11/06/17

CEKENG.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Selasa (11/7/2017).

Ini adalah ungkapan orang Manggarai, Flores, NTT untuk menyebut prinsip persatuan sebagai manusia dengan semangat persaudaraan dan persaudarian yang tetap saling menghargai 'du cain cekeng' - suatu masa kedatangan terjadi taen teti Landuk - mengangkat seorang pemimpin misalnya dalam kebersamaan.

Du cain cekeng memang merupakan ungkapan umum. Misalnya, cekeng tetin Landuk - mengangkat seorang pemimpin; cekeng weri - saat menanam bersama berupa padi jagung, kacang tanah, dsbnya; cekeng tae laki - kaum muda dan mudi yang melepas masa lajang; cekeng penti - syukuran panenan; cekeng ako - musim tuai;  cekeng tawi - saat penyiangan; dan cekeng kelang - musim penanaman kedua.

[Du cain cekeng  dijelaskan secara perinci, begini: du artinya pada; cain kedatangan itu, kedatangannya, saatnya dilakukan; cekeng artinya musim].

Cekeng Tentangn Caun Landuk.

Halnya periodesasi kepemimpinan modern di bawah konsep Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquieu yang kemudian dikembangkan oleh John Locke tentang sistem sebuah kepemerintahan: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dengan tentu menghilangkan prinsip L'etat, Cest Moi - negara adalah saya, sebagaimana prinsip dasar Raja Louis XIV di Perancis termasuk cara berpikir Raja Babilon Nebukadnezar yang mengganggap dirinya sebagai Tuhan dalam Kitab Perjanjian Lama oleh orang Nuca Lale sebenarnya sudah jauh-jauh hari telah melaksanakan itu dengan sistem pemerintahan adatnya yang terbagi dalam struktur: Tu'a Golo, Tu'a Gendang, dan Tu'a Teno. Kepala bagian orang Manggarai menyebutnya Tu'a Panga yang oleh kalangan tertentu disebut Kepala Suku.

Sistem Trias Politica yang kebanyakan dikembangkan oleh Negara Republik telah membagi periodesasi kepimimpinan 4-5 tahun masa kepemimpinan bahkan ada yang mungkin hanya tiap dua tahun. Namun, dalam konteks budaya Manggarai sistimnya seumur hidup dengan sistim pengangkatan berdemokratis-partisipatif-dialogis yang oleh orang Manggarai menyebutnya lonto leok - duduk melingkar. Struktur pemerintahan adat orang Manggarai sama dengan Trias Politica dalam demokrasinya, sedangkan kekuasaannya seumur hidup sebagaimana dikembangkan dalam masa kepemimpinan hirarki dalam Gereja Katolik Roma, mulai dari Paus hingga Uskup termasuk sistim pengangkatan Paus sama dengan sistim pemilihan pemerintahan adat orang Manggarai.


Khusus untuk cekengn tetin caun Landuk, ungkapan orang Manggarai tampak dalam kalimat seperti ini:

Toe patun rangkuk, gincu agu gancu tau hae wa'u du tentangn caun Landuk, ai konem woleng cai one mai rowengn'edeh landing ca'ay kali tobokn Wowod.

[Bertengkar itu tidak baik terutama pada saat mengangkat seorang pemimpin karena meski lahir berbeda kandungan, Tuhan kita tetap satu dan sama].

Wa'i baed te lako agu lime baed te wejong kali dite, nuk agu bengkes cewen kole so'ot tura lete bari ata nggoeng de Poetn Mose Caoca.

[Kita hanya bisa melangkahkan kaki dan mengayunkan tangan, sebab apa yang ditunjukkan setiap hari kepada kita adalah semata-mata kehendak Sang Ilahi].

Mbewes de lite kere lele, neka cehas weda, asi pohangs ongga, neka tadus kaut racuk cewen mesen ga one 'mburuk' neteng: katu ata patun kali, tua ata betuan diang cesua kut nggelok ka'eng beod, nera neteng bendard kali, culu nukd gerak rangad agu baca tarad sangged lawa one 'natas' labar camad.

[Kita seyogianya mengusir saling membunuh, jangan menyembunyikan kesalahan, jangan tidak mengakui jika kita telah menjatuhkan orang begitupun saat kita menampar orang terutama sekali saat mengangkat pemimpin: hendaklah menampakkan yang baik, mengharapkan dan melaksanakan apa yang baik ke depannya di mana kita berpijak, hendaklah menjadi terang tiap rumah tangga, lilin pembawa terang dengan raut muka yang senantiasa ceria di mana kita bertempat tinggal, bercocok tanam dan saling bersandagurau tanpa ada ada beban selama kita tengah berziarah di bumi].

Selanjutnya.....

Ekspresi himbauan moral di atas memang tidak sinkron dengan politik praktis zaman ini. Pada masa lampau saja, pemilihan pasangan suami seorang Tuan Putri Raja dilakukan dengan cara sayembara besar-besaran bahkan termasuk pemilihan seorang Patih Raja melalui adu kekuatan fisik, psikis dan intelek. Namun, tulisan ini tetang 'cekeng' yang hal itu memang tidak terhindarkan.

Seorang penggarap kebun pada masa 'cekeng' akan mengorbankan segalanya apa yang ada di dalam tanah. Selalu saja membawa dampak buruk bagi makhluk lain. Meski hal itu menjadi keharusan, ada satu proses yang disebut rekonsiliasi yang dalam bahasa Manggarai disebut ngelong. Konsep ngelong ini sudah terbuka lebar, tidak hanya pada tataran pada konteks karena berhadapan dengan perbuatan merusak tetumbuhan dan makluk lain misalnya oleh petani tetapi juga ada istilah NGELONG TETI ADAK sebagai bentuk rekonsiliasi namun hal itu jarang dilakukan dalam kancah politik praktis. Ngelong teti Adak hanya dilakukan pada saat hendak mau memilih tetapi ngelong pasca pemilihan jarang bahkan tidak pernah dilakukan karena sudah terlanjur sakit hati karena caci maki.

Hal itu memang sulit untuk dilakukan karena terbentur dengan kepentingan politik. Lembaga masyarakat adat butuh diangkat untuk menjadi laro ngelong - jembatan rekonsiliasi. Jika dalam satu wilayah demokrasi terbentur dengan kepentingan politik, hendaklah bisa mencari Tetua Adat yang dianggap mampu untuk melakukan rekonsiliasi. Ini sulit dilakukan namun bisa dilakukan. Tujuannya: nggelok agu rewo kin ka'eng beo - tetap bersih dan ramainya tinggal dalam satu wilayah sebagaimana diekspresikan di atas.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar