ETIKA CURU REIS DAN KAPU
WUJUD RELASI TEKS MANGGARAI
Oleh: Melky Pantur***,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Perumusan Masalah
1.2
Tujan Penulisan
1.3
Manfaat Penulisan
1.4
Metode Penulisan
1.5
Sistematika Penulisan
BAB II CURU REIS
DAN KAPU
2.1
Curu
2.1.1
Apa Itu Curu?
2.1.1.1
Akar Kata
2.1.1.2
Harafiah
2.1.2
Konteks Lain
2.1.2.1
Depan
2.1.2.2
Tengah
2.1.2.3
Belakang
2.1.2.4
Depan dan Belakang.
2.2
Reis?
2.2.1
Apa Itu Reis?
2.2.1.1
Akar Kata
2.2.1.2
Sebuah Kesimpulan
2.3
Curu Reis
2.4
Kapu.
BAB III TEKS DAN
KONTEKS
3.1
Apa Itu Teks dan Konteks?
3.2
Teks
3.2.1
Locus
3.2.1.1
Locus Objek Tujuan
3.2.1.1.1
Struktur Rumah Adat
3.2.1.1.2
Bendar dan Ndei
3.2.1.1.3
Organisasi Pemerintahan dan Non Pemerintahan
3.2.1.1.4
Locus Tertentu
3.2.1.1.4.1
Mata Air
3.2.1.1.4.2
Tanah Ulayat
3.2.1.1.4.2.1
Alasan Konflik
3.2.1.1.4.2.2
Alasan Pembukaan Kebun Baru
3.2.1.1.4.3
Kantor atau Bangunan Tertentu
3.2.1.1.4.3.1
Kantor Pemerintah dan Swasta
3.2.1.1.4.3.2 Bangunan Tertentu
3.2.1.1.4.3.2.1 Cahir Gendang
3.2.1.1.4.3.2.2 Tambor
3.2.1.1.4.3.2.3 Niang
3.2.1.1.4.3.2.4 Lumpung
3.2.1.1.4.3.2.5 Bendar
3.2.1.1.4.4
Acara dan Ritual Tertentu
3.2.1.1.4.4.1
Jalan
3.2.1.1.4.4.2
Jembatan
3.2.1.1.4.4.3
Lokasi Wisata dan Agama
3.2.1.1.4.4.4
Curu Wina
3.2.1.1.4.4.5
Ritual Lainnya.
3.2.1.1.4.4.5.1
Penti
3.2.1.1.4.4.5.2
Congko Lokap
3.2.1.1.4.4.5.3
Kaba Tambung Watu
3.2.1.1.4.4.5.4
Paki Jarang Bolong
3.2.1.1.4.4.5.5
Paki Jarang Leti
3.2.1.1.4.4.5.6
Kaba Rae
3.2.1.1.4.4.5.7
Wagal
3.2.1.2
Locus Pergelaran
3.2.1.2.1
Pa’ang
3.2.1.2.2
Locus Tertentu
3.2.2
Tempus
3.2.3
Benda
3.2.3.1
Regu Ronda
3.2.3.1.1
Busana
3.2.3.1.2
Perlengkapan Lain
3.3
Konteks dan Tata Cara Acara
3.3.1
Konteks Tata Cara
3.3.1.1
Luar Rumah
3.3.1.2
Dalam Rumah
3.3.2
Tata Acara
3.3.2.1
Kepok Curu
3.3.2.2
Ronda
3.3.2.3
Kapu dan Reis
3.3.2.4
Lu’u Mata Do
3.3.2.5
Acara Inti
3.3.2.6
Po’e
3.3.2.7
Wua Lime
3.3.2.8
Ri’o Rengka
3.3.2.9
Podo du Pa’ang.
BAB IV CURU REIS
DAN KAPU MEDIUM RELASI
4.1
Relasi Konteks Manggarai
4.1.1 Relasi
Internal
4.1.1.1
Relasi Intrapersonal dan Interpersonal
4.1.1.2
Relasi Internal Dalam Keluarga
4.1.1.3
Relasi Internal Dalam Suku
4.1.1.4
Relasi Saudara-Saudari
4.1.2
Relasi Eksternal
4.1.2.1 Relasi dengan Warga
Kampung
4.1.2.2
Relasi dengan Wujud Tertinggi
4.1.2.3
Relasi dengan Alam
4.2
Sebuah Sintesa
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
5.2
Saran
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya. Hal ini tampak dalam bagaimana
manusia menciptakan relasi dengan sesamanya. Di Manggarai, salah satu bentuk
nyata relasi itu adalah budaya lonto
leok. Melalui budaya ini, orang Manggarai berkumpul tidak hanya untuk
memecahkan masalah antar warga, tetapi juga dalam hal urusan lainnya, seperti
urusan persiapan perkawinan, ritus congko
lokap (syukuran berdirinya rumah Gendang
baru), penti (acara tahun baru), paki kaba rae (mempersembahkan kerbau
syukuran keturunan), paki jarang bolong (upacara
meminta jauh dari penderitaan dan kematian beruntun dari warga kampung), saat persiapan bermain caci ketika diundang kampung lain.
Bahkan juga pada saat menjelang dimulainya perang tanding selalu disepakati
dalam dan melalui lonto leok. Jadi, lonto leok merupakan media komunikasi
yang sangat penting dalam relasi orang Manggarai.
Di
Manggarai, terdapat begitu banyak persoalan yang membuat relasi menjadi retak
baik secara vertikal maupun secara horisontal. Secara vertikal, masalah yang
muncul adalah persolan batas tanah ulayat dengan batas hutan antara warga dan
pemerintah setempat. Penebangan kayu di kawasan hutan oleh masyarakat setempat.
Persoalan lainnya juga adalah masalah penyerahan tanah ulayat (wilayah, daerah,
kawasan milik masyarakat adat) oleh masyarakat kepada pemerintah yang kemudian
menjadi persoalan.
Contoh
konkretnya adalah masalah antara batas hutan RTK 111 Meler-Kuwus, masalah
transmigrasi lokal di Goloworok, kasus transmigrasi lokal di Nanga Lanang. “Masalah pembabatan hutan di Kabupaten
Manggarai Timur atau yang disebut kasus Colol yang dikenal dengan peristiwa
Rabu Berdarah pada 10 Maret 2004 di mana tersandung dengan rencana program
Bupati Manggarai, Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si, yang membabat sekian ribu
hektar perkebunan kopi rakyat Tangkul, Welu, Colol dan Biting (Kanisius
Teobaldus Deki, 2011)”. Kemudian kasus penyerahan tanah adat kepada pemerintah
yang hampir terjadi di berbagai tempat yang kemudian digugat oleh warga.
Secara
horisontal adalah masalah antara batas kampung yang satu dengan kampung yang
lain, masalah batas antara moso, cicing dari sebuah lingko. Contoh konkretnya adalah kasus Coal dan Sama yang merebut
batas dan lingko, masalah antara
Ngkor dan Dalo, masalah antara Nggawut dan Dimpong, masalah Pajo dan Puntu.
Sedangkan, masalah batas antara cicing
hampir terjadi di seluruh wilayah Manggarai Raya. Masalah lainnya adalah kasus
antara Langke Norang dan Herokoe, masalah antara Rangges dan Beokina terkait
tanah sekolah.
Dari
masalah-masalah baik secara vertikal maupun secara horisontal bahkan sering
terjadi pertumpahan darah yang memakan korban jiwa. Tidak sedikit nyawa orang
Manggarai hilang karena kasus-kasus tersebut. Solusi yang ditawarkan untuk
memecahkan masalah tersebut bukan dengan sistem lontoleok lagi yang menghadirkan Hakim Adat dengan mengacu pada
sejarah adat tetapi menggunakan cara perang tanding.
Beberapa
masalah di atas terkadang dalam penyelesaiannya acapkali menggunakan pendekatan
hukum positif sebagai sarana pemecahan kasus sementara hukum adat jarang
digunakan. Ketidakpercayaan orang Manggarai terhadap hukum adat ketika terjadi
masalah menyebabkan budaya dan adat-istiadat tidak dihargai lagi baik dalam hal
mengurus masalah perdata maupun pidana.
Ketidakpercayaan
itu terjadi karena budaya Manggarai tidak lagi dianggap sebagai wadah
memecahkan kasus meski diakui masih ada orang tertentu yang menghargai budaya
dalam memecahkan kasus. Karena ketidakpercayaan itulah maka terjadilah
keretakan relasi sosial akibat dari tidak menghargai adat. Contoh konkretnya
menggugat kembali tanah yang sudah dibagi oleh Tu'a Teno, baik masalah antara cicing
maupun batas antara lingko dalam satu
kampung adat maupun berbeda kampung adat.
“Selain
melalui lonto leok, relasi dalam
budaya digambarkan pula dengan berbagai macam cara. Misalnya, sistem pembagian lingko (kebun ulayat), bentuk Mbaru Gendang (rumah adat), pemecahan kasus dengan hukum adat, pembuatan
motif bahan-bahan tenunan seperti motif towe
songke. Motif towe songke atau
kain songke orang Manggarai, yaitu
segitiga, ∆ lambang rumah adat dan ladang moso pada lingko yang tertuju pada
satu titik yaitu Tuhan. X adalah lambang manusia yang masih mengembara di
dunia. Bintang, * dan garis-garis putih seperti matahari adalah terang Tuhan
kepada manusia yang sedang mengembara di dunia ini. Sedangkan, warna dasar
hitam diselang-selingi dengan garis-garis merah atau kuning, lambang situasi
pasang-surutnya kehidupan manusia di dunia yang serba sulit tetapi
diselang-selingi kebahagiaan yang mencirikan relasional manusia Manggarai
(Petrus Janggur, 2008)”.
Beberapa
hal di atas mengungkapkan bagaimana relasi antar seseorang dengan warga kampung
dan Gendang maupun juga dengan Sang
Pencipta, yaitu Tuhan yang disebut orang Manggarai sebagai Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek, Tanan Wa Awangn Eta (Allah dan
Pemilik, Pencipta langit dan bumi).
Demikian
pula kebiasaan-kebiasaan konkret lain yang dihayati dalam hidup orang Manggarai
menunjukkan dimensi relasional yang kuat. Misalnya, sistim dodo (kerja gotong-royong secara bergantian), budaya reis (menyapa), budaya rambeng (mengajak untuk kerja), budaya cihi hutu (mencari kutu), budaya rono (meminyaki rambut sang wanita oleh pria di tempat tertentu), budaya nek cepa (ajak makan sirih pinang), budaya hambor (berdamai),
budaya bagi moso agu teing moso (bagi
kebun dan kasih kebun berupa hibah dan widang),
teing hang ata tua (kasih makan orang
tua yang telah meninggal), wuat wa’i (upacara
menjelang bepergian, merantau), budaya
caca mbolot (pecahkan kasus), gerep ruha
(injak telur oleh pasangan suami-isteri saat memasuki kampung suami
di rumah adat setelah dilangsungkan acara pernikahan dan membuang ceki keluarga isteri), budaya ngelong (meminta maaf kepada binatang
yang disengsarakan di mana binatang tersebut dibunuh), seperti peralatan caci, sanda, mbata, danding, nenggo di
kampung menunjukkan ikatan relasional yang kuat.
Dari
kenyataan-kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa relasi antar manusia sangatlah
penting dalam budaya Manggarai. Berbagai ekspresi dan wujud budaya Manggarai
menggambarkan bagaimana hubungan antara manusia dapat dijalin dengan baik dan
bagaimana pelbagai problem dalam
hidup bersama dapat diatasi dengan damai. Dan semua hal di atas memiliki
kaitannya dengan curu reis, kapu agu
naka. Banyak orang meninggalkan etika curu reis dan kapu dalam kehidupan
Manggarai dan agak susah untuk dipertahankan. Tulisan ini akan menggugah
generasi masa kini untuk mempertahankannya sebagai bentuk perwujudan relasi. Karena itulah Penulis mengangkat tema: “ETIKA CURU REIS DAN KAPU WUJUD RELASI TEKS MANGGARAI”.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah
yang dibahas dalam tulisan ini adalah “bagaimana relasi antara manusia
direfleksikan dan diekspresikan dalam budaya Manggarai hubungannya dengan curu reis dan kapu agu naka”.
1.2 Tujan Penulisan
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini, sebagai berikut: Pertama, menjelaskan etika curu reis, kapu agu naka ala Manggarai. Kedua, menjelaskan hakekat manusia
sebagai makhluk relasional. Ketiga,
menjelaskan relasi antar manusia dalam perspektif budaya Manggarai.
1.3 Manfaat Penulisan
Ada
beberapa manfaat dalam tulisan ini, antara lain: Pertama, memberi pemahaman bagi masyarakat Manggarai untuk
menghargai adat dalam memecahkan kasus-kasus melalui adat, sehingga relasi yang
terjalin tidak retak. Kedua, mendorong agar adat Manggarai khususnya lonto leok terus dikembangkan dan dijaga
oleh masyarakat adat Manggarai, lebih khusus oleh generasi muda-mudi masa kini.
Ketiga, membantu Pemerintah setempat menjadikan budaya Manggarai sebagai sebuah
budaya yang hidup dan menjamin relasi harmonis antar warga.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan
dengan studi kepustakaan, wawancara, internet. Alat yang digunakan dengan
mencatat dan merekam (recorded by tools).
1.5 Sistematika
Sistematika yang
digunakan di antaranya: bab 1 mengulas tentang pendahuluan, bab 2 tentang curu reis dan kapu, bab 3 tentang teks dan konteks, bab 4 tentang curu reis dan kapu sebagai medium relasi, dan bab 5 penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
BAB
II
CURU
REIS DAN KAPU
2.1 Curu
2.1.1 Apa Itu Curu?
2.1.1.1 Akar Kata
Curu
terdiri dari dari dua kata, yaitu cu
dan ru. Cu berarti garis langsung, (keturunan langsung atau dalam istilah
perkawinan incess alias
sedarah), hubungan sendiri, orang yang
memiliki ikatan atau pertalian dari sisi hereditas, profesi, struktur-struktur
tertentu. Dalam konteks kekerabatan dalam kekeluargaan, cu dapat dimengerti sebagai seperibuan, sepersusuan,
sepertali’pusatan’, sepersebelah, sebelah.
Alasannya, karena kata cucu
atau susu ibu merupakan dua benda yang disebut satu yaitu dua buah dada disebut
cucu saja meski lazim juga disebut cucu ca, cucu sua, ca cucu, sua cucu. Sedangkan, ru artinya sendiriku, akuku, punyaku, kuaku.
Uniknya, dalam bahasa
Indonesia, cucu berarti anak dari
anak kandung atau garis keturunan langsung ketiga. Dalam bahasa Manggarai, cucu artinya empo. Empo di sini bukan
berarti poti atau setan, atau bukan
juga disebut eyang, nenek moyang atau juga disebut wura. Dengan demikian, curu
artinya sepertalianku sendiri. Ada pepatah mengatakan ‘dikenal maka disayang’.
2.1.1.2 Harafiah
Arti sesungguhnya, curu berarti menjeput entah keluarga,
teman, sahabat kenalan ataupun handaitaulan. Dari asal katanya, seseorang yang
tidak dikenal pasti tidak di-curu
apalagi di-curi. Kalau di-curu berarti bisa di-curi. Yah, curi
di sini bukan kata dasar dari mencuri atau tako
tetapi curi di sini maksudnya
mengeluarkan sisa makanan dari dalam lubang gigi misalnya barusan mengunyah saung daeng lomak (ubi singkong santan
entah dengan air kelapa ataukah dengan isi kemiri yang digoreng).
Saking dekatnya
layaknya suami dan isteri, ibu kandung dan anak kandung maka sisa makanan di
dalam gigi pun karena hukum kedekatan tersebut membuat tidak sungkan untuk di-curi.
2.1.2 Konteks Lain
Curu
jika
dikaji lebih lanjut, ada beberapa kata dan ekspresi yang mempertautkan hal itu
yang kata tersebut berada atau ditempatkan di depan, di tengah dan di belakang, depan dan
belakang, di antaranya:
2.1.2.1 Depan
Kata-kata tertentu,
antara lain saja: cual (reff), cumpe (tungku api), cumpeng (marah, geram), (susu), cumang
(bertemu, berjumpa), culik
(user-user), cuku nungang’en (menjadi alasan/sebab musabab
soal), cu’ung (memakai atau memikul
dengan kepala, misalnya cu’ung redung atau memakai kerudung) curup (omong), culu (sejenis tetumbuhan yang lazim digunakan sebagai suluh api),
dan lain-lain.
2.1.2.2 Tengah
Hal itu tampak dalam
kata-kata berikut, di antaranya, rucuk (kurus), wecuk (memegang mulut dan beberapa
bagian tubuh sambil mendorong jatuh),
cecut (perkelahian yang sengit bahkan berguling-guling), recut (berbuah banyak, perkelahian yang
amat sangat sengit), cecung (tidak
memilih-milih kalau memakan apa saja sekalipun hanya nasi putih saja), cicung (tidak ada perasaan ketakukan
sedikitpun, maju tak gentar), hecul (mengunyah
makanan sambil menglahap makanan dengan amat sangat tergesa-gesa dan puas), wicul (kudis).
Kata-kata yang lainnya,
seperti wucuk (menampar atau jotos ke
daerah mulut), lancung (sementara,
melakukan permintaan ke mata air atau pong
cengit dengan maksud agar sakit
penyakit disembuhkan yang sama sekali berbeda dengan ngelong), pancung (menumbuk
padi di lesung dilakukan oleh dua atau lebih orang), runcung (maju, berjalan tanpa ada pengaman misalnya berjalan di
hujan tanpa mantel), wancung (mengajak
orang lain untuk bersama-sama berkebun atau bersawah dengan maksud menanam anakan padi).
2.1.2.3 Belakang
Hal itu terungkap dalam
kata-kata berikut, misalnya, tungku cu (incess), hocu (tokor hocu, sejenis belalang sembab yang kurus, kering
kerempeng berwarna tanah dan lazim, ketika melihat tokor hocu - belalang sembab berwarna tanah- hinggap di rumah
berarti itu merupakan anggan atau tanda kematian seseorang yang merupakan
keluarga sendiri), pucu (jantung, ulu
hati), cecu (memakan sirih pinang
sembari menaruh daun tembakau kering di dalam bibir bagian atas), pecu (kentut), pacu (pipi), acu (anjing), gincu (berselisih), pocu (mengatai orang lain, fitnah), roncu (tekor atau rugi),
boncu (melompat ke arah air, danau, sungai), wencu (mencabut).
2.1.2.4 Depan dan Belakang
Kata cu yang dobel membentuk sebuah kata
benda. Contohnya, cucu. Hanya kata
ini yang mencerminkan penggunaan kata depan dan belakang dan memang benda
tersebut sama persis bentuk dan besarannya, baik pada pria maupun pada wanita.
Di situ, kesamaan melekat kuat jika dikaitkan dengan keberadaan manusia di
dunia yang dipastikan berasal dari Bapa Surgawi yang sama. Hal yang sama juga
berlaku pada binatang menyusui lainnya yang juga sama mirip dan bentuk pada
hewan menyusui tersebut. Ini amat unik!
2.2 Reis?
2.2.1 Apa Itu Reis?
2.2.1.1 Akar Kata
Kata ini berasal dari
kata dasar rei yang artinya menanya.
Sedangkan, rei + s berarti artinya
menyapa berupa ucapan selamat datang. Reis
bisa saja yang hendak disapa itu hanya satu orang atau juga bisa banyak orang.
Jadi, reis itu sapaan tetapi reis
sebenarnya juga adalah pertanyaan sapaan retoris karena membutuhkan jawaban ya
dari tamu yang di-reis tersebut.
Contoh kalimat: ngo koe reis keraeng hio,
siog’egeh gaku – saya pergi menyapa tuan itu/mereka dulu! Asa leso ite bo ko ite? Cara reis ini sangat sulit untuk
diterjemahkan karena jika diluruskan penyapa akan bertanya: Siang tadi Pak?
Sapaan ini bisa menimbulkan kebahakan yang luar biasa antara subjek penyapa dan
subyek yang disapa bahkan dengan semua orang yang hadir di situ karena rasa bahasa
sapanya kurang renyah dan kinclong di telinga.
Jika kita ke bahasa
asing, kata reis terdiri dari dua
kata re + is. Re artinya kembali ke sedangkan is
adalah adalah. Dengan demikian, reis
artinya kembali ke adalah, kembali ke ada lah. Nah, kembali ke adalah berarti
soal cara menyapa, cara melayani, termasuk bertindak dan berpikir. Yah, di sana
berkaitan dengan etiket dan etika. Yah, berbicara moralitas, kesopananlah
karena ketika orang tidak di-reis
bisa saja karena tidak dikenal atau memang ‘dimusuhin’ atau sengaja diacuhkan.
Walau mereka sempat berteman namun karena suatu hal yang bikin menjanggal maka
tetap ‘kembali ke adalah’ itu. Kembali ke adalah apa? Yah, tentu relasi yang
tidak rekonsilir. Lih. https://plus.google.com/117748896674938088790/posts/8wruXDYxgDz
2.2.1.2 Sebuah Kesimpulan
2.3 Curu Reis
Curu
reis
berarti menjeput sekaligus menyapa. Di sana ada proses kepok dan ronda bisa
menggunakan gong sementara di dalam rumah adat dibunyikan genderang dan gong
bisa juga dengan iringan musik group bemberdom musik seruling halnya iringan
musik seruling orang Manggarai masa lampau ke rumah adat misalnya. Yah, di
dalam curu reis termaktud kepok dan ronda. Kepok artinya
ucapan selamat datang kepada tamu yang diundang atau memang sengaja mau
menyambangi tempat atau orang tertentu, maka disebut kepok curu atau kepok kapu.
2.4 Kapu.
Kapu
artinya menggendong namun tuak kepok
dapat berarti kapu namun bisa juga kepok di pa’ang dan kapu-nya di
rumah adat misalnya. Medium kapu
berupa ayam jantan putih (manuk lalong
bakok) dan kendi (robo) yang di
dalamnya berisi tuak putih (robo tuak).
BAB
III
TEKS
DAN KONTEKS
3.1 Apa Itu Teks dan Konteks?
3.2 Teks
3.2.1 Locus
3.2.1.1 Locus Objek Tujuan
3.2.1.1.1 Struktur Rumah Adat
Secara struktural,
rumah adat Manggarai terdiri dari tiga tingkatan, yaitu Mbaru Gendang/Mbaru
Tembong, Mbaru Tambor, Niang dan Lumpung. Ketiga rumah adat tersebut secara
pasti memiliki falsafah dasar dari kehidupan orang Manggarai. Namun, sumber utamanya
tetap Gendang. Ketiganya memiliki pa’ang
atau gerbang kampung adat. Setiap meka
yang datang harus di-curu di pa’ang. Tidak bisa dilakukan di tempat
lain. Karena jelas, tujuannya ke rumah adat. Di sana ada regu ronda melakukan tari-tarian dan gong
dibunyikan. Tiba di dalam rumah adat tersebut, dilakukanlah reis menggantikan kapu (yah kapu sudah termaktub dalam reis tersebut).
Nah, sang tamu wajib
menerima kepok kapu tersebut lalu
kemudian diikuti dengan lu’u mata do
(semacam tindakan melayat dari para tamu terhadap semua orang dari warga
kampung telah menghadap Yang Kuasa. Kalau di-curu apalagi di-ronda,
maka secara pasti ada ri’o rengka-nya
(pamitan).
3.2.1.1.2 Bendar dan Ndei
Di bendar (rumah-rumah warga) dan ndei
(kemah) juga mesti digelar ronda
tergantung apa maksud di balik kedatangan tersebut, misalnya kedatangan anak wina yang diterima secara adat oleh
anak rona khususnya saat akan
digelarnya ritual kempu dan wagal. Termasuk juga saat misalnya, doa
syukuran seseorang atas jabatan yang diembannya. Jika di situ jauh dari rumah
adat, maka hanya dilakukan tesi
(meminta permisi atau memberitahu pihak tetua adat) kalau boleh tetapi tidak
wajib. Halnya, syukuran Tahbisan Imam baru atau syukuran keluarga tertentu. Ritualnya hampir sama, bisa diakhiri dengan ri’o
rengka juga.
3.2.1.1.3 Organisasi Pemerintahan dan Non Pemerintahan
3.2.1.1.3 Organisasi Pemerintahan dan Non Pemerintahan
Halnya di organisasi
pemerintahan dan non pemerintahan. Bisa dilakukan curu dengan menggelar ronda
atau hanya hanya kepok kapu saja.
Bila saja meka itu orang baru dan
tidak mengenal adat Manggarai, hanya kapu saja tanpa harus ri’o rengka.
Nah, di sanalah peran
pemangku kepentingan adat untuk memberitahu beberapa urutan acara curu hingga ri’o rengka tersebut. Bila tidak
diberitahu, maka ri’o rengka hanya
permisi biasa saja tanpa ada kepok
dari para tamu yang datang. Soal cara menerima tergantung persiapan dari tuan
rumah, bisa dengan ronda ataukah
hanya kapu saja. Bahkan tidak ada wae lu’u (benda sumbangan bagi orang
yang telah meninggal di situ kalau boleh). Mestinya, itu diberitahu oleh tuan
rumah untuk wajib tesi, boto manga mena one cengkang, do’ong one
ronggo laku de meka du koled’edeh.
3.2.1.1.4 Locus Tertentu
3.2.1.1.4.1 Mata Air
Curu
reis
dapat juga dilakukan di mata air. Hal itu dilakukan ketika ada pihak-pihak
tertentu yang ingin membangun sebuah mata air. Bahkan, acara curu tersebut dilakukan di sebuah
pembukaan sebuah kali besar untuk kepentingan irigasi terutama saat ritual manuk cepang karong salang wae. Dapat saja, para tamu
tidak singgah terlebih dahulu di rumah adat tetapi saja dilakukan di tempat
tersebut saja. Itu dimungkinkan karena situasi dan kondisi tertentu. Jika cuaca
tidak memungkinkan melalui toka (ajian menghentikan hujan) dapat
saja perlu dibangunnya sebuah ndei kesep (tenda
sementara).
3.2.1.1.4.2 Tanah Ulayat
3.2.1.1.4.2.1 Alasan Konflik
Terkadang
konflik lingko (tanah ulayat) atau konflik langang (batas kebun), curu
reis dapat dilakukan di tempat tersebut. Hal itu dimungkinkan karena
mempermudah proses penyelesaian konflik. Meski misalnya, terjadi konflik lingko antara dua gendang, para pemerintah atau juga para Dalu dan Raja zaman lampau
bisa juga digelar tuak curu dan reis di lokasi konflik tersebut.
Hal
yang sama misalnya terjadi konflik langang,
para tamu yang mengurus bisa saja diterima secara adat yaitu dengan kepok curu reis. Hal itu bisa dilakukan
tergantung pada kesepakatan pengundang.
3.2.1.1.4.2.2 Alasan Pembukaan Kebun
Baru
Dahulu kala, di
Manggarai sebelum digelarnya pembagian sebuah lingko baru, mereka terlebih dahulu akan menggelar ritual randang lingko entah dengan kerbau (kaba) atau babi (ela)
yang kemudian disebut lingko randang kaba
dan lingko randang ela, para tamu
bisa diterima di tempat tersebut terutama menyaksikan ritual tersebut
berlangsung ketika misalnya orang penting yang diundang tidak singgah terlebih
dahulu di Mbaru Gendang tetapi langsung saja di-curu di lingko randang tersebut.
Untuk diketahui, randang lingko 'zaman now' jarang bahkan sulit dilakukan karena kebanyakan tanah-tanah sudah
dibagi dalam lingko-lingko.
3.2.1.1.4.3 Kantor atau Bangunan
Tertentu
3.2.1.1.4.3.1 Kantor Pemerintah dan
Swasta
Zaman
sekarang, ketika misalnya Pemerintah membangun kantor baru terkadang pimpinan
wilayah berupa Bupati, Gubernur dan Presiden diundang. Dalam konteks budaya
orang Manggarai, Nuca Lale, para tamu tersebut di-curu secara resmi. Hal itu bisa dilakukan di gerbang di mana
bangunan tersebut dibangun. Hal yang sama berlaku juga untuk kantor swasta yang
mengundang pemerintah atau petinggi dari kantor tersebut.
3.2.1.1.4.3.2 Bangunan
Tertentu
3.2.1.1.4.3.2.1 Cahir
Gendang
Kelaziman
yang dilakukan di Manggarai pada waktu digelarnya ritual cahing gendang (membagi gendang
dalam beberapa bagian). Saat acara tersebut digelar, biasanya para undangan
diterima dengan cara di-curu. Hal itu
dilakukan oleh orang tua masa lampau. Coba perhatikan saat ritual cahir likang untuk Kantor Bupati
Manggarai Barat dan Kantor Bupati Manggarai Timur beberapa waktu lalu. Para tamu diterima secara
adat, yaitu dengan di-curu. Ataukah
acara curu pada saat merenovasi
sebuah rumah adat baru. Curu
dilakukan pula, lazimnya di sini di pa’ang.
Agar neka lako ngando, maka dibuatlah
ritual derek bongkok yang sebelumnya
menggelar ritual roko molas poco.
3.2.1.1.4.3.2.2 Tambor
Hal yang sama juga dilakukan pada
saat dibangunnya Tambor. Semuanya
hampir sama, para tamu diterima secara di-curu
di pa’ang di mana Tambor itu didirikan.
3.2.1.1.4.3.2.3 Niang
Niang yang populer di Manggarai masa kini adalah Niang Wae Rebo. Ketika ada rehabilitasi
terhadap niang tersebut, para
undangan juga diterima secara di-curu. Hanya
saja bedanya, saat dibuatnya ritual
congko lokap, tidak diperkenankan dibuatnya sae kaba di compang
langsung di-lilik saja. Hanya Mbaru Gendang yang diperbolehkan untuk dilakukannya sae.
3.2.1.1.4.3.2.4 Lumpung
Bagi masyarakat Kajong dan Loce, mereka tidak mengenal
apa yang disebut dengan cahir gendang. Mereka
mengenal apa yang disebut dengan lumpung.
Selain itu, kerbau sebagai hewan kurban disembelih di depan rumah adat lumpung bukan di compang. Uniknya juga, ada gendang yang membagi lumpung-nya hanya satu saja. Ada juga lumpung yang tergabung dari beberapa gendang, seperti halnya Lumpung Racang yang merupakan lumpung gabungan dari tiga gendang.
Pembentukan Lumpung
Racang tersebut karena lingko-lingko
di sekitar kampung Racang dimiliki oleh tiga Gendang dan sangat berdekatan. Atas inisiatif ketiga Tetua Adat
dari tiga gendang tersebut, lalu
dibuatlah sebuah kesepakatan untuk membentuk satu lumpung saja. Kesepakatannya, alun-alun hanya satu yaitu di ‘lumpung rangko’ tersebut juga wae barong-nya sama. Itulah keunikan
budaya Manggarai sebagaimana terjadi dan terlihat sekarang ini.
3.2.1.1.4.3.2.5 Bendar
Tidak hanya rumah adat yang perlu di-curu, bendar juga bisa dilakukan secara adat demikan. Hal itu
dengan maksud merawat adat-istiadat dan budaya lokal orang Manggarai ke
generasi. Biasanya, kalau keluarga itu orang mampu, saat peletakan batu pertama
diundanglah para sesepuh atau orang-orang terpadang dan mereka juga bisa
diterima dengan curu.
3.2.1.1.4.4 Acara dan Ritual Tertentu
3.2.1.1.4.4.1 Jalan
Pada
masa pra dan bahkan pasca kemerdekaan RI, setiap orang atau warga wajib
melakukan kerja rodi. Ketika ada petinggi daerah yang hadir, acara curu juga dapat dilakukan termasuk
pembukaan jalan baru era postmodern sekarang ini di Manggarai. Curu bisa dilakukan di Gendang, bisa juga dilakukan di tempat
di mana lokasi pembukaan jalan baru tersebut dibangun.
3.2.1.1.4.4.2 Jembatan
Tidak
berbeda dengan pembukaan jalan yaitu saat ritual rekonsiliasi, saat meresmikan
jembatan atau pada saat peletakan batu pertamanya pun acara curu dapat dilakukan.
3.2.1.1.4.4.3 Lokasi Wisata dan Agama
Pembangunan
rumah ibadat atau tempat sejarah, seperti di Jengkalang – Reo, di mana orang
pertama dibaptis, seorang Uskup Ruteng dalam wilayah kebudayaan Manggarai,
Uskup, Pejabat Negara dan rombongan beserta Tetua Adat, mereka pun diterima
dengan cara di-curu. Hal itu pun
dalam rangka merasat termasuk perwujudan dari etiket orang Manggarai yang
sangat menghargai para undangan meski acaranya cuku de ru (acara sendiri dari lembaga tertentu).
3.2.1.1.4.4.4 Curu Wina.
Setelah pongo wina rona (kawin secara adat)
lalu digelarlah acara podo (menghantar ke keluarga laki-laki lagipula budaya
Manggarai menganut sistem partiarki di mana seorang perempuan disebut ata pe’ang sedangakan anak laki-laki
disebut ata one yang mulai termeterai
sejak poro putes le lampek (pusat
yang dipotong melalui sembilu) saat lahir. Nah, pada saat tiba di rumah
suaminya mereka menggelar acara kapu cai
wina weru apalagi si perempuan tersebut sudah memasuki ceki (totem) dari suaminya.
3.2.1.1.4.4.5 Ritual Lainnya.
3.2.1.1.4.4.5.1 Penti
Syukuran
panenan bagi orang Manggarai dinamakan penti
yang dilakukan per tahun atau lebih tergantung kesepakatan Tetua Adat dan warga
di sebuah kampung adat. Acara ini biasanya mengundang orang lain, bahkan
digelarnya caci. Menerima tamu
seperti meka landang caci (tamu dari
gendang lain untuk bermain caci) pun
dilakukan, tidak hanya itu mereka juga menggundang beberapa tamu penting.
Semuanya melalui acara curu.
3.2.1.1.4.4.5.2 Congko Lokap
Bila
bagi orang Rahong pada umumnya, congko
lokap sebagai nama dari puncak dibangunnya sebuah rumah adat namun bagi
warga Cibal, Kajong dan Loce, mereka mengistilahkannya sebagai kebeng. Jadi, ritual curu
juga dilakukan di sana.
3.2.1.1.4.4.5.3 Kaba Tambung Watu
Setelah
berakhirnya pembangian lingko-lingko di
salah satu gendang, ritual puncaknya
pun digelar berupa kaba tambung watu
(mempersembahkan seekor kerbau sebagai hewan kurbannya). Setiap tamu pun
diperlakukan hal yang sama yaitu di-curu
juga.
3.2.1.1.4.4.5.4 Paki Jarang Bolong
Tidak
berbeda dengan ritual sebelumnya, ritus paki
jarang bolong sebagai ritual mencuci kampung dari pelbagai ndekok jurak (dosa) yang berdampak pada nemba mata do (banyak orang meninggal
secara beruntun tanpa melalui sakit dan kalaupun dibawa ke ata pecing, ata wae nggereng (paranormal) atau rumah sakit tetap
tidak bisa tertolong. Nah, dibuatlah ritual pembersihan tersebut. Di sana juga
lazim mengundang orang lain dan dibuatlah curu
di pa’ang.
3.2.1.1.4.4.5.5 Paki Jarang Leti
Ini berupa ritual bagi orang yang meninggal yang
mempersembahkan hewan kurban berupa kuda sebagai medium di mana seseorang
menaiki kuda tersebut saat menghadap Yang Kuasa dan menggunakan kuda tersebut pada kehidupan selanjutnya. Pihak
keluarga yang datang menggelar curu
sederhana.
3.2.1.1.4.4.5.6 Kaba Rae
Di
sini dalam rangka syukuran atas keberhasilan seseorang atau salah satu
keturunan. Kerbau putih dipersembahkan sebagai ucapan syukur atas rahmat rezeki
dan keturunan dari Yang Kuasa. Yah, kapu
agu naka wali di’as gauk de Morin. Di sini bila ada undangan yang datang,
mereka pun digelar acara curu reis.
3.2.1.1.4.4.5.7 Wagal
Puncak
dari acara perkawinan ala Manggarai adalah wagal.
Ada istilah cikat kina wagak kaba. Pihak
anak rona, anak wina, pang olo ngaung
musi pun turut duduk bersama menyukseskan acara tersebut. Hal curu juga dilakukan di sini.
3.2.1.2 Locus Pergelaran
3.2.1.2.1 Pa’ang
Bila
saja acaranya umum misalnya dilakukan di kampung adat, maka acara curu-nya di pa’ang dan bilamana itu
ritual dari kampung adat pun juga di pa’ang,
seperti acara penti, paki jarang bolong,
congko lokap, paki kaba rae, wagal, kaba tambung watu.
3.2.1.2.2 Locus Tertentu
Seandainya,
acara pemerintahan, acara pembangunan gedung, tahbisan, musim politik bisa
dilakukan di tempat di mana acara itu dibuat. Bisa juga di rumah pribadi
tergantung di mana kita menerima tamu terhormat tersebut.
3.2.2 Tempus
Waktu
yang paling saat curu adalah pagi
hari, siang hari atau agak sore. Bila saja tamu yang datang berhalang, maka
acara boleh malam cukup dengan kapu
dan naka saja.
3.2.3 Benda
3.2.3.1 Regu Ronda
3.2.3.1.1 Busana
Busana
yang dipakai di sini adalah busana Manggarai. Salah seorang pemimpin regu ronda harus menaati aturan ronda yang
dibuatkan oleh pemandu acara. Salah seorang pemimpin lazimnya memegang lalong ndeki sembari bernyanyi
menggiringi para tamu ke tempat tujuan.
3.2.3.1.2 Perlengkapan Lain
Benda
yang perlu dipersiapkan adalah destar (sapu),
peci manggarai, kain songket (songke,
towe todo, towe cibal), baju putih, jas songke, lalong ndeki, gong, dan kendi (robo
curu) dan tuak putih yang diisi ke dalam kendi lalu dipersiapkan juga
selendang songke yang khusus dipersiapkan untuk menerima tamu terhormat.
3.3 Konteks dan Tata Cara Acara
Penerimaan
tamu secara adat sangat berkonteks. Beberapa tata cara penerimaan tamu ala
Mangarai.
3.3.1 Konteks Tata Cara
3.3.1.1 Luar Rumah.
Bilamana
regu kepok menerima di pa’ang tidak menyiapkan tikar (loce) dan bantal besar (tange mese), maka penerimaannya
bersistem berdiri saja. Di sana akan di-kepok
dengan menggunakan ayam jantan putih dan kendi berisi tuak lalu terkadang
tidak diberi cepa hanya diselendangi
saja - pengalungan) para tamu tersebut kemudian dipersilahkan masuk diiringi oleh regu ronda.
Jika saja regu kepok menerima di pa’ang sudah menyiapkan tikar (loce)
dan bantal besar (tange mese), maka
penerimaannya bersistem duduk bersila. Di sana akan di-kepok dengan menggunakan ayam jantan putih dan kendi berisi tuak
lalu teing cepa (diberi sirih
pinang), tamu tersebut kemudian dipersilahkan masuk diiringi oleh regu ronda.
Seandainya, tamu
tersebut dalam keadaan cedera dan ia terpaksa harus menggunakan alat perantara
berupa kursi duduk karena alasan suatu hal maka seseorang tamu tersebut tidak
dipermasalahkan kalau dia duduk di kursi (tangga
dalam bahasa Manggarai). Di sini bila tamu tersebut duduk di kursi sementara
penerima tamu duduk di tikar itu dibenarkan sementara rombongan lain diper‘sila’kan
di tikar. Atau ketika diterima secara berdiri, tamu duduk di kursi khusus bagi
yang cedera atau memang sengaja dipersiapkan oleh panitia sementara ata kepok duduk di bawah itu
diperbolehkan. Yang tidak boleh ata kepok
duduk di loce sementara tamu berdiri
atau para tamu duduk di kursi sementara ata
kepok berdiri, itu tidak boleh. Hal
itu boleh dilakukan manakala keadaan becek dan agar panitia tidak kesulitan
mengurus kursi itu diperbolehkan sesuai kondisi pada saat itu. Berdasarkan
etiket adat Manggarai, hanya dua saja jika ata
kepok berdiri maka tamu juga wajib berdiri. Jika ata kepok duduk bersila, tamu juga harus bersila.
Bila di luar rumah
sudah menyiapkan ayam jantan putih maka di dalam biasanya mereka
mempersiapkannya juga ayam atau kalau luar tidak mempersiapkan ayam jantan, di
dalam harus dilakukan. Bisa saja para tuan rumah mempersiapkan dua ekor ayam
untuk menerima tamu tersebut.
Terkadang pula, kepok dengan robo telah dilakukan, bisa juga tuak di robo dengan bersama-sama diminum dengan menggunakan gelas atau bisa juga bila (maja) atau leke (tempurung kelapa) sebagai bentuk persaudaraan. Cukup biar hanya cemek cekoen (diminum sedikit saja). Untuk sementara, belum ada penerimaan atau curu di lautan yang dilakukan di atas kapal.
Terkadang pula, kepok dengan robo telah dilakukan, bisa juga tuak di robo dengan bersama-sama diminum dengan menggunakan gelas atau bisa juga bila (maja) atau leke (tempurung kelapa) sebagai bentuk persaudaraan. Cukup biar hanya cemek cekoen (diminum sedikit saja). Untuk sementara, belum ada penerimaan atau curu di lautan yang dilakukan di atas kapal.
3.3.1.2 Dalam Rumah dan Ndei
Ketika sampai di rumah
adat tergantung persiapan panitia apakah menggunakan kursi tetapi lazimnya
panitia sudah menyiapkan tikar dan bantal besar. Mereka pun duduk bersila di
dalam. Artinya, tidak boleh berdiri baik ata
kepok kapu maupun para tamu
kecuali panitia sudah menyiapkan kursi untuk para tamu sementara para ata kapu duduk di tikar. Itu tergantung
persiapan panitia. Jika tamunya cedera, maka boleh duduk di kursi tetapi ata kapu duduk di tikar. Itu tergantung
situasi dan kondisi waktu itu. Berdasarkan etiket adat Manggarai, semua harus
duduk bersila baik ata kepok maupun meka.
Bila saja waktunya
mepet atau tidak dimungkinkannya untuk mempersiapkan tikar dan bantal besar,
para tamu boleh duduk di kursi karena itu sifatnya reis dan kapu saja tanpa
ada ritual lain seperti lu’u mata do
bahkan saat pulang tidak dibuatnya ritual ri’o
rengka. Itu diperbolehkan. Yang beretiket adalah meski jika ada kepok kapu agu naka hanya sesaat dan mereka duduk di tikar meski tidak ada lu’u mata dan ri’o rengka sebaiknya
para tamu juga harus duduk di loce
baru kemudian dipersilahkan untuk duduk di kursi yang sudah dipersiapkan di
belakang tikar kepok tersebut.
3.3.2 Tata Acara
3.3.2.1 Kepok Curu
Kepok curu dilakukan oleh juru bicara
dan hanya satu orang yang boleh berbicara. Begitupun tamu juga harus
mempersiapkan satu orang saja untuk wali
kepok curu. Tidak boleh di-wali
oleh dua orang. Di situ cari yang dituakan. Tergantung persiapan apakah di-curu dengan menggunakan ayam jantan juga
atau hanya sampai di dalam rumah.
3.3.2.2 Ronda
Ronda
dipimpin oleh pemandu dan para rombongan ronda
posisi di depan sementara para tamu harus di belakang mengikuti. Begitupun
tiba di dalam rumah adat, para regu ronda
yang duduk lebih awal baru tamu dipersilahkan duduk bersila. Tidak boleh
tamu duluan duduk sementara regu ronda
mengikutinya untuk duduk bersila.
3.3.2.3 Kapu dan Reis
Setelah
semuanya duduk, maka digelarlah ritual kapu
agu naka dengan menggunakan ayam jantan putih lalu teing cepa sebagai bentuk reis.
Di situ para tamu sudah menjadi bagian dari warga gendang.
3.3.2.4 Lu’u Mata Do
Setelah
kepok kapu agu naka naring lembak de
Morin (menerima dengan hormat para tamu terutama menghargai kebaikan Tuhan
yang telah boleh terjadinya pertemuan yang tampan tersebut lalu dibuatlah
ritual lu’u mata do. Di situ para
tamu memberitahu orang yang sudah meninggal dan melaporkan kepada mereka bahwa
mereka juga turut terlibat dalam acara kematian mereka. Para tamu memberikan
sumbangan ala kadarnya sesuai kemampuan mereka. Di situ tidak diberikan satu
per satu tetapi secara umum saja. Lu'u mata do artinya sudah banyak orang yang telah meninggal di kampung tersebut yang mana para tamu belum pernah melayatnya, maka disatukan saja. Yah, bahkan mungkin pernah terjadi nemba di kampung tersebut sebelumnya.
Kalau nemba, peristiwa ini dikenal dengan nemba (banyak yang mati), baik di kampung tertentu maupun keturunan
yang mati di perantauan. Nemba terjadi
karena jurak, nggopet, dan tidak
menjalankan ritus adat seperti tae kaba (persembahkan
kerbau),toe manga panden tae manuk
(tidak menjalankan adat dengan menyembelihkan ayam korban saat acara-acara penti (pesta syukuran tahunan/tahun
baru), toe teing hang naga golo ko beo (tidak memberi makan roh penjaga
kampung) dan tidak dilaksanakannya
acara ako wajo wole (tuai padi baru).
Semua peristiwa tersebut dihapus dengan diadakannya pakin jarang bolong (mempersembahkan seekor kuda hitam). Acara pakin jarang bolong juga harus melakukan
barong di lima pilar adat Manggarai (Frans Ndour, 2012, dkk)”.
3.3.2.5 Acara Inti
Setelah
lu’u mata do lalu rehat makan dan
minum, bercanda kemudian mengikuti rangkaian acara yang sudah dipersiapkan oleh
panitia acara. Jika, ada ritual mempersembahkan hewan kurban maka para tamu
wajib melakukan acara wali kari
sebagai bentuk direstuinya acara adat tersebut baru kemudian wali urat di’a.
3.3.2.6 Po’e.
Setelah
semua acara inti digelar, para tuan rumah menggelar acara po’e (meminta para tamu untuk tidak boleh pulang). Acara po’e tersebut pun dilakukan bisa
menggunakan ayam jantan lagi, nah tamu harus mengetahui bahwa mereka harus wali po’e tersebut dengan beberapa
upacara dan wali-nya juga dalam
bentuk lain.
3.3.2.7 Wua Lime.
Karena
para tamu bersikeras untuk mau bergegas, maka dibuatlah acara wua lime oleh tuan rumah entah dengan
ayam atau kain atau benda tertentu. Wua
lime (buah tangan tersebut) entah di-wali
tetapi etiketnya tidak diperbolehkan karena itu akan di-wali pada saat ri’o rengka.
3.3.2.8 Ri’o Rengka
Acara
terakhir adalah ri’o rengka
(pamitan). Para tamu kemudian wali taungs
gauk di’a de anak ngara mbaru. Mereka kemudian mengangkat kendi termasuk
kontribusi sedikitnya. Lalu, digelarlah walis
gauk di’a berupa wasa lime bahkan
walis wua lime de tuan rumah.
Etiketnya, wua lime tidak boleh di-wali kecuali wasa lime dari orang yang kerja termasuk dan lazimnya disatukan
dalam acara ri’o rengka tetapi
topiknya berbeda. Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/05/rio-rengka.html
3.3.2.9 Podo du Pa’ang.
Para
tamu kemudian diantar ke pa’ang oleh
beberapa orang. Kebiasan selama ini setelah ri’o rengka di dalam rumah adat
jarang tamu diantar ke pa’ang.
Etiketnya, jika datangnya ronda maka
saat pulang juga harus diantar oleh perwakilan lalu mereka berpamitan.
Maksudnya, dopo nitus taung gauk da’at
eme manga calang waktu acara tersebut digelar. Di pa’ang, seorang tamu meminta agar bila ada yang tidak baik cukup
sampai di situ saja dan terutama para wura
agu ceki mengantar para tamu mulai dari rumah adat, pa’ang hingga tempat tujuan masing-masing dari para tamu. Maka,
bila saja para tamu membawa kendaraan, semua kendaraan harus diparkir di luar pa’ang curu. Jika ada titipan, semua
titipan lainnya dari orang-orang diberi di luar pa’ang.
BAB
IV
CURU
REIS DAN KAPU MEDIUM RELASI
4.1 Relasi Konteks Manggarai
4.1.1
Relasi Internal
4.1.1.1
Relasi Intrapersonal dan Interpersonal
Ada dua jenis relasi internal
personal manusia, relasi personal manusia tidak hanya secara intrapersonal
tetapi juga interpersonal. Relasi intrapersonal berupa berpikir, meminta
bantuan Tuhan misalnya doanya kepada Tuhan yang tidak diketahui oleh siapapun
juga (ngaji kudut sembeng le Dedek)
dilakukan secara sendirian. Sedangkan, relasi interpersonalnya baik dengan
keluarga, warga kampung, suku, dengan Wujud Tertinggi, dengan alam semesta
tampak dalam ritus-ritus dan upacara adat tertentu.
Ritus-ritus personal yang melibatkan
relasinya dengan keluarga, warga kampung, suku, alam semesta, dan dengan Wujud
Tertinggi adalah melalui ritus-ritus, seperti cear cumpe, ngaji agu Morin, ngelong, teing hang ase kae weki, wuad
wa’i, pana mata leso (jurak), kawing, kelas (duhu matan atau saat
kenduri). Ritus-ritus ini yang mengarah kepada personal dan tidak mengarah
kepada sesuatu di luar dirinya.
4.1.1.2
Relasi Internal Dalam Keluarga
Relasi internal dalam keluarga
biasanya tampak dalam acara teing hang
tinu ata tua (membalas jasa orang tua berupa mempersembahkan seekor babi,
dengan mana kerap disebut ela tinu);
tampak dalam acara wuat wa’i mantar (acara pelepasan dengan
mempersembahkan hewan korban berupa ayam jago putih sebelum anak pergi
merantau, pergi sekolah maka dikenal sebutan lalong bakok du lakon/lalong rompok du ngon lalong rombeng du kolen
– pulang mesti membawa rezeki).
Relasi internal juga tampak dalam
ritus we’e mbaru (masuk dan mendiami
rumah), cemol wing (penutup
kelahiran), ela haeng nai (babi minta
maaf terhadap orang tua yang tidak sempat menyaksikan secara langsung saat
meninggal), wae lu’u (memberikan
sumbangan kepada keluarga yang meninggal).
Relasi tersebut juga tampak dalam
acara kapu agu naka sanggen beka agu buar
(melakukan acara syukuran atas banyaknya keturunan dalam keluarga. Acara ini
biasanya dilakukan oleh kedua orang tua, namun pelaksanaannya melibatkan
anak-anak mereka untuk mendukung dari sisi dana).
“Selain itu, relasi dalam keluarga
tampak dalam acara cear cumpe meka weru atau lega cumpe (upacara yang dilaksanakan pada hari ke-3 atau ke-5
setelah seorang bayi dilahirkan). Tujuan dari acara ini adalah agar ibu dan bayi
yang baru lahir bisa berpindah tempat karena sebelum dibuatkan acara tersebut
bayi dan ibu hanya di kamar (Kanisius Teobaldus Deki, 2012)”.
Acara tersebut bisa dimengerti
sebagai ratung wuwung atau ubun-ubun
bayi yang masih lembek dikuatkan dan sebagai wali cumpe atau pemindahan bayi dari dari tenda ke tikar atau
tempat yang layak. Hewan korbannya adalah ayam jantan. Cear cumpe bisa juga artinya pemberian nama anak).
4.1.1.3
Relasi Internal Dalam Suku
Relasi internal dalam suku tampak
dalam pemecahan soal-soal dalam suku yang dipimpin oleh Kepala Suku. Konkretnya
adalah masalah suami-istri dalam keluarga. Yang menanggani masalah tersebut
biasanya kepala suku. Relasi dalam suku juga misalnya bila ada acara penti atau acara congko lokap, maka wajib setiap anggota keluarga terlibat atas
perintah Kepala Suku. Kepala
Suku dapat juga disebut sebagai Tu'a
Panga. Terkait masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Kepala Suku maka
kasus tersebut dibawa ke Tu'a Golo. Kepala
Suku juga mengatur anggota-anggotanya dalam sistem pembagian lingko apabila suku tersebut yang
pertama kali menguasi dan mendiami kampung tertentu, maka Tu'a Golo dipilih dari suku tersebut meski kemudian dipilih melalui
musyarawah. Sedangkan, relasi dalam suku biasanya dalam acara kaba tambung, kaba bakok, jarang bolong, mbe
bolong.
4.1.1.4
Relasi Saudara-Saudari
Relasi internal saudara-saudari
tampak dalam bentuk hak dan kewajiban. Saudara dimengerti sebagai anak rona atau korong kok potang iring, sedangkan pihak saudari adalah anak wina. Saudara berhak meminta sida, pihak anak wina saudari wajib membayar sida (meski sesuai kemampuan). Sida
tersebut banyak bentuk, bisa sida laki
(saudara mau menikah), sida mata
(keluarga yang meninggal). Namun sida
tersebut tidak bisa dikembalikan atau dituntut bayar kembali oleh anak wina.
4.1.2
Relasi Eksternal
4.1.2.1 Relasi dengan Warga
Kampung
Relasi dengan warga kampung dapat
diungkapkan melalui acara penti (tahun
baru), congko lokap (syukuran atas
pembangunan rumah adat baru), laki (mengambil
isteri), wai (gadis yang bersuami), cekeng bowo wae (saat meninggal), cai meka beo (dihadiri tamu kampung), randang lingko (pembukaan lahan baru), paki jarang bolong (upacara
menghindari kutukan dan kematian beruntun warga kampung), raha lingko (perang tanding dengan kampung lain).
Relasi dengan warga kampung juga
misalnya diadakan acara rangkuk alu
(bermain lompat alu biasanya pada saat bulan purnama), tabur gendang agu ngong one ca beo (membunyikan gong dan gendang
di rumah adat sambil bernyanyi), ngo dodo
(kerja gotong-royong).
4.1.2.2
Relasi dengan Wujud Tertinggi
Relasi dengan Tuhan biasanya tampak
dalam torok adak (doa dalam bentuk adat) yaitu pada saat pesta-pesta adat.
Selain itu, tampak dalam barong compang,
bentuk rumah adat, teing hang ase kae
weki.
“Relasi orang Manggarai juga
diungkapkan melalui go’et (nasehat
atau petuah). Misalnya, go’et yang
berbicara tentang relasi horisontal dengan Wujud Tertinggi, Misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping
Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia
untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa. Go’et ini juga mengandung pesan agar manusia tidak mengabaikan doa
(ngaji) (Kanisius Teobaldus Deki,
2009)”
Dalam torok orang Manggarai sering menyebut dalam kata pendahuluan doa
mereka: “Denge lite Morin, Jari agu
Dedek, Parn Awo Kolepn Sale, Tanan Wa Awangn Eta”. Ini adalah doa yang
menyebut nama Tuhan
4.1.2.3
Relasi dengan Alam
Relasi dengan alam tampak dalam
acara ngelong baik karena telah
menyengsarakan tetumbuhan dan binatang ataupun ngelong pada saat berburu agar memperoleh hasil. Sarananya sama
adalah telur ayam kampung. Selain itu, relasi dengan alam juga tampak dalam barong wae bate teku, dan memelihara
mata air. Di mata air dipercaya ada roh yang menjaganya.
Wujud relasi lainnya adalah pande ruha one wae bate teku. Ini
biasanya disebut barong wae sebelum
acara-acara adat dimulai. Relasi dengan alam juga terkait melakukan acara di
sawah sebelum padi dituai.
4.2
Sebuah Sintesa
Manusia
adalah makhluk relasional. Hal ini
tampak dalam atribut manusia sebagai homo
socius, homo ludens, homo economicus, homo religius, dan homo politicus. Khususnya dalam budaya
Manggarai, ciri relasional ini sangat kuat dalam budaya lonto leok, bentuk rumah adat dan upacara adat demi harmoni sosial.
Dalam budaya lonto leok, relasi ini
tampak dalam membahas dan memecahkan kasus-kasus yang dipandu langsung oleh Tu'a Adak atau wakil-wakil lain yang
dipercaya oleh kelompok. Lonto leok
tersebut bertujuan untuk musyawarah mufakat di antara warga kampung. Biasanya, lonto leok dilaksanakan di dalam rumah
adat (Mbaru Gendang). Sesuai
bentuknya yang melingkar, Mbaru Gendang
atau Rumah Adat dipakai sebagai tempat mengadakan lonto leok.
Hubungan
lonto leok, Mbaru Gendang, bentuk tanah ulayat dan ritus-ritus adatnya dikenal
dengan sebutan gendang onen lingkon pe'ang.
Gendang onen lingkon pe'ang adalah
hubungan yang menunjukkan ciri kerekatan sosial orang Manggarai. Ciri kesamaan lonto leok dan bentuk Mbaru Gendang tersebut menunjukkan kuatnya
hubungan relasi sosial di antara warga Gendang.
Ketiganya adalah pilar kerekatan relasi sosial yang kuat dan mampu menciptakan
relasi antar manusia dalam konteks budaya Manggarai. Budaya Manggarai perlu
dipelihara dan dijadikan sebagai wadah untuk terjalinnya harmoni sosial di
Manggarai. Budaya Manggarai kiranya menjadi dasar relasi sosial antar manusia.
Untuk itu, perlu dikembangkan budaya lonto leok,
upacara-upacara adat dan
simbol-simbol adat lainnya.
Dengan
menghayati nilai-nilai budaya Manggarai, harmoni sosial akan terus berjalan
dengan baik khususnya bagi generasi muda Manggarai perlu menjadikan budaya
Manggarai sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam konteks kehidupan sosial
pada umumnya. Karena hal ini mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang
harmonis dan damai.
BAB
V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar