh! Deus bisa juga berarti nyaris mendekat.

3.2 Lord.

Lord dalam bahasa Inggris dimengerti sebagai Tuhan, Tuan. Ada sebutan lord land atau tuan tanah. Namun, lord ini ungkapan bahasa Manggarai artinya menjalar, bertumbuh. Lah, deus lord berarti pertumbuhan berada pada kuasa Ilahi. Manusia boleh berusaha, namun Deus Lord yang menentukan pertumbuhannya.

3.3 Wini.

Wini dalam bahasa tertentu artinya berparas elok. Namun, wini yang dimaksudkan adalah ungkapan bahasa Manggarai artinya benih (seed). Misalnya, wini daeng. Daeng di sini bukan sebutan daeng yang menunjukkan kakak lelaki dalam bahasa daerah Sulawesi Selatan atau yang kemudian dimengerti sebagai kakak lelaki yang berparas elok tetapi daeng artinya umbi kayu, sedangkan wini-nya adalah biji buah dari daeng itu.  Kita melihat ungkapan ini: dues lord wini dǝ daeng, artinya benih dari ubi kayu sudah berkembang menjalar. Deus lord wini dǝ daeng dapat diterjemahkan Tuhan Allah itu kakak lelaki yang berparas elok. Ungkapan deus lord wini dǝ daeng lebih dipahami sebagai sadulur papat lima pancer dalam Kejawen  yang artinya empat saudara laki-laki sementara dalam kebudayaan orang Manggarai disebut ase kae wǝki. Karena itulah, deus lord wini artinya paras Tuhan Allah itu elok atau Tuhan Allah itu berparas elok. Ada ungkapan dalam sebuah Bible, mengatakan: Manusia itu adalah gambar dan citra Allah itu sendiri. Olehnya, manusia itu adalah wini de Lord artinya benih IIahi.
Ada tertulis di dalam Bible tentang Perumpamaan Seorang Penabur. Demikianlah, itu adalah taburan firman. Penaburan benih serupa dengan penaburan firman. Allah Sang Penabur sekaligus Sang Penumbuh. Deus Lord Wini adalah gambaran Yesus Ilahi yang berparas elok nan rupawan. Kemudian, ada ungkapan orang Manggarai wua lord wini de nuca artinya bertumbuhnya benih dari bumi atau tanah; dapat juga dipahami, manusia disebut sebagai wua tuka de nuca yang artinya buah dari bumi, dari pertiwi. Segala yang hidup di bumi disebut saung haju wela de nuca di mana segala sesuatu itu seperti dedaunan pohon dan kesemuanya adalah bunga dari bumi sesuai dengan ngoeng de lord or will of God. [Untuk diketahui wua artinya buah, wela artinya bunga dan tuka artinya perut, pertiwi sedangkan nuca artinya bumi atau tanah].  Ada lirik lagu orang Manggarai, begini

E....daeng y'eng go lako na,e...o...a...a yole da...eng...daeng e.....
E.....wǝrus koe telun ta.....e....o....a, a...yole da....eng.....daeng e....
E....tua koe suan ta....e....o....a, a yole da...eng, daeng e.....

Lirik lagu ini multi makna, yang mana di satu sisi daeng atau kakak lelaki itu sudah menjalar, wini-nya sudah berkembang. Diharapkan, dia menghadirkan dua atau tiga putera/i. Dapat juga dimengerti sebagai sumber kehidupan di mana kehidupan daeng atau umbi itu menghasilkan dua atau tiga umbi sehingga bermanfaat bagi kehidupan yang lain. Dalam pengertian Kejawen dan Ase Kae Wǝki, saudara tua laki-laki/perempuan membantu seseorang menghadirkan keturunan.

3.4 Ejorn.

Ungkapan ini terdiri dari dua kata e dan jor. E artinya ya, sedangkan jor artinya tertumpah keluar, jatuh keluar misalnya padi di dalam karung. Sedangkan, n artinya kepunyaan sehingga jor + n berarti tumpahannya, terjatuhnya. Bila e  jor  n berarti seruan mulut bocor, bila e jor berarti itu bocor dan bila ejor artinya begadang, pesiar dan bila ejorn berarti dia berjalan keliling, begadang, sehingga,
bila ejor wini artinya benih yang mencari mineral di dalam tanah. Bila ejor waken wini artinya akar serabut yang mencari bahan makanan di dalam tanah.

3.5 Wake.

Coba lihat kata wake, woke, waken dalam bentuk verb bahasa Inggris. Wake itu kata kerja bahasa Inggris. Wake bentuk pertama artinya air baling-baling, jaluran ombak, membangunkan. Sedangkan, waken adalah bentuk ketiga sama seperti go went gone. Namun, waken artinya akarnya dalam bahasa Manggarai yang merupakan gabungan dari kata wake + n. Wake atau akar tetumbuhan itulah penbangunan, pendiri utama, pencari makanan. Lihat saja akar tunggang dan akar serabut menerobos seperti jaluran ombak mengumpulkan sumber nutrisi bagi tubuh pepohanan. Ada ungkapan orang Manggarai: wakak bǝtong asa, manga waken nipu tae.
Dengan demikian, ekspresi deus lord wini bukan hanya berarti paras Tuhan Allah yang elok tetapi juga benih tetumbuhan yang sudah bertumbuh menjalar jauh atau biji benih itu sudah mulai berkecambah. Misalnya, ungkapan deus caid yang artinya sebentar lagi mereka datang karena deus bisa berarti sebentar lagi, sudah mendekat. Dan, bila deum lord'm artinya jalarannya sudah terlalu jauh sama seperti  ungkapan ini: Wake cǝlern nggari wa, saung bembang nggari eta! Itu berarti pepohonan itu sudah sangat kuat dan mumpuni. Sulit sekali untuk menjadi wakak ciri watang - tumbang menjadi pohon tua yang tumbang.
Kemudian, bila diungkapkan deus deum lord dǝ wake winin artinya jalaran akar biji benih itu sudah semakin jauh mengakar. Bahkan, ada juga ungkapan lain deus deum lord dǝ pangan yang artinya ranting-ranting kian bertambah dan pucuk dedaunan di dahan-dahan menghijau keluar.
Ungkapan sepadannya deum lord dǝ waken, deus ejorn dǝ wini yang kesemuanya berarti amat jauh akar itu menjalar. Karena itu, ada ungkapan: Wake cǝlǝr nggari wa. Panga + n artinya rantingnya. Ada tambahan, deum lord dǝ saungn. Saung+n artinya dedaunan itu, daunnya. Makanya, ada sebutan: Saung bembang nggari eta. Ada ungkapan lain pula: Deus lord wecak dǝ wini. Ungkapan ini, wini bermula dari wela atau bunga. Wini wela artinya generasi kelanjutan dari cucu. Ada ungkapan: wecak wela lebo saung pe'ang artinya keturunan yang terus lord dan berkeriapan di masa depan. Lalu,       ada sebutan deus lord lewen. Ini merupakan ungkapan bahasa gabungan dari Latin (Deus, Deum), English (Lord), Gayo (Lewe, Lewen), dan Bahasa Manggarai (Lewe, Lewen). Bahasa Gayo, lewe itu artinya lawan, tegur, sapa. Sedangkan, bahasa Manggarai, lewe artinya panjang, panjangnya.
Bila, deus lord lewen versi Latin, English dan Gayo maka berarti Tuhan Allah itu berupa sapaan, teguran. Bisa juga perlawanan dari makhluk atau inti kehidupan. Sedangkan, versi Latin, English, Manggarai maka kalimat itu berarti Tuhan Allah itu panjang, nun jauh, tak berkesudahan, atau Deus Transenden. Jika, kalimat deus dini lord, maka Allah itu dekat atau Deus Imanen. Dini sama dengan deu caid artinya sudah dekat.
Manakala dimengerti dalam deus lord lewe yang artinya sebentar lagi jalarnya kian menjalar dilihat dari sudut pandang Latin, English dan Gayo maka Tuhan Allah itu adalah tegur sapa berarti mengarah pada moral attitude atau sikap. Jika seseorang suka menyapa atau menegur orang lain, maka itu disebut Deum. Jika, sebaliknya disebut lawan berarti keangkaramurkaan. Allah bisa menegur dengan melawan orang yang tidak suka menegur sapa orang lain. Deus berarti juga Deum yang pemaaf, yah sesuatu yang jauh tetapi memaafkan.
Ada ungkapan Tuhan Yesus dalam Bible: Kamu yang menggarap, kamu yang menanam, kamu yang menyiram, kamu yang menyiangi bahkan kamu pula yang menuai tetapi kamu tidak tahu bagaimana proses bertumbuhnya! Ada proses pertumbuhan di sini, kemajuan atau rintangan berupa hama dan gulma. Gulma, hama, dan manusia tidak tahu proses bertumbuhnya itu. Ada ungkapan: Deus lord waken, deus lewen lord waken. Nah, proses bertumbuh itulah campur tangan Tuhannya. Deus lord waken atau Tuhan Allah membangunkannya.
Agar diketahui, tetumbuhan itu hidup karena Deum itu sumber energi kehidupannya. Itu sama dengan anima vegetatif di mana setiap jiwa tutumbuhan berkomunikasi dengan Allah. Makanya, Aristoles bilang tiap tetumbuhan ada jiwanya dan orang Manggarai bilang neteng caoca manga Morin - tiap apapun ada Tuhannya karena itu ritus aji mumpungnya adalah ngelong.
Ngelong adalah aktivitas konkret dari anima vegetatif atau lord deu lewen, lewe deum lord, artinya karena kuasa Ilahilah kalian bertumbuh dan berkembang biak. Nah, bila melakukan kesalahan dengan hewan dan tetumbuhan lakukanlah rekonsiliasi atau ngelong.