Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Senin (19/3/2018)
[Penulis]
BAB IV CINTA, MORAL DAN IMAN TEKS MANGGARAI
BAB VI HAMBOR ASE KA'E WƎKI BENTUK REKONSILIASI
DAFTAR ISI
BAB I ARTI KATA MORI KONTEKS MANGGARAI
1.1 Awal Mula Bahasa
1.2 Arti Kata Mori.
1.3
Terang Sesungguhnya
1.4 Filosofi Usang Ala Manggarai
1.5 Menuju ke Indonesia
1.6 Kita Menuju ke Manggarai – Flores
1.7 Mori
1.8 Mata Gerak
BAB II RITUS TAKUNG WAE CEMOK
2.1 Ritus Takung Wae Cemok Pemulihan Relasi
dengan Leluhur
2.1.1 Leke Cebong
2.1.2 Memindahkan Wae Cemok
2.2 Sekilas Keturunan Ǝmpo Rua di
Lale-Sampar
2.3 Apa Puncak Ritus Takung Wae Cǝmok
2.4 Tiap-tiap Orang Punya Mbau
2.5 Turǝng, Nama Lain dari Tempat Dikuburkannya
Mbau de Ǝmpo
2.6 Apa Itu Teing Hang Wura agu Cǝki
2.7 Sekilas Tentang Burung Garuda
2.8 Cǝki Idiom
Historisitas
2.8.1 Apa Itu Cǝki
2.8.2 Apa Itu Idiom
2.8.3 Apa Itu Historisitas
2.8.4 Mengapa Cǝki Disebut Idiom
Historisitas
2.9 Takung Wae Cǝmok Medium Rekonsiliasi
2.10 Kesaksian Cǝki
2.11 Macam-Macam Sajen Sedulur Papat
2.12 Apa Hubungan TWC dengan Upacara Slametan
2.13 Hubungan Antara Cear Cumpǝ
dan Sedulur Papat Lima Pancer
2.13.1 Apa Itu Cear Cump
2.13.2 Ritus Cear Cumpe
2.3.13 Hubungan Antara Slametan dan Penti Wǝki Peso Beo
BAB III DEUS LORD
3. 1 Deus
3.2 Lord
3.3 Wini
3.4 Ejorn
3.5 Wake
BAB IV CINTA, MORAL DAN IMAN TEKS MANGGARAI
4.1 Cinta
4.1.1 Budaya
4.1.1.1 Budaya Kawing
4.1.1.2 Budaya Sida
4.1.1.3 Budaya Dodo
4.1.1.4 Budaya Kais
4.1.1.5 Ritual-Ritual Budaya
4.1.1.6 Pembagian Lingko
4.1.1.7 Budaya Caci
4.1.1.8 Budaya Hang Pa'eng
4.1.1.9 Budaya Randang
4.1.1.10 Budaya Rono dan Taeng
4.1.1.11 Budaya Hese Mbaru
4.1.1.12 Budaya Helang
4.1.2
Kesenian dan Cara Berdoa
4.1.2.1 Seni Ukir/Pahat
4.1.2.2 Seni Rupa
4.1.2.3 Cara Berujud pada Wujud Tertinggi
4.1.2.4 Seni Menyapa
4.1.2.5 Seni Permainan
4.1.2.6 Cara Bercocok Tanam
4.1.2.7 Seni Menjamu
4.1.2.8 Cara Bertandang
4.1.2.9 Seni Tari
4.1.2.10 Seni Musik
4.1.2.11 Seni Olah Vokal
4.1.2.12 Seni Berperang
4.1.3 Keamanan
4.1.4 Hukum
4.2 Moral
4.3 Iman
BAB V SEPUTAR RITUAL HESE NGANDO
5.1 Nangka dan Tǝno
5.2 Maksud dan Tujuan Ritual
5.3 Letak dan Cikal Bakal Kampung
5.4 Tapak Tilas
Ziarah Petualangan Wura
5.4.1
Suku di Rangges
5.4.2
Awal Mula Cǝki Lusa
5.4.3 Mengungkap Kebenaran
5.5 Kampung Persekitaran Rangges
BAB VI HAMBOR ASE KA'E WƎKI BENTUK REKONSILIASI
6.1 Jenis Hambor Ase Ka'e Wǝki
6.2
Benda-Benda Ritual Takung
Ase Ka'e Wǝki Wina Rona
6.2.1 Telur Ayam Kampung
6.2.2 Kapur Sirih Pinang
6.2.3 Ayam Kampung
6.2.4 Rokok, Sopi dan Tuak
6.2.5 Parang
6.3
Kapu Gauk de Morin
6.4 Meterai
6.5 Toto Urat
6.6 Wali Urat Di’a
BAB VII RITUAL MANUK CEPANG KARONG SALANG WAE
7.1 Nama Ritual
7.2 Hewan Kurban
7.3 Tujuan Ritual
7.4 Arti dari
Ritual.
BAB VIII BUDAYA OKE
COPEL
8.1 Apa Itu Budaya
Oke Copel
8.2 Relasinya dengan Ceki, Wada dan Torok
8.2.1 Ceki
8.2.2 Wada
8.2.3
Torok
8.2.4
Perbedaan Wada, Torok dan Tudak
BAB IX TANDA KEHADIRAN ROH DAN TAKUNG NAGA
9.1 Naga
9.1.1 Apa Itu Naga
9.1.2 Jenis-Jenis Naga
9.1.2.1 Naga Mbaru
9.1.2.2 Naga Nuca
9.1.2.3 Naga Golo
9.2 Roh
9.2.1 Roh Alam
9.2.2 Tuhan
9.2.3 Roh Manusia
9.2.4 Wura agu Ceki
9.2.5 Wakar dan Ase Ka’e Weki
9.3 Tanda Kehadiran Roh
9.3.1 Ayam Berkokok
9.3.2 Berupa Darah
9.3.3 Gatal dan Batuk
9.3.4 Angin
9.3.5 Gagalnya Ritual Berdasarkan Posisi
Hewan Kurban
9.3.6 Meriang dan Merinding
9.4 Tanda Diberkatinya Ritual
9.3.7 Binatang yang Meronta atau Burung
9.3.8 Ritual dan Acara Terhambat
9.3.9 Cadel Dalam Torok dan Tudak
BAB X WUJUD NYATA PERJUMPAAN ORANG
MANGGARAI DEKAT DENGAN ALAM
DAN ROH
PENCIPTA
10.1
Pengalaman Perjumpaan
10.1.1
Antarkarana Alam dari Lumpung Racang
10.1.1.1
Apa Itu Antarkarana
10.1.1.2
Antarkarana Alam
10.1.1.3 Antarkarana Tubuh
10.1.1.4 Relasi Antar Antarkarana
dan Teing Hang Wura agu Cǝki
10.1.1.5 Wera Mirip Londe tetapi Bukan Londe
10.1.2 Asal Mula Kampung Racang
10.1.2.1 Awal Cerita
10.1.2.2 Jejak yang Hilang
10.1.3 Asal Mula Lumpung Racang
10.1.3.1 Kedatangan
Awal
10.1.3.2 Ceki
10.1.4 Potret Kebeng Lumpung
10.1.4.1 Mengenal
Gǝndang Ruis
10.1.4.2 Cǝki
Warga Gǝndang Ruis
10.1.4.3 Lingko-Lingko
di Gǝndang Ruis
10.1.4.4 Wae Barong
10.1.5 Fenomena Hawa Dingin
dari Kajong
10.1.6
Cikal Bakal Gendang Kumba
10.1.6.1 Cikal Bakal
10.1.6.2 Titisan
Sejarah Mula
10.1.6.3 Gendang
Kumba Terbentuk
10.1.6.3.1 Awal Terbentuk
10.1.6.3.2 Culu Leca Dinilai
Sebagai Ilusi
10.1.6.3.3 Kilasan Mistis
Gendang Kumba
10.1.6.3.4 Bali Belo
10.1.6.3.5 Golo Curu
10.1.6.3.6 Disebut Tenda
10.1.7 Ritus Adat Pangga
10.1.7.1 Struktur
10.1.7.2 Medium yang
Digunakan
10.1.7.3 Teing Hang Wura agu Ceki Ala Rongga
10.1.7.4 Benda dan Hewan Kurban
10.1.7.5 Prosesi
10.1.7.6 Gong dan Genderang Ditabuh
10.1.7.7 Toto Urat dan
Helang
10.1.7.8 Bahasa Torok
10.1.7.9 Locus dan Tempus
10.1.7.10 Wali Urat Di'a dan
Tegi Nabit de Anak Rona
10.1.7.11 Meterai
10.1.8 Peristiwa
Penting dan Sejarah di Tiwu Riung di Taga Ruteng
10.1.8.1 Minta Hujan
10.1.8.2 Pohon yang Ditebang Tersambung Kembali
10.1.8.3 Adanya Air Panas
10.1.8.4 Ratusan Kerbau Tiba-Tiba Muncul
10.1.8.5 Percikan Bunga-Bunga Api Kemerahan di Tiwu Riung
10.1.8.6 Foto tidak Menangkap Gambar
10.1.8.7 Kena Marah Jika tidak
Permisi
10.1.8.8 Benda Pewujud Relasi
Antara Manusia dengan Morin, Wura agu Ceki
10.1.9 Watu Waru dan Watu Ranggu
10.1.9.1 Watu Ranggu
10.1.9.2 Watu Waru
10.1.9.3 Batu Bulat di Kosta Rika
10.1.9.4 Ceca
10.2 Roh Ilahi
10.2.1 Hadir di Compang
10.2.2 Hadir pada Pribadi dan Tempat
Tertentu
BAB XI
BENTUK LIMA ORANG MANGGARAI
11.1 Struktur Rumah Adat
11.1.1 Model Keseluruhan
11.1.2 Tingkatan Bagian
Dalam
11.1.3 Hubungannya dengan Tingkatan
Universum
11.1.4 Relasinya dengan Indonesia
11.1.5 Relasinya dengan Dunia
11.2 Falsafah Dasar
11.2.1 Mbaru Gendang
11.2.2 Natas
11.2.3 Compang
11.2.4 Lingko
11.2.5 Wae Bate Teku
11.3 Wujud Tertinggi
BAB XII MEMAHAMI EKSISTENSI ALAM
12.1 Berbicara dengan Binatang
12.2 Mengetahui Fungsi Tanaman
12.3 Mengenal Alam Roh
12.4 Mengenal Dunia Alam Lain
12.5 Mengenal Pemali Enau
12.5.1 Syarat Menyadap
12.5.2 Manfaat Raping
12.5.3 Raping Simbol
Perempuan
12.6 Alam Sebagai Guru Analogi
12.7 Berkutat dengan Pengobatan
BAB XIII ROH DALAM PERJANJIAN
13.1 Perjanjian Rambut
13.1.1 Locus
13.1.2 Kilasan Tapak
13.1.3 Leluhur
13.1.4 Makna dan Simbol
13.1.4 Etnis
13.1.5 Bentuk Perjanjian
13.1.6 Tanda Mistik
13.2 Perjanjian Kuse
13.2.1 Bentuk
13.2.2 Pelanggaran
13.2.3 Raja Wie
13.2.4 Perpisahan
13.2.5 Penciptaan Awal
13.3 Perjanjian Teri
13.3.1 Pelarangan
13.3.2 Lahirnya Putera
13.3.3 Kedua Anak Ndiwar Kewali Dimasukkan ke
Bambu
13.4 Perjanjian Kain
BAB XIV KUNI AGU KALO SEBUAH RETORIS
14.
1 Sebuah Pengantar
14.2
Konsep, Rumusan dan Prinsip Orang
Manggarai
PENGANTAR
Orang Manggarai sangat kental dengan
kehidupan budayanya. Semua itu mencerminkan, orang Manggarai sangat dekat
dengan Pencipta yang mereka sebut sebagai Morin
Agu Ngaran Parn Awo Kolepn Sale, dekat dengan alam dan seluruh keutuhan
ciptaan. Kedekatan tersebut mereka tunjukkan dengan berbagai ritus-ritus budaya
untuk memperoleh kemurahan Tuhan, Wura
agu Ceki. Mereka percaya, segala
sesuatu yang ada di universum hadir atas dasar kehendak Yang Kuasa. Karena
semuanya milik Ilahi, apapun perbuatan yang dianggap salah secara pasti mereka
akan melakukan rekonsiliasi yang mereka sebut sebagai hambor. Hambor tersebut
pun tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan ase ka’e weki dan bahkan dengan alam ciptaan lain yang mereka
istilahkan sebagai ngelong.
Rekonsiliasi lain yang mereka lakukan adalah dengan ritual paki jarang bolong, oke dara ta’a, podos calang one wae mese agu cunga
sebagaimana mereka istilahkan eme manga
calang nggolong one gongs, nggoling one tonis, oke one waes laut, one lesos
saled.
Ekspresi-ekspresi
seperti itu disertai dengan aktus-aktus ritus yang mereka lakukan mulai saat
seorang anak lahir ke bumi, saat lahir hingga kembali lagi ke Yang Kuasa. Semua
adalah ritus. Jadi, budaya Manggarai tampak asri dan mencerminkan
pentingdiutamakannya keselamatan manusia pada saat berziarah di bumi. Coretan
ini akan mengupas sedikit dari bagaimana kira-kira perspektif orang tentang
kehidupan mereka, baik falsafah hidup, pemahaman mereka tentang Tuhan dan
relasi mereka dengan manusia, alam dan Tuhan itu sendiri maupun kreativitas
yang mereka miliki untuk memahami kehidupan yang sebenarnya itu seperti apa? Untuk
diketahui, tulisan ini hanya untuk mendapat wawasan bagi Pembaca dan sebagai
informasi mula tentang Manggarai dan kemanggaraiaan.
ARTI
KATA MORI KONTEKS MANGGARAI
1.1 Awal Mula Bahasa.
Orang Manggarai mengenal Allah
diprediksi sejak mereka bisa berbicara dan diajarkan berbahasa Manggarai oleh
‘sesuatu’yang disebut Yang Lain itu, tetapi mereka belum mengenalnya secara
pasti. Komunikasi perjumpaan awal itulah, manusia mulai mengungkapkan kata mori tersebut. Soal waktunya tentu sukar
dihitung sejak kapan itu terjadi. Tetapi yang pasti, Roh Ilahi itu telah menyatakannya.
Tentu, bahasa adalah alat komunikasi
yang di gunakan oleh manusia untuk mengekspresikan maksudnya kepada lawan
bicara, orang lain atau benda tertentu melalui sikap dan perbuatan tertentu.
Ada bahasa verbal dan bahasa nonverbal (tindakan, aktus, ekspresi tubuh).
Komunikasi bisa intrapersonal
(berbicara dengan diri sendiri) bisa juga interpersonal
(berbicara dengan orang lain) bisa dengan dialog, diskusi, interview, juga tulisan dan lain
sebagainya. Namun, di sini Penulis tidak mau berbicara secara detail soal
bahasa. Yang saya ingin bahas adalah
awal mula munculnya bahasa di bumi.
Menurut konsep agama, manusia adalah
ciptaan Allah. Allah kemudian dimengerti oleh agama sebagai Roh, Jika begitu,
bahasa diajarkan Allah melalui Roh-Nya. Yang diajarkan pertama kali oleh Roh
tersebut adalah ungkapan dari sebuah bahasa lisan bukan bahasa tulisan. Ajaran
yang diberikan oleh Roh itu berupa komunikasi langsung dengan manusia. Hal itu oleh orang Manggarai disebut tombo raja leso. Tombo raja leso itu
maksudnya diajarkan pada siang hari dengan saling bertemu oleh dan dengan Roh.
Tertulis, ada pelbagai pengalaman
perjumpaan antara para Nabi dan Tuhan sebagaimana termuat dalam pelbagai Kitab
Suci agama-agama di dunia termasuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mulai
dari Kitab Kejadian hingga ke Kitab Wahyu tentang bagaimana pengalaman
perjumpaan dengan Ilahi itu, bahkan soal cikal bakal Bangsa Israel. Tombo raja leso, oleh teolog kerap
diungkapkan sebagai perjumpaan langsung dengan Allah.
Kemudian, konsep Allah menurut agama
tertentu mengatakan, manusia adalah gambaran Allah. Memahami tentang kata
‘gambaran’ tentu sangat kompleks artiannya. Namun, jika dimengerti secara
berbanding lurus dengan pengertian manusia, tentu rupa Allah itu sendiri
seperti wujud manusia. Maka betul bahwa, manusia adalah gambaran Allah. Konsep
manusia sebagai gambaran diri Allah tentu amat pas pada tataran kodratnya
karena Allah tidak mungkin hadir dalam kodrat yang lain pada saat mengajar
tentang bahasa, misalnya melalui binatang Komodo di Labuan Bajo tetapi hadir
seperti wujud manusia. Allah yang menyerupai manusia itu lalu hadir mengajar
manusia tentang bahasa. Pertanyaannya, bagaimana bentuk kehadiran-Nya itu? Nah,
kita ke konsep tentang kata mori
dalam bahasa Manggarai terlebih dahulu sebelum kita memahami pertanyaan di
atas.
1.
2
Arti Kata Mori.
Kata mori
dalam bahasa Manggarai nyaris sama dengan arti lainnya, seperti kata mbaru. Kalau kata mbaru terdiri dari suku kata mbau
dan ru. Mbau dalam konteks kelahiran bayi artinya plasenta di mana sang
bayi dibesarkan di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan. Kata mbau dimengerti sebagai bagian atau sisi
dari sebuah benda yang sukar ditembus oleh pepohonan saat matahari tengah
teriknya. Sedangkan, ru artinya
milik, kepunyaanku sendiri. Hal itu kerap disebut lonto wa mbau haju (berteduh di bawah rindangan) Contoh kalimat: de ru gaku (kepunyaan atau milikku
sendiri). Dengan demikian, mbaru (rumah)
adalah tempat berteduh dari sinar matahari yang merupakan milik atau kepunyaanku
sendiri.
Kita kemudian kembali bertolak ke kata mori. Secara etimologis, kata mori terdiri dari dua suku kata, mo dan ri. Kata mo nyaris sama
dengan kata ngo. Kedua kata ini
sama-sama berarti pergi dan merupakan kata kerja (dalam bahasa Manggarai mo niah hau – Anda mau pergi ke
mana?). Mo artinya pergi, niah
artinya ke mana dan hau artinya Anda.
Jadi itu adalah ke kalimat pertanyaan, kata bertanya. Kata mo dalam bahasa keseharian senantiasa diikuti dengan keterangan
maksud dari sebuah tindakan pergi misalnya. Sedangkan, kata ri adalah sebuah kata seruan panggilan
terhadap matahari. Kata ri biasa
dipakai untuk memanggil matahari. Misalnya, ri
ri ri ri ri....iiii.…! Hal itu kerap dilakukan oleh orang Manggarai, misalnya
ketika memanggil terang matahari (saat tengah menjemur padi, jagung atau
makanan sejenis lainnya) yang sedang diselimuti awan sehingga padi yang sedang
dijemur menjadi mbau (mbau artinya tidak ditembusi sinar matahari).
Ri berarti memanggil terang, sehingga
jelas ri adalah sinar matahari,
terang sehingga jelas ri. Jika demikian,
ri adalah matahari, sinar terang
matahari yang terang, bercahaya, sinar penerangan.
Berdasarkan
dua suku kata tersebut, mori artinya
adalah cahaya atau terang. Bagaimana jika ri
(terang) itu mo (pergi) maka yang
ada adalah kegelapan. Yang jelas segala jenis makhluk hidup tidak bisa hidup
dan alam ini gelap gulita. Mori bisa
diartikan secara terbalik berdasarkan urutan suku katanya, yang berarti terang
kemarilah engkau. Siapakah terang itu? Terang itu adalah Allah (Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek). Jadi, itulah konsep tentang mori dalam kehidupan orang Manggarai. Ri dalam dialek
Kempo bisa juga berarti bertanya. Artinya, eksistensi Tuhan layaknya filsafat
senantiasa ditanyakan oleh bangsa-bangsa tentang identitas-Nya. Mori/morin artinya milik, pemilik, Tuhan
Semesta Alam.
1.
3
Terang Sesungguhnya!
Menurut konsep agama tertentu, Allah itu
adalah terang yang bercahaya dalam kegelapan dan manusia adalah gambaran diri
Allah itu sendiri. Tadi dikatakan bahwa Allah adalah terang dan bahwa Allah itu
menyerupai manusia. Berdasarkan konsep tersebut, lalu siapakah manusia terang
tersebut? Lalu, apa hubungan antara manusia terang dengan terang manusia? Nah,
manusia terang itu adalah terang manusia, dan terang manusia itu adalah Allah.
Pertanyaan lanjutannya adalah yang
mengajarkan manusia itu siapa? Jawabannya jelas bahwa yang mengajar manusia
adalah terang itu sendiri. Terang itu adalah Roh Allah. Apa konsep Plato
tentang manusia? Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga, yaitu jiwa, badan
dan roh. Konsep Plato ini sama dengan konsep orang Manggarai tentang manusia di
mana manusia terdiri atas weki, wakar agu
ase ka’e weki. Siapakah ase ka’e weki
tersebut? Ase ka’e weki itu adalah
terang manusia atau Roh Allah yang memampukan manusia untuk melakukan dan
menangkap semua ajaran yang telah diberikan-Nya kepada manusia termasuk bahasa
lisan – soal bagaimana istilah ase ka’e
weki dapat dipelajari dalam Kejawen Hindu Jawa.
Pertanyaan kemudiannya adalah bagaimana
dengan laksaan bahasa di bumi? Bagaimana model pengajarannya? Jawabannya adalah
Allahlah pemula bahasa-bahasa. Dia menciptakan bahasa-bahasa. Jika demikian,
mengutip pesan salah satu ajaran bahwa bermacam-macam karunia tetapi satu Roh,
bermacam-macam kemampuan di bumi tetapi satu Roh. Roh yang satu dan sama itulah
yang memampukan segala sesuatu. Pertanyaan
berikut, bagaimanakah dengan makhluk lain yang berinsting yang nyaris bersosial
seperti manusia? Hal itu tampak dari sifat burung-burung, induk ayam yang
memanggil anak-anaknya. Anak-anaknya diberi makan. Bagaimana keterlibatan Allah
dalam kehidupan mereka? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anda pasti
telah mendengar apa itu ajian senyawa/aji
gening di mana manusia dapat mengenal bahasa binatang – perhatikan cikal
bakal ceki orang Manggarai dan
bagaimana legenda Raja Malwapati di Jawa, salah seorang Raja yang populer,
Angling Dharma.
Lalu, bagaimana bahasa itu diajarkan?
Bahasa itu diajarkan oleh terang itu kepada manusia melalui perjumpaan langsung
atau raja leso. Ajaran itu dilakukan
oleh-Nya dalam pengalaman perjumpaan langsung. Ajaran tersebut tidak sekali
jadi tetapi dari hari ke hari dan berlangsung lama. Terang itu memberi
nama-nama dan diberitahukan kepada manusia. Terang tersebut dapat juga
memberitahu langsung tanpa kehadiran fisik Roh-Nya tetapi dimasukkannya ke
dalam pikiran (berupa antarkarana – akan
dibaca pada halaman berikut) setelah diberikan-Nya dasar-dasar bahasa kepada
manusia sebab dalam diri manusia sudah ada ase
ka’e weki yang merupakan representasi kehadiran diri Allah. Benarlah
dikatakan hidup adalah penyelenggaraan Ilahi. Dari pengalaman, pengetahuan
manusia itu dikenallah istilah serong
dise empo mbate dise ame (peninggalan nenek moyang yang merupakan kebiasaan
mereka yang kemudian ditangkap dan diwarisi secara turun-menurun). Kebiasaan
tersebut kerap disebut sebagai kebiasaan bahasa lisan. Setelah menguasai bahasa
lisan, diajarkan-Nya bahasa tulisan kepada manusia-manusia. Namun perlu
diketahui, ajaran bahasa lisan dan tulisan dapat dilakukannya melalui alam
mimpi, dalam mimpi atau dikenal raja wie.
Warisan bahasa tersebut sebagaimana telah dikatakan kemudian diteruskan oleh
orang-orang yang telah mengalami perjumpaan langsung dengan yang dijuluki
sebagai Terang Manusia tadi.
1.4
Filosofi Usang Ala Manggarai.
Bagaimana
relasinya dengan sebutan usang orang
Manggarai? Usang di sini bukan usang pakaian tetapi usang dalam arti hujan, rain (water). Jika dieja, kata ini terdiri
dari dua suku kata, yaitu u dan sang.
U bisa abjad, bisa lambang.
Sedangkan, sang adalah kata depan,
kata predikat yang dimuliakan. Lalu,
mengapa orang Manggarai memberi using
sebagai hujan? Nah, mungkin ini jawabannya! Kata u
bisa simbol, lambang; bisa juga menunjukkan sebuah sang, kebesaran, persatuan. U bisa universum, union, umum. Universum adalah bahasa lain dari Roh
Semesta, Budi Semesta, Allah. Dalam teologi Hinduisme, huruf u nyaris mirip dengan simbol yang ada
di dahi Dewa Wisnu, Kresna. Hinduisme juga menyakini, Indra adalah Dewa Hujan.
Yunani kuno memberi Zeus sebagai Dewa Hujan selain status Dewa Zeus sebagai
Surya atau Dewa Matahari.
Kemudian, sebagaimana
diketahui, proses terjadinya hujan melalui proses siklus yang cukup panjang. Lihatlah
simbol Dewa Wisnu dalam Hinduisme yang berbentuk tulisan Y/U dan di tengahnya berwarna
merah tegak lurus. Tanda Dewa Wisnu melambangkan keselamatan dan pengorbanan
bahwa hidup harus berkorban sebagai wujud cinta. Siklus tersebut berawal dari
pekerjaan Dewa Surya yang memanasi Dewa Waruna (air, laut dan samudera). Waruna
membentuk gumpalan awan kecil yang kemudian pergi ke sana kemari atas bantuan Dewa
Bayu (angin). Awan kecil ini kemudian membentuk cumulonimbus. Cumulonimbus inilah yang bakal memproduksi petir atau
Dewa Maruta bekerja di sana. Atas bantuan Dewa Surya dan Dewa Maruta, maka
terbentuklah butir-butir hujan. Hal itu terjadi atas kerjasama dengan Dewa
Indra. Untuk menentukan lokasi penyiraman, Dewa Bayu yang mengatur titik lokasi
turunnya, sementara Dewa Indra membasahi bumi. Beberapa Dewa yang telah
bekerja, sebagaimana diketahui adalah wujud Trimurti. Wujud Trimurti tersebut
adalah Dewa Wisnu, Kresna dengan lambang nyaris berbentuk U.
1.5
Menuju ke Indonesia.
Pancasila dengan lambang Burung Garuda
adalah kendaraan Dewa Wisnu. Kresna adalah wujud dari bangsa ini. Kresna adalah
simbol penjaga bangsa. Dan burung Garuda adalah wahana Dewa Wisnu itu sendiri
sebagaimana tampak dalam gambar.
1.6
Kita Menuju ke Manggarai, Flores.
Apa hubungan toka usang dalam konteks budaya pertanian di Manggarai? Lazimnya,
pada musim tuai, orang Manggarai menggelar toka.
Toka sebenarnya meminta kepada Dewa Bayu agar gumpalan awan di langit
ditiuppindahkan ke tempat lain agar Dewa Surya tidak dihalangi dan aktivitas
penuaian berjalann lancar. Kita kembali ke pertanyaan, mengapa orang Manggarai
menyebut hujan sebagai usang?
Kalau wae atau air, water, aqua
bisa berasal dari kata seruan wa'a e!
Wa'a e artinya terhanyut atau
terapung oleh embo atau banjir besar
karena hujan/usang. Sedangkan, kata e merupakan pengganti nama orang lain
yang mungkin ikut atau tidak mengetahui apa yang telah, tengah terjadi. Hujan
lebat dalam ucapan bahasa Manggarai disebut usang
nereng. Sedangkan, untuk buah-buahan yang tampak lebat disebut recut/rapos. Recut juga bisa diartikan perkelahian yang amat sangat sengit.
Juga, hujan es bagi orang Manggarai disebut usang
bua. Dan, menurut kepercayaan orang Manggarai, hal itu akan membawa hasil
panen yang melimpah. Dalam ilmu alam, hujan es terjadi akibat awan cumolonimbus yang sulit dihancurkan
petir hingg tidak murni menjadi air sesampai ke permukaan bumi. Mengapa disebut
nereng? Disebut demikian karena hujan
yang datang seperti gemuruh yang besar. Layaknya wae, orang Manggarai kerap memakai nama benda karena sebuah
peristiwa. Usang sebenarnya seruan
penghindaran. Lumrah pula, orang Manggarai, jika lari menghindar sambil
berteriak sekaligus membuat pemberitahuan uuu....uuu...uuu,
lalu bunyi air hujannya mirip sang apalagi ditambah dengan angin. Maka, air
hujan mereka beri nama usang.
Biasanya, dalam acara adat, orang tua adat kerap menyebut uuu...uuu...uuu...sampar raja wela...uuu...!
Hal itu tidak heran, nama kampung di
Manggarai, nyaris 90% juga diberikan ke nama tetumbuhan dan pohon-pohon. Jadi,
senang mencari nama-nama yang singkat dan sepadan sesuai kondisi. Hal semirip, misalnya watu. Wa artinya di
bawah, tu diambil dari hitu sehingga wa hitu kemudian menjadi watu. Dulu orang Manggarai bangun rumah
dengan dasar batu, lalu batu-batunya diambil dari kali. Sama dengan buru atau angin. Lazimnya, kalau meniup
api pasti bunyinya buw....! Sedangkan, ru
gubahan de ru/kepunyaanku. Sehingga,
disebut buru saja. Begitu juga api, api dalam bahasa
Manggarai adalah lancing, maka
dikenallah istilah watu lancing yang
biasanya untuk api dibakar di bou (yang
berasal dari enau) terlebih dahulu lalu dengan kayu bakar atau semak-semak
kering. Dari sekian contoh di atas, orang Manggarai dulu memberi nama air hujan
dari berdasarkan sebuah peristiwa namun tidak disadari bahwa usang adalah pengertian dari u dan sang, yang dimengerti sebagai Sang Universum. Hal itu orang
Manggarai menyebut Sang Universum sebagai Awang
agu Tana; Parn Awo Kolepn Sale.Usang menurut orang Manggarai berasal dari
awang/langit sekalipun mereka tahu hujan datangnya dari rewung/awan. Karena itu, usang
hampir sama dengan osang. Osang atau tempat berteduh, seperti
rumah/mbaru. Ketika sudah atauatau tengah sampai tinggal di sebuah
rumah pada saat hujan, bisa saja disebut: ho'o
sang ga. Ho'o osang bisa disebut o lalu sang, maka disebut osang
saja. Osang alias mbaru artinya nyaris sama, meski osang juga adalah kamar tidur atau juga
disebut usung. Berkaitan dengan mbaru, juga terdiri atas dua kata mbau dan ru. Mbau artinya teduhan,
ru artinya kepunyaan sendiri. Yah, mbau ru, tempat berteduh sendiri, osang bate ka’eng.
Berikut,
apakah ada hubungan antara Ü-Tsang di
Tibet dengan usang Manggarai? Ü-Tsang adalah pusat budaya masyarakat Tibet
yang pusat perkembangan Budhism. Berdasarkan sejarah Indonesia jauh lebih dulu
peradaban Hinduisme dan Budhisme masuk lagipula di Jawa amat populer dengan
Kejawen dan Selamatan sekarang ini.
Kendati demikian, apakah nama usang
dalam Bahasa Manggarai gubahan dari Ü-Tsang layaknya nama Mangko Tongkok yang
sebenarnya Mangko Tiongkok? Nah, itu sulit dan itulah yang hendak diendus
kemudian soal kebenarannya tetapi yang pasti layaknya sebutan moringe atau kelor atau perongge adalah sebutan untuk Sang Hyang Widi sekalipun hiang dalam Bahasa Manggarai juga
diartikan sebagai "cinta hormat". Hiang
bagi orang Manggarai berarti menghormati, misalnya dengan kalimat: Mori Keraeng yata hiang lami – Tuhan
Allah yang kami hormati! Semua itu ada relasinya.
1.7 Mori.
Dalam kehidupan orang Manggarai, kata mori terdiri dari dua kata mo dan ri. Mo artinya kalimat
pertanyaan pergi. Misalnya, mo nia ite ra?
(Keraeng pergi ke mana?). Kata mo ini adalah dialek Kempo, yang dalam
dialek Rahong disebut ngo. Sedangkan,
kata ri adalah seruan panggilan.
Seruan panggilan kepada matahari. Biasanya, jika orang tua menjemur padi,
mereka sering memanggil riririri...riiiii.....manakala
sinar mentari ditutupi awan. Ketika Dewa Surya dihalangi oleh Dewa Indra sebagai Dewa Cuaca, maka lahirlah panggilan ri, sehingga mori adalah
terang sebagaimana Shinto Jepang juga memahaminya.
BAB II
2.1 Ritus Takung Wae Cǝmok Pemulihan Relasi dengan Leluhur.
Mori dalam bahasa
Manggarai adalah Pemilik, Roh Semesta.
Lebih umum disebut, Mori agu Ngaran,
Pu'un Caoca. Lebih lagi, Mori
adalah terang, cahaya. Dalam Bahasa
Jepang, kata Mori lebih diartikan
sebagai hutan rimba. Lalu, dalam Hinduisme, hutan rimba dilambangkan dengan
Dewa Siwa yang tinggal di Kailas yang sekalipun penuh dengan es. Dewa
Siwa/Pelebur adalah bagian dari Trimurti. Ketika dihubungkan, akan ketemu makna
dan artinya. Dalam tradisi dan rentang
ziarah Kekristenan sebagaimana ditulis dalam Alkitab, Tuhan Yesus sebagai Yang
Mahakuasa diibaratkan dengan terang, terang abadi. Sebuah ungkapan popular: Aku
adalah jalan, kebenaran dan hidup; Aku adalah alfa dan omega, awal dan
akhir (pu’ung du wangkan, turung du
cemoln).
Itu semua refleksi komponen dari hidup
kendati sebuah ajaran kerap dipaparkan melalui perumpamaan, peristiwa alam dan
sebagainya dengan maksud memahamkan manusia di bumi kendati memang agak banyak
hal yang sukar dipahami karena kekuatan hard
disk dan gigabyte memory card
pada manusia. Dan, apa hubungannya dengan usang?
Menurut orang Manggarai apa pun berasal dari Morin. Semua yang datang dari atas berasal dari Terang.
Hubungannya, kata usang dan mori nyaris bermakna sama ketika coba
dibahas. Kedua kata ini sama-sama berarti Sang Universum, Ilahi sebagaimana Mori juga artinya hutan rimba
sebagaimana arti kata bahasa Jepang dan yang terkenal dengan Shinto mereka.
1.8
Mata
Gerak.
Terang bagi
orang Manggarai menyebutnya sebagai gerak. Gerak itu adalah cahaya. Untuk menyebut orang yang mempunyai indra
keenam bagi orang Manggarai mereka namakan sebagai ata mata gerak atau ata bae
jangka, atau terkadang disebut sebagai
ata wae nggereng. Mata gerak menembus ruang dan waktu.
Jika Tuhan Yesus adalah terang berarti guru dari guru ajian yang adalah pemilik
terang itu sendiri, yah Tuhan Yesus sebagai terang itu sendiri. Lihat saja bagi
orang asing, Tuhan itu disebut Deus, Lord. Bagi orang Manggarai dues lord berarti sebuah aktivitas gerak hidup. Karena itu, Tuhan
Yesus itulah gerak itu sendiri atau
Allah sebagai terang, penggerak hidup bagi manusia.
BAB II
RITUS TAKUNG WAE CƎMOK
Untuk
memahami Tuhan, maka orang harus pahami dulu bagaimana ritus-ritus budaya di
Manggarai diwujudnyatakan.
2.1 Ritus Takung Wae Cǝmok Pemulihan Relasi dengan Leluhur.
Di tempat lain, takung wae cǝmok,
seperti orang di Wela, Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten
Manggarai menyebutnya sebagai takung lekǝ cǝbong (takung artinya menyuapi nasi atau
memberi air oleh seorang kepada - anak-anak
seperti balita). Sementara, di Satar Mese Barat, takung wae cǝmok disebut
nawi wolo cǝbong (nawi artinya mencuci). Wolo
arti lain dari leke (Leke adalah tempurung kelapa).
2.1.1 Leke
Cebong.
Leke cǝbong atau wolo cǝbong itu
yang oleh orang Rahong disebut wae cǝmok arti lainnya disebut mbau
de empo (ari-ari atau plasenta nenek moyang). Pada saat lahir, mbau
seseorang lazimnya dikuburkan di tempat tertentu. Ketika pemilik mbau itu tiada dan dia mempunyai
keturunan beberapa lapis di kemudian hari, di tempat di mana mbau
tersebut dikuburkan, keturunannya selalu mengadakan korban persembahan ketika
akan ada acara-acara syukuran, atau acara apa saja seperti terkait teing
hang wura agu cǝki (kasih makan
roh nenek moyang meminta perlindungan dan berkat).
Secara harafiah, leke cebong adalah tempurung kelapa yang dijadikan sebagai gayung
untuk menimba air atau untuk keperluan mandi karenanya disebut leke cebong. Leke cebong dapat diartikan
juga sebagai seorang pria yang tampak dalam sebutan sebagai kakek, Eyang dari
keturunan tertentu yang sudah lama dipanggil Sang Khalix.
2.1.2
Memindahkan Wae Cemok.
Wae cǝmok atau mbau de
ǝmpo lazimnya setelah dilahirkan dari kandungan Ibu, dikuburkan di
tempat tertentu. Jika ingin dipindahkan ke tempat lain, maka harus diadakan
upacara pemindahan lokasi. Pemindahan tersebut memiliki alasan. Misalnya, salah
satu upacara yang dibuat oleh warga Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng,
Kabupaten Manggarai, NTT, Rabu (18/3/2015) dari keturunan Ǝmpo Rua.
Empo Rua dulu lahir di Laja, lalu mbau-nya dikuburkan di sana. Lama
kelamaan, keturunannya semakin berkembang lalu hijrah ke suatu tempat. Semua
keturunan dipersilahkan semua masuk ke dalam rumah untuk memulainya acara.
Dalam perjalanan, keturunan Ǝmpo Rua
yang ber-cǝki (bertotem) lusa (gude, kacang bali) itu hijrah ke Sampar lalu
ke Lale-Sampar. Keturunannya mengalami berbagai tantangan dan cobaan hidup yang
sangat besar bahkan berujung pada kematian beruntun. Karena penuh dengan
hambatan, kematian maka timbullah upaya untuk melakukan ritus takung wae
cemok. Ritus tersebut biasanya diperoleh dari nampo atau lewat nipi
(mimpi). Bisa juga setelah mengalami banyak sekali kematian, timbullah
pemikiran dari keturunannya bahwa barangkali berbagai persoalan tersebut karena
nenek moyang mereka menginginkan agar mbau dari empo mereka harus dikuburkan dekat tempat tinggal mereka.
Proses pemindahan tersebut melalui
tahap-tahap ritus tertentu. Ritus tersebut dengan menggali kembali bekas
dikuburkannya mbau tersebut dengan diikutinya acara-acara khusus. Setelah
dipindahkan, di tempat yang baru, beberapa ritus-ritus itu mulai diadakan.
Kendati, takung wae cemok tidak harus dipindahkannya bekas kuburan mbau
tetapi direvitalisasi dengan perbaikan-perbaikan berarti. Ritus takung wae cemok tetap dilaksanakan.
Nah, setelah mbau telah dipindahkan (misalnya dari Laja ke Lale, Sampar),
para keluarga, anak rona (keluarga laki-laki), anak wina
(keluarga wanita) termasuk welad pe'ang (keturunan anak, cucu,
ceceplence laki-laki dan perempuan harus dihadirkan ke tempat acara tersebut).
Lazimnya, pada malam hari diadakan ritus teing hang sangged wura
agu cǝki) dari satu Empo (Kakek) tersebut lalu keesokan
harinya ritus puncak.
Khusus untuk ceki lusa dari orang-orang di Sampar juga ada hubungannya dengan
kisah ceki lusa orang Rangges di
Kecamatan Rahong Utara. Keturunan ceki
lusa itu kemudian berkembang pesat hingga ke pelosok-pelosok daerah
Kabupaten Manggarai. Hanya saja, untuk menghubungkan relasi kefamilian mereka
bertolak dari ceki lusa agak sulit
karena ceki lusa dianggap sebagai ceki bersama. Rupanya mereka memiliki
hubungan darah di masa lalu.
2.2 Sekilas Keturunan Ǝmpo Rua di
Lale-Sampar.
Rua
beristerikan Bambung. Anaknya Rua dan Bambung ada dua orang, mereka bernama Robertus Ruma (Ema Ume)
dan Gaspar Garung (Ema Elong). Rua adalah anak dari Endong. Rua juga
memperisterikan Lunung. Lunung melahirkan Ganawewa Gaul dan Regina Mamung.
Ganawewa Gaul mempersuamikan Gabriel Tengko asal Taga-Ruteng. Sedangkan, Regina
Mamung mempersuamikan Yakobus Jehadu. Robertus Ruma memperisterikan Maria.
Robertus Ruma memperanakkan Nikolaus Labut, Theresia Banut, Petrus Garus,
Dominikus Gaut, Stefanus Nagut, Hendrikus Egol, Paulinus Pait, Ester Jenut, dan
Elisabeth Palut. Gaspar Garung memperisterikan Sobina Sidung asal Ranggi.
Gaspar Garung memperanakkan Sebastiana Lahut, Romana Pahul, Herman Kiot,
Veronika Danut, Wihelmina Bambung, dan Kristina Naut.
2.3 Apa Puncak
Ritus Takung Wae Cǝmok?
Ritus Takung Wae Cǝmok (dipersingkat
TWC), puncaknya dilakukan pada hari terakhir setelah acara yang lain digelar
termasuk memindahkan mbau data tu’a. Ritus tersebut
dipandu oleh seorang ata tǝ torok (juru bicara ritus) yang biasanya menggenakan pakaian khusus. Jubir
tersebutlah yang memandu seluruh proses berlangsungnya ritus.
Acara
permulaan di mana tetua atau kerabat keluarga memberikan petuah-petuah.
Keturunan Ǝmpo Rua semua berkumpul lalu kemudian dibuatkannya
ritus. Sebelum dimulainya torok, para tetua mengeluarkan petuah-petuah
penting dengan ucapan adat tertentu disertai dengan tuak dan benda berupa uang.
Misalnya, dengan ungkapan: “porong duat one uma neho lawe lujang, kole one
mbaru dia koe mose - kerja di kebun seperti seperti burung Lawe Lujang,
pulang ke rumah badan tetap sehat - ada juga ungkapan porong cimang neho
rimang neho rimang rana, kimpur neho kiwung, neho kiwung tuak - agar keras seperti
tulang ijuk dan keras seperti pohon enau - bolek kali loke, baca kali tara
- sehat jasmani dan rohani dengan wajah tetap memancar ceria dan cerah - ho’o
ami anak rona ata tukǝng agu lamid - ini kami pihak keluarga wanita yang
menjaga dan melindungi tiap derap langkah kalian setiap hari! Di sana ada
proses penyerahan hewan berupa uang, atau berupa parang, kain adat, payung
(terlampir di gambar).
Baru setelah adanya peneguhan dari pihak
keluarga perempuan (anak rona), maka selanjutnya dimulainya torok
(berupa doa adat yang ditujukan kepada
roh nenek moyang dan Tuhan Yang Maha Kuasa), beberapa hewan persembahan
dipersiapkan dan membawa masuk ke dalam rumah diadakannya ritus. Pada saat torok
ditutup, hewan korban
disembelih. Darah hewan korban kemudian dioles di dahi lalu toto urat
(melihat hati hewan korban persembahan) dan dibuatlah hang helang
(makanan hewan persembahan yang diberikan kepada Empo melalui doa-doa
khusus). Hang helang biasanya ditaruh di tempat tertentu berupa
piring, sedangkan salah satu sayap ayam korban persembahan diambil lalu digantung
di tempat yang telah disiapkan, yaitu di langkar, yang ditaruh di bawah
bubungan tiang tengah sebuah rumah
Adapun hewan persembahan yang digunakan
dalam ritus puncak TWC adalah hewan yang warna buluhnya berupa manuk cǝpang
rompok wulu telu (ayam jantan dengan buluh tiga warna), mbe tagi ngong
mbe ruca (kambing jantan yang seluruh warna buluhnya seperti buluh rusa), ela
rae (babi jantan berwarna juga seperti rusa). Ketiga lambang warna buluh tersebut sebagai
representasi dari warna mbau (ari-ari saat setelah melahirkan yang
disebut ase ka'e wǝki). Wae cǝmok dapat diartikan air
segelas, satu gelas. Cǝ artinya se,
satu, mok artinya gelas. Berbeda
dengan cǝmek yang artinya meminum sedikit atau tanda cekoen/seruekn.
Wae cǝmok artinya sumber air, kakek asal muasal
generasi. Melaui air satu gelas yang merupakan bahasa simbolis sama dengan sperm sebagai awal ada generasi. Ritus wae
cǝmok itu adalah kidung kebaikan, balas jasa atas upaya dan keberadaan dǝ
ǝmpo, wura masa lampau.
2.4
Tiap-Tiap Orang Mempunyai Mbau.
Tiap-tiap orang saat setelah lahir pasti
memiliki ari-ari. Ari-ari tersebut disebut ase ka'e wǝki. Makanya,
ada istilah teing hang ase ka'e wǝki (memberi makan ari-ari),
hambor ase ka'e wǝki (rekonsiliasi dengan ari-ari). Terkadang juga disebut hambor
ase ka'e weki de wina rona (mendamaikan ari-ari suami-isteri).
2. 5 Turǝng, Nama Lain dari Tempat Dikuburkannya Mbau de Ǝmpo.
Ketika Mbau diamankan di tempat yang
terhormat dekat dengan rumah, pada saat hewan persembahan selesai disabdakan
secara adat, hang helang ditaruh di dekat turǝng. Maksudnya agar Ǝmpo menerima
dan memakannya dan dia akan mendamaikan seluruh perziarahan dari
keturunannya. Turǝng tersebut bisa juga disebut tempat
bersemanyannya wura.
2.6
Apa Itu Teing Hang Wura agu Cǝki?
Teing hang wura agu cǝki adalah
pemberian sesajian melalui berupa benda tertentu. Wura bisa diartikan
sebagai nenek moyang, cǝki adalah pantangan, roh penuntun nenek
moyang. Namun, cǝki dapat juga diartikan pantangan suku,
totem, larangan memakan sesuatu. Misalnya, cǝki kula (dilarang
memakan musang). Larangan tertentu melalui proses sejarah tertentu. Cǝki merupakan
penjelmaan dari roh penolong, Tuhan Sang Penuntun. Misalnya, kisah Mahabharata
tentang Pandawa Lima. Pada saat akhir dari kisah mereka, sejarah itu
menyebutkan kelima Pandawa ketika kembali ke pertapaan akhir setelah menikmati
kejayaan Hastinapura dan Indraprasta. Sebuah sumber menulis Pandawa Lima
dituntun oleh seekor anjing. Mereka mengira bahwa itu anjing padahal ayah dari
saudara tertua Yudistira bernama Dewa Dharma. Artinya, Dewa Dharma menjelma
menjadi anjing sebagai si penurut dan penjaga.
Kisah lainnya misalnya, sejarah Maro,
nenek moyang dari orang Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat,
Kabupaten Manggarai di mana saat ke Wae Rebo mereka dituntun oleh musang.
Musang adalah penjelmaan dari Yang Maha Tinggi. Cerita cǝki lainnya,
misalnya keturunan dari Theodorus Tamat di Coal, Desa Coal, Kecamatan Kuwus,
Kabupaten Manggarai Barat yang ber-cǝki cemberuang. Cemberuang
atau burung Garuda. Cemberuang dalam
mitologi tertentu adalah kendaraan dari Dewa Kresna atau Dewa Wisnu dalam
Trimurti Hinduisme.
Memang kisah tentang cǝki,
memiliki sejarahya masing-masing. Hal itu terjadi karena secara perjanjian dan
pertolongan tertentu. Misalnya, kisah cǝki ndaler (sejenis
pohon) di Ndoso, cǝki cik (totem burung pipit) dari keturunan
Wangkung Wenus, cǝki nderu (totem jeruk) dari keluarga Marsel
Sudirman, SH, yang sekarang tinggal di Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten
Manggarai, dan cǝki pake (totem katak), cǝki kaba
(totem kerbau) dari keturunan Alfons Lurus dari Lewur yang tinggal di Goro,
Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Masih banyak
totem-totem lainnya dengan peristiwa sejarahnya masing-masing.
2.7
Sekilas Tentang Burung Garuda.
Garuda adalah burung yang sering dijadikan
lambang oleh berbagai masyarakat dunia. Orang Mesopotamia, Mesir, India,
Indonesia, bangsa asli Amerika, Indian mengenal burung itu, seperti tercermin dalam sistem kepercayaan, legenda maupun
simbol masyarakat mereka. Dalam dunia ilmiah fauna, nama Burung Garuda tidaklah
dikenal, namun demikian Burung Garuda yang
menjadi lambang negara Republik Indonesia diciptakan dengan rupa
representasi Elang Jawa atau Javan Hawk-Eagle Nisaetus Bartelsi dengan warna buluh
emas. Keberadaaan dan sejarahnya bahkan sudah tercipta jauh lebih lama dibanding berdirinya Negara
Indonesia. Burung suci ini juga dapat
ditemukan dalam mitologi Hindu dan Buddha.
Di dalam mitologi Hindu, Garuda
digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah burung yang menjadi
kendaraan Dewa Wisnu dan merupakan raja dari para burung. Pada kisah Baghawad
Gita juga disebut nama Burung Garuda oleh Khrisna di tengah perang Barata Yudha
di Kurusetra, “Of birds, I am the son of Vinata (Garuda)”. Sedangkan, di
dalam mitologi Budha, Burung Garuda digambarkan sebagai predator yang hebat dan
pintar serta memiliki kemampuan
berorganisasi secara sosial. Garuda muncul dalam berbagai kisah yang melambangkan
kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin.
Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan
sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja Agung Para Burung”. Mirip
penggambaran Simurgh Yang Agung, Raja para burung, dalam Kisah Musyawarah
Burung karangan seorang Sufi Agung, Faridu
‘Din Attar. Demikian sebuah sumber menulis sebagaimana dikutip Penulis.
Posisi mulia Garuda dalam tradisi
Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional
Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Menurut lampiran pada Peraturan Pemerintah
No. 66 Tahun 1951, menjelaskan bahwa lukisan Garuda diambil dari benda
peradaban Indonesia yang tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke-6
sampai ke-16. Raja-raja di Indonesia sudah sejak lama memakai lambang Garuda.
Seperti dalam sebuah buku tentang
lambang-lambang kerajaan yang terbit sekitar tahun 1483, termuat lambang Raja Jawa yang memperlihatkan seekor
burung Phoenix di atas api unggun, sedangkan Raja Sumatera berlambang rajawali
digambar dari samping dengan kedua
cakarnya mengarah ke depan.
2.8
Cǝki Idiom Historisitas.
Berbicara tentang cǝki sebagai
idiom historisitas, kita harus bertolak dari empat pertanyaan penting: Apa
itu cǝki? Apa itu idiom? Apa itu historisitas? Dan, mengapa cǝki disebut
sebagai idiom historisitas? Hal itu akan dibahas secara rinci di
bawah ini:
2.8.1
Apa Itu Cǝki?
Menjawab pertanyaan ini, kita harus
memahami terlebih dahulu mengapa cǝki itu ada? Bagaimana
sejarahnya? Cǝki awalnya terjadi karena sebuah peristiwa, yaitu
peristiwa pesan perjanjian. Perjanjian itu terjadi karena sebuah pertolongan,
kesepakatan larangan antara manusia dengan roh (roh tersebut hadir dalam bentuk
manusia dan binatang). Misalnya, perjanjian antara Ndiwar Kewali dan Umpu
Mburing, perjanjian antara Ǝmpo Maro dan roh yang hadir dalam bentuk musang
karena ditolong, dan perjanjian-perjanjian lainnya.
Namun, cǝki atau
larangan, totem kebanyakan hanya dengan binatang atau hewan meski ada
juga cǝki tetumbuhan. Misalnya, cǝki kula
(larangan makan musang), cǝki cemberuang (larangan makan
burung garuda), cǝki cik larangan makan burung pipit), cǝki rutung
(larangan makan babi landak), cǝki acu (larangan makan daging
anjing) dan cǝki -cǝki lainnya. Cǝki tetumbuhan,
misalnya cǝki ndaler, cǝki nderu. Cǝki nyaris
searti dengan wura agu ceki. Cǝki bisa diartikan sebagai
aturan, bisa juga diartikan sebagai roh yang membuat aturan terhadap sebuah
keturunan yang melahirkan cǝki. Diartikan sebagai roh yang
mengajar, sering disandingkan dengan ungkapan toing le cǝki (ilmu
yang diajar oleh roh yang membuat aturan dengan nenek moyang). Sedangkan,
wura agu cǝki adalah nenek moyang yang telah meninggal.
Maka, dikenal apa yang disebut dengan teing hang wura agu cǝki (kasih
makan roh nenek moyang).
2.8.2
Apa Itu Idiom?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku, kelompok.
Idiom dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai langgam suara, corak khas.
Baiklah kita memahami idiom sebagai bahasa dan dialek yang khas menandai suatu
bangsa, suku dan kelompok yang tentu erat kaitannya dengan cǝki dan
historisitas sebuah suku bangsa atau sebuah kelompok.
2.8.3
Apa Itu Historisitas?
Kata
historisitas yang merupakan kata benda yang akar katanya histori atau sejarah.
Histori itu sendiri adalah kata benda yang kalau dikaitkan dengan cǝki menjadi
kata sifat historis karena menyangkut pendasaran sejarah. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, historisitas adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan
sejarah. Sedangkan, kalau diartikan secara etimologi (asal kata), historisitas
terdiri dua kata, yaitu historis (berdasarkan sejarah) dan itas (unsur,
dimensi, kompenen, dan sekelompok). Dengan
demikian, historisitas adalah dimensi-dimensi waktu sejarah yang saling
bertautan. Mengapa historisitas disebut kumpulan dimensi waktu sejarah yang
saling bertautan? Jawabannya adalah karena historisitas merupakan kumpulan dimensi,
yaitu waktu lampau, waktu sekarang dan waktu yang akan datang.
2.8.4
Mengapa Cǝki Disebut Idiom Historisitas?
Sebagaimana penjelasan tentang cǝki di
atas, maka kita mulai memahami bahwa cǝki adalah pesan
perjanjian, aturan yang mulai diterapkan mulai dari zaman lampau, masa sekarang
dan masa yang akan datang. Melanggar cǝki mengakibatkan
seseorang sakit, gila (wedol) yang berujung pada kematian.
Melanggar cǝki hampir
sama dengan perbuatan kǝmbǝlu'ak (tidak mau tahu), kǝmbǝleis (sindir,
sinis). Akibat dari kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis akan
terjadi nangki (mengalami penderitaan, merasakan sakit dalam diri
seseorang karena dikutuk atau melanggar).
Kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis ini menyebabkan
itang (dapat dilihat karena ditunjuk melalui mimpi, penglihatan para
normal dan nampo). Solusinya adalah tolak bala (oke dara ta’a,
keti le manuk mitǝng) sebagai bentuk rekonsiliasi.
2.9
Takung Wae Cǝmok Medium
Rekonsiliasi.
Nangki karena
melanggar cǝki yang tidak pernah direkonsiliasi menyebabkan
disharmoni antara ase kae wǝki/dewa gong sendiri, wura
agu cǝki, roh alam dan Morin agu Ngaran (Roh Tuhan).
Itulah sebabnya ada yang disebut dengan sakit keturunan dan dara ta’a. Wujud
dari sakit keturunan misalnya penyakit gila. Hal itu bersifat historisitas
karena bila nenek moyangnya gila maka generasi berikutnya akan gila. Jika orang
yang melanggar cǝki mempunyai keturunan, maka orang tersebut
(melalui keluarganya mesti lakukan acara keti le manuk miteng) karena
keturunannya mengalami hal yang sama di kemudian hari. Oleh sebab itulah,
akibat melanggar cǝki itu berdampak pada tiga dimensi waktu
tadi.
Lazimnya,
nangki yang dialami seseorang diketahui melalui itang, baik
melalui mimpi maupun nampo (teka latung agu nampo ruha). Karena nangki
tadi, maka dicarilah wae nggerǝng (ata pǝcing, ata mata gerak, ata
mbǝko di'a). Melalui wae nggereng itu itang diketahui bahwa
apakah seseorang karena melanggar cǝki atau karena rudak.
Sehingga dalam istilah orang Manggarai disebut inung wae cǝmok data kalau dikaitkan dengan nangki
yang disebabkan oleh inung wae cǝmok data artinya
jika ada orang lain yang hendak mencelakakan kita dengan membawa sebutir telur
ayam kampung ke kuburan keluarga maka keluarga kita yang telah meninggal akan
menuruti perintah pencelaka tersebut. Maka penting sekali teing hang
wura agu cǝki dari ata tua leluhur yang sudah
meninggal terutama memotong rantai nangki
yang disebabkan oleh sikap
kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis terutama pelanggaran
terhadap cǝki agar wura agu ceki dapat memaafkan dan senantiasa menolong
kita dan ase kae wǝki senantiasa melindungi seseorang
dan senantiasa diberi berkat yang berlimpah dalam keseharian hidup seseorang.
Sebab gila (wedol) sebetulnya disharmoni antara ase
kae wǝki dan jiwa orang bersangkutan. Dengan demikian orang tua
yang baik adalah orang tua yang menceritakan kepada keturunannya tentang totem
keluarga yang harus dihargai turun-temurun. Jadi, itulah makna atau arti
dari cǝki idiom historisitas.
2.10 Kesaksian Cǝki.
Dalam kisah Mahabaratha-Hinduisme, akhir
cerita bagaimana Dewa Dharma, ayah dari Yudistira menjelma menjadi seekor
anjing. Kitab Suci Perjanjian Lama (Old
Testament), menulis cikal bakal mengapa bangsa Yakob yang disebut Israel,
yang sekarang disebut Bangsa Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi
pangkal paha? (Lih. Kej 32:22-32).
Yang lebih unik lagi, sejarah cǝki dari
keturunan Marsel Sudirman, SH, dari Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten
Manggarai, yaitu cǝki nderu (totem jeruk). Totem tersebut bermula dari
buah jeruk menjadi perempuan. Cerita singkatnya, suatu hari ada adik berkakak
persis di suatu tempat melihat pohon jeruk. Jeruk tersebut buahnya hanya dua,
satu sudah matang, masak, yang satu masih muda. Ini adalah cerita Wengkewua dan
Lalo Koe di Todo masa dulu.
Saat melihat mereka berdua sempat
berdiskusi, hasilnya si kakak memetik yang sudah matang, sementara si adik
memetik yang masih muda. Usai dipetik, jeruk yang matang merubah wujudnya
menjadi perempuan tua, sedangkan jeruk yang muda menjadi perempuan muda nan
elok. Tentu saja terjadi proses perkawinan dan sekarang melahirkan keturunan
yang salah satu darah mereka adalah Marsel Sudirman, SH. Hal ini seperti
diceritakan oleh Bene Baduk: Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html.
Bagaimana Hubungan Antara mbau
dan sedulur papat lima pancer dalam Ilmu Kejawen Jawa? Mengutip
Wikipedia Bahasa Inonesia, ensiklopedia bebas di http://google.com, ilmu
Kejawen memahami manusia pribadi memiliki saudara halus yang disebut sedulur
papat (dalam bahasa Jawa, sedulur adalah saudara, papat
adalah empat) atau memiliki empat saudara yang lain. Kerap disebut sedulur
papat lima pancer.
Sumber itu menulis, dalam budaya Jawa
terutama tumpeng, sega kuning atau
nasi kuning yang dibentuk menjadi tumpeng,
salah satu bagian sajen sedulur papat.
Sajen sedulur papat adalah salah satu sesaji atau sajen yang berupa aneka macam jenis nasi atau sega untuk menghormati
empat saudara gaib yang berada di empat penjuru mata angin atau biasa disebut
dengan sedulur papat lima pancer.
Secara turun temurun, orang Jawa lekat
dengan kepercayaan bahwa setiap orang memiliki empat saudara gaib yang di
Utara, Selatan, Timur dan Barat sesuai arah mata angin. Saudara yang di sisi
Timur disebut Tirtanata, di sebelah
Utara disebut Warudijaya, di sebelah
Selatan disebut Purbangkara, di
sebelah Barat disebut Sinotobrata.
Sedangkan, Pancer adalah diri sendiri atau hati nurani. Sedulur papat
ini memiliki kemampuan dan mengendalikan hati nurani masing-masing orang.
Dengan demikian, secara turun-temurun diyakini apabila seseorang selalu ingin
dijaga, diingatkan atau dikendalikan dari keinginan dan pengaruh jahat, maka
orang tersebut wajib menyapa keempat sedulur
papat yang ada di masing-masing arah penjuru angin itu.
2.11
Macam-Macam Sajen Sedulur Papat.
Sega putih adalah ubo rampe yang
berupa nasi putih. Nasi putih tersebut dibentuk tunpeng dan disajikan tanpa lauk pauk. Ubo rampe sega putih
dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Timur atau orang Jawa menamainya Tirtanata. Sega putih ini untuk
menggambarkan Kakang Kawah.
Sega cemeng atau nasi hitam
adalah ubo rampe yang berupa nasi hitam. Nasi hitam terbuat dari nasi
putih yang dicampur dengan jelaga hingga berwarna hitam dan terbentuk tumpeng. Ubo rampe nasi hitam
dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah utara atau biasa disebut Warudijaya. Sega cemeng ini untuk
menggambarkan Tali Pusar.
Sega abang atau nasi merah
adalah ubo rampe yang berupa nasi merah. Nasi merah terbuat dari nasi
putih yang dicampur dengan gula Jawa hingga berwarna merah dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi merah ini
dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Selatan atau biasa disebut Purbangkara. Sega abang ini untuk
menggambarkan Darah.
Sega kuning atau nasi kuning
adalah ubo rampe yang berupa nasi kuning. Nasi kuning terbuat dari nasi
putih yang bercampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi kuning
ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Barat atau biasa disebut Sinotobrata.
Sega kuning ini untuk menggambarkan Adi Ari-ari.
Sumber lain menulis, manusia terdiri
dari sedulur papat lima pancer kakang kawah ari-ari. Menurut ilmu
Kejawen, tiap-tiap manusia terlahir sebagai lima bersaudara/saudara kelima (lima
pancer). Oleh karenanya, masing-masing dari kita memiliki empat saudara (sedulur
papat). Dalam wujud fisik, Kakang Kawah adalah air ketuban yang
pecah sebelum kita lahir, sedangkan pancer (diri manusia) adalah si
jabang bayi (orok, bayi yang belum berumur) yang lahir kemudian. Sementara, Adi
Ari-ari merupakan batur atau ari-ari yang dikeluarkan paling akhir
setelah kita dilahirkan. Sedangkan, saudara yang lain adalah Darah.
2.12
Apa Hubungan TWC dengan Upacara Slametan?
TWC adalah
bentuk penghormatan terhadap Mbau. Mbau disebut pula adi ari-ari
yang datang terakhir. Adi ari-ari atau mbau tersebut dikenal
sebagai ase ka'e wǝki. Nah, takung wae cǝmok adalah
upacara menghormati mbau. Maka, dikenal takung hang ase
ka'e wǝki.
Dalam tradisi
Jawa adalah Slametan sebagai upacara kelahiran yang dilakukan dalam 35 hari
sekali. Dalam konteks sekarang, Slametan (Slamet artinya selamat,
bahagia, sentosa) atau takung wae cemok, teing hang ase ka'e wǝki adalah
upacara hari ulang tahun atau pesta Natal dalam Kekristenan. Budaya Manggarai
disebut teing hang ase ka'e wǝki, hambor ase ka'e wǝki di
mana ase ka'e wǝki harus tetap menjaga perziarahan hidup
seseorang. Sedangkan, untuk menghormati
leluhur disebut teing hang wura agu cǝki. Jika sudah
berkeluarga, ada yang dikenal dengan teing hang ase
ka'e wǝki wina rona atau hambor ase ka'e de wina
rona.
2.13
Hubungan Antara Cear Cumpǝ dan Sedulur Papat Lima Pancer.
2.13.1
Apa Itu Cear Cumpǝ?
Cear cumpǝ merupakan
salah satu istilah untuk menyebut ritus inisiasi dalam tradisi Manggarai
pada umumnya. Di samping istilah ini, ada istilah lain yang sinonim dari
istilah ini tetapi memiliki makna yang sama, seperti wa’u wa tana (di
Congkar-Manggarai Timur). Istilah cear cumpǝ sendiri
merupakan penggabungan dari dua kata dasar, yakni cear (membongkar
api di tungku), cumpǝ (artinya tungku api) dengan mana selama
lima hari ibu dan bayi tidak keluar dari rumah.
2.13.2
Ritus Cear Cumpe.
Istilah cear cumpǝ itu sendiri
dapat diartikan sebagai upacara pada saat mana masa penantian seorang bayi
dinyatakan selesai dan serentak dengan itu si bayi dilantik secara resmi
menjadi anggota masyarakat setempat. Seusai upacara ini, si bayi bersama
ibunya boleh keluar dari rumah. Pada dasarnya, ritus cear cumpǝ sebagai:
Pertama, masa penantian seorang bayi
yang baru dilahirkan untuk masuk dan diakui secara sah ke dalam klen atau
masyarakat setempat telah berakhir. Kedua,
bayi diperkenalkan secara resmi kepada khalayak ramai. Ketiga, bayi dilantik secara resmi sebagai anggota suku atau
masyarakat (bukan orang asing). Keempat,
kesempatan untuk menyampaikan syukur dan terima kasih dan mohon berkat dari
yang Tertinggi (cǝki) lewat doa dan persembahan. Ungkapan syukur
disampaikan secara bersama-bersama dengan anggota masyarakat yang lain yang
turut hadir mengikuti acara itu. Kemudian, setelah dilahirkan bayi bersama
ibunya tetap tinggal di dalam rumah (di sekitar perapian yang sudah disiapkan
atau (cumpǝ). Masa ini berlangsung selama 5 hari, tidak boleh kurang
atau lebih. Selama masa ini, dalam masa ini semua kebutuhan sang ibu dan
bayinya dilayani di dalam rumah.
Berikutnya, pada pelaksanaan ritus cear
cumpǝ, tepat pada hari yang telah ditentukan keluarga sudah mempersiapkan
segala hal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ritus itu sendiri. Setelah semua
perlengkapan upacara disiapkan, pemimpin boleh memulainya. Acara cear cumpǝ
sebaiknya dilakukan pada pukul 07.00-08.00 pagi. Hal ini berkaitan dengan
pandangan masyarakat tentang siklus kehidupan manusia di mana pagi hari selalu
dikaitkan dengan kehidupan yang secara konkret dihubungkan dengan masa
kanak-kanak (bǝngkar wela, artinya mekarnya bunga-bunga). Upacara ini
dipimpin oleh seorang yang dituakan dan berpengalaman.
Dalam upacara ini dipersiapkan pula
bahan persembahan berupa ayam jantan. Bagi keluarga yang ekonominya
memungkinkan ia bisa menambahkan binatang yang lebih besar lagi, seperti: babi
atau anjing. Tetapi babi dan anjing hanya untuk perjamuan bersama, sedangkan
untuk acaranya menggunakan ayam jantan. Tujuan upacara ini adalah untuk
bersyukur pada Wujud Tertinggi (cǝki) atau arwah nenek moyang atas
anugerah manusia baru yang terlahir dalam keluarga tersebut dan sekaligus
memohon rahmat dan berkat serta perlindungan bagi bayi dan seluruh anggota
keluarga. Selama ayam masih hidup dalam genggaman, pemimpin ritus, doa tetap
dilantunkan (torok manuk). Selanjutnya, ayam dibunuh dan dibakar,
diperiksa uratnya untuk melihat petunjuk atau tanda yang akan terjadi di
kemudian hari atas bayi dan keluarganya. Di Ruis, tempat upacara dilaksanakan
harus di halaman atau alun-alun depan rumah, di depan rumah di mana bayi
tinggal. Halaman depan dianggap sebagai pintu menuju dunia yang luas dari
lingkaran rumah. Doa diarahkan kepada Mori Mese (Tuhan Allah) dengan
intensi syukur karena keselamatan yang dialami ibu dan bayi selama proses
kelahiran berlangsung. Selain itu, doa juga diarahkan kepada arwah nenek moyang
dari anak yang telah dilahirkan untuk meminta keselamatan dan perlindungan bagi
anak itu dalam hidup selanjutnya.
Menurut tradisi Satar Mese, ayam yang
disembelih itu harus diambil sedikit darahnya untuk dioles pada dahi anak yang
diupacarakan. Sedangkan, pada kebiasaan Penulis, ayah bayi tersebut juga dioles
di jari telunjuk kaki. Kalau menurut pemimpin ritus, dia itu tidak dikabulkan
maka dia meminta keluarga untuk membuat ritus pemulihan. Karena barangkali ada
kekeliruan dalam hidup harian seluruh anggota keluarga sebelum anak dilahirkan
sampai ia terlahir ke dunia. Ritus inisiasi ini lazim lainnya dipimpin oleh
seorang ibu atau bapak yang berpengalaman dan mampu mendaraskan syair-syair
doa. Dalam tradisi masyarakat Manggarai, acara ini dipimpin oleh seorang yang
berpengalaman yang dibantu oleh ibu-ibu yang lain untuk memangku bayi dan
peralatan lainnya.
Di samping itu, ada juga salah satu dari
yang hadir seperti tetua adat atau seorang yang berpengalaman berperan sebagai
pendaras atau torok manuk. Lazimnya, kriteria yang harus dilihat dalam
diri seorang pemimpin adalah mahir dalam mengucapkan doa dan mampu melihat
tanda-tanda yang akan terjadi berdasarkan kenyataan yang terungkap dari kondisi
hati atau empedu dan usus halus dari binatang yang dipersembahkan. Hal ini
sesuai dengan tujuan pelaksanaan upacara yakni melihat dan mengatasi krisis
yang akan dihadapi seorang bayi ketika ia masuk dalam anggota keluarga atau
masyarakat. Dalam hal cear cumpǝ
atau permandian secara adat di mana bayi diberi nama, biasanya saat pemberian
nama waktu torok harus diberi nama
lima nama.
Masing-masing nama diberikan oleh orang
yang ikut saat ritus tersebut termasuk oleh ayahnya. Saat pemberian nama,
masing-masing ditunjuk lima orang untuk menyebut nama lain dari si bayi. Jadi,
seorang bayi saat cear cumpǝ harus menyebut lima nama. Ayam yang dipakai
adalah ayam jantan putih, atau manuk cǝpang (ayam jago berwarna merah,
sedikit hitam dan sedikit putih). Nah, apa hubungan pemberian lima nama dalam cear
cumpǝ dengan sedulur papat lima pancer? Lima nama dalam cear
cumpǝ bisa menggunakan nama dari wura agu cǝki. Dengan
demikian, pemberian lima nama pada saat cear cumpǝ nyaris sepaham
dengan pemberian nama terhadap sedulur
papat dalam ilmu Kejawen.
Pemberian kelima nama tersebut yang
disebut ngasang tu’ung (nama sesungguhnya, nama ayam). Orang Manggarai
menyebut nama orang, terdiri dari nama serani
(nama Santo) dan ngasang tu’ung. Misalnya, nama Melkior Pantur (Melkior
adalah nama serani atau Santo atau
orang suci, sedangkan Pantur nama atau ngasang tu’ung, ngasang manuk).
Arnoldus Sanpepi Juang Pantur, nama Santunya Arnoldus, nama ayamnya Sanpepi
Juang Pantur, atau Pantur).
2.13.3
Hubungan Antara Slametan dan Penti Wǝki Peso Beo.
Slamet atau slametan adalah
upacara penghormatan terhadap sedulur
papat dengan membuat tumpeng.
Sedangkan, pǝnti wǝki peso beo adalah upacara syukuran panen raya, bisa
per tahun atau tergantung kesepakatan tua-tua adat di sebuah kampung adat. Pǝnti
wǝki peso beo artinya bersyukur atas kebaikan Tuhan atas satu musim panen
dan membersihkan diri dari warga kampung adat selama sebelum upacara pǝnti
dilaksanakan. Upacara pǝnti berbeda untuk setiap kampung adat dan
lazimnya melibatkan suku-suku dalam kampung tersebut.
Hubungannya dengan slametan
karena setelah acara pǝnti bersama diadakan acara takung hang wura
agu cǝki masing-masing rumah dengan mempersembahkan hewan korban berupa
ayam jantan. Upacara bersama sebelum dilakukan di rumah masing-masing dilaksanakan
upacara barong boa (buat acara di kuburan), barong wae (buat
acara di mata air), barong compang (altar adat). Upacara barong
atau memberi makan roh penjaga mata air, roh leluhur dan Wujud Tertinggi di compang
sesuai dengan filosofi orang Manggarai mengenai gǝndang onen lingkon
pe'ang di mana ada rumah Gǝndang, compang, natas
(alun-alun), mata air (mata wae) dan kebun (lingko). Yang dikenal
mbaru bate ka'eng (rumah tempat tinggal berupa gǝndang), natas
bate labar (alun-alun tempat bermain), compang bate dari (altar
untuk berjemur sekaligus mempersembahkan korban), uma bate duat (kebun
bekerja), dan wae bate teku (mata air untuk ditimba). Kelima unsur
tersebut, tiap-tiap Gǝndang memilikinya.
BAB
III
DEUS
LORD
Anda pasti sudah berpikir bahwa kata ini
sudah jelas merupakan ungkapan Latin atau Inggris karena deus artinya
Allah halnya deum, sedangkan lord dalam bahasa Inggris artinya
Tuhan, Tuan. Dengan demikian, deus lord artinya Tuhan Allah. Ungkapan
ikutan dari deus lord adalah deus lord wini, deum lord'm. Bahkan,
ungkapan perpanjangnya deus deum lord wake wini. Ada juga tambahan
ungkapan lain deus deum lord dǝ pangan, deus lord dǝ wake winin!
Ungkapan sepadan deum lord dǝ waken, deus ejorn dǝ wini, deus wini!
3.
1 Deus.
Deus itu ungkapan Latin, artinya Allah.
Namun, deus sebenarnya di sini adalah bahasa Manggarai yang merupakan
gabungan dari kata deu + s. Deu artinya jauh, s-nya artinya
mereka (telah, telah menjauh). Maka, deus artinya mereka jauh, (telah)
jauh, mereka telah menjauh! Deus bisa juga berarti nyaris mendekat.
3.2
Lord.
Lord dalam bahasa Inggris dimengerti
sebagai Tuhan, Tuan. Ada sebutan lord land atau tuan tanah. Namun, lord
ini ungkapan bahasa Manggarai artinya menjalar, bertumbuh. Lah, deus lord
berarti pertumbuhan berada pada kuasa Ilahi. Manusia boleh berusaha, namun Deus
Lord yang menentukan pertumbuhannya.
3.3
Wini.
Wini dalam bahasa tertentu artinya
berparas elok. Namun, wini yang dimaksudkan adalah ungkapan bahasa
Manggarai artinya benih (seed). Misalnya, wini daeng. Daeng
di sini bukan sebutan daeng yang menunjukkan kakak lelaki dalam bahasa
daerah Sulawesi Selatan atau yang kemudian dimengerti sebagai kakak lelaki yang
berparas elok tetapi daeng artinya umbi kayu, sedangkan wini-nya
adalah biji buah dari daeng itu. Kita
melihat ungkapan ini: dues lord wini dǝ daeng, artinya benih dari
ubi kayu sudah berkembang menjalar. Deus lord wini dǝ daeng dapat
diterjemahkan Tuhan Allah itu kakak lelaki yang berparas elok. Ungkapan deus
lord wini dǝ daeng lebih dipahami sebagai sadulur papat lima pancer
dalam Kejawen yang artinya empat saudara
laki-laki sementara dalam kebudayaan orang Manggarai disebut ase kae wǝki.
Karena itulah, deus lord wini artinya paras Tuhan Allah itu elok atau
Tuhan Allah itu berparas elok. Ada ungkapan dalam sebuah Bible, mengatakan:
Manusia itu adalah gambar dan citra Allah itu sendiri. Olehnya, manusia itu
adalah wini de Lord artinya benih IIahi.
Ada tertulis di dalam Bible tentang
Perumpamaan Seorang Penabur. Demikianlah, itu adalah taburan firman. Penaburan
benih serupa dengan penaburan firman. Allah Sang Penabur sekaligus Sang
Penumbuh. Deus Lord Wini adalah gambaran Yesus Ilahi yang berparas elok
nan rupawan. Kemudian, ada ungkapan orang Manggarai wua lord wini de nuca
artinya bertumbuhnya benih dari bumi atau tanah; dapat juga dipahami,
manusia disebut sebagai wua tuka de nuca yang artinya buah
dari bumi, dari pertiwi. Segala yang hidup di bumi disebut saung haju wela
de nuca di mana segala sesuatu itu seperti dedaunan pohon dan kesemuanya
adalah bunga dari bumi sesuai dengan ngoeng de lord or will of God. [Untuk diketahui wua artinya buah, wela
artinya bunga dan tuka artinya perut, pertiwi sedangkan nuca
artinya bumi atau tanah]. Ada lirik lagu
orang Manggarai, begini:
E....daeng y'eng go lako na,e...o...a...a yole
da...eng...daeng e.....
E.....wǝrus koe telun
ta.....e....o....a, a...yole da....eng.....daeng e....
E....tua koe suan ta....e....o....a, a
yole da...eng, daeng e.....
Lirik lagu ini multi makna, yang mana di
satu sisi daeng atau kakak lelaki itu sudah menjalar, wini-nya
sudah berkembang. Diharapkan, dia menghadirkan dua atau tiga putera/i. Dapat
juga dimengerti sebagai sumber kehidupan di mana kehidupan daeng atau
umbi itu menghasilkan dua atau tiga umbi sehingga bermanfaat bagi kehidupan
yang lain. Dalam pengertian Kejawen dan Ase Kae Wǝki, saudara
tua laki-laki/perempuan membantu seseorang menghadirkan keturunan.
3.4
Ejorn.
Ungkapan ini terdiri dari dua kata e
dan jor. E artinya ya, sedangkan jor artinya tertumpah
keluar, jatuh keluar misalnya padi di dalam karung. Sedangkan, n artinya
kepunyaan sehingga jor + n berarti tumpahannya, terjatuhnya. Bila e
jor n berarti seruan mulut bocor, bila e jor berarti itu
bocor dan bila ejor artinya begadang, pesiar dan bila ejorn berarti dia berjalan keliling,
begadang, sehingga,
bila
ejor wini artinya benih yang mencari mineral di dalam tanah. Bila
ejor waken wini artinya akar serabut yang mencari bahan makanan
di dalam tanah.
3.5
Wake.
Coba lihat kata wake, woke, waken
dalam bentuk verb bahasa Inggris. Wake itu kata kerja bahasa
Inggris. Wake bentuk pertama artinya air baling-baling, jaluran ombak,
membangunkan. Sedangkan, waken adalah bentuk ketiga sama seperti go
went gone. Namun, waken artinya akarnya dalam bahasa Manggarai yang
merupakan gabungan dari kata wake + n. Wake atau akar tetumbuhan
itulah penbangunan, pendiri utama, pencari makanan. Lihat saja akar tunggang
dan akar serabut menerobos seperti jaluran ombak mengumpulkan sumber nutrisi
bagi tubuh pepohanan. Ada ungkapan orang Manggarai: wakak bǝtong asa, manga waken
nipu tae.
Dengan demikian, ekspresi deus lord
wini bukan hanya berarti paras Tuhan Allah yang elok tetapi juga benih
tetumbuhan yang sudah bertumbuh menjalar jauh atau biji benih itu sudah mulai
berkecambah. Misalnya, ungkapan deus caid yang artinya sebentar
lagi mereka datang karena deus bisa berarti sebentar lagi, sudah
mendekat. Dan, bila deum lord'm artinya jalarannya sudah terlalu jauh
sama seperti ungkapan ini: Wake cǝlern nggari wa, saung bembang nggari
eta! Itu berarti pepohonan itu sudah sangat kuat dan mumpuni. Sulit sekali
untuk menjadi wakak ciri watang - tumbang menjadi pohon tua yang
tumbang.
Kemudian,
bila diungkapkan deus deum lord dǝ wake winin artinya
jalaran akar biji benih itu sudah semakin jauh mengakar. Bahkan, ada juga
ungkapan lain deus deum lord dǝ pangan yang artinya ranting-ranting
kian bertambah dan pucuk dedaunan di dahan-dahan menghijau keluar.
Ungkapan sepadannya deum lord
dǝ waken, deus ejorn dǝ wini yang kesemuanya berarti amat
jauh akar itu menjalar. Karena itu, ada ungkapan: Wake cǝlǝr nggari wa.
Panga + n artinya rantingnya. Ada tambahan, deum lord dǝ saungn. Saung+n
artinya dedaunan itu, daunnya. Makanya, ada sebutan: Saung bembang
nggari eta. Ada ungkapan lain pula: Deus lord wecak dǝ wini.
Ungkapan ini, wini bermula dari wela atau bunga. Wini wela
artinya generasi kelanjutan dari cucu. Ada ungkapan: wecak wela lebo saung
pe'ang artinya keturunan yang terus lord dan berkeriapan di masa
depan. Lalu, ada sebutan deus
lord lewen. Ini merupakan ungkapan bahasa gabungan dari Latin (Deus,
Deum), English (Lord), Gayo (Lewe, Lewen), dan Bahasa
Manggarai (Lewe, Lewen). Bahasa Gayo, lewe itu artinya lawan,
tegur, sapa. Sedangkan, bahasa Manggarai, lewe artinya panjang,
panjangnya.
Bila, deus lord lewen versi
Latin, English dan Gayo maka berarti Tuhan Allah itu berupa sapaan, teguran.
Bisa juga perlawanan dari makhluk atau inti kehidupan. Sedangkan, versi Latin,
English, Manggarai maka kalimat itu berarti Tuhan Allah itu panjang, nun jauh,
tak berkesudahan, atau Deus Transenden. Jika, kalimat deus dini lord,
maka Allah itu dekat atau Deus Imanen. Dini sama dengan deu
caid artinya sudah dekat.
Manakala dimengerti dalam deus lord
lewe yang artinya sebentar lagi jalarnya kian menjalar dilihat dari sudut
pandang Latin, English dan Gayo maka Tuhan Allah itu adalah tegur sapa berarti
mengarah pada moral attitude atau sikap. Jika seseorang suka
menyapa atau menegur orang lain, maka itu disebut Deum. Jika, sebaliknya
disebut lawan berarti keangkaramurkaan. Allah bisa menegur dengan melawan orang
yang tidak suka menegur sapa orang lain. Deus berarti juga Deum
yang pemaaf, yah sesuatu yang jauh tetapi memaafkan.
Ada ungkapan Tuhan Yesus dalam Bible:
Kamu yang menggarap, kamu yang menanam, kamu yang menyiram, kamu yang menyiangi
bahkan kamu pula yang menuai tetapi kamu tidak tahu
bagaimana proses bertumbuhnya! Ada proses pertumbuhan di sini, kemajuan
atau rintangan berupa hama dan gulma. Gulma, hama, dan manusia tidak tahu
proses bertumbuhnya itu. Ada ungkapan: Deus lord waken, deus lewen lord
waken. Nah, proses bertumbuh itulah campur tangan Tuhannya. Deus lord
waken atau Tuhan Allah
membangunkannya.
Agar diketahui, tetumbuhan itu hidup
karena Deum itu sumber energi kehidupannya. Itu sama dengan anima vegetatif di mana setiap jiwa
tutumbuhan berkomunikasi dengan Allah. Makanya, Aristoles bilang tiap
tetumbuhan ada jiwanya dan orang Manggarai bilang neteng caoca manga Morin
- tiap apapun ada Tuhannya karena itu ritus aji mumpungnya adalah ngelong.
Ngelong adalah aktivitas
konkret dari anima vegetatif atau lord
deu lewen, lewe deum lord, artinya karena kuasa Ilahilah kalian bertumbuh
dan berkembang biak. Nah, bila melakukan kesalahan dengan hewan dan tetumbuhan
lakukanlah rekonsiliasi atau ngelong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar