25/05/25

Turnamen Sepak Bola dan Bola Voli Bulan Rosario Stasi Coal Mei 2025 Awalnya Riang Kemudian Sedih


Mengisi bulan Rosario Mei 2025, di Stasi Coal, Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu, Keuskupan Labuan Bajo menggelar turnamen bola sepak dan bola voli. Giat itu berlangsung sangat meriah. Pembukaan turnamen dimulai pada Minggu, 25 Mei 2025 di lapangan bola sepak Gereja Stasi Coal.

Pertandingan ini dalam rangka mengikat tali persaudaraan dan persaudarian umat Stasi Coal di wilayah itu. Turnamen itu hanya mengambil dua jenis perlombaan sepak bola putera U45+ atau sepak bola lanjut usia dan pertandingan bola voli putera dan puteri.

Turnamen itu bersistim ½ kompetisi dan pertandingan dilakukan antar Kelompok Basis Gereja (KBG). Dalam pertandingan itu, diizinkan pula pemain naturalisasi. 

Meriah Kemudian Berduka.

Minggu, 25 Mei 2025 sebagai hari pertama, lapangan bola sepak Stasi Coal digemuruhi suara dukungan yang begitu ramai dan menggelegar. Suara riuah suporter masing-masing keenaman KBG membahana persekitaran. Suara komentator turnamen itu pun menggelegar ke mana-mana. Suasananya tampak ramai dan gembira.

Pertandingan bola voli puteri antara KBG yang melibatkan KBG dari Sama dan Coal itu sangat gembira. KBG dari Sama mendominasi pertandingan melawan KBG dari Coal. Hari pertama turnamen itu, beberapa KBG dari Sama khususnya turnamen bola voli sukses menyingkirkan keenaman dari Coal dan Ntalung. Usai pertandingan voli di hari pertama itu, giliran pertandingan bola kaki antara KBG dari Coal versus Ntalung. Entah apa yang terjadi, salah satu pemain dari KBG Ntalung jatuh di lapangan. Dirinya kemudian dibawa ke Puskesmas dan mungkin, Senin (26/5/2025) ia menghembuskan nafas terakhhirnya. 

Pertandingan bola kaki itu belum usai. Tapi terdengar suara lorang (tangisan) dari para wanita. Ternyata salah seorang pemain tengah tidak sadarkan diri. Diduga jantung dan mungkin karena usia, beliau pun meninggal dunia. Coal kemudian berduka.

Pada saat turnamen perdana itu berlangsung, Penulis tengah berada di sebuah kebun kopi tepatnya di Ramegilo. Penulis bersama putera sulung, Juang. Memang hari itu Penulis ke kampung. Tidak tahu ada pertandingan antar KBG. 

Penulis bergegas dari Ruteng sekitar Pukul 07.00 WITA. Tiba di Coal sekitar Pukul 09.00 lewat WITA. Saat ke kebun, di lapangan SDK Coal belum terlihat begitu banyak orang. Tampaknya mereka berada di lapangan bola voli. Tiba di kebun, suara komentator yang membahana keras menemani aktivitas Penulis hari itu. Maklum lagi meremas-remas buah kopi yang merah. Ingin hati bergegas ke lapangan, apa daya kami sudah berpakaian ala petani. Sudah dalam keadaan kotor apalagi kami sempat menanam beberapa jenis tanaman.

Kehebatan komentator memainkan kata-kata penyemangat membuat suasana pertandingan itu semakin luar biasa. Kami yang tengah memetik kopi seolah-olah terhibur. Hanya mendengar dari kejauhan tanpa menyaksikan secara langsung.

Wangi Daun Sirih.

Pada saat Penulis memetik kopi menghirup bau daun sirih. Seolah-olah ada kakek atau nenek yang memakan sirih pinang. Saya kemudian berujar kepada Juang, bilang: Ini ada wangi daun sirih. Kok ada daun sirih di sini? Kaget saja karena saya tidak pernah menanam sirih di situ tetapi serasa ada yang tengah makan sirih pinang. Saya merasa heran akan wangi daun sirih itu (saung kala dalam bahasa Manggarai). Di lapangan bola kaki terdengar suara komenator yang menggelegar bak suara petir membahana. Terdengar juga suara komentator menyebut nama Om Alo Lalon dan Om Frans Jeragan yang akan berhadap-hadapan dalam pertandingan itu. Hari itu sedikitpun tidak ada gerimis dan sang surya bersinar hingga petang tiba.

Kami mendengar tampak Kesa Yance Tangga dan Ema Koe Paulus Madu menjadi wasit pertandingan itu. Ada juga nama-nama lain tetapi lupa. 

Saya berusaha menerabas kebun di bagian sisi timur kebun itu dengan maksud membersihkan tanaman salak dan tebu dari gulma. Kemudian mencabut beberapa batang tebu untuk dimakan dan ditanam. Kami pun memakan batang tebu-tebu itu. Sisanya potongan kemudian ditanam.  Aktivitas kami sudah selesai. Tiba-tiba dari arah lapangan terdengar suara tangisan Ibu-Ibu. Suaranya ramai. Saya berkata kepada si sulung: Itu ada suara tangisan. Si sulung menjawab tidak ada. Saya bilang coba engkau dengar baik-baik. Lalu, Juang bilang: Oh iya, betul! 

Saya berpikir ini tidak ada yang beres. Saya bilang ke si sulung untuk segera bergegas pulang. Kami pun segera pulang menuju persinggahan. Di jalan, kami bertemu-temu dengan orang-orang yang pulang dari lapangan. Saya masih berpakain kerja dengan parang di pinggang, keranjang di punggung belakang juga membawa skop dan sedikit kopi di karung. Kami berjalan kaki ke kebun.

Tiba dipinggir jalan, saya bertemu dengan Kesa Yance, ase Irwan Syukur, Ema Koe Paulus Madu, Amang Endi, dan Ase Walter (ase Boy). Ada pula seorang Tanta. Saya kemudian bertanya kepada Kesa Yance Tangga siapa yang meninggal. Kesa Yance menjawab dengan samar-samar. Informasinya sudah divonis sudah meninggal.

Ketiba tiba di dekat rumahnya Ema Koe Paulus Madu, persis di depan rumahnya Pater Dr. Sefi, SVD, ada Ibu-Ibu datang dari atas bilang kalau Om Her (Emar San) masih sadar. Suasana pun kembali normal. 

Malam pun berlalu dan fajar Senin, 26 Mei 2026 pun menyingsing. Penulis hendak ke kebun Wae Lowang. Sudah sarapan pagi hendak ke kebun lain. Begitu hendak pergi ke kebun terdengar kabar kalau Om Her (Emar San) meninggal. Agenda saya pun pupus untuk ke Wae Lowang. Akhirnya, saya menyuruh si sulung segera mandi dan bergegas kembali ke Ruteng. Kami bergegas dari kampung sekitar Pukul 10.00 WITA. 

Sisa Uang Hanya Rp40.000,-

Kami pulang pasti melintasi rumah duka. Persis ada jalur lain dan jalur itu tanjakannya sedikit saja. Kami pun mengambil jalur barat. Memang saya sering melewati jalur itu untuk menghindari kemacetan di pendakian. Sisa uang hanya Rp40.000,- di dompet hanya untuk membeli bensin dan kalau terjadi kempes ban di jalan. Saya tidak jadi melayat. 

Ketika seorang anak muda sebelumnya meninggal di belakang rumah Kesa Yance Tangga, saya tidak sempat melayat karena hilang dompet bahkan bersama ATM. Memang tidak ada uang. Uang layatan tidak ada. Tentu bukan soal uang tetapi etika dan kesadaran sosial itu perlu. Mau bilang apa?

Om Her Murah Senyum.

Emar San atau Amer San terkenal dengan murah senyum. Saat berjumpa pasti selalu menyapa dan selalu melemparkan senyum. Beliau punya kebun cengkeh di Ramegilo dan terkadang saat beliau pulang memetik cengkeh dan sementara kami bekerja beliau selalu melemparkan senyum. Persis memang kalau beliau ke kebunnya sudah pasti melintas di kebunnya kami. Mungkin itu korelasi antara wangi daun sirih yang saya hirup sementara memetik kopi unggul.

Ketika melintasi rumahnya ketike ke Coal, beliau selalu melempar senyum. Terkadang kami membeli minuman di kios milik beliau termasuk ikan, bensin, gula dan bahkan mengisi angin sepeda motor. Beliau memang terkenal paling ramah dan murah senyum di lingkungan kami. Ciri khas beliau adalah tersenyum. Memang bukan soal uang tetapi saya malu sekali mau melayat beliau. Kesepakatan di Coal, siapapun yang dipanggil Tuhan ada kontribusi Rp50.000,- terkadang bisa distor dari belakang. Tetapi unsurnya tidak main paksa. Bisa juga di bawah itu dan sebenarnya juga keluarga berduka tidak membutuhkan konstribusi hanya saja ada perasaan sebagai tetangga selingkungan.









 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar