2.2 Sekilas Keturunan Ǝmpo Rua di
Lale-Sampar.
Rua
beristerikan Bambung. Anaknya Rua dan Bambung ada dua orang, mereka bernama Robertus Ruma (Ema Ume)
dan Gaspar Garung (Ema Elong). Rua adalah anak dari Endong. Rua juga
memperisterikan Lunung. Lunung melahirkan Ganawewa Gaul dan Regina Mamung.
Ganawewa Gaul mempersuamikan Gabriel Tengko asal Taga-Ruteng. Sedangkan, Regina
Mamung mempersuamikan Yakobus Jehadu. Robertus Ruma memperisterikan Maria.
Robertus Ruma memperanakkan Nikolaus Labut, Theresia Banut, Petrus Garus,
Dominikus Gaut, Stefanus Nagut, Hendrikus Egol, Paulinus Pait, Ester Jenut, dan
Elisabeth Palut. Gaspar Garung memperisterikan Sobina Sidung asal Ranggi.
Gaspar Garung memperanakkan Sebastiana Lahut, Romana Pahul, Herman Kiot,
Veronika Danut, Wihelmina Bambung, dan Kristina Naut.
2.3 Apa Puncak
Ritus Takung Wae Cǝmok?
Ritus Takung Wae Cǝmok (dipersingkat
TWC), puncaknya dilakukan pada hari terakhir setelah acara yang lain digelar
termasuk memindahkan mbau data tu’a. Ritus tersebut
dipandu oleh seorang ata tǝ torok (juru bicara ritus) yang biasanya menggenakan pakaian khusus. Jubir
tersebutlah yang memandu seluruh proses berlangsungnya ritus.
Acara
permulaan di mana tetua atau kerabat keluarga memberikan petuah-petuah.
Keturunan Ǝmpo Rua semua berkumpul lalu kemudian dibuatkannya
ritus. Sebelum dimulainya torok, para tetua mengeluarkan petuah-petuah
penting dengan ucapan adat tertentu disertai dengan tuak dan benda berupa uang.
Misalnya, dengan ungkapan: “porong duat one uma neho lawe lujang, kole one
mbaru dia koe mose - kerja di kebun seperti seperti burung Lawe Lujang,
pulang ke rumah badan tetap sehat - ada juga ungkapan porong cimang neho
rimang neho rimang rana, kimpur neho kiwung, neho kiwung tuak - agar keras seperti
tulang ijuk dan keras seperti pohon enau - bolek kali loke, baca kali tara
- sehat jasmani dan rohani dengan wajah tetap memancar ceria dan cerah - ho’o
ami anak rona ata tukǝng agu lamid - ini kami pihak keluarga wanita yang
menjaga dan melindungi tiap derap langkah kalian setiap hari! Di sana ada
proses penyerahan hewan berupa uang, atau berupa parang, kain adat, payung
(terlampir di gambar).
Baru setelah adanya peneguhan dari pihak
keluarga perempuan (anak rona), maka selanjutnya dimulainya torok
(berupa doa adat yang ditujukan kepada
roh nenek moyang dan Tuhan Yang Maha Kuasa), beberapa hewan persembahan
dipersiapkan dan membawa masuk ke dalam rumah diadakannya ritus. Pada saat torok
ditutup, hewan korban
disembelih. Darah hewan korban kemudian dioles di dahi lalu toto urat
(melihat hati hewan korban persembahan) dan dibuatlah hang helang
(makanan hewan persembahan yang diberikan kepada Empo melalui doa-doa
khusus). Hang helang biasanya ditaruh di tempat tertentu berupa
piring, sedangkan salah satu sayap ayam korban persembahan diambil lalu digantung
di tempat yang telah disiapkan, yaitu di langkar, yang ditaruh di bawah
bubungan tiang tengah sebuah rumah
Adapun hewan persembahan yang digunakan
dalam ritus puncak TWC adalah hewan yang warna buluhnya berupa manuk cǝpang
rompok wulu telu (ayam jantan dengan buluh tiga warna), mbe tagi ngong
mbe ruca (kambing jantan yang seluruh warna buluhnya seperti buluh rusa), ela
rae (babi jantan berwarna juga seperti rusa). Ketiga lambang warna buluh tersebut sebagai
representasi dari warna mbau (ari-ari saat setelah melahirkan yang
disebut ase ka'e wǝki). Wae cǝmok dapat diartikan air
segelas, satu gelas. Cǝ artinya se,
satu, mok artinya gelas. Berbeda
dengan cǝmek yang artinya meminum sedikit atau tanda cekoen/seruekn.
Wae cǝmok artinya sumber air, kakek asal muasal
generasi. Melaui air satu gelas yang merupakan bahasa simbolis sama dengan sperm sebagai awal ada generasi. Ritus wae
cǝmok itu adalah kidung kebaikan, balas jasa atas upaya dan keberadaan dǝ
ǝmpo, wura masa lampau.
2.4
Tiap-Tiap Orang Mempunyai Mbau.
Tiap-tiap orang saat setelah lahir pasti
memiliki ari-ari. Ari-ari tersebut disebut ase ka'e wǝki. Makanya,
ada istilah teing hang ase ka'e wǝki (memberi makan ari-ari),
hambor ase ka'e wǝki (rekonsiliasi dengan ari-ari). Terkadang juga disebut hambor
ase ka'e weki de wina rona (mendamaikan ari-ari suami-isteri).
2. 5 Turǝng, Nama Lain dari Tempat Dikuburkannya Mbau de Ǝmpo.
Ketika Mbau diamankan di tempat yang
terhormat dekat dengan rumah, pada saat hewan persembahan selesai disabdakan
secara adat, hang helang ditaruh di dekat turǝng. Maksudnya agar Ǝmpo menerima
dan memakannya dan dia akan mendamaikan seluruh perziarahan dari
keturunannya. Turǝng tersebut bisa juga disebut tempat
bersemanyannya wura.
2.6
Apa Itu Teing Hang Wura agu Cǝki?
Teing hang wura agu cǝki adalah
pemberian sesajian melalui berupa benda tertentu. Wura bisa diartikan
sebagai nenek moyang, cǝki adalah pantangan, roh penuntun nenek
moyang. Namun, cǝki dapat juga diartikan pantangan suku,
totem, larangan memakan sesuatu. Misalnya, cǝki kula (dilarang
memakan musang). Larangan tertentu melalui proses sejarah tertentu. Cǝki merupakan
penjelmaan dari roh penolong, Tuhan Sang Penuntun. Misalnya, kisah Mahabharata
tentang Pandawa Lima. Pada saat akhir dari kisah mereka, sejarah itu
menyebutkan kelima Pandawa ketika kembali ke pertapaan akhir setelah menikmati
kejayaan Hastinapura dan Indraprasta. Sebuah sumber menulis Pandawa Lima
dituntun oleh seekor anjing. Mereka mengira bahwa itu anjing padahal ayah dari
saudara tertua Yudistira bernama Dewa Dharma. Artinya, Dewa Dharma menjelma
menjadi anjing sebagai si penurut dan penjaga.
Kisah lainnya misalnya, sejarah Maro,
nenek moyang dari orang Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat,
Kabupaten Manggarai di mana saat ke Wae Rebo mereka dituntun oleh musang.
Musang adalah penjelmaan dari Yang Maha Tinggi. Cerita cǝki lainnya,
misalnya keturunan dari Theodorus Tamat di Coal, Desa Coal, Kecamatan Kuwus,
Kabupaten Manggarai Barat yang ber-cǝki cemberuang. Cemberuang
atau burung Garuda. Cemberuang dalam
mitologi tertentu adalah kendaraan dari Dewa Kresna atau Dewa Wisnu dalam
Trimurti Hinduisme.
Memang kisah tentang cǝki,
memiliki sejarahya masing-masing. Hal itu terjadi karena secara perjanjian dan
pertolongan tertentu. Misalnya, kisah cǝki ndaler (sejenis
pohon) di Ndoso, cǝki cik (totem burung pipit) dari keturunan
Wangkung Wenus, cǝki nderu (totem jeruk) dari keluarga Marsel
Sudirman, SH, yang sekarang tinggal di Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten
Manggarai, dan cǝki pake (totem katak), cǝki kaba
(totem kerbau) dari keturunan Alfons Lurus dari Lewur yang tinggal di Goro,
Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Masih banyak
totem-totem lainnya dengan peristiwa sejarahnya masing-masing.
2.7
Sekilas Tentang Burung Garuda.
Garuda adalah burung yang sering dijadikan
lambang oleh berbagai masyarakat dunia. Orang Mesopotamia, Mesir, India,
Indonesia, bangsa asli Amerika, Indian mengenal burung itu, seperti tercermin dalam sistem kepercayaan, legenda maupun
simbol masyarakat mereka. Dalam dunia ilmiah fauna, nama Burung Garuda tidaklah
dikenal, namun demikian Burung Garuda yang
menjadi lambang negara Republik Indonesia diciptakan dengan rupa
representasi Elang Jawa atau Javan Hawk-Eagle Nisaetus Bartelsi dengan warna buluh
emas. Keberadaaan dan sejarahnya bahkan sudah tercipta jauh lebih lama dibanding berdirinya Negara
Indonesia. Burung suci ini juga dapat
ditemukan dalam mitologi Hindu dan Buddha.
Di dalam mitologi Hindu, Garuda
digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah burung yang menjadi
kendaraan Dewa Wisnu dan merupakan raja dari para burung. Pada kisah Baghawad
Gita juga disebut nama Burung Garuda oleh Khrisna di tengah perang Barata Yudha
di Kurusetra, “Of birds, I am the son of Vinata (Garuda)”. Sedangkan, di
dalam mitologi Budha, Burung Garuda digambarkan sebagai predator yang hebat dan
pintar serta memiliki kemampuan
berorganisasi secara sosial. Garuda muncul dalam berbagai kisah yang melambangkan
kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin.
Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan
sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja Agung Para Burung”. Mirip
penggambaran Simurgh Yang Agung, Raja para burung, dalam Kisah Musyawarah
Burung karangan seorang Sufi Agung, Faridu
‘Din Attar. Demikian sebuah sumber menulis sebagaimana dikutip Penulis.
Posisi mulia Garuda dalam tradisi
Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional
Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Menurut lampiran pada Peraturan Pemerintah
No. 66 Tahun 1951, menjelaskan bahwa lukisan Garuda diambil dari benda
peradaban Indonesia yang tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke-6
sampai ke-16. Raja-raja di Indonesia sudah sejak lama memakai lambang Garuda.
Seperti dalam sebuah buku tentang
lambang-lambang kerajaan yang terbit sekitar tahun 1483, termuat lambang Raja Jawa yang memperlihatkan seekor
burung Phoenix di atas api unggun, sedangkan Raja Sumatera berlambang rajawali
digambar dari samping dengan kedua
cakarnya mengarah ke depan.
2.8
Cǝki Idiom Historisitas.
Berbicara tentang cǝki sebagai
idiom historisitas, kita harus bertolak dari empat pertanyaan penting: Apa
itu cǝki? Apa itu idiom? Apa itu historisitas? Dan, mengapa cǝki disebut
sebagai idiom historisitas? Hal itu akan dibahas secara rinci di
bawah ini:
2.8.1
Apa Itu Cǝki?
Menjawab pertanyaan ini, kita harus
memahami terlebih dahulu mengapa cǝki itu ada? Bagaimana
sejarahnya? Cǝki awalnya terjadi karena sebuah peristiwa, yaitu
peristiwa pesan perjanjian. Perjanjian itu terjadi karena sebuah pertolongan,
kesepakatan larangan antara manusia dengan roh (roh tersebut hadir dalam bentuk
manusia dan binatang). Misalnya, perjanjian antara Ndiwar Kewali dan Umpu
Mburing, perjanjian antara Ǝmpo Maro dan roh yang hadir dalam bentuk musang
karena ditolong, dan perjanjian-perjanjian lainnya.
Namun, cǝki atau
larangan, totem kebanyakan hanya dengan binatang atau hewan meski ada
juga cǝki tetumbuhan. Misalnya, cǝki kula
(larangan makan musang), cǝki cemberuang (larangan makan
burung garuda), cǝki cik larangan makan burung pipit), cǝki rutung
(larangan makan babi landak), cǝki acu (larangan makan daging
anjing) dan cǝki -cǝki lainnya. Cǝki tetumbuhan,
misalnya cǝki ndaler, cǝki nderu. Cǝki nyaris
searti dengan wura agu ceki. Cǝki bisa diartikan sebagai
aturan, bisa juga diartikan sebagai roh yang membuat aturan terhadap sebuah
keturunan yang melahirkan cǝki. Diartikan sebagai roh yang
mengajar, sering disandingkan dengan ungkapan toing le cǝki (ilmu
yang diajar oleh roh yang membuat aturan dengan nenek moyang). Sedangkan,
wura agu cǝki adalah nenek moyang yang telah meninggal.
Maka, dikenal apa yang disebut dengan teing hang wura agu cǝki (kasih
makan roh nenek moyang).
2.8.2
Apa Itu Idiom?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku, kelompok.
Idiom dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai langgam suara, corak khas.
Baiklah kita memahami idiom sebagai bahasa dan dialek yang khas menandai suatu
bangsa, suku dan kelompok yang tentu erat kaitannya dengan cǝki dan
historisitas sebuah suku bangsa atau sebuah kelompok.
2.8.3
Apa Itu Historisitas?
Kata
historisitas yang merupakan kata benda yang akar katanya histori atau sejarah.
Histori itu sendiri adalah kata benda yang kalau dikaitkan dengan cǝki menjadi
kata sifat historis karena menyangkut pendasaran sejarah. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, historisitas adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan
sejarah. Sedangkan, kalau diartikan secara etimologi (asal kata), historisitas
terdiri dua kata, yaitu historis (berdasarkan sejarah) dan itas (unsur,
dimensi, kompenen, dan sekelompok). Dengan
demikian, historisitas adalah dimensi-dimensi waktu sejarah yang saling
bertautan. Mengapa historisitas disebut kumpulan dimensi waktu sejarah yang
saling bertautan? Jawabannya adalah karena historisitas merupakan kumpulan dimensi,
yaitu waktu lampau, waktu sekarang dan waktu yang akan datang.
2.8.4
Mengapa Cǝki Disebut Idiom Historisitas?
Sebagaimana penjelasan tentang cǝki di
atas, maka kita mulai memahami bahwa cǝki adalah pesan
perjanjian, aturan yang mulai diterapkan mulai dari zaman lampau, masa sekarang
dan masa yang akan datang. Melanggar cǝki mengakibatkan
seseorang sakit, gila (wedol) yang berujung pada kematian.
Melanggar cǝki hampir
sama dengan perbuatan kǝmbǝlu'ak (tidak mau tahu), kǝmbǝleis (sindir,
sinis). Akibat dari kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis akan
terjadi nangki (mengalami penderitaan, merasakan sakit dalam diri
seseorang karena dikutuk atau melanggar).
Kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis ini menyebabkan
itang (dapat dilihat karena ditunjuk melalui mimpi, penglihatan para
normal dan nampo). Solusinya adalah tolak bala (oke dara ta’a,
keti le manuk mitǝng) sebagai bentuk rekonsiliasi.
2.9
Takung Wae Cǝmok Medium
Rekonsiliasi.
Nangki karena
melanggar cǝki yang tidak pernah direkonsiliasi menyebabkan
disharmoni antara ase kae wǝki/dewa gong sendiri, wura
agu cǝki, roh alam dan Morin agu Ngaran (Roh Tuhan).
Itulah sebabnya ada yang disebut dengan sakit keturunan dan dara ta’a. Wujud
dari sakit keturunan misalnya penyakit gila. Hal itu bersifat historisitas
karena bila nenek moyangnya gila maka generasi berikutnya akan gila. Jika orang
yang melanggar cǝki mempunyai keturunan, maka orang tersebut
(melalui keluarganya mesti lakukan acara keti le manuk miteng) karena
keturunannya mengalami hal yang sama di kemudian hari. Oleh sebab itulah,
akibat melanggar cǝki itu berdampak pada tiga dimensi waktu
tadi.
Lazimnya,
nangki yang dialami seseorang diketahui melalui itang, baik
melalui mimpi maupun nampo (teka latung agu nampo ruha). Karena nangki
tadi, maka dicarilah wae nggerǝng (ata pǝcing, ata mata gerak, ata
mbǝko di'a). Melalui wae nggereng itu itang diketahui bahwa
apakah seseorang karena melanggar cǝki atau karena rudak.
Sehingga dalam istilah orang Manggarai disebut inung wae cǝmok data kalau dikaitkan dengan nangki
yang disebabkan oleh inung wae cǝmok data artinya
jika ada orang lain yang hendak mencelakakan kita dengan membawa sebutir telur
ayam kampung ke kuburan keluarga maka keluarga kita yang telah meninggal akan
menuruti perintah pencelaka tersebut. Maka penting sekali teing hang
wura agu cǝki dari ata tua leluhur yang sudah
meninggal terutama memotong rantai nangki
yang disebabkan oleh sikap
kǝmbǝlu'ak dan kǝmbǝleis terutama pelanggaran
terhadap cǝki agar wura agu ceki dapat memaafkan dan senantiasa menolong
kita dan ase kae wǝki senantiasa melindungi seseorang
dan senantiasa diberi berkat yang berlimpah dalam keseharian hidup seseorang.
Sebab gila (wedol) sebetulnya disharmoni antara ase
kae wǝki dan jiwa orang bersangkutan. Dengan demikian orang tua
yang baik adalah orang tua yang menceritakan kepada keturunannya tentang totem
keluarga yang harus dihargai turun-temurun. Jadi, itulah makna atau arti
dari cǝki idiom historisitas.
2.10 Kesaksian Cǝki.
Dalam kisah Mahabaratha-Hinduisme, akhir
cerita bagaimana Dewa Dharma, ayah dari Yudistira menjelma menjadi seekor
anjing. Kitab Suci Perjanjian Lama (Old
Testament), menulis cikal bakal mengapa bangsa Yakob yang disebut Israel,
yang sekarang disebut Bangsa Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi
pangkal paha? (Lih. Kej 32:22-32).
Yang lebih unik lagi, sejarah cǝki dari
keturunan Marsel Sudirman, SH, dari Lamba-Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten
Manggarai, yaitu cǝki nderu (totem jeruk). Totem tersebut bermula dari
buah jeruk menjadi perempuan. Cerita singkatnya, suatu hari ada adik berkakak
persis di suatu tempat melihat pohon jeruk. Jeruk tersebut buahnya hanya dua,
satu sudah matang, masak, yang satu masih muda. Ini adalah cerita Wengkewua dan
Lalo Koe di Todo masa dulu.
Saat melihat mereka berdua sempat
berdiskusi, hasilnya si kakak memetik yang sudah matang, sementara si adik
memetik yang masih muda. Usai dipetik, jeruk yang matang merubah wujudnya
menjadi perempuan tua, sedangkan jeruk yang muda menjadi perempuan muda nan
elok. Tentu saja terjadi proses perkawinan dan sekarang melahirkan keturunan
yang salah satu darah mereka adalah Marsel Sudirman, SH. Hal ini seperti
diceritakan oleh Bene Baduk: Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html.
Bagaimana Hubungan Antara mbau
dan sedulur papat lima pancer dalam Ilmu Kejawen Jawa? Mengutip
Wikipedia Bahasa Inonesia, ensiklopedia bebas di http://google.com, ilmu
Kejawen memahami manusia pribadi memiliki saudara halus yang disebut sedulur
papat (dalam bahasa Jawa, sedulur adalah saudara, papat
adalah empat) atau memiliki empat saudara yang lain. Kerap disebut sedulur
papat lima pancer.
Sumber itu menulis, dalam budaya Jawa
terutama tumpeng, sega kuning atau
nasi kuning yang dibentuk menjadi tumpeng,
salah satu bagian sajen sedulur papat.
Sajen sedulur papat adalah salah satu sesaji atau sajen yang berupa aneka macam jenis nasi atau sega untuk menghormati
empat saudara gaib yang berada di empat penjuru mata angin atau biasa disebut
dengan sedulur papat lima pancer.
Secara turun temurun, orang Jawa lekat
dengan kepercayaan bahwa setiap orang memiliki empat saudara gaib yang di
Utara, Selatan, Timur dan Barat sesuai arah mata angin. Saudara yang di sisi
Timur disebut Tirtanata, di sebelah
Utara disebut Warudijaya, di sebelah
Selatan disebut Purbangkara, di
sebelah Barat disebut Sinotobrata.
Sedangkan, Pancer adalah diri sendiri atau hati nurani. Sedulur papat
ini memiliki kemampuan dan mengendalikan hati nurani masing-masing orang.
Dengan demikian, secara turun-temurun diyakini apabila seseorang selalu ingin
dijaga, diingatkan atau dikendalikan dari keinginan dan pengaruh jahat, maka
orang tersebut wajib menyapa keempat sedulur
papat yang ada di masing-masing arah penjuru angin itu.
2.11
Macam-Macam Sajen Sedulur Papat.
Sega putih adalah ubo rampe yang
berupa nasi putih. Nasi putih tersebut dibentuk tunpeng dan disajikan tanpa lauk pauk. Ubo rampe sega putih
dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Timur atau orang Jawa menamainya Tirtanata. Sega putih ini untuk
menggambarkan Kakang Kawah.
Sega cemeng atau nasi hitam
adalah ubo rampe yang berupa nasi hitam. Nasi hitam terbuat dari nasi
putih yang dicampur dengan jelaga hingga berwarna hitam dan terbentuk tumpeng. Ubo rampe nasi hitam
dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah utara atau biasa disebut Warudijaya. Sega cemeng ini untuk
menggambarkan Tali Pusar.
Sega abang atau nasi merah
adalah ubo rampe yang berupa nasi merah. Nasi merah terbuat dari nasi
putih yang dicampur dengan gula Jawa hingga berwarna merah dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi merah ini
dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Selatan atau biasa disebut Purbangkara. Sega abang ini untuk
menggambarkan Darah.
Sega kuning atau nasi kuning
adalah ubo rampe yang berupa nasi kuning. Nasi kuning terbuat dari nasi
putih yang bercampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning dan dibentuk tumpeng. Ubo rampe nasi kuning
ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menghormati sedulur yang berada di arah Barat atau biasa disebut Sinotobrata.
Sega kuning ini untuk menggambarkan Adi Ari-ari.
Sumber lain menulis, manusia terdiri
dari sedulur papat lima pancer kakang kawah ari-ari. Menurut ilmu
Kejawen, tiap-tiap manusia terlahir sebagai lima bersaudara/saudara kelima (lima
pancer). Oleh karenanya, masing-masing dari kita memiliki empat saudara (sedulur
papat). Dalam wujud fisik, Kakang Kawah adalah air ketuban yang
pecah sebelum kita lahir, sedangkan pancer (diri manusia) adalah si
jabang bayi (orok, bayi yang belum berumur) yang lahir kemudian. Sementara, Adi
Ari-ari merupakan batur atau ari-ari yang dikeluarkan paling akhir
setelah kita dilahirkan. Sedangkan, saudara yang lain adalah Darah.
2.12
Apa Hubungan TWC dengan Upacara Slametan?
TWC adalah
bentuk penghormatan terhadap Mbau. Mbau disebut pula adi ari-ari
yang datang terakhir. Adi ari-ari atau mbau tersebut dikenal
sebagai ase ka'e wǝki. Nah, takung wae cǝmok adalah
upacara menghormati mbau. Maka, dikenal takung hang ase
ka'e wǝki.
Dalam tradisi
Jawa adalah Slametan sebagai upacara kelahiran yang dilakukan dalam 35 hari
sekali. Dalam konteks sekarang, Slametan (Slamet artinya selamat,
bahagia, sentosa) atau takung wae cemok, teing hang ase ka'e wǝki adalah
upacara hari ulang tahun atau pesta Natal dalam Kekristenan. Budaya Manggarai
disebut teing hang ase ka'e wǝki, hambor ase ka'e wǝki di
mana ase ka'e wǝki harus tetap menjaga perziarahan hidup
seseorang. Sedangkan, untuk menghormati
leluhur disebut teing hang wura agu cǝki. Jika sudah
berkeluarga, ada yang dikenal dengan teing hang ase
ka'e wǝki wina rona atau hambor ase ka'e de wina
rona.
2.13
Hubungan Antara Cear Cumpǝ dan Sedulur Papat Lima Pancer.
2.13.1
Apa Itu Cear Cumpǝ?
Cear cumpǝ merupakan
salah satu istilah untuk menyebut ritus inisiasi dalam tradisi Manggarai
pada umumnya. Di samping istilah ini, ada istilah lain yang sinonim dari
istilah ini tetapi memiliki makna yang sama, seperti wa’u wa tana (di
Congkar-Manggarai Timur). Istilah cear cumpǝ sendiri
merupakan penggabungan dari dua kata dasar, yakni cear (membongkar
api di tungku), cumpǝ (artinya tungku api) dengan mana selama
lima hari ibu dan bayi tidak keluar dari rumah.
2.13.2
Ritus Cear Cumpe.
Istilah cear cumpǝ itu sendiri
dapat diartikan sebagai upacara pada saat mana masa penantian seorang bayi
dinyatakan selesai dan serentak dengan itu si bayi dilantik secara resmi
menjadi anggota masyarakat setempat. Seusai upacara ini, si bayi bersama
ibunya boleh keluar dari rumah. Pada dasarnya, ritus cear cumpǝ sebagai:
Pertama, masa penantian seorang bayi
yang baru dilahirkan untuk masuk dan diakui secara sah ke dalam klen atau
masyarakat setempat telah berakhir. Kedua,
bayi diperkenalkan secara resmi kepada khalayak ramai. Ketiga, bayi dilantik secara resmi sebagai anggota suku atau
masyarakat (bukan orang asing). Keempat,
kesempatan untuk menyampaikan syukur dan terima kasih dan mohon berkat dari
yang Tertinggi (cǝki) lewat doa dan persembahan. Ungkapan syukur
disampaikan secara bersama-bersama dengan anggota masyarakat yang lain yang
turut hadir mengikuti acara itu. Kemudian, setelah dilahirkan bayi bersama
ibunya tetap tinggal di dalam rumah (di sekitar perapian yang sudah disiapkan
atau (cumpǝ). Masa ini berlangsung selama 5 hari, tidak boleh kurang
atau lebih. Selama masa ini, dalam masa ini semua kebutuhan sang ibu dan
bayinya dilayani di dalam rumah.
Berikutnya, pada pelaksanaan ritus cear
cumpǝ, tepat pada hari yang telah ditentukan keluarga sudah mempersiapkan
segala hal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ritus itu sendiri. Setelah semua
perlengkapan upacara disiapkan, pemimpin boleh memulainya. Acara cear cumpǝ
sebaiknya dilakukan pada pukul 07.00-08.00 pagi. Hal ini berkaitan dengan
pandangan masyarakat tentang siklus kehidupan manusia di mana pagi hari selalu
dikaitkan dengan kehidupan yang secara konkret dihubungkan dengan masa
kanak-kanak (bǝngkar wela, artinya mekarnya bunga-bunga). Upacara ini
dipimpin oleh seorang yang dituakan dan berpengalaman.
Dalam upacara ini dipersiapkan pula
bahan persembahan berupa ayam jantan. Bagi keluarga yang ekonominya
memungkinkan ia bisa menambahkan binatang yang lebih besar lagi, seperti: babi
atau anjing. Tetapi babi dan anjing hanya untuk perjamuan bersama, sedangkan
untuk acaranya menggunakan ayam jantan. Tujuan upacara ini adalah untuk
bersyukur pada Wujud Tertinggi (cǝki) atau arwah nenek moyang atas
anugerah manusia baru yang terlahir dalam keluarga tersebut dan sekaligus
memohon rahmat dan berkat serta perlindungan bagi bayi dan seluruh anggota
keluarga. Selama ayam masih hidup dalam genggaman, pemimpin ritus, doa tetap
dilantunkan (torok manuk). Selanjutnya, ayam dibunuh dan dibakar,
diperiksa uratnya untuk melihat petunjuk atau tanda yang akan terjadi di
kemudian hari atas bayi dan keluarganya. Di Ruis, tempat upacara dilaksanakan
harus di halaman atau alun-alun depan rumah, di depan rumah di mana bayi
tinggal. Halaman depan dianggap sebagai pintu menuju dunia yang luas dari
lingkaran rumah. Doa diarahkan kepada Mori Mese (Tuhan Allah) dengan
intensi syukur karena keselamatan yang dialami ibu dan bayi selama proses
kelahiran berlangsung. Selain itu, doa juga diarahkan kepada arwah nenek moyang
dari anak yang telah dilahirkan untuk meminta keselamatan dan perlindungan bagi
anak itu dalam hidup selanjutnya.
Menurut tradisi Satar Mese, ayam yang
disembelih itu harus diambil sedikit darahnya untuk dioles pada dahi anak yang
diupacarakan. Sedangkan, pada kebiasaan Penulis, ayah bayi tersebut juga dioles
di jari telunjuk kaki. Kalau menurut pemimpin ritus, dia itu tidak dikabulkan
maka dia meminta keluarga untuk membuat ritus pemulihan. Karena barangkali ada
kekeliruan dalam hidup harian seluruh anggota keluarga sebelum anak dilahirkan
sampai ia terlahir ke dunia. Ritus inisiasi ini lazim lainnya dipimpin oleh
seorang ibu atau bapak yang berpengalaman dan mampu mendaraskan syair-syair
doa. Dalam tradisi masyarakat Manggarai, acara ini dipimpin oleh seorang yang
berpengalaman yang dibantu oleh ibu-ibu yang lain untuk memangku bayi dan
peralatan lainnya.
Di samping itu, ada juga salah satu dari
yang hadir seperti tetua adat atau seorang yang berpengalaman berperan sebagai
pendaras atau torok manuk. Lazimnya, kriteria yang harus dilihat dalam
diri seorang pemimpin adalah mahir dalam mengucapkan doa dan mampu melihat
tanda-tanda yang akan terjadi berdasarkan kenyataan yang terungkap dari kondisi
hati atau empedu dan usus halus dari binatang yang dipersembahkan. Hal ini
sesuai dengan tujuan pelaksanaan upacara yakni melihat dan mengatasi krisis
yang akan dihadapi seorang bayi ketika ia masuk dalam anggota keluarga atau
masyarakat. Dalam hal cear cumpǝ
atau permandian secara adat di mana bayi diberi nama, biasanya saat pemberian
nama waktu torok harus diberi nama
lima nama.
Masing-masing nama diberikan oleh orang
yang ikut saat ritus tersebut termasuk oleh ayahnya. Saat pemberian nama,
masing-masing ditunjuk lima orang untuk menyebut nama lain dari si bayi. Jadi,
seorang bayi saat cear cumpǝ harus menyebut lima nama. Ayam yang dipakai
adalah ayam jantan putih, atau manuk cǝpang (ayam jago berwarna merah,
sedikit hitam dan sedikit putih). Nah, apa hubungan pemberian lima nama dalam cear
cumpǝ dengan sedulur papat lima pancer? Lima nama dalam cear
cumpǝ bisa menggunakan nama dari wura agu cǝki. Dengan
demikian, pemberian lima nama pada saat cear cumpǝ nyaris sepaham
dengan pemberian nama terhadap sedulur
papat dalam ilmu Kejawen.
Pemberian kelima nama tersebut yang
disebut ngasang tu’ung (nama sesungguhnya, nama ayam). Orang Manggarai
menyebut nama orang, terdiri dari nama serani
(nama Santo) dan ngasang tu’ung. Misalnya, nama Melkior Pantur (Melkior
adalah nama serani atau Santo atau
orang suci, sedangkan Pantur nama atau ngasang tu’ung, ngasang manuk).
Arnoldus Sanpepi Juang Pantur, nama Santunya Arnoldus, nama ayamnya Sanpepi
Juang Pantur, atau Pantur).
2.13.3
Hubungan Antara Slametan dan Penti Wǝki Peso Beo.
Slamet atau slametan adalah
upacara penghormatan terhadap sedulur
papat dengan membuat tumpeng.
Sedangkan, pǝnti wǝki peso beo adalah upacara syukuran panen raya, bisa
per tahun atau tergantung kesepakatan tua-tua adat di sebuah kampung adat. Pǝnti
wǝki peso beo artinya bersyukur atas kebaikan Tuhan atas satu musim panen
dan membersihkan diri dari warga kampung adat selama sebelum upacara pǝnti
dilaksanakan. Upacara pǝnti berbeda untuk setiap kampung adat dan
lazimnya melibatkan suku-suku dalam kampung tersebut.
Hubungannya dengan slametan
karena setelah acara pǝnti bersama diadakan acara takung hang wura
agu cǝki masing-masing rumah dengan mempersembahkan hewan korban berupa
ayam jantan. Upacara bersama sebelum dilakukan di rumah masing-masing dilaksanakan
upacara barong boa (buat acara di kuburan), barong wae (buat
acara di mata air), barong compang (altar adat). Upacara barong
atau memberi makan roh penjaga mata air, roh leluhur dan Wujud Tertinggi di compang
sesuai dengan filosofi orang Manggarai mengenai gǝndang onen lingkon
pe'ang di mana ada rumah Gǝndang, compang, natas
(alun-alun), mata air (mata wae) dan kebun (lingko). Yang dikenal
mbaru bate ka'eng (rumah tempat tinggal berupa gǝndang), natas
bate labar (alun-alun tempat bermain), compang bate dari (altar
untuk berjemur sekaligus mempersembahkan korban), uma bate duat (kebun
bekerja), dan wae bate teku (mata air untuk ditimba). Kelima unsur
tersebut, tiap-tiap Gǝndang memilikinya.
BAB
III
DEUS
LORD
Anda pasti sudah berpikir bahwa kata ini
sudah jelas merupakan ungkapan Latin atau Inggris karena deus artinya
Allah halnya deum, sedangkan lord dalam bahasa Inggris artinya
Tuhan, Tuan. Dengan demikian, deus lord artinya Tuhan Allah. Ungkapan
ikutan dari deus lord adalah deus lord wini, deum lord'm. Bahkan,
ungkapan perpanjangnya deus deum lord wake wini. Ada juga tambahan
ungkapan lain deus deum lord dǝ pangan, deus lord dǝ wake winin!
Ungkapan sepadan deum lord dǝ waken, deus ejorn dǝ wini, deus wini!
3.
1 Deus.
Deus itu ungkapan Latin, artinya Allah.
Namun, deus sebenarnya di sini adalah bahasa Manggarai yang merupakan
gabungan dari kata deu + s. Deu artinya jauh, s-nya artinya
mereka (telah, telah menjauh). Maka, deus artinya mereka jauh, (telah)
jauh, mereka telah menjauh! Deus bisa juga berarti nyaris mendekat.
3.2
Lord.
Lord dalam bahasa Inggris dimengerti
sebagai Tuhan, Tuan. Ada sebutan lord land atau tuan tanah. Namun, lord
ini ungkapan bahasa Manggarai artinya menjalar, bertumbuh. Lah, deus lord
berarti pertumbuhan berada pada kuasa Ilahi. Manusia boleh berusaha, namun Deus
Lord yang menentukan pertumbuhannya.
3.3
Wini.
Wini dalam bahasa tertentu artinya
berparas elok. Namun, wini yang dimaksudkan adalah ungkapan bahasa
Manggarai artinya benih (seed). Misalnya, wini daeng. Daeng
di sini bukan sebutan daeng yang menunjukkan kakak lelaki dalam bahasa
daerah Sulawesi Selatan atau yang kemudian dimengerti sebagai kakak lelaki yang
berparas elok tetapi daeng artinya umbi kayu, sedangkan wini-nya
adalah biji buah dari daeng itu. Kita
melihat ungkapan ini: dues lord wini dǝ daeng, artinya benih dari
ubi kayu sudah berkembang menjalar. Deus lord wini dǝ daeng dapat
diterjemahkan Tuhan Allah itu kakak lelaki yang berparas elok. Ungkapan deus
lord wini dǝ daeng lebih dipahami sebagai sadulur papat lima pancer
dalam Kejawen yang artinya empat saudara
laki-laki sementara dalam kebudayaan orang Manggarai disebut ase kae wǝki.
Karena itulah, deus lord wini artinya paras Tuhan Allah itu elok atau
Tuhan Allah itu berparas elok. Ada ungkapan dalam sebuah Bible, mengatakan:
Manusia itu adalah gambar dan citra Allah itu sendiri. Olehnya, manusia itu
adalah wini de Lord artinya benih IIahi.
Ada tertulis di dalam Bible tentang
Perumpamaan Seorang Penabur. Demikianlah, itu adalah taburan firman. Penaburan
benih serupa dengan penaburan firman. Allah Sang Penabur sekaligus Sang
Penumbuh. Deus Lord Wini adalah gambaran Yesus Ilahi yang berparas elok
nan rupawan. Kemudian, ada ungkapan orang Manggarai wua lord wini de nuca
artinya bertumbuhnya benih dari bumi atau tanah; dapat juga dipahami,
manusia disebut sebagai wua tuka de nuca yang artinya buah
dari bumi, dari pertiwi. Segala yang hidup di bumi disebut saung haju wela
de nuca di mana segala sesuatu itu seperti dedaunan pohon dan kesemuanya
adalah bunga dari bumi sesuai dengan ngoeng de lord or will of God. [Untuk diketahui wua artinya buah, wela
artinya bunga dan tuka artinya perut, pertiwi sedangkan nuca
artinya bumi atau tanah]. Ada lirik lagu
orang Manggarai, begini:
E....daeng y'eng go lako na,e...o...a...a yole
da...eng...daeng e.....
E.....wǝrus koe telun
ta.....e....o....a, a...yole da....eng.....daeng e....
E....tua koe suan ta....e....o....a, a
yole da...eng, daeng e.....
Lirik lagu ini multi makna, yang mana di
satu sisi daeng atau kakak lelaki itu sudah menjalar, wini-nya
sudah berkembang. Diharapkan, dia menghadirkan dua atau tiga putera/i. Dapat
juga dimengerti sebagai sumber kehidupan di mana kehidupan daeng atau
umbi itu menghasilkan dua atau tiga umbi sehingga bermanfaat bagi kehidupan
yang lain. Dalam pengertian Kejawen dan Ase Kae Wǝki, saudara
tua laki-laki/perempuan membantu seseorang menghadirkan keturunan.
3.4
Ejorn.
Ungkapan ini terdiri dari dua kata e
dan jor. E artinya ya, sedangkan jor artinya tertumpah
keluar, jatuh keluar misalnya padi di dalam karung. Sedangkan, n artinya
kepunyaan sehingga jor + n berarti tumpahannya, terjatuhnya. Bila e
jor n berarti seruan mulut bocor, bila e jor berarti itu
bocor dan bila ejor artinya begadang, pesiar dan bila ejorn berarti dia berjalan keliling,
begadang, sehingga,
bila
ejor wini artinya benih yang mencari mineral di dalam tanah. Bila
ejor waken wini artinya akar serabut yang mencari bahan makanan
di dalam tanah.
3.5
Wake.
Coba lihat kata wake, woke, waken
dalam bentuk verb bahasa Inggris. Wake itu kata kerja bahasa
Inggris. Wake bentuk pertama artinya air baling-baling, jaluran ombak,
membangunkan. Sedangkan, waken adalah bentuk ketiga sama seperti go
went gone. Namun, waken artinya akarnya dalam bahasa Manggarai yang
merupakan gabungan dari kata wake + n. Wake atau akar tetumbuhan
itulah penbangunan, pendiri utama, pencari makanan. Lihat saja akar tunggang
dan akar serabut menerobos seperti jaluran ombak mengumpulkan sumber nutrisi
bagi tubuh pepohanan. Ada ungkapan orang Manggarai: wakak bǝtong asa, manga waken
nipu tae.
Dengan demikian, ekspresi deus lord
wini bukan hanya berarti paras Tuhan Allah yang elok tetapi juga benih
tetumbuhan yang sudah bertumbuh menjalar jauh atau biji benih itu sudah mulai
berkecambah. Misalnya, ungkapan deus caid yang artinya sebentar
lagi mereka datang karena deus bisa berarti sebentar lagi, sudah
mendekat. Dan, bila deum lord'm artinya jalarannya sudah terlalu jauh
sama seperti ungkapan ini: Wake cǝlern nggari wa, saung bembang nggari
eta! Itu berarti pepohonan itu sudah sangat kuat dan mumpuni. Sulit sekali
untuk menjadi wakak ciri watang - tumbang menjadi pohon tua yang
tumbang.
Kemudian,
bila diungkapkan deus deum lord dǝ wake winin artinya
jalaran akar biji benih itu sudah semakin jauh mengakar. Bahkan, ada juga
ungkapan lain deus deum lord dǝ pangan yang artinya ranting-ranting
kian bertambah dan pucuk dedaunan di dahan-dahan menghijau keluar.
Ungkapan sepadannya deum lord
dǝ waken, deus ejorn dǝ wini yang kesemuanya berarti amat
jauh akar itu menjalar. Karena itu, ada ungkapan: Wake cǝlǝr nggari wa.
Panga + n artinya rantingnya. Ada tambahan, deum lord dǝ saungn. Saung+n
artinya dedaunan itu, daunnya. Makanya, ada sebutan: Saung bembang
nggari eta. Ada ungkapan lain pula: Deus lord wecak dǝ wini.
Ungkapan ini, wini bermula dari wela atau bunga. Wini wela
artinya generasi kelanjutan dari cucu. Ada ungkapan: wecak wela lebo saung
pe'ang artinya keturunan yang terus lord dan berkeriapan di masa
depan. Lalu, ada sebutan deus
lord lewen. Ini merupakan ungkapan bahasa gabungan dari Latin (Deus,
Deum), English (Lord), Gayo (Lewe, Lewen), dan Bahasa
Manggarai (Lewe, Lewen). Bahasa Gayo, lewe itu artinya lawan,
tegur, sapa. Sedangkan, bahasa Manggarai, lewe artinya panjang,
panjangnya.
Bila, deus lord lewen versi
Latin, English dan Gayo maka berarti Tuhan Allah itu berupa sapaan, teguran.
Bisa juga perlawanan dari makhluk atau inti kehidupan. Sedangkan, versi Latin,
English, Manggarai maka kalimat itu berarti Tuhan Allah itu panjang, nun jauh,
tak berkesudahan, atau Deus Transenden. Jika, kalimat deus dini lord,
maka Allah itu dekat atau Deus Imanen. Dini sama dengan deu
caid artinya sudah dekat.
Manakala dimengerti dalam deus lord
lewe yang artinya sebentar lagi jalarnya kian menjalar dilihat dari sudut
pandang Latin, English dan Gayo maka Tuhan Allah itu adalah tegur sapa berarti
mengarah pada moral attitude atau sikap. Jika seseorang suka
menyapa atau menegur orang lain, maka itu disebut Deum. Jika, sebaliknya
disebut lawan berarti keangkaramurkaan. Allah bisa menegur dengan melawan orang
yang tidak suka menegur sapa orang lain. Deus berarti juga Deum
yang pemaaf, yah sesuatu yang jauh tetapi memaafkan.
Ada ungkapan Tuhan Yesus dalam Bible:
Kamu yang menggarap, kamu yang menanam, kamu yang menyiram, kamu yang menyiangi
bahkan kamu pula yang menuai tetapi kamu tidak tahu
bagaimana proses bertumbuhnya! Ada proses pertumbuhan di sini, kemajuan
atau rintangan berupa hama dan gulma. Gulma, hama, dan manusia tidak tahu
proses bertumbuhnya itu. Ada ungkapan: Deus lord waken, deus lewen lord
waken. Nah, proses bertumbuh itulah campur tangan Tuhannya. Deus lord
waken atau Tuhan Allah
membangunkannya.
Agar diketahui, tetumbuhan itu hidup
karena Deum itu sumber energi kehidupannya. Itu sama dengan anima vegetatif di mana setiap jiwa
tutumbuhan berkomunikasi dengan Allah. Makanya, Aristoles bilang tiap
tetumbuhan ada jiwanya dan orang Manggarai bilang neteng caoca manga Morin
- tiap apapun ada Tuhannya karena itu ritus aji mumpungnya adalah ngelong.
Ngelong adalah aktivitas
konkret dari anima vegetatif atau lord
deu lewen, lewe deum lord, artinya karena kuasa Ilahilah kalian bertumbuh
dan berkembang biak. Nah, bila melakukan kesalahan dengan hewan dan tetumbuhan
lakukanlah rekonsiliasi atau ngelong.