12/01/18

Kisah Cerita Ci Pitu Empo Takang dengan Mori Reo.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Jumat (12/1/2018).

[Poco - Cibal tempoe doeloe]

Inilah Kisah Cerita Ci Pitu Empo Takang Relasinya dengan Timung Te’e di Wudi.

Lihhttps://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/manggarai-tempoe-doeloe.html. Sumber foto dari website netherland.

Sejarah membutuhkan data mentah atau disebut sebagai datumSiprianus Jedaut, titisan Empo Takang melalui telepon selulernya kepada Silvester Takang (Sekretaris Dinas Perdagangan Kabupaten Manggarai, Kamis, 12 Januari 2018), menuturkan silsilah Empo Takang. Berikut penuturannya:

Asal Mula.

Homat dan Rahmat.

Keturunan Hormat.

Hormat memperanakkan Tuama, Samsudin dan Ngolo. Tuama dan Samsudin tidak diketahui sejarah keturunannya kemudian karena masih kurangnya informasi yang diperoleh oleh Penulis.
Keturunan Ngolo.

Ngolo memperanakkan Coel.  Coel memperanakkan Lompeng dan Sitar. Lompeng anak dari hasil perkawinannya dengan molas Watu Rangat yang merupakan isteri pertamanya yang bernama Lindeng, sedangkan Sitar hasil perkawinan dengan isteri kedua yang merupakan darat (sejenis bidadari perempuan) yang berasal dari Liang Wudi. Keturunan Sitar inilah cikal bakal lahirnya Timung Te’e yang bersuamikan Lanur. Sitar beristerikan orang Cibal - tidak diketahui namanya.

Lalu……………..

Anak isteri pertamanya si Lindeng melahirkan anak bernama Lompeng. Lompeng kemudian memperanakkan Dangka. Dangka memperanakkan Pangka dan Takang. Nah, kakaknya Takang yang bernama Pangka itulah yang kemudian menempati Kampung Ndehes, sedangkan Takang tinggal di Golo Cador.

Silsilah Empo Takang.

Dengan demikian, silsilahnya Empo Takang: Hormat – Ngolo – Coel – Lompeng – Dangka – Pangka dan Takang.

Silsilah Empo Sitar.

Ada pun Eyang Sitar: Hormat – Ngolo – Coel – Sitar – Timung Te’e. Coel yang memperisterikan darat di Liang Wudi saat bertemu di mata air itulah, maka lahirlah Sitar.

Keturunan Takang.

Takang memperanakkan Hap, Ngkahar dan Ganti. Hap lahir dari kandungan isteri pertama, seorang molas (gadis) Riung - Cibal. Sedangkan, Ngkahar dan Ganti anak dari isteri kedua, seorang gadis asal Lawi – Congkal.

Keturunan Hap.

Hap memperanakkan Tondo dan Cicing. Tondo memperanakkan Angka. Angka memperanakkan Anggang, Ka’ang, dan Sangkang. Sedangkan, Cicing memperanakkan Jankam. Jankam memperanakkan Raha, Ceki dan Alang.

Kisah Ci Pitu Empo Takang.

Pro Todo.

Empo Takang pada masa lampau membela orang Todo dalam rangka melawan orang Cibal. Ketika Cibal kalah, Empo Takang meneruskan misinya menuju ke Reo dengan maksud melawan Mori Reo.

Kilasan Ci Pitu.

Ada pun ci atau suntang  - perjanjian kemampuan secara sepihak dilakukan oleh Mori Reo kepada Empo Takang seperti perjanjian ujian kemampuan, sebagai berikut:

Pertama, menarik kapal. Empo Takang disuruh oleh Mori Reo untuk aru kapal wa mai tacik ba eta tana masa (menarik kapal laut dari laut menuju daratan).

Kedua, membedakan anak bebek. Ci kedua ini, Empo Takang disuruh nia taran anak bebek ata wain agu ata lakin (membedakan jenis kelamin dari anak bebek yang baru menetas).

Ketiga, membawa meriam. Ci ketiga, menyuruh Empo Takang untuk pola meriam mai lau mai Kendindi caing/nang le Tengku Romot (membawa sendirian dua buah meriam dari Kedindi menuju Tengku Romot yang diperkirakan sejauh dua kilometer). Empo Takang menamakan kedua meriam tersebut sebagai reba mbaling dan molas mbaling.

Keempat, mematahkan besi. Ci keempat disuruh untuk ri’o beci mongko (mematahkan besi baja seperti linggis rupanya).

Kelima, memakan garam tiga kubik. Ci kelima, dia disuruh memakan ci’e telu jeruku (garam sebanyak tiga kubik).

Keenam, mengadu kerbau. Ci keenam, dia diminta untuk raha tungkal taud kaba (mengadu tanduk kerbau).

Ketujuh, kerbau berjalan di dalam bambu bahan pembuat seruling. Ci ketujuh, dia diminta untuk lakon kaba one mai helung (memasukkan kerbau ke dalam bambu sebagai bahan pembuat seruling dan berjalan di dalammya).

Nah, semua tantangan itu mampu dilakukan oleh Empo Takang termasuk memenangkan aduan kerbau. Setelah peristiwa itu, Mori Gowa pulang dan singgah di Wudi. Di Wudilah, Mori Gowa menyematkan kepada Empo Takang sebagai Panglima Perang Todo. Mori Gowa pun menawarkan satu hal kepada Empo Takang namun Empo Takang hanya menerima sebagai Dalu Ndehes saja tepatnya di Gelarang Poka. Setelah peristiwa itulah, taki mendi dihapus. Apakah hubungannya dengan Sernai yang berhasil membunuh Mori Reo dan cerita watu ranggi di Ranggi?

Asal Mula Ceki Ndamu.

Dahulu kala, hiduplah Hormat dan Rahmat. Mereka adik berkakak suka berburu. Di suatu tempat mereka mendapatkan binatang buruan berupa ndamu atau kula yang dalam bahasa Indonesianya berarti musang. Kemudian, si kakak itu menyuruh adiknya mencari laca. Sepanjang adiknya mencari, sulit ketemukan laca tersebut lalu saat pulang daging musang tersebut sudah di-ceang (dipotong-potong). Karena merasa jengkelnya, si adik pun bernazar untuk mereka segera berpisah. Maka terjadilah perpisahan. Kisah tersebut mirip dengan kisah Suku Mera di Lando Cibal.

Kisah Ceki Ndamu Suku Mera di Lando – Cibal.

Apakah ada hubungannya?

Ini Sejarah Suku Mera di Lando - Cibal.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Jumat (30/12/2016) di Pong Acu Ruteng.

Uku Mera di Lando – Cibal bermula dari sebuah kisah perburuan. Perburuan tersebut dilakukan oleh beberapa saudara yang berasal dari Popo – Satar Mese.
Mereka berburu musang - kula dalam bahasa Manggarai – hingga ke persekitaran Golo Lusang di Ruteng.
Perjalanan mereka cukup jauh dari Popo menuju Golo Lusang, namun baru ditemukan binatang buruan di Golo Lusang.
Saat kula sudah didapat, maka saudara yang usianya lebih tua menyuruh saudara yang bungsu untuk mencari saung laca – daun untuk alas dalam bahasa Manggarai.

Suatu yang mustahil, tidak masuk di akal bagaimana saudara yang tertua menyuruh adik bungsu mereka mencari saung laca di Golo Wesa di Watu Rambung. Sayangnya, titah dari saudara si bungsu tidak ditemukan dan yang diketemukan hanya saung woko – sejenis daun pohon dalam bahasa Manggarai.
Si bungsu kemudian membawa saung woko tersebut ke Golo Lusang di tempat di mana kula buruan ditemukan. Betapa kecewa dan sakit hatinya si bungsu ternyata kula tersebut sudah di-ceang – sudah dibela badannya menjadi beberapa bagian untuk dibagikan.

Tauk.

Karena kekesalannya, dia pun tauk – sejenis bernazar - kepada saudara-saudaranya yang tertua. Begini nazarnya: “Mulai dari sekarang, saya berpisah dari kalian!”.

Si bungsu – yang tidak mengetahui nama aslinya itu – pergi ke arah utara di Cibal. Dia tiba di Golo Bangka lalu ke Golo Kembo dari Golo Kembo bergegas ke Lando – yang sekarang menjadi kampung adat Lando di Cibal.

Mbela.

Kisah perziarahan si bungsu tadi putus di situ. Tidak ada satu pun yang tingeng – ingat dengan baik – cerita lanjutan dari si bungsu yang ngambek tadi. Hal itu karena kurangnya data sejarah tetapi langsung ke cerita tentang sejarah lahirnya Mbela. Nah, kisah si bungsu itulah cerita Empo Takang itu.

Mbela sebenarnya bukan nama asli tetapi nama yang diberikan berdasarkan suatu peristiwa tertentu. Mbela berasal dari keturunan dari si bungsu yang ngambek, namun keturunan mereka tidak diketahui persis nama-namanya.

Begini ceritanya:

Ada seorang perempuan yang tengah mengandung. Tidak diketahui siapa namanya dan siapa pula nama suami dan nama kedua orang tuanya.

Perempuan tersebut hendak ciang tana – mau melahirkan atau partus. Saat mau ciang tana karena ngerinya sakit melahirkan, ibu itupun meninggal dunia. Orang yang membantu perzalinan menjadi panik bercampur sedih. Mereka ingin mendapatkan anak bayi mungil dari rahim ibu yang sudah tidak ada lagi tersebut. Mereka pun berusaha keras dan memutuskan untuk membela perut ibu yang malang itu.

Hasil pembelaan perut tersebut, penolong perzalinan mendapati seorang anak laki-laki dan selamat.

Agaknya dari cerita turun temurun, Mbela kemudian mendapatkan cerita dari ayah dan keluarganya bahwa mereka ber-ceki atau bertotem kula dan niki – niki artinya kalong. Cerita tersebut diperolehnya dari ayah, buyutnya bagaimana kakek pertama mereka meninggalkan saudaranya yang lain karena dia menghargai nazarnya itu.

Tua Golo Gendang Lando, Markus Cundung, warga Lando, Desa Lando, Kecamatan Cibal di Gendang Mera, Jumat (30/12/2016), kepada Penulis menuturkan, manakala keturunan Mbela memakan daging kula dan niki dipastikan mereka terkena ruci – penyakit kulit. Selain itu, keturunan Mbela tersebut tidak boleh puing – menjadikan kayu api – pohon woko yang diambil oleh si bungsu untuk dijadikan laca de kula – daun alas dari musang saat dicincang menjadi onggokan kristal daging.

Dampak dari mem-puing pohon woko, anak dari yang bersangkutan akan bapa – menjadi seperti orang linglung, sengelenge, gila dan sinting.

Musa.

Melanggar ceki atau totem bagi suku Mera masih memiliki musa - obat penawarnya. Caranya menggunakan sejenis rerumputan tai ela – tai ela sejenenis tanaman herbal yang tumbuh di temek atau daerah rawa-rawa. Lazimnya tanaman tersebut tumbuh di dekat mata air dan di situ ada temek – rawa-rawa yang dinilai serem atau dikenal pong cengit.

Untuk diketahui, Uku Mera tersebut berasal dari Mbera di Popo. Sedangkan, soal ceki dari saudaranya di sana belum diketahui karena bagaimanapun si bungsu dalam kisah di atas masih memiliki ceki asal sama seperti ceki dari saudaranya yang lain di Popo.

Apakah Cerita Empo Takang Ada Hubungannya dengan Cerita Lontar Mlondek?

Begini kisahnya…..!!!

Lontar Mlondek dalam Kilasan Sejarah Manggarai.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Rabu (27/12/2017).

Lalu, Apa Relasinya dengan Kasong?

Drs. Theodorus Taram (Desember 2017
menjabat sebagai
Sekretaris Dinas Kesehatan
Kabupaten Manggarai,
Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang pada Kamis, 11 Januari 2018 menjadi Sekretaris Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Manggarai yang dilantik oleh Wakil Bupati Manggarai, Drs. Victor Madur).

menjelaskan, Rabu (27/12/2017), anak perempuan dari Lontar Mlondek - nama aslinya Ntoreng diambil oleh Eyang orang Kasong, persis keturunan dari Keraeng Drs. Maksi Gandur (2017, Kadis Pendidikan Kabupaten Manggarai, NTT). Isteri Eyang orang Kasong itu bersuku Tasok sama dengan Suku Cabo dekat dengan atau memasuki Nontol atau persis di atas Bea Leba.

Mengapa Ntoreng Disebut Lontar?

Otak yang cerdas selalu menuntun orang pada keselamatan. Demikianlah dia, oleh tuturan Keraeng Theo, disebut Lontar karena Ntoreng dapat membaca sekaligus menulis di daun lontar- sowang nama Manggarai untuk pohon lontar. Nama Ntoreng itu sering tidak terdengar.

Siapa Saja Buah Hati Lontar?

Lontar itu juga nenek moyang orang Tasok termasuk Lecem dan Cumpe. Lecem itu ata ngo long - pendatang), mereka datang dari Cumpe. Keturunan Lontar juga ada di Necak - Lamba Leda.

Mengapa Ntoreng Disebut Lontar Mlondek?

Pada zamannya, dulu saat Ntoreng dipanggil oleh Raja Goa di Sulawesi, ia dipanggil menghadap Sang Raja. Raja Goa persis tinggal di lantai dua. Zaman itu tidak boleh ada satu orang pun yang boleh melihat Raja. Tidak tahu apa alasannya?

Akal Ntoreng Mulai Bekerja.

Pada waktu itu, demikian Keraeng Theo Taram, Ntoreng berguman sendiri, kok apa gunanya ia datang jauh-jauh dari Nuca Lale? Ia pun mencari cara cantik bagaimana taktik terelegant dapat melihat paras dari Sang Raja. Dia tidak membuang-buang waktu elok itu ketimbang dia pulang begitu saja, hanya memasuki Kedatonnya Raja saja.

Londek Labu Medium Pencapaian Asa Besar.

Ia pun menyuruh seorang perempuan, persis juru masak Sang Raja. Ntoreng pun menyuruh perempuan itu mencarikan baginya pucuk labu yang panjang puncuknya satu meter. Harus dimasak baginya sepanjang kurang lebih sepanjang itu dan tidak boleh dipotong-potong lagi. Sang Raja pun tidak melarang si perempuan itu karena dianggap wajar-wajar saja.
Si perempuan itu tak menolak tawaran asyiknya itu kendati si perempuan juru masak itu tidak tahu apa maksud di balik semuanya itu. Perempuan itu hanya melakukan perintah tanpa berpikir dua kali karena itu permintaan seorang tamu yang diundang khusus Sang Raja Goa.

Hidangan Pucuk Labu Sudah di Meja Makan.

Apa yang dibuat Ntoreng dengan pucuk labu yang panjang yang dimasak perempuan juru masak Sang Raja?

Ntoreng menarik tangannya sembari memegang ujung pucuk labu di tangannya yang lain, tangan yang lainnya mengarahkan pangkal pucuk labu itu ditempatkan di kedua gigi serinya dan tak ketinggalan lidahnya pun mengacak-acak pangkal pucuk labu itu.

Kornea Mata Ntoreng Sukses Meraih Paras Si Raja.

Betapa tersentaknya Sang Raja. Kedua mata pun saling memandang. Sang Raja memergoki kornea Ntoreng begitupun sebaliknya. Sang Raja tak bisa menggelak, peristiwa itu tengah terjadi di depan matanya. Sesuatu yang tidak mungkin dimungkinkan oleh Ntoreng.

Sang Raja Memuji Kecerdasan Ntoreng.

Kingai! Kira-kira demikian celetupan hati kecil Sang Raja. Raja pun memuji kecerdasannya, Ntoreng. Sementara, Ntoreng puas dengan asanya itu. Dari sejak itulah, nama lainnya Lontar Mlondek!

Dengan Apakah Ntoreng Berlabuh Jauh ke Goa Mengarungi Lautan Biru dari Nuca Lale?

Menurut beberapa sumber, aku Keraeng Theo, Ntoreng ke Goa tidak menggunakan kapal laut. Dia naik sabuk kelapa. Dia mengeluarkan semua isinya di dalam tempurung atau leke lalu sabuknya pasti diracik dan menaiki itu. Kapal laut waktu itu belum ada.

Bagiamana Strategi Ntoreng dalam Memerangi Musuhnya?

Kalau dia berperang lebih banyak menggunakan logika. Suatu kali, tepatnya di telaga kecil di salah satu tempat di Cibal atau populer disebut Tiwu Melkoji. Melkoji itu putera dari Mori Reo - Raja Reo. Melkoji menjadi saksi hidupnya terutama Tiwu Melkoji tersebut karena Melkoji meninggal di situ.

Taktik yang Licik tetapi Menyakinkan.

Suatu ketika, Ntoreng menyuruh warga di sana membuatkan tenda di atas tiwu tetapi harus dipastikan jari kaki telunjuk Melkoji menyentuh air. Dan kakinya itu ditambatkan dengan sebongkah batu yang diikatkan pada kaki Melkoji. Yah, Melkoji pun membeku.

 Lontar Melarikan Diri ke Kawak.

Setelah peristiwa naas itu, Lontar tahu benar bahwa dirinya bakal menjadi dagingan Mori Reo. Firasatnya benar, ia pun melarikan dirinya ke Kawak tepatnya di Tadak
di kebunnya Empo Paju La'e. Empo Padju La'e adalah kesa (saudara ipar) dari Ntoreng. Empo Paju masih tinggal di situ menjaga kebunnya. Tidak ke mana-mana. Dia heran akan kehadiran kesa-nya karena tidak diduganya datang. Tentara Mori Reo sudah sibuk mencarinya dan mereka mendapat informasi kalau Ntoreng melarikan diri ke tempat Padju La'e bertinggal.

Daun Sere Penyelamat Ntoreng.

Badannya Mlontar itu wanginya seperti daun sere - laci teu dalam bahasa Manggarai. Tentu orang Bima dapat dengan mudah mendapati tubuhnya itu untuk didagingkan karena cukup mengendus bau badannya saja. Namun, otak cerdas selalu menjadi malekat pelindungnya.

Padju La'e pun menyuruh Ntoreng mencarikan daun sere sebanyak-banyaknya sebelum musuh-musuhnya mendekapnya. Dedaunan sere itu pun diselipkan di beberapa sudut sekang (gubuk) itu. Di sekang itu banyak sekali jagung. Ntoreng pun bersembunyi di bawah tumpukan jagung milik Padju La'e atas saran kesa-nya itu.

Ntoreng Selamat dari Meregang Nyawa.

Ketika para tentara Mori Reo tiba di gubuknya Padju La'e, mereka menanyakan keberadaan Ntoreng. Mereka menghirup wangi daun sere. Mereka memastikan bahwa Lontar ada di situ. Padju La'e pun menunjukkan kepada mereka bahwa Ntoreng tidak ada bersamanya. Adapun bau wangi daun sere itu berasal dari daun sere sungguhan yang dia selipkan di dalam atap dan beberapa sudut gubuknya. Tentara Mori Reo pun bergegas balik ke Reo karena mereka percaya buta dengan taktik dan pengakuan itu.

Tumpukan Corpus Berkelimpangan di Bea Loli:
Tidak Ada Satupun Bedil Meletus di Perang Cucak.

Setelah peristiwa itu, terjadilah pertempuran hebat. Tepatnya di Bea Loli, banyak sekali pasukan Mori Reo berubah status menjadi nenek moyang. Moncong bedil mesiu yang mereka tenteng tinggal pelatuknya saja. Yah, tidak ada yang meletus - persis sejarah Lalong Bakok perang ke Aceh sebagaimana pernah diwawancara Penulis di Warloka. Karena keanehan itu, tentara Mori Reo banyak meregang nyawa di Bea Loli tersebut. Pasukan yang tersisa pun kembali ke Reo dengan membawa kabar dukacita. Perang itupun disebut Perang Cucak.  Disebut Bea Loli karena corpus itu digeletakkan di dataran rendah di Cucak - bea artinya dataran, sedangkan loli artinya loling atau mayat yang bergelimpangan disemayamkan di sana.

Lontar Angkat Kaki ke Necak Lamba Leda.

Sejarah panjang perang dan kekwatiran seolah-olah senantiasa menghantuinya. Ntoreng tidak ingin hayatnya lekas tidak dikandung badan. Asa besarnya untuk tetap menatap rembulan di mana ia dapat merasakan sentuhan kemesraan alam di malam hari hal mana pula ia dapat menyatu dengan pribadinya yang cerdas, mengajarnya tentang kebijaksanaan yang merupakan buah cinta cipta Sang Pencipta menjadi ideanya yang terdalam. Ia pun ingin tetap merasakan hangatnya surya di fajar di sekujur tubuhnya yang senantiasa menyingsing di ufuk timur. Ingin terus menapaki itu sekaligus ingin disapa dan disentuh laksaan ilalang yang mengandung embun-embun segar yang senantiasa tergoyang ketika bertabrakan dengan tulang kering kakinya terlebih di pagi dan di siang usai hujan menerpa bumi saat-saat ia menyusuri padang belantara waktu itu.

Ia terus dikejar. Jejaknya bak satwa liar yang diburu. Ia diincar ke sekian juta kali banyaknya. Lontar pun membukit dan melembah. Dicarinya arah timur yang ternyata sebagai arah penghentian terakhir kendati ia pun sukses meninggalkan tapak tilas generasi baru di Necak di kemudian masa. Seakan mencari Ilahi sebagai pusat, sumber dan tujuan ziarah takdirnya di atas onggokan bebatuan, pasir bercampur tanah dan di atas rambatan akar serabut pepohonan halnya akar-akar pepohonan hutan belantara yang merangkak, teks ziarahnya pun ditutup Yang Ada.

Kisah bertolak maju.....!!!

Mempersunting Gadis Lamba Leda.

Hasrat seorang pria untuk menyebarkan generasi bak bintang di langit dan pasir di tepi pantai menjadi doyanan yang paling hakiki. Sebagaimana ia suka pada pucuk labu, begitupun ia suka pada daun-daun muda yang masih lembut dan kinclong cerah menawan untuk dimadu mendayung-dayung.

Di Lamba Leda, ia mengambil beberapa daun muda sebagai isterinya. Keturunannya di Lamba Leda pun tepatnya berkecambah kembang di Kampung Necak sekarang ini.

Perhentian Tapak Ziarah Berakhir, Sebuah Ending Keterpangilan.

Segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk datang ada waktu untuk pulang. Bak penumpang ojek, ada yang turun, ada yang naik. Seakan-akan hukum determinasi menjadi imperatif, sebuah standar dasar keharusan kehidupan yang memang mesti wajib dilakonkan kendati setiap pelakonan harus ada pergorbanan sebagaimana dari sananya - Tuhan - gerigi roda dimainkan untuk berputar atau berhenti bagaikan kunci starter kendaraan.

Setiap tapak pasti ada kenangan, setiap kenangan pasti ada bacaan baru. Dan inilah bacaan itu! Bacaan yang tanpa ujung meski pangkalnya telah tercipta di mana sang pelakon diadakan oleh Yang Kuasa bertandang ke alam bumi pada suatu masa kala itu, telah terlewati.

Pusara Bernama.

Ibarat perbuatan yang sudah lama tertanam menghantam sesama, demikian pula hataman itu bak pelatuk mesiu bedil mengenai diri. Itulah akil balik dari kisah Si Raja ketiga, Ntoreng.
Raganya yang berjasa menumpas lawan dengan cara diganyang, demikian pula senjata itu memakan tuannya. Ntoreng, pria tangguh nan berani di zamannya menyelesaikan kisahnya dengan cara diganyang pula. Bukan salah siapa sebab itulah cara klimaks keterpanggilnya di bumi.

Sekarang pusara telah tercatat. Mtoreng mati terbunuh di sana dan pusaranya terkenang tertanam di atas di dalam pertiwi tepatnya di Wereng - sebuah tempat antara Wereng dan Rawang, arah dari Wae Naong menuju Benteng Jawa. Wereng saksi puncak panggilannya sebagai seorang Raja sebagaimana dikutip dari tulisan ini:  Dikutip dari www.sesambate.blogspot.com tulisan dari Keraeng Frans, yang di-posting, Sabtu, 15 Agustus 2015, dengan judul: Sejarah Daerah Manggarai. Tulisan itupun disadur dari www.djohandyharwali.blogspot.com menulis, Lontar adalah Raja ketiga Manggarai, sebelumnya Mashur Raja pertama, sedangkan Raja kedua bernama Sehak.
Wilayah Kekuasaan Lontar Pada Zamannya.
Lontar sebagai Pemimpin di Cibal memiliki wilayah kekuasaan, mulai dari Langke Rembong sekarang ini hingga Ruteng dan Cancar.

Kisah Lain.

Makan Satu Ton Garam.

Ntoreng semasa hidupnya pernah diuji memakan satu ton garam. Ia mampu melakukannya dengan syarat harus dicampur mentimun. Ia pun sanggup menyelesaikan itu.

Tentu masih ada kisah lain yang belum tercatat. Ibarat sawah yang semuanya tidak tergenang air karena posisinya di kemiringan, demikian pulalah tapak ziarah hidupnya di bumi tak terjangkau semuanya. Nah, kisah inilah yang mirip dengan kisah Empo Takang, keturunan dari Hormat.

Ceki Suku Tasok.

Adapun ceki atau totem Suku Tasok yaitu dilarang memakan kula atau musang. Alasannya, kula-lah yang menghadang serangan musuh terhadapnya karena wangi badan Ntoreng persis bau badan binatang musang. Musanglah yang menghadang musuhnya saat itu. Musang pun menjadi saudara. Meski begitu, ia pun mati terbunuh di Lamba Leda.

Selanjutnya………………..!!!

Apakah kakaknya Empo Hormat merupakan keturunan orang Suku Nawang sekarang ini?

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Minggu (31/12/2017)

Asal  Mula Desa Coal.

Kampung Coal terletak di Desa Coal, Kecamatan Kuwus (2017), Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Asia. Sejak berdirinya hingga tahun 2017, ada 22 suku yang mendiami kampung ini yang kemudian menjadi sebuah Pusat Pemerintahan Desa pada saat terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah Kerajaan di Manggarai, Kampung Coal dan sekitarnya masuk dalam kekuasaan Gelarang Ndori – dalam bahasa lokal, Manggarai disebut sebagai Negeri Nuca Lale.

Sejarah Awal.

Sejarah Kampung Coal tidak terlepas dari tapak tilas salah seorang nenek moyang dari Suku Nawang bernama Empo Sasak – Empo dalam ungkapan orang Manggarai artinya nenek moyang, Eyang).

Mulanya, Empo Sasak yang dipercaya sebagai keturunan Nggae Sawu – tengah ditelusuri kebenarannya karena ia memakan daging dengan mentah bukan dengan cara dibakar karena keturunan Nggae Sawu merupakan titisan dari Kodalam yang kemudian melahirkan Juawone), menetap di Mandosawu. Mandosawu (2370 dpl) sebagai salah satu gunung tertinggi di Flores selain Poco Likang (2370 dpl), Poco Ngandonalu (2367 dpl) dan Poco Ranaka (2292) yang kesemuanya ada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) atau awalnya dikenal Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Kedua gunung tersebut, ketinggiannya hampir sama, meski masih berada di bawah ketinggian Gunung Mutis (2427 dpl) tepatnya di Bonleu Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Lihhttp://infopendaki.com/daftar -gunung-di-ntt-nusa-tenggara-timur.

Tipologi.

Empo Sasak kulit badannya diselimuti buluh-buluh tebal. Suka berburu dan memakan daging buruannya tanpa dibakar terlebih dahulu tetapi dengan cara dicincang lalu dimakan mentah – demikian tuturan Keraeng Frans Gas, Tu’a Gendang Coal, Sabtu sore, (30/12/2017) di Bea Waek tepatnya di kediaman Keraeng Petrus Jemadi kakak tertuanya dari keturunan isteri pertama dari Keraeng Benediktus Hampi. Dilihat dari cara memakan dagingnya, Empo Sasak mirip dengan nenek moyang orang Ruteng Runtu – bukan Ruteng Pu’u, keturunan dari Empo Nggoang, yang sekarang (2017) darah Nggoang mengalir di tubuh Keraeng Tambor Ruteng Pu’u, Keraeng Lambertus Dapur.

Meluncur ke Poco Likang.

Dari Mandosawu, Empo Sasak  yang suka berburu babi hutan itu, demikian Keraeng Frans Gas, menetap di Poco Likang. Tidak tahu persis, berapa lama ia tinggal di Poco Likang, tempat yang sangat dingin tersebut.

Turun Gunung.

Bergegas ke Golo Nawang.

Karena suka dengan berburu babi hutan, ia mengikuti buruannya dan mendapati mangsanya di Golo Nawang. Ia melihat suatu yang lain di sana, yang kalau dilihat view indah dataran Cancar, Anam hingga ke arah timur Cumbi kendati ia meninggalkan lokasi view strategis di Poco Likang dan Mandosawu sebelumnya. Ia pun merasa betah lalu membangun tapak tilas baru berupa compang - compang dalam bahasa lokal di Manggarai untuk menyebut mezbah. Setelah membangun compang, ia pun mendirikan sebuah Gendang, berupa Gendang Lancung – Gendang Lancung dalam maksud tertentu dikenal juga sebagai Gendang Singgahan, yang kurang lebih seperti itu. Tidak tahu berapa lama, Empo Sasak mendiami tempat tersebut.

Bergegas ke Maras.

Dari Golo Nawang, Empo Sasak kembali berburu. Kali ini buruannya itu berupa tagi (rusa). Tepat di sebuah mata air, ia mendapati mangsanya lalu dicincangnya dan dimakannya mentah.

Culture Shock.

Menemukan Api dan Tambatan Hati.

Perziarahan Empo Sasak yang panjang mengisi rentang hayatnya dengan hanya berburu, kemudian menemukan sebuah situasi baru dan cara baru dari lingkungan barunya.

Api.

Karena kelazimannya memakan daging secara mentah, ia pun bertemu dengan seseorang dari Maras. Terjadilah komunikasi di antara keduanya. Seorang lelaki seusianya lalu mengatakannya untuk tidak memakan daging dengan cara mentah. Pria itupun memberikannya api. Empo Sasak pun mengamininya dan menyalakan api untuk membakar daging rusa hasil buruannya itu.

Ketidaklaziman menciptakan keadaan baru. Buluh-buluh di sekujur tubuh Empo Sasak pun sere – sere itu terkena api), hingga buluh-buluhnya terkelupas. Sejak saat itulah, buluh-buluh tubuh Empo Sasak hilang dan berbadan seperti halnya manusia yang lain.

Tambatan Hati.

Nasib baik menjumpai tapaknya. Seorang gadis asal Maras bernama Timung dipersuntingnya menjadi bagian belahan jiwanya. Namun sayangnya, rajutan asmara dua insan itu tidak menimbulkan datangnya buah hati. Rasa rindu ingin mendapatkan anak membuat Empo Sasak terus mencari dan mencari hingga ke pengakhirannya di Coal.

Bertolak ke Ndori.

Entah apa yang membuat Empo Sasak berubah pikiran meninggalkan isterinya, si Timung, di Maras. Barangkali karena upaya romantisnya tidak berhasil, dia tega meninggalkan isteri eloknya itu – Suku Nawang di Coal, anak rona pu’u berasal dari Maras dekat Rentung, Kecamatan Ruteng (2017).

Sebuah Asumsi.

Rupanya, sebelum Empo Sasak bergegas ke Ndori, ia sempat tinggal di Kasong dekat Lando karena ceki (totem, tabu) Empo Sasak berupa Paku Mundung dan Pake Pangka Leka.

……………………………..

Kisah Ceki Rata Keturunan Empo Takang.

Tepatnya di Liang Woja, nenek moyang itu berjalan di dalam gua. Mereka awalnya masuk agak diperkirakan pagi hari namun tidak tahu jalan keluar. Ketika hari telah sore – leso nderes), mereka mendengar suara ayam hutan berkokok (tehe rata lalong). Mereka pun mendengar dan mengikuti suara rata tersebut. Barulah mereka mendapat jalan keluar tepatnya di pa’ang Barang (gerbang kampung Barang sekarang ini, 2018). Karena bantuan bunyi dari ayam hutan tersebutlah, lalu mereka bernazar bahwa mereka dan keturunan mereka tidak memakan daging ayam hutan lagi.

Sebuah Catatan:

Beberapa suku di Manggarai memiliki beberapa ceki yang sama yaitu ceki kula/ndamu. Beberapa keturunan yang memiliki ceki yang sama tetapi dengan kisah yang berbeda, seperti: Ceki kula orang Wae Rebo terutama kisah Empo Maro; kisah ceki kula orang Suka di Manggarai Barat. Lalu, ceki kula Suku Mera di Lando – Cibal. Yang mirip cerita ceki kula-nya yaitu cerita ceki kula Empo Takang dan Suku Mera di Lando – Cibal.
Pertanyannya, apakah kisah kula tersebut mau menunjukkan bahwa dari orang-orang bersoal tegang termasuk dituntun kula tersebut masih satu ayah, baik orang Suka, orang Suku Mera Lando termasuk orang dari keturunan Empo Maro dan keturunan Empo Takang? Ini pertanyaan yang perlu dijawab kemudian.

Pertanyaan berikut, apakah ada hubungan antara ceki rata keturunan orang Mbaru Asi di Coal yang juga ber-ceki rata Empo Takang di Golo Cador?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar