27/12/17

Lontar Mlondek dalam Kilasan Sejarah Manggarai.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Rabu (27/12/2017).

Lontar Mlondek Relasinya dengan Suku Kasong. 

Lalu, Apa Relasinya dengan Kasong?

Drs. Theodorus Taram (Desember 2017 menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, NTT),

[Drs. Theodorus Taram]

menjelaskan, Rabu (27/12/2017), anak perempuan dari Lontar Mlondek - nama aslinya Ntoreng diambil oleh Eyang orang Kasong, persis keturunan dari Keraeng Drs. Maksi Gandur (2017, Kadis Pendidikan Kabupaten Manggarai, NTT). Isteri Eyang orang Kasong itu bersuku Tasok sama dengan Suku Cabo dekat dengan atau memasuki Nontol atau persis di atas Bea Leba.

Mengapa Ntoreng Disebut Lontar?

Otak yang cerdas selalu menuntun orang pada keselamatan. Demikianlah dia, oleh tuturan Keraeng Theo, disebut Lontar karena Ntoreng dapat membaca sekaligus menulis di daun lontar- sowang nama Manggarai untuk pohon lontar. Nama Ntoreng itu sering tidak terdengar.

Siapa Saja Buah Hati Lontar?

Lontar itu juga nenek moyang orang Tasok termasuk Lecem dan Cumpe. Lecem itu ata ngo long - pendatang), mereka datang dari Cumpe. Keturunan Lontar juga ada di Necak - Lamba Leda.

Mengapa Ntoreng Disebut Lontar Mlondek?

Pada zamannya, dulu saat Ntoreng dipanggil oleh Raja Goa di Sulawesi, ia dipanggil menghadap Sang Raja. Raja Goa persis tinggal di lantai dua. Zaman itu tidak boleh ada satu orang pun yang boleh melihat Raja. Tidak tahu apa alasannya?

Akal Ntoreng Mulai Bekerja.

Pada waktu itu, demikian Keraeng Theo Taram, Ntoreng berguman sendiri, kok apa gunanya ia datang jauh-jauh dari Nuca Lale? Ia pun mencari cara cantik bagaimana taktik terelegant dapat melihat paras dari Sang Raja. Dia tidak membuang-buang waktu elok itu ketimbang dia pulang begitu saja, hanya memasuki Kedatonnya Raja saja.

Londek Labu Medium Pencapaian Asa Besar.

Ia pun menyuruh seorang perempuan, persis juru masak Sang Raja. Ntoreng pun menyuruh perempuan itu mencarikan baginya pucuk labu yang panjang puncuknya satu meter. Harus dimasak baginya sepanjang kurang lebih sepanjang itu dan tidak boleh dipotong-potong lagi. Sang Raja pun tidak melarang si perempuan itu karena dianggap wajar-wajar saja.

Si perempuan itu tak menolak tawaran asyiknya itu kendati si perempuan juru masak itu tidak tahu apa maksud di balik semuanya itu. Perempuan itu hanya melakukan perintah tanpa berpikir dua kali karena itu permintaan seorang tamu yang diundang khusus Sang Raja Goa.

Hidangan Pucuk Labu Sudah di Meja Makan.

Apa yang dibuat Ntoreng dengan pucuk labu yang panjang yang dimasak perempuan juru masak Sang Raja?

Ntoreng tampak riang hatinya. Ia berasa besar, niat dan kiatnya bisa terpenuhi sesegera mungkin. Ntoreng pun mengangkat satu pucuk labu dari mangkuknya lalu dipanjangkan ke atas sehingga seolah-olah kepalanya conga - tengadah ke atas. Di Istana itu, tidak boleh ada satupun orang asing yang boleh conga melihat Sang Raja bertahta.

Pucuk Labu Ditegakluruskan ke Atas.

Ntoreng menarik tangannya sembari memegang ujung pucuk labu di tangannya yang lain, tangan yang lainnya mengarahkan pangkal pucuk labu itu ditempatkan di kedua gigi serinya dan tak ketinggalan lidahnya pun mengacak-acak pangkal pucuk labu itu.

Kornea Mata Ntoreng Sukses Meraih Paras Si Raja.

Betapa tersentaknya Sang Raja. Kedua mata pun saling memandang. Sang Raja memergoki kornea Ntoreng begitupun sebaliknya. Sang Raja tak bisa menggelak, peristiwa itu tengah terjadi di depan matanya. Sesuatu yang tidak mungkin dimungkinkan oleh Ntoreng.

Sang Raja Memuji Kecerdasan Ntoreng.

Kingai! Kira-kira demikian celetupan hati kecil Sang Raja. Raja pun memuji kecerdasannya, Ntoreng. Sementara, Ntoreng puas dengan asanya itu. Dari sejak itulah, nama lainnya Lontar Mlondek!

Dengan Apakah Ntoreng Berlabuh Jauh ke Goa Mengarungi Lautan Biru dari Nuca Lale?

Menurut beberapa sumber, aku Keraeng Theo, Ntoreng ke Goa tidak menggunakan kapal laut. Dia naik sabuk kelapa. Dia mengeluarkan semua isinya di dalam tempurung, lalu sabuknya pasti diracik dan menaiki itu. Kapal laut waktu itu belum ada.

Bagiamana Strategi Ntoreng dalam Memerangi Musuhnya?

Kalau dia berperang lebih banyak menggunakan logika. Suatu kali, tepatnya di telaga kecil di salah satu tempat di Cibal atau populer disebut Tiwu Melkoji. Melkoji itu putera dari Mori Reo - Raja Reo. Melkoji menjadi saksi hidupnya terutama Tiwu Melkoji tersebut karena Melkoji meninggal di situ.

Taktik yang Licik tetapi Menyakinkan.

Suatu ketika, Ntoreng menyuruh warga di sana membuatkan tenda di atas tiwu tetapi harus dipastikan jari kaki telunjuk Melkoji menyentuh air. Dan kakinya itu ditambatkan dengan sebongkah batu yang diikatkan pada kaki Melkoji. Yah, Melkoji pun membeku.

Lontar Melarikan Diri ke Kawak.

Setelah peristiwa naas itu, Lontar tahu benar bahwa dirinya bakal menjadi dagingan Mori Reo. Firasatnya benar, ia pun melarikan dirinya ke Kawak tepatnya di Tadak di kebunnya Empo Paju La'e. Empo Padju La'e adalah Kesa dari Ntoreng. Empo Paju masih tinggal di situ menjaga kebunnya. Tidak ke mana-mana. Dia heran akan kehadiran Kesa-nya karena tidak diduganya datang. Tentara Mori Reo sudah sibuk mencarinya dan mereka mendapat informasi kalau Ntoreng melarikan diri ke tempat Padju La'e bertinggal.

Daun Sere Penyelamat Ntoreng.


Badannya Mlontar itu wanginya seperti daun sere - laci teu dalam bahasa Manggarai. Tentu orang Bima dapat dengan mudah mendapati tubuhnya itu untuk didagingkan karena cukup mengendus bau badannya saja. Namun, otak cerdas selalu menjadi malekat pelindungnya.

Padju La'e pun menyuruh Ntoreng mencarikan daun sere sebanyak-banyaknya sebelum musuh-musuhnya mendekapnya. Dedaunan sere itu pun diselipkan di beberapa sudut sekang (gubuk) itu. Di sekang itu banyak sekali jagung. Ntoreng pun bersembunyi di bawah tumpukan jagung milik Padju La'e atas saran Kesa-nya itu.

Ntoreng Selamat dari Meregang Nyawa.

Ketika para tentara Mori Reo tiba di gubuknya Padju La'e, mereka menanyakan keberadaan Ntoreng. Mereka menghirup wangi daun sere. Mereka memastikan bahwa Lontar ada di situ. Padju La'e pun menunjukkan kepada mereka bahwa Ntoreng tidak ada bersamanya. Adapun bau wangi daun sere itu berasal dari daun sere sungguhan yang dia selipkan di dalam atap dan beberapa sudut gubuknya. Tentara Mori Reo pun bergegas balik ke Reo karena mereka percaya buta dengan taktik dan pengakuan itu.

Tumpukan Corpus Berkelimpangan di Bea Loli: Tidak Ada Satupun Bedil Meletus di Perang Cucak.

Setelah peristiwa itu, terjadilah pertempuran hebat. Tepatnya di Bea Loli, banyak sekali pasukan Mori Reo berubah status menjadi nenek moyang. Moncong bedil mesiu yang mereka tenteng tinggal pelatuknya saja. Yah, tidak ada yang meletus - persis sejarah Lalong Bakok perang ke Aceh sebagaimana pernah diwawancara Penulis di Warloka. Karena keanehan itu, tentara Mori Reo banyak meregang nyawa di Bea Loli tersebut. Pasukan yang tersisa pun kembali ke Reo dengan membawa kabar dukacita. Perang itupun disebut Perang Cucak. Disebut Bea Loli karena corpus itu digeletakkan di dataran rendah di Cucak - bea artinya dataran, sedangkan loli artinya loling atau mayat yang bergelimpangan disemayamkan di sana.

 Lontar Angkat Kaki ke Necak Lamba Leda.

Sejarah panjang perang dan kekwatiran seolah-olah senantiasa menghantuinya. Ntoreng tidak ingin hayatnya lekas tidak dikandung badan. Asa besarnya untuk tetap menatap rembulan di mana ia dapat merasakan sentuhan kemesraan alam di malam hari hal mana pula ia dapat menyatu dengan pribadinya yang cerdas, mengajarnya tentang kebijaksanaan yang merupakan buah cinta cipta Sang Pencipta menjadi ideanya yang terdalam. Ia pun ingin tetap merasakan hangatnya surya di fajar di sekujur tubuhnya yang senantiasa menyingsing di ufuk timur. Ingin terus menapaki itu sekaligus ingin disapa dan disentuh laksaan ilalang yang mengandung embun-embun segar yang senantiasa tergoyang ketika bertabrakan dengan tulang kering kakinya terlebih di pagi dan di siang usai hujan menerpa bumi saat-saat ia menyusuri padang belantara waktu itu.

Ia terus dikejar. Jejaknya bak satwa liar yang diburu. Ia diincar ke sekian juta kali banyaknya. Lontar pun membukit dan melembah. Dicarinya arah timur yang ternyata sebagai arah penghentian terakhir kendati ia pun sukses meninggalkan tapak tilas generasi baru di Necak di kemudian masa. Seakan mencari Ilahi sebagai pusat, sumber dan tujuan ziarah takdirnya di atas onggokan bebatuan, pasir bercampur tanah dan di atas rambatan akar serabut pepohonan halnya akar-akar pepohonan hutan belantara yang merangkak, teks ziarahnya pun ditutup Yang Ada. 

Kisah bertolak maju.....!!!

Mempersunting Gadis Lamba Leda.

Hasrat seorang pria untuk menyebarkan generasi bak bintang di langit dan pasir di tepi pantai menjadi doyanan yang paling hakiki. Sebagaimana ia suka pada pucuk labu, begitupun ia suka pada daun-daun muda yang masih lembut dan kinclong cerah menawan untuk dimadu mendayung-dayung. 


Di Lamba Leda, ia mengambil beberapa daun muda sebagai isterinya. Keturunannya di Lamba Leda pun tepatnya berkecambah kembang di Kampung Necak sekarang ini.

Perhentian Tapak Ziarah Berakhir, Sebuah Ending Keterpangilan.

Segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk datang ada waktu untuk pulang. Bak penumpang ojek, ada yang turun, ada yang naik. Seakan-akan hukum determinasi menjadi imperatif, sebuah standar dasar keharusan kehidupan yang memang mesti wajib dilakonkan kendati setiap pelakonan harus ada pergorbanan sebagaimana dari sananya - Tuhan - gerigi roda dimainkan untuk berputar atau berhenti bagaikan kunci starter kendaraan.

Setiap tapak pasti ada kenangan, setiap kenangan pasti ada bacaan baru. Dan inilah bacaan itu! Bacaan yang tanpa ujung meski pangkalnya telah tercipta di mana sang pelakon diadakan oleh Yang Kuasa bertandang ke alam bumi pada suatu masa kala itu, telah terlewati.

Pusara Bernama.

Ibarat perbuatan yang sudah lama tertanam menghantam sesama, demikian pula hataman itu bak pelatuk mesiu bedil mengenai diri. Itulah akil balik dari kisah Si Raja ketiga, Ntoreng.

Raganya yang berjasa menumpas lawan dengan cara diganyang, demikian pula senjata itu memakan tuannya. Ntoreng, pria tangguh nan berani di zamannya menyelesaikan kisahnya dengan cara diganyang pula. Bukan salah siapa sebab itulah cara klimaks keterpanggilnya di bumi.

Sekarang pusara telah tercatat. Mtoreng mati terbunuh di sana dan pusaranya terkenang tertanam di atas di dalam pertiwi tepatnya di Wereng - sebuah tempat antara Wereng dan Rawang, arah dari Wae Naong menuju Benteng Jawa. Wereng saksi puncak panggilannya sebagai seorang Raja sebagaimana dikutip dari tulisan ini:  Dikutip dari www.sesambate.blogspot.com tulisan dari Keraeng Frans, yang di-posting, Sabtu, 15 Agustus 2015, dengan judul: Sejarah Daerah Manggarai. Tulisan itupun disadur dari www.djohandyharwali.blogspot.com menulis, Lontar adalah Raja ketiga Manggarai, sebelumnya Mashur Raja pertama, sedangkan Raja kedua bernama Sehak - Anda bisa lihat dalam screenshot berikut.






Wilayah Kekuasaan Lontar Pada Zamannya.

Lontar sebagai Pemimpin di Cibal memiliki wilayah kekuasaan, mulai dari Langke Rembong sekarang ini hingga Ruteng dan Cancar.

Kisah Lain.

Makan Satu Ton Garam.

Ntoreng semasa hidupnya pernah diuji memakan satu ton garam. Ia mampu melakukannya dengan syarat harus dicampur mentimun. Ia pun sanggup menyelesaikan itu.

Tentu masih ada kisah lain yang belum tercatat. Ibarat sawah yang semuanya tidak tergenang air karena posisinya di kemiringan, demikian pulalah tapak ziarah hidupnya di bumi tak terjangkau semuanya.

Ceki Suku Tasok.

Adapun ceki atau totem Suku Tasok yaitu dilarang memakan kula atau musang. Alasannya, kula-lah yang menghadang serangan musuh terhadapnya karena wangi badan Mtoreng persis bau badan binatang musang. Musanglah yang menghadang musuhnya saat itu. Musang pun menjadi saudara. Meski begitu, ia pun mati terbunuh di Lamba Leda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar