Media Warta8.id mengambil sebuah tulisan mini berjudul: Manajika tidak seurat, Pace Hery Nabit keblongan superego.
Tulisan ini menggambarkan tentang pengandaian apabila Pak Hery Nabit dan Pak Hery Ngabut pisah ranjang saat Pilkada tahun 2024.
Beberapa ungkapan bisa terlihat, seperti: tidak seurat, keblongan superego.
Tidak seurat berarti tidak sejalan lagi. Keblongan masuknya seperti rem yang blong. Sedangkan, superego semacam aturan, orang tua, figur protipe, sosok pelindung, panutan, holding (pegangan), beking penguat.
Lalu, apa maksud tulisan itu? Keblongan superego maksudnya kehilangan pengendali. Bak Arjuna dan Sri Krisna. Pak Hery Nabit adalah sang Arjuna dengan egonya sedangkan Pak Hery Ngabut adalah Sri Kresna dengan posisi superegonya.
Arjuna memiliki Sri Kresna sebagai pengendali, sebagai superego. Apabila superego hilang, kemanakah egonya Arjuna? Apakah tertekan ke id (alam bawah sadar). Jika tertekan ke id maka akan tidak terkendali.
Manajika ego (Pak Hery Nabit) bersisian dengan superego (Pak Hery Ngabut) ego (kehendak/kemauan) itu tertekan ke id? Bisa saja tidak, bukan? Ini tak ubahnya seidentik dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud.
Benarkah Pak Hery Ngabut adalah superego? Betulkah? Memang pasti ada yang mengatakan bukan superego. Amat melenceng dari panggang api. Inilah yang kemudian menjadi asumsi. Lazimnya, jikalau ego tidak sebarengan superego maka tertekan ke id alias tidak terbaca karena kemudian tenggelam lama-lama lenyap.
Kendati diakui, ada benarnya manakala ego tidak didukung superego yang kuat maka terjadi blong dan masuk jurang. Ibarat sebuah mobil apabila aturan lalu lintasnya dilanggar, draivnya tidak bagus dan tidak didukung rem yang mumpuni sudah pasti masuk ke abyss (jurang yang dalam). Terakhir remuk redam.
Judul di atas adalah sangkaan manajika. Kemutlakannya tentu diragukan tetapi paling tidak persepsi tentang image itu menjadi pertanyaan kemungkinan. Begitulah!
Ditulis oleh:
Melky Pantur
Rabu (22/11/2023).
Ruteng, Flores.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar