Melky Pantur
Tuhan Semesta: Catatan Si Miskin dari
Coal.
Melky Pantur dalam Tapak Ziarah.
[Ditulis sendiri oleh: Melky Pantur***, di
Goro-Ruteng, mulai Senin, 9 November 2015.
Diedit lagi pada, Minggu (27//11/2016) di Leda Ruteng]. Diedit lagi pada Selasa (27/9/2022).
Ibu Veronika Danut.
Ibu Veronika Danut.
Aku.
Melkior Pantur lahir di Sampar, 3 Desember 1981 dari
rahim Ibu Veronika Danut, titisan Bapak Theodorus Tamat.
Theodorus Tamat, Kelahiran Coal, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Theodorus Tamat ini putera kedua dari pasangan Yakobus Antam dan Regina Nganul.
Theodorus Tamat, Kelahiran Coal, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Theodorus Tamat ini putera kedua dari pasangan Yakobus Antam dan Regina Nganul.
Regina Nganul berasal dari pasangan Nawung. Saudari
dari Regina Nganul namanya Teto Natam.
Kemudian, Yakobus Antam berasal dari keluarga Suku
Mbaru Asi. Anak dari Yakobus Antam bernama Petrus Gambut, Theodorus Tamat, dan
Tanta Sovia Banur. Yakobus Antam ber-ceki/totem
cemberuang dan rata atau ayam hutan.
Asal Ibu.
Ibuku anak keempat dari enam bersaudara, namanya
Veronika Danut. Veronika Danut puteri dari pasangan Gaspar Garung dan Sobina
Sidung. Gaspar Garung anak dari Endong dan Rua. Mereka keturunan Ndung.
Sedangkan, Sobina Sidung anak dari Mbaka dan Bobek.
Perjumpaan.
Perjumpaan.
Ayahku berjumpa dengan ibuku melalui perantaraan
Rosalia Jemanat dari Coal. Orang tuaku kemudian menikah di Paroki Sta. Maria
Fatima Cancar 1980. Ayahku waktu itu bekerja sebagai pemasak tuak enau, penjual
tuak, penjual gola malang - gula merah.
Usia
7 Bulan Tinggal di Ntalung – Coal.
Setelah menikah, kedua orang tua tinggal di Sampar.
Tidak lama kemudian tingal lagi di Ntalung – Coal di rumahnya Monika Demot.
Waktu itu usia 7 bulan. Tinggal bersama Monika Damut selama setahun. Lalu,
Theodorus Tamat membangun gubuk di Ntalung yang aku namakan Kebun Pancasila
waktu itu.
Mimpi Sang Ibu.
Dalam
budaya Manggarai, dikenal dengan apa yang disebut dengan waé dé’i. Menurut penjelasan yang disampaikan Ibuku Veronika Danut
waktu aku masih di dalam kandungannya, beliau bermimpi menimba air di sebuah
pancuran. Pasalnya, kata Ibuku, ia menimba menggunakan serigen. Isinya
serigennya penuh. Sedangkan, mimpi lain belum aku peroleh datumnya.
Natal.
Menurut berbagai refrensi yang saya peroleh, saya
dilahirkan di Sampar, tepatnya di rumah Kakek Gaspar Garung dan Nenek Sobina
Sidung pada Kamis, 3 Desember 1981.
Cear
Cumpe – Pemberian Nama Adat.
Selang beberapa hari kemudian, saya kemudian
dibuatkan ritus céar cumpé atau
pemberian nama adat ala Manggarai oleh kedua orang tuaku di Sampar.
Menurut Iya, isteri dari Bapak Gaspar Ganggut, Sabtu
malam (7/11/2015) di Goro Ruteng saat acara céar
cumpé dari putera keduaku Vinsensan Jovialen Perki Pantur. Uniknya,
demikian Iya, saya di-céar cumpé kurang lebih dua kali. Pertama diberi nama Melkior Sambang, lalu yang kedua
diberi nama Melkior Pantur.
Nenekku, Sobina Sidung pernah juga saat saya masih
kecil menyampaikan bahwa nama saya yang Sambang tidak baik. Alasannya, jika
nama itu dipakai, maka akan terkena sakit terus makanya mereka kemudian
memutuskan untuk diganti dengan nama belakang Pantur.
Hari
Kedelapan Dibaptis.
Ibu Veronika Danut pernah menyampaikan bahwa saya
dipermandikan pada hari kedelapan sejak saya dilahirkan. Ada cerita unik di
balik ritus permandian Gereja tersebut di mana ayah saya Theodorus Tamat
diminta untuk membawa pohon pakis – puni
untuk diserahkan ke Paroki Sta. Maria Fatima Cancar. Hal itu dilakukan oleh
ayahku entah untuk maksud apa Paroki meminta pohon paku tersebut. Maklum tahun
1981.
Kemudian, saya pun dipermandikan oleh P. Pius Kila,
SVD di Paroki Sta. Maria Fatima Cancar dengan nama di buku induk atau stambuk Paroki Cancar
tertulis Melkior Sama.
Céar
Cumpé Ulang.
Pasca
saya dipermandikan, nama saya yang Sambang menurut nama céar cumpé yang lalu di buku induk Paroki Sta. Fatima Maria Cancar
ditulis bernama Melkior Sama oleh Nenekku Sobina Sidung diganti menjadi Pantur.
Saya pun kemudian di-céar cumpé ulang
dengan nama Melkior Pantur. Saya mengganti nama Sama saya di buku Stambuk
Paroki Cancar pada saat saya kuliah. Saat itu saya asistensi di Paroki Cancar.
Waktu itu, Pastor Parokinya, Rm. Yoseph Karus, Pr.
Menurut
Nenek Sobina Sidung, namaku yang Pantur saat di-céar cumpé dibaptis secara adat Manggarai dengan menggunakan ayam
kampung lalong cepang. Sedangkan,
permandian pertama mungkin lalong bakok.
Nama
saya Melkior Pantur kemudian dipakai hingga saya mendaftar kelas satu SD di SDK
Coal tahun 1987 dengan nama Kepala Sekolah SDK Coal waktu itu, Alex Jehola.
Saya didaftar sebagai Kelas I SD dengan nama Melkior Pantur. Teman angkatan
waktu itu Ance, Anci, Mambi, Ran, Lin termasuk Sipri dari Sama.
[Banyak pengalaman perjumpaan dengan Tuhan
Semesta dan roh sebelum saya memasuki SD. Hal itu akan ditulis kemudian]
Sebelum Masuk SD.
Saat
setelah kelahiran dan permandianku, saya pun tinggal bersama Ibu dan Ayahku di
Sampar. Saat saya berusia 7 bulan saya pun tinggal di Ntalung- Coal di rumahnya
Monika Damut. Kami tinggal di rumahnya Monika Damut selama 7 bulan lalu
kemudian membangun gubuk sendiri.
Usia 3 Tahun Tinggal di Sampar.
Ketika
berusia 3 tahun, saya kemudian tinggal lagi di Sampar di rumah Kakek dan
Nenekku.
Kemudian,
saya sempat tinggal di Golowelu ketika Pamanku, Herman Kiot bertugas di
Puskesmas Golowelu. Saya pun tinggal di Popor, Kelurahan Wae Belang,
Cancar bersama dengan Kesa Aleksander
Magno Ximenes Paleng.
Saya
memang tidak cukup mendapat informasi tentang masa kecilku tetapi saya saat
masa kecil bahkan hingga tamat Sekolah Dasar banyak menghabiskan waktu di
Sampar bersama Kakek Ema Elong dan Nenek Ende Lidu.
Tinggal dengan Paman di Popor – Cancar.
Sebelum
saya masuk sekolah, saya sempat beberapa tahun tinggal bersama Paman Herman
Kiot dan Tanta Rita Magno Ximenes di Rumah Dinas Puskesmas Cancar. Teman
bermainku adalah Alexander Magno Ximenes Paleng (Leksi) dan Herlina Tuti
Hariyati (Herlin).
Ada
beberapa peristiwa penting saat tinggal di Pamanku di Rumah Dinas Puskesmas
Cancar. Ada sebuah kenangan jasmiah saat tinggal di sana waktu masih kecil
yaitu luka bekas sobetan pisau di bagian dalam lutut kananku. Saat itu aku
tengah memotong-motong daun kembang sepatu, lalu tanpa sengaja lututku itu
terluka.Kesa Leksi kemudian berusaha
memberitahu Pamanku lalu kaki diplaster. Waktu itu, Pamanku memelihara kelinci.
Kami senang sekali mencari beberapa jenis daun untuk makanan kelinci tersebut.
Saat itu, saudara dari Tanta Rita bernama Jitu juga tinggal bersama kami. Pak
Jitu itu berasal dari Los Palos, Timor Leste.
Kebiasaan
Pamanku, Herman Kiot dengan kesanya bernama jitu sering menyetrom ikan dan
udang di Kali Wae Lega.
Lari dari Rumah Paman.
Pamanku
Herman Kiot sangat taat memperhatikan kesehatan putera dan puterinya. Termasuk
saya, juga diwajibkan harus tidur siang. Maksud baik Pamanku itu, maklum saya anak
kampung suka sekali bermain dan yang namanya tidur siang amat sukar untuk mau
diamini.
Berjumpa Sosok Supra Natural.
Suatu
ketika, kalau tidak salah inggat waktu itu aku berumur 5 tahun. Aku pun
memutuskan lari dari rumah Pamanku menggunakan jendela padahal jendela rumah
mereka berjerugikan besi dan kaca. Saya pun membongkar kaca dan besinya lalu
lari.
Melewati Lodok Cara.
Aku
pun kemudian ke Sampar mengikuti jalur sawah persis dekat Lodok Cara yang
mendunia tersebut. Jalur tersebut dari cabang menuju ke Cara menuju di rumah
Bapak Mantri Mili di Meler.
Di
Cara sebelum masuk persawahan, aku melihat sosok yang supranatural, dia seorang
pria. Beliau menggenakan jubah hitam pekat tetapi dalam bentuk Roh. Aku sempat
merasa takut namun apa daya aku tetap melangkah maju menuju persawahan dan
terus meluncur ke Sampar sembari menangis.
Saat
aku lari lewat jendela, waktu itu hujan rintik-rintik. Tiba di Cara, sebagai
ganti payung, aku menggunakan daun keladi. Saya ingat waktu itu, padi-padi
Lingko Cara sudah mulai mengetam. Saya lihat ada woja galung di situ.
Tiba di Sampar.
Ketika
tiba di Sampar, Ibu Veronika Danut dan Nenekku, Sobina Sidung tengah menggali
ubi jalar di sebuah sawah persis di bibir badan jalan. Nama sawah itu Bak.
Sawah tersebut persis berada di samping timur kali Wae Kunce di Sampar
berbatasan dengan kampung Nggawang.
Singkat
cerita, pada usia 6 tahun, Ibuku membawa aku ke kampung Ntalung, pemekaran dari
kampung Coal, Desa Coal, Manggarai Barat (pada waktu itu masih Kabupaten
Manggarai).
Persis
usiaku enam setengah tahun, Ibuku kemudian mendaftarkan aku untuk menjada murid
di SDK Coal. Aku ingat baik, Ibuku sendirilah yang mendaftarkan aku bersekolah
di sana. Guru kami di SDK Coal saat Kelas I SD bernama Bapak Thomas Ugam.
Kepala Sekolah SDK Coalnya bernama Aleks Jehola.
Masa Kecil Sebelum Mendaftar di SDK
Coal.
Sebelum
sekolah di Coal, kami sering berkebun di Wae Lowang. Ketika kami kecil, aku
bersama adikku laki-laki bernama Ferdinandus Gaul. Kami sering ke Wae Lowang.
Aku masih ingat saat kami bermain di sawah karena ibuku menggarap kebun – wunggar bersama Ayahku. Lalu, aku
kemudian didaftarkan oleh Ibuku masuk SD. [Wunggar
adalah menggali tanah dengan menggunakan skop].
Bermain Bersama Ferdinandus Gaul.
Adik
di bawahku, namanya Ferdinandus Gaul. Kami sering ditinggalkan oleh Ayah dan
Ibuku di Ntalung di Kebun Pancasila. Kami berdua dititipkan di rumah sementara
Ibuku dan Ayahku ke sawah menggarap sawah.
Dipermainkan.
Salah
seorang putera dari Ansel Langgu, kakaknya Don pernah mempermainkan saya dan
adikku. Dia menipu aku dengan mengatakan Ibuku dan Ayahku dibawa lari babi –
dalam bahasa Manggarai sanga le ela.
Dia bilang: “Oé Mili, sanga le ela hi Ous
agu hi Iya é!”. Sebagai anak kecil, saya langsung percaya dan menangis.
Saat Ibuku pulang, aku memberitahu Ibuku perihal tipuan darinya.
Ferdinandus
Gaul dan Yustina Tini mereka lahir di rumah kami yang pertama di Kebun
Pancasila. Mereka berdua pun juga disemayamkan di situ dan kemudian dikuburkan
di Tamong.
Mendengar Tangisan Anak Kecil - Roh.
Sebelum
adikku meninggal, orang tuaku masih berada di Wae Lowang. Aku mendengar suara
anak kecil menangis dari arah belakang rumah tepatnya di bagian utara. Aku
mendengar jeritan tangisan itu. Aku tidak memberitahukan kedua orang tuaku. Aku
melihat seorang anak kecil memakai pakain berjubah putih.
Bermasalah dengan Lamber Jemaan.
Orang
tuaku pun bermasalah dengan Lamber Jemaan. Persoalannya mengenai masalah kopi
saja. Kasus tersebut perkara hingga ke Camat Kuwus. Perkara digelar dua kali.
Adikku Meninggal.
Sebelum
adikku meninggal, Ferdi adikku, lidahnya bombot
dan mulutnya jaek. [Bombot adalah
sejenis bintik-bintik di mulut dan jaek artinya
air liur yang terus menerus]. Dia
meninggal saat setelah meminum kopi. Saya melihat dari mulutnya keluar cairan
berwarna hitam karena sebelumnya dia dikasih kopi. Aku yang pada waktu itu
masih kecil, memang bersedih karena adikku pergi untuk selamanya. Aku pun
kehilangan adik tersayangku.
Yustina Tini Lahir.
Setelah
adikku Ferdinandus Gaul meninggal, tidak lama kemudian saudariku Yustina Tini
lahir. Aku masih ingat, bagaimana kami bermain di gubuk kecil itu di Kebun
Pancasila. [Kebun Pancasila adalah kebun yang saya beri nama pada 1 Juni 2016
karena pada hari itu Presiden RI ke-7, Ir. Joko Widodo meresmikan 1 Juni
sebagai Hari Lahirnya Pancasila]. Saat itu, bagaimana Ayahku membeli ikan.
Waktu itu kami sangat bergembira. Tini nama panggilnya, tampaknya sangat manis
dan imut. Dia sangat cantik rupanya.
Yustina Tini Meninggal.
Saat
sakit, Tini sempat dibawakan ke Puskesmas di Golowelu. Nyawanya pun tidak
tertolong. Dia meninggal di perjalanan di pertigaan dekat rumahnya Anton Patut
alur jalan ke Kasong. Saat itu aku melihat adok
–belalang sembab hijau ada di jalan. Kami pun balik lagi ke rumah. Saudariku
Tini pun disemayamkan di rumah kami.
Yovita Setia Lahir.
Sepeninggalan
Tini, kami sekeluarga merasa kehilangan. Saudariku pun lahir namanya Yovita
Setia pada 27 Agustus 1987 di Ntalung di rumah di mana adikku Ferdi meninggal. Yovita
Setia kemudian dipermandikan di Paroki Hati Kudus Yesus di Golowelu.
Cerita Singkat Saat SD Kelas I di Coal
Suatu
hari disuruhlah kami oleh Bapak Thomas Ugam untuk mencari kayu api (maklum dulu
anak-anak sekolah di sana menyuruh menimba air untuk keperluan para guru di
rumah mereka yang persis menetap di dekat sekolah bahkan pada hari tertentu
wajib membawa kayu api ke sekolah untuk kayu bakar para guru.
Kembali
saat mencari kayu api dengan masih mengenakan pakaian seragam SD, kami pun
berangkat ke tempat yang namanya Ramegilo untuk mencari kayu api. Saya lupa
akan harinya. Ketika sesampai di Ramegilo, kami pun beramai-ramai mengumpulkan
potongan kecil kayu api, sementara kami tidak membawa serta dengan parang.
Waktu
itu, hanya seorang teman yang membawa parang. Nama teman itu Ran. Entah
mengapa, tiba-tiba dalam pikiran seorang teman, namanya Ance Tangga menyembunyikan parang milik Ran (hanya
sekedar bermain-main). Saat kami mau mengumpulkan kayu, tiba-tiba Ran menangis
karena parang miliknya hilang. Ran pun menangis. Mungkin karena mendengar suara
tangisannya Ran, segerombolan lebah kuning sebesar jari kelingking remaja
tiba-tiba menyergap kami.
Banyak
teman yang kemudian digigit. Yang tidak digigit sekalipun diserang adalah saya
dan Mambi. Kami berdua memang diserang, namun kami mengambil daun kerenyuh,
tekelan lalu mengipas-ngipas di atas kepala. Kami berdua pun luput, sementara
yang lain lari ke danau kecil dekat tempat tersebut.
Pulanglah
kami semua ke sekolah tanpa membawa apa-apa. Sekian teman dari kami menangis
karena sakit kegigitan. Tibalah kami di sekolah, dan persis di tangga kami
langsung disambut oleh Bapak Thomas Ugam. Di situlah Ance mendapat cemeti
karena laporan beberapa teman. Itulah peristiwa hari itu dan sejak hari itu
kami tidak lagi disuruh mencari kayu api.
Saya
masih ingat saat SD Kelas II, lagu yang paling tidak dilupakan yang diajarkan
oleh Bapak Thomas Ugam, liriknya begini: Tekur
ra, tekur pait dami mosè tekur kur kur kur. Pandé disé éma bapa dami anak,
bénang ngo sekola tamal kebut remang é...kélo mosé go, endé go, éma go…
tekur kur kur kur….
Bermain di Tiwu Kalo.
Saat
SD, kami kerap bermain air di Tiwu Kalo. Tiwu itu berada di Ramegilo. Kami
kerap berenang di sana saat ada waktu, baik pada jam sekolah atau bersenang
atau pada saat pulang sekolah. Kami pun kerap sambong ikang – menangkap ikan dengan menggunakan kain teteron.
Membakar Pondok di Wae Lowang.
Dulu
kami menggarap sawah di Wae Lowang. Demi mempertahankan ekonomi keluarga,
Ayahku membangun pondok permanen. Pondok itu bentuknya panggung. Dia
membangunnya nyaris sebulan. Saat sudah membajak dan menanam padi, kami tidur
di situ selama satu bulan setengah. Saat itu tengah menanam padi. Beruntung
Yovita Setia digendong oleh Ibuku. Ayahku, Theodorus Tamat tengah ke Ramegilo.
Saya ambil api dari kayu di tungku lalu sotét
– menyalakan di alang-alang pondok. Maka, tidak lama kemudian, pondok dan
seisinya hangus terbakar tanpa ada satupun sisa puing-puing. Saat itu setelah
makan siang, sekitar Pukul 03.00 WITA. Ibuku pun sedih dan pulang ke rumah kami
di Ntalung.
Sambong Ikan agu Kuse.
Kelaziman
kami saat SD adalah mencari ikan dan udang di kali Wae Lowang dekat SDI Lenggo.
Kami pun kerap mencari ke Wae Lete, Wae Tamong dan Ramegilo bahkan hingga ke
Ndatung. Kami menyusuri sungai yang indah.
Ibuku Mulai Terkena Sakit.
Sejak
tahun 1989 Ibuku mulai terkena sakit di rumah pertama kami di Kebun Pancasila.
Saat itu aku baru berusia 8 tahun. Sedangkan, Ibuku meninggal di Sampar pada
Juli 1997 setelah saya tamat SMP, satu hari setelah mengambil ijazah. Dia sakit
selama kurang lebih delapan tahun. Rumah kami yang itu setengahnya beratapkan
zing, setengahnya ijuk. Dindingnya terbuat dari papan yang tidak beraturan.
Ceritanya,
awalnya Ibuku melihat ada banyak orang di luar rumah. Dia melihat ada seekor
kuda. Dia pun lari di bawah kolong tempat tidur. Jipi jara pun terjadi. Aku masih ingat waktu itu, Ayahku tengah
menggendong Yovita Setia sembari mengedor papan gubuk kami. Dia berteriak poti apa so’o pé’ang? Sementara saat
terkena sakit, Ibuku berteriak: Do poti
so’o pe’ang…! Dia mengucapnya beberapa kali.
Romanus Sambut Tinggal di Gubuk Kami.
Ada
seorang Kesa, namanya Romanus Sambut. Mereka dulu tinggal di Coal dan karena
hendak membangun rumah di Ntalung, mereka kemudian tinggal dengan kami di
Ntalung, Kebun Pancasila. Mereka tinggal dengan kami selama satu tahun lebih. Mereka
menetap di situ sambil membangun rumah supaya jangan sampai jauh memberi
makanan para tukang.
Menusuk Teman.
Satu
peristiwa penting saat saya SD Kelas I di Coal adalah menusuk anak dari Kepala
Sekolah, Alex Jehola namanya Abe. Si Abe kemudian menjadi teman sekolahku di
SMPN I Kuwus di Satar Ara. Aku menusuknya dengan anak ballpoint. Dasar
kenakalan anak-anak.
Menyimpan Daeng Tapa di Wakas.
Waktu
kami SD, kalau ke sekolah pasti membawa bekal berupa daéng tapa – ubi kayu bakar lalu disembunyikan di wakas –gelagah. Ada kenakalan kecil kami adalah
ngapeng – berjaga-jaga untuk
mengintip. Terkadang ada yang hilang daeng
tapa atau teko tapa – keladi
bakar dari teman kami. Bahkan terkadang berkelahi.
Menangkap Anak Burung.
Masih
kecil pernah kami menangkap anak burung. Kelihatannya itu bisa jadi anak de rata (ayam hutan). Itu kami
dapat di Wae Tamung di atas tanah yang gersang menuju Wae Lowang. Saya bawa
lalu dibakar di liang di Wae Lowang tepatnya di sawahnya Emad Bene.
Pindah ke SDI Nggawang.
Pada
saat Kelas II karena Ibuku terkena sakit, maka aku pun pindah ke SDI Nggawang.
Aku pun kemudian diterima di sana, yang mana pada waktu itu, Kepala Sekolahnya
adalah Bapak Simon Keta.
Bapak
Simon Keta terkenal dengan Pengajar yang serius dan butuh konsen. Pada saat
kami tengah mendengarkan pelajaran dari Bapak Simon Keta, tiba-tiba aku
diganggu lebah cokelat – sepot, yang
biasa bersarang di dalam rumah. Saat itu, aku memang tidak konsen kemudian
Bapak Simon Keta menegurku dengan berkata: “Sekolah
de hendér Lidu ho’o ko itu tara toé séngét nggercé'ém hau? Apa ini sekolah
milik Nenekmu Hender Lidu, makanya kau tidak mendengar ke sini?”. Waktu itu,
aku pun merasa tidak berdaya.
Suatu
hari, aku pun mendengarkan pelajaran dari Kepala Sekolah kami. Aku sudah takut
kalau diajarkannya lagi. Secara tidak sengaja karena ketakutan, aku ingin ke
kamar kecil namun aku terpaksa bertahan sehingga bahkan aku berak di dalam
celana di dalam kelas. Masih aku ingat yang duduk di sampingku namanya Ince.
Kemudian dengan rasa malunya, jam pelajaran pun selesai lalu membersihkan diri
di Wae Kunce lalu pergi ke rumah ikut belakang, persis banyak pohon kopinya
agar tidak diketahui keluarga.
Ulah
peristiwa itu, esoknya saya putuskan tidak ke sekolah karena meski masih Kelas
II SD, rasa malu itu sudah ada. Namun, kemudian lusanya saya ke sekolah dengan
rasa minder.
Aku
pun belajar di SDI Nggawang mulai Kelas II SD hingga Kelas IV SD. Rentang waktu
Kelas II hingga Kelas IV, ada banyak peristiwa unik yang kami jalani mulai dari
berkelahi saat pulang sekolah, mencuri ubi jalar orang, mencari kayu api di
Poco Radi lalu dijual ke Cancar dengan harga per ikat saat itu 400 rupiah.
Aku
pun menerima Komuni Pertama yang dirayakan di SDI Nggawang dengan Pastornya Rm.
Bene Bensi, Pr. Aku pun melakukan pengakuan dosa pertama. Perayaan Ekaristi
Komuni Pertama kami dilakukan di ruangan Kelas I-IV SDI Nggawang. Saya masih
ingat, yang mendampingi saya waktu itu adalah Kakek Gaspar Garung dan Nenek
Sobina Sidung dengan pakaian seragam SD (maklum kami adalah keluarga yang
sangat berada di bawah garis kemiskinan hingga pakaian Komuni Pertama saja
tidak bisa dibeli apalagi dibuatkan acara syukuran).
Bertemu Roh Anak Kecil Berbadan.
Disebut
sebagai Kurcaci, aku bertemu dengan roh anak kecil berbadan di bawah pohon
pisang di malam hari. Saat aku melihat, dia memperhatikan aku. Aku hanya tenang
memperhatikannya. Mukanya imut dan manis. Kulitnya seperti tubuh manusia anak
kecil yang mungil. Kejadian itu, di samping rumahnya Emad Mia di Nggawang.
Melihat Mata Mberé.
Saat
Kelas II SD aku kerap mata mberé –
sejenis cahaya kecil berwarna biru sebesar kelereng di dalam rumah. Aku kerap
melihatnya.
Berjumpa dengan Reba Ruek.
Aku
berjumpa dengan Reba Ruek di belakang rumah di Sampar. Cirinya seperti seekor monyet
hitam. Badannya berbuluh hitam. Aku melihatnya di siang hari dan ketika itu,
dia tengah menaiki sebuah pohon kopi. Di belakang rumah Nenekku di Sampar waktu
itu masih banyak pohon kopinya. Kopinya besar-besar.
Melihat Api Ja.
Suatu
malam, aku melihat api ja bersama Nenekku di Sampar. Mereka berjalan di sawah
di depan kampung Longgo menuju Maras dan Rentung. Warna api itu biru. Mereka
berjalan berjejer-jejer.
Lagu Céro Latung.
Saya
masih ingat, ada seorang teman namanya Niko. Saat pulang sekolah, dia pernah
menyanyikan lagu. Liriknya begini: céro
latung céro, kopi pait diang gula céro latung cero, kopi pait diang gula.
Berkelahi di Sawah.
Ada
saya punya Kesa, namanya Bius Rua dan Heri. Mereka anak dari Pamanku bernama
Vanus Saung. Entah mengapa, kami bertiga baku hantam. Mereka berdua melawan
aku, 2 lawan 1. Badan saya memang cukup lumayan dan cukup berani untuk
beranten. Dengan beberapa serangan bebas, saya melumpuhkan Kesaku. Setelah itu
tidak baku ngomong. Bius kakak kelas, sementara Heri sekelas dengan saya.
Mencari Kayu Api di Watu Radi.
Saat
kami pulang sekolah, kami kerap pergi mencari kayu api di sekolah. Ada seorang
Kakak di Kampung, namanya Niko Jambo. Lagu yang paling tenar dia lantunkan di
perjalan ke bukit Watu Radi, liriknya begini: Watu Radi kawe haju, de nara koyo koyo koyo koyo koyo. Lau Cancar pika
haju, de nara koyo koyo koyo koyo koyo. Ini
lagu sangat popular kami pada saat itu.
Menjual Kayu Api di Cancar.
Kayu
yang kami bawa dari Watu Radi kemudian dijual di Sampar. Satu ikat harga
kayunya sebesar 400 rupiah. Maklum tahun 1992.
Strom Aki.
Kebiasaan
dari para Guru SD kami dengan menyuruh kami menyetrom aki di Cancar. Kami
sangat gembira kalau disuruh memikul accu
ke Cancar karena meninggalkan ruangan kelas. Kami sering melakukan itu.
Targetnya, pulang dari Cancar, pelajaran sudah selesai. Kami ke Cancar lewat
Kampung Nggawang.
Pékang Paké dan Dau Paké.
Kebiasaan
kami waktu SD Kelas II – IV adalah pekang pake –memancing katak. Lazimnya setelah berhenti hujan. Satu cerita unik
saya di sebuah sawah, namanya Bak. Saat saya memasukkan tangan saya ke dalam
lubang, bukannya katak yang saya pegang melainkan ular. Pengalaman itulah
menjadi penobatan saya untuk berhenti mencari katak di dalam lubang. Saya
bertobat memang.
Caké Lawo.
Memang
dasar masih SD. Kami senang sekali membongkar pematang sawah orang terutama
setelah mengetam. Pulang sekolah pasti ada waktu untuk mencari tikus sawah.
Dapatnya banyak-banyak. [Caké lawo artinya menggali lubang tikus].
Ta’ang Campat.
Waktu
SD kami sering menangkap ikan dan belut menggunakan campat. Suatu ketika bahkan
saya, mungkin hari tidak beruntung. Campat yang satu, belutnya lolos. Saat
belut itu lolos, itulah hari terakhir saya berurusan dengan campat. [Campat
sejenis perangkap ikan yang terbuat dari bamboo. Di depannya dibuat seperti
jaring bundar yang kesemuanya terbuat dari bahan lokal].
Ta’ang Nggepit.
Kami
bahkan kerap melakukan aktivitas berupa ta’ang nggepit. Nggepit tersebut lazim
untuk menangkap tikus di sawah. [Nggepit adalah sejenis perangkap yang berdiri
yang salah satu tonggak kakinya ditancapkan ke tanah]. Nggepit mudah dilihat
orang karena perangkap itu sangat tidak rahasia.
Memancing Ikan di Bak.
Nenekku
juga punya beberapa bak ikan di Sampar. Jika ingin memakan ikan, lazimnya saya
pulang sekolah ke Bak untuk memancing ikan.
Rénco, Kalék.
Saat
masih SD, Nenekku memiliki banyak sawah di Sampar. Kami bahkan jika ada
kesempatan selalu bergabung pada saat membajak sawah berupa kalék, cacap, bahkan pada saat tuai padi saya
sering rénco – mengangkut tuaian padi
dengan karung.
Selanjutnya……..
Bangun Rumah Baru.
Ayahku
kemudian membangun rumah baru persis di dekat jalan. Di rumah itulah, adik
perempuanku Florida Sinar lahir pada 25 Agustus 1990. Dia kemudian
dipermandikan di Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu. Di rumah itu pula, Kakekku,
Yakobus Antam menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, aku masih SMPN I Kuwus
di Satar Ara.
Pindah Lagi ke SDK Coal.
Tahun
1992, Kelas V SD, Ibuku kembali memindahkan aku ke SDK Coal. Alasan
kepindahanku adalah karena Ibuku sakit dan saya bahkan tiap hari kerap menangis
ingin selalu tinggal bersamanya. Lalu, larilah aku ke Coal membawa serta dengan
pakaianku menyusuri hutan belantara Puar Lewe antara kampung Goloworok dan
Wela.
Dalam
perjalanan, aku bahkan sambil menangis karena aku lari dari rumah Kakek dan
Nenekku tanpa pamit. Nenekku kerap melarang aku pergi ke Coal. Lalu, nyaris 1
kilometer lebih dari kampung Goloworok, sebuah mobil kijang, namanya Wae Moro
dengan nama pengemudinya Keraeng Tarsi.
Mobil
itu berhenti dengan sendirinya dan menawarkan aku untuk menaiki gratis mobil
tersebut. Maka, selamatlah aku hingga naik di atas mobil hingga ke Golowelu.
Aku kemudian turun gratis tanpa bayar di Golowelu karena aku tidak mempunyai
uang sesen pun. Aku pun berjalan kaki dari Golowelu hingga ke Ntalung-Coal.
Hingga tiba di rumah, betapa ibu kaget karena aku muncul tiba-tiba.
Aku
kemudian meninggalkan sekolah hingga beberapa pekan semua nilai raporku turun
drastis.
Uniknya,
saking tertekannya Nenekku Sobina Sidung, dia pun mencari aku hingga berjalan
kaki dari Sampar ke Coal keesokkan harinya. Betapa aku dan Ibuku kaget karena
nenekku datang.
Nenekku
kemudian menyerah, dan keesokkannya, Ibu mendaftarkan aku di SDK Coal lagi.
Saat aku sekolah di Coal, sudah mulai gempar perang tanding antara kampung Coal
dan Sama yang bahkan salah seorang bapa kecilku berhasil dibunuh oleh orang
kampung Sama pada waktu itu, namanya Paulus Anggal.
Selang
beberapa bulan kemudian, Ibuku kembali sakit dan berangkat ke Sampar hingga
meninggalkan aku di sana bersama dengan ayahku Bapak Theodorus Tamat. Pada saat
itu, rumah kami kemudian pindah di sebelah atasnya, dengan berdindingkan
pelepah dan beratapkan ijuk enau. Kami memang sangat miskin sekali.
Kawé Motang.
Saat
saya kembali Kelas V SD di SDK Coal, kami kerap pergi mencari kayu api. Bahkan
sesekali aku bersama orang tua di sana pergi mencari babi hutan. Saya bahkan
pernah memikul satu ekor daging babi hutan dan diberikan kepada Ibuku. Itu
adalah pengalaman pertama saya ngo ba’ang
motang.
Bermain di Atas Pohon.
Kenakalan
kami waktu kecil adalah menaiki sebuah pohon lalu ada teman potong dari
bawahnya. Saat pohon tumbang maka kami pun turut terjungkal. Atas kenakalan
itu, aku terkena tusukan kecil di perut bagian kiri. Saat itu, ada Kesa Herman,
Ance dan beberapa teman lainnya. Kalau kami bawa kayu api yang sudah diikat
dengan wasé lincor - sejenis tali yang mirip cincau - kami
namakan itu umbék.
Ikang Babék.
Waktu
kecil kami kerap mencari ikan di kali khususnya di Wae Lowang di Lenggo. Ada
satu tiwu di situ, Kesa Herman menjaring ikan di tiwu tersebut. Saat beliau
menangkap seekor ikan sebesar tangan anak kecil, lalu dia bersahut: Ikang
babek…ikang babekkkk!!! Saya merasa lucu karena baru pertama mendengar sebutan
ikang babek. Waktu itu ada Kesa Yance Tangga.
Hijrah Lagi ke SDI Nggawang.
Karena
Ibuku tinggal lagi di Sampar, aku pun dipindahkan lagi di SDI Nggawang. Di SDI
Nggawang, aku lanjut di Kelas V SD hingga menamatkan SD di sana tahun 1994.
Saat aku lanjut Kelas V SD, Ibuku kembali ke Coal hingga aku tamat SD di SDI
Nggawang.
Akibat
aku terkena stress rindu akan pelukan Ibuku, hasil nilai raporku buruk bahkan
NEM dan STTB-ku amat buruk hingga aku putuskan mencoret NEM-ku dan aku tidak
mau melanjutkan sekolah di SMP kendati aku tergolong masih lulus SD. Prinsipku
waktu itu, biar aku tidak sekolah dan memutuskan untuk menjadi petani bahkan
kerja sebagai kuli kasar pun aku bersedia yang penting aku dekat dengan Ibuku.
Paman Herman Menyelamatkan NEM-ku.
Niatku
untuk tidak mau melanjutkan sekolah ke SMP karena NEM-ku rendah, lantaran
stress karena selalu ditinggalkan Ibuku.
Saat
mau daftar SMP, Pamanku Bapak Herman Kiot menanyakan statusku kepada Ibuku.
Ibuku kemudian melaporkan kepada Pamanku perihal NEM yang saya coret. Kemudian,
Ibuku memutuskan membawa NEM itu untuk diperbaiki seperlunya sesuai dengan
keadaannya karena nilai NEM-nya 22 koma sekian
.
Saat
itu memang aku mendapat amarah dari Pamanku. Lalu, aku diajak beliau ke Ruteng
untuk melakukan foto pas dengan menaiki motor dinasnya di mana saat itu beliau
bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai. Setelah aku selesai foto pas,
beliau menghantar aku ke rumah di Cancar, Kelurahan Wae Belang. Saat itu,
Pamanku tinggal di Popor di rumah pribadinya di samping Barat SDI Wae Belang.
Bertemu dengan Darat.
Setelah
tamat SD, aku disuruh Ibuku mengambil beras di Golowelu, adik dari Mamaku,
namanya Wihelmina Bambung. Saat sampai di …aku melihat seorang perempuan tengah
memanggil dengan suara: éang…éang…éang. Aku melihat dia
naik di atas pohon ampupu. Rambutnya panjang dan dia menggunakan pakain putih
seperti pakaian orang olahraga Kempo putihnya. Sangat bersih. Waktu itu mentari
baru terbit dan aku saat itu membawa korek api dan rokok – mbako po’o.
Masuk Sekolah Menengah Pertama.
Setelah
NEM-ku diperbaiki oleh Pamanku, aku pun didaftarkan oleh Ayahku, Bapak
Theodorus Tamat ke SLTPN I Kuwus di Satar Ara dengan Kepala Sekolah SMP-nya
waktu Bapak Redriques. Saat mendaftar, aku amat kikuk karena NEM-ku amat
rendah. Aku berpikir waktu itu, apakah aku diterima di sana.
Sebenarnya,
aku waktu itu didaftarkan oleh Pamanku ke SMPN Cancar, namun karena NEM-ku
rendah sangat sementara tahun 1994 itu, NEM terendah yang diterima di sana
adalah berstandar 28 koma sekian. Maka, aku pun oleh Bapakku didaftarkan ke
SLTPN I Kuwus.
Saat
aku mendaftar ke SLTPN I Kuwus, Ayahku berdasarkan hasil diskusi dengan suami
dari adik Ibuku, Bapak Agustinus Ranggut meminta agar bertemu dengan Bapak
Anus, salah seorang Tata Usaha di SLTPN I Kuwus. Pak Anus berasal dari Benteng
Jawa, Manggarai Timur (2015 sekarang). Aku ingat, Ayahku dengan sopannya
membawa seekor ayam agar aku bisa diterima di SLTPN I Kuwus. Berkat kebaikan
Pak Anus, resmilah aku menjadi murid di sana.
Aku
pun dibelikan baju seragam sekolah termasuk Pramuka oleh Ayahku sementara
profesinya waktu itu adalah petani. Aku pun tinggal di asrama tepatnya di atas
rumah Pak Anus dekat dengan sekolah. Teman sekolahku, di antaranya Gias, Vinsen
Saur, Vinsen dari Porong Tedeng, Anci, Ance, Hery , Paskalis Moat dan beberapa
teman lainnya yang saya lupa nama mereka.
Saat SMP Kerap Pindah Asrama.
Selang
beberapa bulan kemudian, aku pun pindah di asrama Keraeng Emad Robi yang juga
dekat sekolah. Aku tinggal di asrama itu dengan Ance, Anci, termasuk Lin. Dari
rumah Keraeng Emad Robi aku kemudian pindah ke rumah Bapa Kecil, Bapak
Agustinus Ranggut di Ntalung pada Golowelu.
Di
rumah Mama Kecilku, Mamad Gonsa di Ntalung Pada-Golowelu. Di sana, kami sering
mencari kayu api saat ada kesempatan pulang sekolah, baik di Wae Cewe maupun di
hutan tepat di atas Gereja Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu. Dari rumah Mama
Kecilku, aku pun tinggal di rumahnya teman Vinsen Saur di Ntalung Pada tetangga
dari Mama Kecilku. Temanku tinggalku di rumah Keraeng Vinsen Saur, di antaranya
Philipus Jene, Don dan Vinsen Saur termasuk saudari kandungnya Keraeng Vinsen
Saur.
Dari
rumah Keraeng Vinsen Saur karena alasan mendekati ujian EBTANAS tahun 1997, aku
pun pindah ke Satar Ara, di rumahnya Keraeng Vinsen. Aku pun tamat dari SLTPN I
Kuwus dengan nilai NEM, 38 koma sekian. Aku dinyatakan lulus.
Nonton Film Deru Debu.
Tahun
1994-1995, lagi tayangnya film Deru Debu. Kebiasaan untuk belajar itu jarang.
Kami kerap bolos dari tempat tinggal untuk menonton film itu. Lagu yang paling
popular pada waktu itu adalah lagu Merah Delima Warna Bibirnya.
Kayu Api, Sumber Biaya Sekolahku.
Saat
aku SLTP, Ayahku, Bapak Theodorus Tamat menyekolahkan aku dengan kayu api.
Berkat KAYU API yang dicarinya di hutan Golowelu, aku pun. Ayahku adalah orang
pertama di Coal yang mencari kayu api lalu dijual di pegawai di sana. Kendati
demikian, selama SLTP karena Ibuku kerap sakit, aku masih punya kesempatan
untuk pulang ke rumah di Ntalung tiap akhir pekan dengan berjalan kaki entah
dari Satar Ara menuju Ntalung-Coal.
[Ada
banyak cerita indah pada saat SMP termasuk mencari kayu api di hutan di atas
Gereja Paroki Golowelu dan mencari kayu api hingga ke Wae Cewe. Tidak banyak
cerita menarik saat SMP dulu]
Berkelahi dengan Teman.
Namanya
Pak Anus dari Benteng Jawa. Beliau amat kreatif. Tiap istirahat, dia menjual
pisang goreng dan berbagai jenis gorengan. Gara-gara bertegal soal pisang
goreng, saya pun baku jotos dengan teman. Beruntung ada yang cepat lerai.
Tiga Siswi Tenggelan di Waduk.
Ada
tiga siswi kami mengalami nasib naas. Peristiwa itu mau memasuki EBTANAS. Hari
itu adalah hari olahraga. Tiga siswi, satunya asal Suka dan satu dari Dahang,
dan satunya saya lupa asalnya tiba-tiba bermain di waduk di sebelah utara SMP.
Ketiga siswi itu akhirnya meninggal di waduk tersebut. SMPN I Kuwus hari itu amat berduka.
Ayahku Bertegal dengan Tetangga.
Ayahku
pernah bertegal dengan tetangga namanya Romanus Sambut. Persis di rumah kedua.
Mereka bertegal hanya karena soal kucing masuk rumah.
Watak Buruk Sang Ayah.
Tiga
bulan Ibuku sakit berat di Sampar namun Ayahku tidak pernah memperdulikannya.
Selama tiga bulan, bahkan Ayahku tidak pernah menjengguknya. Setelah saya tamat
SMP dan usai ambil ijazah, Ayahku baru ke Sampar. Entah karena Ayahku sudah
putus harapannya karena selama delapan tahun Ibuku menderita. Hari itu hari
Sabtu barulah ia ke Sampar. Saat Ayahku ke Sampar, itu adalah kenangan
terakhir. Ibuku pun meninggal.
Tahun 1997, Ibuku Pergi Abadi dari Kami.
Saat
SLTP, Ibuku yang kerap sakit sering pergi pulang Coal-Sampar. Usai aku
menyelesaikan studi SLTP-ku, Ibuku sangat sekarat di Sampar.
Di
Sampar, Ibuku kendati dalam keadaan sakit menanyakan kepadaku perihal
kelulusanku. Aku pun menunjukkan NEM dan STTB SLTP-ku kepadanya. Ibuku
membacanya dan dia merasa puas.
Sehari
setelah melihat dan membaca nilaiku, Ibuku kemudian meninggal di pangkuan
Ayahku didampingi Nenekku, Sobina Sidung. Waktu itu, aku amat terpukul karena
adikku perempuan Yovita Setia dan Florida Sinar masih kecil. Florida Sinar
usianya masih 5 tahun, sedangkan Yovita Setia masih SD.
Aku
ingat baik, saat Ibuku menghembuskan nafas terakhirnya, aku memanggil kedua
adik perempuanku untuk tidur, persis aku berada di tengah-tengah mereka berdua.
Aku memang menangis di dalam hati karena aku belum mengerti betul pada waktu
itu. Aku sudah mulai merasa syiok. Pada waktu Ibuku meninggal, aku ingat pada
hari Sabtu sore.
Adikku Florida Sinar Tinggal di Popor.
Adik
perempuanku Florida Sinar kemudian diajak Pamannya untuk tinggal bersama mereka
di Popor. Dia pun mulai masuk SD di SDI Wae Belang, SMP di SLTPN Cancar,
kemudian SMAK di Budi Dharma Cancar.
Adikku
Florida Sinar kemudian menerima Komuni Pertama di Paroki Sta. Maria Fatima
Cancar. Yang mendampinginya saat menerima Komuni Pertama waktu itu adalah saya
dan Tanta Rita Magno Ximenes. Sebenarnya, Pamanku yang mendampingi tetapi
karena beliau tugas keluar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai maka
sayalah yang mendampinginya.
Adikku Merantau ke Tanah Dewata.
Pasca
tamat dari SMA, adikku Florida Sinar kemudian menginjak Tanah Dewata, Pulau
Bali untuk mengais setepung rezeki dari Empunya Semesta.
Masuk Sekolah Menengah Atas di Ruteng.
Tiga
hari kemudian, pasca Ibuku dikebumikan dan persis Rm. Karolus Jande, Pr ada di
Sampar. Dia berjanji, beliaulah yang akan mengurus sekolahku ke SMA. Namun,
Ayahku kemudian mendaftarkan aku ke SMA.
Datanglah
aku dengan ayahku ke Ruteng tahun 1997 dan berencana mendaftarkan aku ke SMAN 2
Ruteng. Aku memang bisa diterima di sana karena nilai NEM-ku memenuhi standar
namun karena kami terlambat maka waktu itu siswa/I sudah penuh. Maka, terpaksa
Ayahku yang amat sederhana itu mendaftarkan aku di SMAK Primadona Ruteng dengan
Kepala Sekolahnya waktu itu, Drs. Yoakim Pajang.
Aku
pun belajar di SMAK Primadona Ruteng dan berhasil tamat dari sana kendati
NEM-ku, nilainya amat rendah sekitar 33 koma sekian. Ada banyak pengalaman
pahit selama aku mengenyam pendidikan di SMAK Primadona Ruteng hingga tamat
tahun 2000.
Berjumpa Dwi Suci Maha Agung.
Waktu
itu pancawindu, Mgr. Mikael Angkur, OFM di Lewur. Beliau Uskup di Bogor. Saya
kemudian waktu itu ke Coal. Lalu, saya mendengar ada caci di Coal. Syukuran pancawindu Uskup Mikael sangat inkulturatif
karena beliau mempersembahkan hewan kurban berupa kerbau putih. Hal itu
merupakan pujian bagi Yang Kudus yang telah mengaruniakannya sebagai Pengembala
Para Domba.
Tibalah
hari caci di alun-alun Gendang Lewur.
Aku pun hadir saat itu. Saat itu, aku masih SMA. Persis saat permain caci tengah berlangsung, beberapa orang
termasuk aku berdiri di compang atau mezbah adat. Seorang tetua adat merasa
geram karena melihat ada orang berdiri di compang. Dia kemudian mengambil larik – cemeti dan mengayunkan ke
orang-orang yang berdiri di atas compang
tersebut. Uniknya, saya ada di situ dan tetap berdiri di compang. Tetua adat itu tidak berani mengusirku. Dia kemudian
membiarkannya. Sekitar 10 menit kemudian, aku menyadari sendiri. Saat aku
keluar dari compang tersebut sekitar
dua meter dari situ, aku menengandah ke langit. Saat menengandah, dua orang
berpakain putih – Tuhan Yesus dan yang satu lagi mirip Elia, Yohanes Pembaptis
(rupanya). Mereka kemudian turun di atas compang
tersebut. Saat itu compang tengah
kosong. Beliau tidak berbicara pada waktu itu tetapi hanya datang ke altar adat
tersebut. Mereka bagaikan petir yang mengkilat dan jubah mereka seperti salju.
Bermimpi Didatangi Yang Lanjut Usianya.
Tinggal
6 bulan tahun 2000 saya mengikuti Ujian EBTANAS di SMA Primadona Ruteng. Aku
waktu itu tinggal di Tebing Tinggi tepatnya di rumah Om Marten. Waktu itu aku
sempat sulit untuk bangun selama 3 hari lamanya. Memasuki hari ketiga dan
malamnya, aku bermimpi.
Dalam
mimpiku, aku didatangi seorang yang lanjut usianya. Beliau menggunakan jubah
putih, kain lenan. Putihnya seperti salju. Rambutnya sudah beruban tetapi tidak
banyak. Aku melihat Beliau di pintu kos.
Keesokan
paginya, hari ketiga aku terjaga. Semua urat-uratku kembali normal. Aku
kemudian teringat akan mimpi itu.
[Ada banyak cerita unik di Lewur yang perlu
digali. Di sana banyak hal penting yang belum digali para generasi termasuk
peristiwa melawan Empo Rua zaman dulu yang membunuhnya dengan cara menggunakan
ijuk enau. Cerita unik lainnya adalah di Lewur pernah zing-zing Gereja terbang
hingga ke Tentang karena terbawa angin putting beliung yang sangat besar].
Tidak
banyak cerita menarik waktu SMA. Itu akan ditulis kemudian.
Selanjutnya……..
Bantu Kerja Proyek Rumah.
Pasca
tamat dari SMAK Primadona, aku kemudian kepusingan karena Ayahku sudah tidak
sanggup membiayai aku ke jenjang yang lebih tinggi.
Kendati
berada dalam kepusingan, persis bulan Mei-Juli tahun itu, Bapak Agustinus
Ranggut mendapat pekerjaan dengan membangun rumah tembok permanen dari tetangga
mereka di Golowelu, Bapak Marsel.
Saya
pun menawarkan diri untuk menjadi salah seorang tenaga pekerja kasar, khusus
untuk membantu mengangkat bata, mencampur semen dan sebagainya. Sempat Ayahku
juga terlibat dalam pekerjaan itu tetapi dia kadang-kadang. Ayahku, lebih asyik
dengan pekerjaannya sebagai pencari kayu api.
Setelah
nyaris delapan pekan lebih, rumah tersebut pun hampir usai dibangun maka saya
dan Ayahku mendapat upahnya lumayan.
Kuliah di STKIP St. Paulus Ruteng Tahun
2000.
Daftar di STKIP St. Paulus Ruteng.
Setelah
aku mendapat uang secukupnya untuk mendaftar, pergilah aku dengan tekadku ingin
belajar di STKIP St. Paulus Ruteng. Aku mendaftar pertama dengan uang jerih
lelahku sendiri.
Tinggal di Konggang.
Di
saat aku memasuki kuliah, awalnya aku tinggal di Konggang di rumah salah
seorang Paman. Namanya Domikus dari Sampar. Paman Domi anak dari Kakak dari
Ayah Ibuku di Sampar. Setelah OSPEK di STKIP, dua pekan kemudian kemudian aku menetap
di Tebing Tinggi.
Berjumpa Reba Ruek Kedua Kalinya.
Saat
saya tinggal di Tebing Tinggi, di situlah saya berjumpa dengan sosok Reba Ruek.
Seluruh tubuhnya berwarna hitam. Tingginya persis 1 meter lebih. Itu adalah
perjumpaan kedua selama ziarah saya yang sebelumnya saat masih SD di Sampar.
Tidak
lama kemudian, akupun melihat sosok Yang Lanjut Usianya berlari cepat di dekat
situ. Waktu bersamaan aku melihatnya. Waktu di siang hari. Yang Lanjut Usianya
itu adalah Dia yang aku lihat dalam mimpi selama aku sakit saat SMA di Tebing
Tinggi.
Aku
pun diuji tes masuk bersama dengan teman-teman yang lain. Aku lulus dan memilih
Jurusan Teologi Pendidikan. Saat Semester Awal kuliah, persis semester satu,
nilaiku jatuh. Indeks Prestasiku bahkan tidak mencapai 2,0. Kampus kemudian
pada waktu itu mempertimbangkan agar mahasiswa pertama yang baru masuk masih
bisa mengikuti kuliah di semester kedua kendati nilai di bawah standar. Aku pun
kembali luput.
Bangkitnya Jiwa-Jiwa di Golocuru.
Saat
mau ujian Semester, saya bersama teman namanya Bonaventura Egot ke Golocuru.
Maksud hati ingin berdoa. Saat mau memasuki Gua Maria, jiwa-jiwa bangun dari
kubur mereka. Banyak dari mereka meminta didoakan agar diselamatkan. Saat itu
hanya diam tepekur. Mereka bangkit dengan berbagai tipe muka dan pakaian mulai
dari anak kecil hingga orang tua.
Saudariku Yovita Setia Berhenti Sekolah.
Saudariku
Yovita kemudian berhenti sekolah karena tidak ada lagi orang yang
memperhatikannya. Adikku perempuan tinggal dengan nenek Sobina Sidung di Sampar
bersama dengan adik dari Ibuku, Kristina Naut. Betapa pedih, adik perempuanku
kehilangan arah dan kasih sayang.
Aku
pernah ke Sampar memberitahukan kepadanya agar dia melanjutkan sekolah tetapi
dia sudah tidak mau. Beberapa kali aku membujuknya, namun beliau tetap tidak
mau. Sementara, adiknya Florida Sinar tinggal dengan Paman Herman di
Popor-Cancar.
Nenekku Sobina Sidung Pergi Abadi.
Proses
perkualiahanku kian goyang setelah nenekku meninggalkan kami di Sampar.
Sandaran kasih sayangku kini sudah tidak ada, tidak ada lagi pengasih bagiku
selain ayahku yang agak pelik mengasihi aku untuk membiayai uang kuliahku.
Jeritan
hatiku amat terasa lagipula mulai saat itu aku malas bertandang ke kampung
Sampar.
2002, Melihat Tuhan Yesus di Kapela
STKIP St. Paulus Ruteng.
Kebiasaan
di STKIP St. Paulus Ruteng, khusus Jurusan Teologi Pendidikan setiap hari
Kamis, Pukul 12.00 siang tepat dilakukan Misa Kampus.
Hari
itu, Kamis, semua Mahasiswa/I Teologi mulai dari Tingkat I sampai Tingkat V
tengah mengikuti Perayaan Ekaristi Kudus. Persis hari itu, P. Oswaldus Bule,
SVD memimpin Misa.
Secara
tidak sengaja, saat Misa, mataku melihat ke tempat lain di dalam Kapela. Dan,
pada saat consecratio di mana Roti
dan Anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus sendiri. Pater Os mengangkat Piala,
saat itu Tuhan Yesus turun ke Altar. Beliau menggenakan jubah kuning tua
sementara dirinya menggenakan kasula mirip kain keto – kainnya mirip ular sanca tau nepa ala Manggarai. Badannya
tinggi, parasnya ganteng, rambutnya ikal panjang dan kakinya menggenakan sepatu
bertali-tali.
Saat
aku pulang, aku kemudian teringat akan sabda Kitab Suci PB dengan kurang lebih
berbunyi: Di mana satu dua orang berkumpul atas nama-Ku, di situ pula Aku
berada. Lalu, kemudian kepalaku mulai mengkaji tentang ajaran Transubstantia
dari Thomas Aquinas tentang Tubuh dan Darah Kristus sendiri terutama Mata
Kuliah Eklesiologi yang diajarkan P. Marsel Agot, SVD dan pula saat setelah aku
membaca buku Eklesiologi tulisan Prof. P. George Kirchberger, SVD, salah
seorang Biarawan yang mengajar di STFK Ledalero.
Melihat Dua Orang Penguasa Langit di
Hombel.
Tidak
lama berselang, aku kemudian mengalami kepusingan karena aku mendengar
suara-suara aneh di luar kosku. Aku pada waktu itu tinggal di Hombel di Nenek
Tina. Namun, suatu ketika di Hombel di belakang SMAN I Ruteng (2015 sekarang,
menjadi SMAN I Langke Rembong) sekitar jam 12.00 siang lewat, ada dua orang
turun dari langit mereka membawa sebuah salib berwarna merah padam. Kedua orang
tersebut pun menggenakan pakaian merah padam.
Bertemu Tuhan Yesus, Bapa Surgawi di
Sampar.
Kurang
lebih selama tiga hari aku bergulat dengan suara aneh mulai dari Ruteng hingga
di Sampar. Di Sampar di mana aku dilahirkan dulu oleh Ibuku. Pada hari puncak,
aku melihat ada sebuah rumah di sebuah tempat yang jauh. Rumah tersebut amat
bersih dan kilat seperti petir. Tinggallah seorang Pria Berusia Lanjut di rumah
tersebut. Dia keluar dari kamarnya. Dia mengenakan destar ala Manggarai di
kepalanya dan mengenakan kain sarung dengan baju yang amat bersih. Rumah
tersebut berwarna putih keabu-abuan sementara tidak ada batas atas, bawah,
samping kiri dan kanannya. Aku mendenger Beliau kemudian tertawa lepas.
Tidak
lama kemudian, ada dua orang berdiri di suatu tempat yang amat luas tanpa
batas. Dia adalah Tuhan Yesus bersama seorang pria. Rambut pria yang berdiri di
samping Tuhan Yesus itu berambut air, sama-sama berhidung mancung tetapi mirip
muka orang Meksiko. Mereka berdua mengenakan jubah putih. Di tangan kanan Tuhan
Yesus memegang sebuah tongkat. Yang
mendampingi Tuhan Yesus melepaskan senyumnya kepadaku.
Lalu,
Tuhan Yesus turun kepadaku. Betapa aku kaget, tubuhnya bersinar seperti petir.
Beliau tidak berkata apa-apa. Aku melihat semuanya begitu cepat.
Setelah
itu, lalu aku merenung merefleksikan seluruh isi Kitab Suci Perjanjian Baru dan
Perjanjian Baru, pengalaman Abraham, pengalaman Musa, pengalaman Yakob yang
disebut Israel, pengalaman Stefanus Martir, pengalaman Paulus yang disebut
Saulus.
Melihat Orang Yang Sangat Kuat.
Tepatnya
di Meler, di jalan setapak menuju ke Golo Timur, aku yang dalam keadaan bingung
melihat sosok yang sangat kuat. Beliau membawa sebuah kapak. Dalam sekejap aku
melihatnya. Tubuh pria perkasa itu sangat kuat dan berotot. Beliau mirip badan
orang Eropa dan mirip orang binaraga.
Berjumpa Bapa Surgawi di Gereja
Golowelu.
Karena
penderitaanku amat sangat sangat lagipula sang Ayah amat tidak berdaya. Aku
telah kehilangan segalanya waktu itu, Kakekku, Ibuku dan Nenekku. Aku kian
kehilangan kasih sayang sebab ketiga pribadi itu andalan kasih sayangku. Ibarat
sampan terombang-ambing di tengah samudera lepas tanpa bintang gemintang.
Karena
kesedihanku, aku pun meratap di depan Gereja di Golowelu di suatu sore. Saat
itu amat sedih. Aku saat itu menginap di rumah adik perempuan Ibuku. Saat aku
menjatuhkan air mata, turunlah Bapa Surgawi dari atas langit. Melihat itu,
sedihku hilang kembali. Dan, aku pun pulang. Dia hanya berkata ke dalam batinku
sementara mata telanjangku melihat-Nya. Dia berkata: “Lihatlah anakKu!”. Saat
itu, Beliau mengajarkanku bagaimana saat Beliau datang, maka seluruh bumi akan
berguncang kuat. Aku merasakan keguncangan itu seperti bencana besar yang
melanda bumi.
Aku Dijanjikan Seorang Putera.
Tahun
2012, di siang hari sekitar jam 12.00-01.00, Tuhan Yesus lalu bersabda dari
langit kepadaku untuk mengambil seorang gadis menjadi seorang istri. Persis,
aku pada waktu itu amat mencintai seorang gadis. Dalam sabda-Nya itu, aku
diminta untuk menjadikan gadis itu seorang isteri dan kelak akan diberikannya
seorang putera. [Aku merahasiakan nama gadis itu].
Setelah
aku mendapat perintah-Nya, aku kemudian menjawab Beliau bahwa itu tidak mungkin
karena Sinta tidak mencintaiku. Selain itu, aku masih kuliah, aku tidak punya
uang dan aku anak orang miskin, aku tidak mempunyai rumah. Aku menolak
tawaran-Nya.
Kesulitan Uang SPP.
Saat
Semester II, IP-ku sudah mencapai target di atas 2,0. Kendati aku mendapat
meski tidak sampai 3,0, aku kewalahan di pembayaran uang kuliah. Aku sering
terlambat membayar uang kuliah bahkan pada Semester III, Ibu Dr. Yustina Ndung,
M.Pd, yang pada waktu itu masih dosen kami membantu melunaskan uang kuliahku
satu semester.
Diusir dari Ruangan Kuliah.
Akhirnya,
masuklah pada Semester Keenam, pada saat tengah dilangsungkannya ujian
Semester, P. Oswaldus Bule, SVD, pernah mengusirku dari dalam ruangan kuliah
padahal aku hanya menunda pembayaran uang kuliahku yang tinggal sepekan lagi
dilunaskan karena aku pada waktu itu dibantu oleh Rm. Karolus Jande, Pr.
Aku
sebenarnya batal ikut Ujian Semester, tetapi ada kebijakan lagi dari Kampus
bahwa bagi yang belum membayar SPP, masih bisa ikut ujian. Akhirnya, aku pun
masih ikut ujian. Tak lama berselang, usai ujian Semester, uang tunggakan
kuliahku pun dibayarkan.
Saat
memasuki Semester Ketujuh, aku pada waktu itu hanya mengambil beberapa mata
kuliah sisa pada Semester Ganjil termasuk Semester I, II, dan V. Karena IP-ku
di bawah standar, P. Oswaldus Bule, SVD menilai aku bahwa aku gugur padahal aku
pada waktu itu hanya mengambil lima mata kuliah. Persis pada waktu itu, STKIP
St. Paulus Ruteng sedang bermasalah besar.
Dua Rohaniwan Membantu Perkualihanku.
Sebenarnya,
ada dua Rohaniwan yang membantu proses perkualihanku di STKIP St. Paulus Ruteng
pada waktu itu. Mereka adalah Rm. Karolus Jande, Pr dan Br. Enjel Nadut, SVD,
salah seorang Bruder yang mengajar Mata Kuliah Kimia di Unika Kupang.
Kedua
penjasa tersebut, penyelamatku saat aku terpepet kekurangan financial. Namun,
memang tidak mulus karena saya masih ragu-ragu meminta bantuan beliau berdua.
Br.
Enjel, bahkan pernah membantuku membayar Semester uang kuliah termasuk dari
beliaulah aku pertama kali membeli Kamus John Echols, Inggris-Indonesia,
Indonesia-Inggris. Uniknya, Br. Enjel tidak pernah saya ketahui persis seperti
apa parasnya itu tetapi beliau kakakku dari Lambur-Manggarai Barat.
Lamar di Tarekat Scalabrinian.
Kiatku
sekolah di STKIP St. Paulus Ruteng adalah menjadi Imam. Sejak SMP, SMA saya
tidak pernah berpacaran. Memang mau berpacaran hanya saja kikuk karena aku tahu
bahwa tidak ada satu pun gadis yang bisa menerimaku. Hal itu aku sadar karena
parasku memang tidak ganteng lagipula ayahku sangat miskin papa. Maka, aku
menanggalkan niat memberi salam perempuan.
Begitupun
juga di STKIP St. Paulus Ruteng sebelum ke Surabaya, saya memang tidak
berpacaran. Hal itu juga alasannya sama. Saat masuk pertama, memang aku
mencintai seorang perempuan bernama Sinta namun aku sadar bahwa parasku amat
buruk sehingga aku membatalkan seluruh niatku itu.
Atas
dasar itu, aku pun melamarkan diri di Scalabrinian untuk menjadi Imam. Kiat itu
batal karena aku hijrah ke Surabaya padahal aku sudah lulus tes masuk di
Kongregasi tersebut. Di Surabaya juga, aku juga sempat meminta ke Romo Karel
untuk mendaftarkan aku di salah satu biara di sana untuk menjadi Biarawan.
Niatku
menjadi Imam memang terhadang larangan Romo Karel, ayahku dan semua keluarga
besarku. Alasan mereka adalah karena aku satu-satunya anak laki-laki. Aku
kemudian mempertimbangkan perkataan mereka karena memang benar juga apa yang
mereka katakan karena Tuhan Yesus justru menjanjikan putera-putera dan
puteri-puteri.
Melihat Yang Lanjut Usianya.
Saat
itu aku Semester V. Aku tinggal di Lorong Lawir. Suatu siang, aku melihat
seorang yang lanjut usianya lewat. Kulitnya seperti kulit orang Eropa dan badannya
tinggi seperti orang-orang Eropa.
Melihat Bunda Maria di Langit Lorong
Lawir Ruteng.
Pada
Semester V, aku kemudian meninggalkan perkualihan karena temanku Raymundus
Mbula mengajak aku ke kampung halamannya di Benteng Jawa. Bapak Ardus Mbula
adalah seorang Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris angkatan pertama di STKIP St.
Paulus Ruteng.
Kami
kemudian pulang dari Benteng Jawa sekitar jam 12.00 malam menggunakan bus. Di
pertigaan menuju kampung Dahang-Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur
(sekarang, yang dulu masih gabung di Manggarai) di depan kaca bus yang saya
tumpangi, saya melihat bunga termasuk bunga mawar putih dan merah cerah dengan
daunnya hijau. Aku melihat bunga itu lalu merenung, kira-kira apa maksudnya.
Aku
pun tiba di Lorong Lawir Ruteng lewat rumah Rensi Ambang. Persis aku kosan di
dekat rumah Bapak Yance Janggat. Melihat jam, tepat pukul 06.00 pagi, aku
melihat Bunda Maria berdiri di langit. Beliau menggenakan pakaian tidak terlalu
putih. Di pinggangnya diikatkan sebuah kain dan kepalanya berkerudung.
Aku
pun tertegun di dalam kos kemudian merefleksikan hal itu lagipula pada waktu
itu tepat Bulan Maria, Bulan Rosario. Malamnya aku pergi berdoa Rosario, rumah
itu tepat di samping atas rumah Bapak Yance Janggat.
Betapa
kagetnya aku, aku kemudian tidak konsen mengikuti Doa Rosario tersebut karena
persis bunga yang aku lihat di depan kaca mobil bus saat pulang dari Benteng
Jawa tepat seperti bunga di depan Patung Bunda Maria, lalu Patung Bunda Maria
juga persis seperti gaun yang dipakainya saat aku melihat di pagi tadinya. Aku
pun pulang ke kos dan merenungkan semuanya berdasarkan isi Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Sinar Putih dari Atas Pohon di Benteng
Jawa.
Suatu
ketika, saat pergi yang kedua kalinya ke rumah Keraeng Raymundus Mbula di
Benteng Jawa. Waktu itu tidak ada bulan dan kami hendak ke rumah tangga.
Tiba-tiba, dari atas sebuah pohon sebuah bola putih sebesar bola kaki
menggeluarkan cahaya yang berkilau. Cahaya amat terang namun hanya saya saja
yang melihatnya. Aku amat terperanjat waktu itu.
Romo Max Regus Donatur Buku Terhebat.
Salah
seorang Pastor Pembantu, Rm. Mex Regus, Pr di Paroki Kristus Raja Mbaumuku
Ruteng. Romo Mex terkenal sangat pintar. Beliau salah Dosen Komunikasiku di
STKIP St. Paulus Ruteng. Beliau Pastor muda yang menjadi Penulis hebat.
Selama
di Paroki Kristus Raja Mbaumuku, beliau terkenal sangat dekat dengan orang
muda, OMK Paroki. Saya persis menjadi salah satu anggota OMK. Target saya
bergaul dengan Rm. Mex adalah buku-buku ilmiah. Ada sekitar 20-an eksemplar
buku yang saya minta dari beliau.
Buku
kecil yang sangat bagus cerita di dalamnya adalah cerita perjumpaan St.
Agustinus, seorang tokoh penting dalam Gereja Katolik. Di dalamnya berisi
tentang pengalaman perjumpaannya sebelum beliau menjadi seorang Uskup Besar di
Hippo. Pengalaman St. Agustinus persis
dengan pengalaman perjumpaanku sebelumnya sebagaimana tertulis dalam buku
tersebut. Perjumpaan tersebut adalah perjumpaan dengan Yang Maha Agung.
Menemukan Refrensi Lain.
Selain
pengalaman St. Agustinus, niat membacaku memang tinggi waktu itu. Bahkan aku
sedikit membaca pengalaman St. Fransiskus Asisi, soal bagaimana pengalaman
panggilan imannya dengan mana dia adalah seorang anak pengusaha hebat namun
dipilih Tuhan Yesus sebagai pengkabar Injil-Nya.
Aku
membaca buku St. Fransiskus sebagai refrensi tambahan buku yang diberikan oleh
Rm. Mex Regus dengan membaca buku di Perpustakaan Paroki Sta. Maria Fatima
Cancar tentang ziarah St. Fransiskus. Saat itu, Pastor Parokinya Rm. Yoseph
Karus. Saat itu asistensi. Saat itulah aku meminta agar namaku di buku stambuk
harus dirubah menjadi Pantur karena tertulis di sana Sama. Hal itu sesuai
dengan nama asliku, ngasang manuk.
Hijrah ke Surabaya.
Akhirnya,
aku putuskan untuk pindah dari STKIP St. Paulus Ruteng dan bergegas ke Surabaya
dan berencana melanjutkan kuliah ke STKIP Madiun. Berkas-berkasku pun kuurus.
Waktu itu, aku memiliki uang sebesar 700.000 rupiah yang dikirim oleh Rm.
Karolus Jande, Pr. Uang yang diberikan oleh Romo Karel, sebagiannya aku gunakan
membayar uang kuliah, sebagiannya aku gunakan untuk membayar bus dari Labuan
Bajo hingga ke Surabaya.
Roh Meminta Saya Back To Ruteng.
Di
Labuan Bajo, aku sempat dilarang oleh Roh, bukan manusia. Suaranya sangat
halus. Dia menyuruhku untuk membatalkan rencana kepergianku ke Surabaya. Waktu
itu aku menginap di Firdaus, rumah tinggal P. Marsel Agot, SVD. Aku menginap
semalam di sana.
Roh
itu berkata: “Saya meminta agar engku pergilah ke Ruteng, ingatlah akan gadis
itu. Jangan engkau pergi ke Surabaya!”. Kendati demikian, aku tidak mau
mendengarkan suara itu karena aku pikir bahwa gadis itu tidak mencintaiku
karena saya tidak ganteng di matanya dan lagipula saya tidak pantas baginya.
Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku.
Sesampai
di Surabaya, aku turun ke Terminal Bungurasih lalu menelpon Rm. Karel. Aku
waktu itu menggunakan ojek ke Universitas Widya Mandala Surabaya, sebuah kampus
Katolik di samping Soverdi Surabaya. Betapa terkejutnya Rm. Karel, aku
tiba-tiba ada di depan matanya.
Rm.
Karel kemudian menyuruh Keraeng Dian untuk mengantar aku ke Kedurus dengan
mobil kijang birunya. Aku pun tiba di Kedurus disambut keluargaku dari Sampar.
Ke STKIP Madiun dan Sarangan.
Keesokkan
harinya, Rm. Karel mengajak aku ke STKIP Madiun untuk mendaftar di sana. Aku
pun didaftarkan tetapi Romo masih mau mengajakku ke Sarangan mengikuti
kegiatan.
Pulang
dari Sarangan, Romo Karel meminta aku untuk turun di STKIP Madiun atau kembali
ke Surabaya. Memang, nasib tidak beruntung berpihak pada saya waktu itu. Saya
lebih mementingkan pakaian yang ditinggalkan di Surabaya ketimbang berhenti di
STKIP Madiun untuk melanjutkan kuliah Teologi Pendidikan saya padahal saya
sudah diterima di sana karena semua berkasku lengkap.
Ke Tumpang-Malang.
Barangkali
karena Romo Karel kecewa dengan saya, dia putuskan agar aku dimintanya untuk
mengikuti doa di Tumpang-Malang. Saya pun bergegas ke sana bersama rombongan.
Romo Karel tidak ke sana tetapi saya dan beberapa orang dari Surabaya ke Tumpang
tersebut.
Kecewa dan Penyesalan.
Selama
tiga hari di sana, aku pun kembali lagi ke Kedurus-Surabaya. Kemudian aku
menunggu tawaran dari Romo bahwa apakah beliau sudah mau mengirimkan aku ke
STKIP Madium, namun kemudian beliau tidak bersedia. Maka, aku pun tinggal
bersama keluarga di rumah tersebut sementara Rm. Karel saat itu bertugas di
Paroki Sidoarjo.
Berjumpa dengan Roh Bung Soekarno –
Hatta
Suatu
ketika, aku ke kuburan Bung Soekarno di Blitar. Aku diajak oleh Rm. Karel, Dian
dan Emad Soni dari Sampar.
Saat
memasuki kuburan beliau, Bung Karno dan Hatta ada di depanku. Mereka menyapa
aku namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Beliau menggenakan baju kemeja
dan celana putih dengan peci di kepalanya. Di tangan kanannya memegang sebuah
tongkat kepresidenan dan di saku baju kirinya ada beberapa bunga yang indah.
Sementara, Bung Hatta berdiri di samping kirinya. Ternyata, Bung Karno adalah
pria yang sangat manis rupawan. Sangat indah dan luar biasa dipandang. Beliau
hanya menundukkan sedikit kepalanya tetapi tidak berkata apa-apa. Setelah
kejadian itu, aku tertegun dan berdoa di kuburannya. Beliau tidak berpesan
apa-apa.
Uniknya,
sebelumnya aku sudah diajak oleh Bung Alfan Manah untuk masuk GMNI Cabang
Manggarai. Namun, aku memilih hijrah ke Surabaya. Bung Alfan dan Bung Dedi
Mujur naik pesawat ke Jakarta tetapi aku cukup melalui jalan laut darat. Bung
Alfan sempat melarang aku ke Surabaya tetapi masuk GMNI saja dan tunda saja
kuliahku. Lalu, saat pulang dari Surabaya, aku kemudian menjadi kader GMNI.
Menjadi Guru Bahasa Inggris Asalan.
Ibarat
kucing menanti tumbuh tanduknya, begitulah perjalananku pada waktu itu. Aku pun
ditawarkan agar mengajar Bahasa Inggris di SDI Dukuh Kupang III Surabaya
samping SMP Margi Internasional di Dukuh Kupang.
Aku
mengajar Bahasa Inggris mulai dari Kelas I-Kelas VI SD termasuk membantu
sedikit pengetikan di kantor. Saat mengajar, saya tidak memiliki sepeda motor.
Saya pergi mengajar dengan bemo atau terkadang menggunakan sepeda ontel dari
keluargaku di rumah Kedurus.
Pakai Sendal Alasanku Berhenti Jadi
Guru.
Nasib
memang lagi-lagi tidak menolongku. Saat pagi aku pergi mengajar, di depan
rumah, Keraeng Leksi Paleng menegurku bahwa mengapa aku memakai sandal pergi
mengajar. Ucapannya memang benar. Di sekolah, Kepsek memanggilku karena tumben
hari itu aku pakai sandal. Kepala Sekolah juga komplein terhadapku karena
mengajar sedikit agama di ruangan yang maksudnya hanya penjelasan, namun dia
tidak menerima. Aku pun kecewa dan meminta keluar dari sekolah.
Bertemu Kakak Br. Anjel Nadut.
Betapa
herannya saya, pribadi yang getol membantuku selama kuliah di STKIP St. Paulus
Ruteng yang parasnya aku tidak tahu walau hanya per warung telekomunikasi
(wartel saja) akhirnya bertemu juga di Soverdi Surabaya.
Hanya
sekali itu saja, saya bertemu beliau hingga ditulisnya coretan ini hingga,
Senin, 9 November 2015 padahal beliau sudah pernah rela membantu.
Kerja di Hotel JW Marriot Surabaya.
Keraeng
Yuvens Darung memaksaku untuk berkerja di Hotel JW Marriot Surabaya, yang persis
beliau adalah seorang Leader. Aku pun dibawanya ke sana. Aku ditest secara
tertulis dan wawancara yang kesemuanya menggunakan Bahasa Inggris, bahkan
lamaranku pun dibuat dalam Bahasa Inggris. Aku kemudian sanggup melakukan semua
itu dan bekerja di sana dengan awalnya cleaning service.
Uniknya,
saat kerja selama hanya sebulan, aku saja karyawan yang jarang kerja tetapi
pergi ke lantai atas baik menggunakan lift juga tangga luar untuk memantau isi
hotel. Aku pun menjadi stress meski gajinya 28.000 rupiah saat itu per hari
hanya karena tiap hari harus stel dalam dan harus menggenakan sepatu. Saya pun
putuskan mengeluarkan diri.
Tesenggol Kendaraan di Bombin Surabaya.
Saat
saya pergi kerja di JW Marriot, persis hari itu saya menggunakan sepeda ontel. Sebuah
kendaraan pribadi kemudian menyenggol saya. Saya pun berhenti di perenaman
Kebun Binatang Surabaya tersebut dan membuat rentetan kendaraan berhenti untuk
sementara waktu.
Untung,
aku membiarkan pemilik kendaraan penyenggol itu pergi sekalipun dia sempat
berhenti tetapi aku maafkan karena aku memang tidak apa-apa. Aku pun menyuruh
mobil itu pergi.
Menangis di Tengah Malam.
Suatu
hari, pulanglah aku dari JW Marriot di tengah malam. Sore itu, hujan amat
deras. Semua kendaraan taksi sudah tidak ada. Mobil taksi sukar lewat karena
air tinggi sepaha. Aku pun meneteskan air mata karena harus berjalan kaki dari
Jalan Embong Malang ke Kedurus selama kurang lebih tiga jam lamanya.
Maka,
semenjak kejadian itu, aku pun putuskan untuk serius tidak mau bekerja di JW
Marriot karena banyak pertimbangan kendati Keraeng Yuvens Darung terus
memaksaku hingga-hingga kami sempat beranten di dalam kamar karena mengapa saya
membuat surat sepihak mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut.
Berjumpa Lagi dengan yang Maha Agung di
Kedurus.
Tiap
hari meski mengeluh, kami harus menimba air minum. Kami menggunakan gerobak.
Saat menimba Tuhan Yesus datang dalam kemulian-Nya. Mereka ada dua orang.
Beliau sempat marah pada waktu itu dan meminta aku agar tetap bersabar. Aku
sempat berguman marah dalam hati kepada-Nya. Beliau tiap hari menuntunku di
situ. Beliau meminta aku untuk terus bersabar. Aku dihibur sama saudaraku, ada
Yuvens Darung dan Dion Arifin. Seakan hanya sehari saja, aku tinggal bersama
mereka kurang lebih 3 tahun lamanya. Tiap hari kerjaku membaca dan membaca
berbagai majalah termasuk majalah The Peak dan menterjemahkan koran harian The
Jakarta Post untuk konsumsi pribadi.
Waktu
senggang kuhabiskan untuk itu selain membawa sepeda ontel ke seluruh Kota
Surabaya dan hingga Sidoarjo. Itu saya lakukan tiga tahun di sana.
Kembali ke Flores.
Tiga
tahun sudah telah lewat saya menginjakkan kaki di Surabaya. Selama di sana, ada
banyak tempat yang sudah dikunjungi tetapi seolah seperti mimpi bahwa itu sudah
pernah terjadi. Itu kisah bersama Rm. Karolus Jande, Pr, Imam Projo dari
Sampar.
Naik Truck Kayu Gratis, Turun di Ruteng
Tanpa Biaya.
Hari
itu amat beruntung bagiku bahwa aku bisa kembali ke Flores. Adalah seorang
keluarga dari Leda Ruteng membeli sebuah mobil truck kayu di Surabaya. Sang
sopir tidur di Kedurus dan menyampaikan maksudnya bahwa ia mau pulang ke Flores
sendirian dengan mobil tersebut.
Tiga Hari Minta Izin di Romo Karel.
Keputusanku
untuk bisa lolos kembali ke Manggarai kurang lebih tiga hari. Aku berhasil
merayu dan memaksa Romo Karel untuk mengizinkan aku pulang. Hari ketiga Romo
Karel kalah karena aku terus mendesak beliau padahal beliau memintaku agar
selesai kuliah baru aku boleh ke Manggarai.
Aku
mendesak terus beliau karena aku dengar beliau akan pindah ke Jakarta bekerja
di KWI Bidang Pendidikan bersama Mgr. Mikael Angkur, OFM. Aku pun mulai cemas
dan terus menyusun strategi untuk segera back
to my village.
Hari
ketiga, aku pun mengemaskan barang untuk meluncur balik. Romo Karel kemudian
menitipkan uang belanjaku selama di perjalanan waktu itu 400.000 rupiah. Uang
itu pun utuh hingga di Manggarai.
Ketika
aku sudah di pelabuhan Surabaya, mobil tumpanganku diperiksa. Agar tidak
terkena biaya, sang sopir menyembunyikan aku dengan menundukkan kepalaku di
bawah deck depan agar tidak terpantau petugas. Nasib rezeki berpihak, aku pun
lolos hingga semua biaya konsumsi di kapal mulai dari Surabaya hingga Maumere
padahal saya tidak ada nama dalam tiket kapal akhirnya berhasil lolos turun di
pelabuhan Maumere.
Injak Maumere-Flores.
Di
Maumere, kami tiba pagi jam 04.00. Kami pun berhenti untuk isikan perut sedikit
dan tidak lama kemudian terus meluncur ke Ruteng. Kami dengan seorang sopir
tiba jam 04.00 sore di Ruteng. Begitu aku melihat Ruteng, hati merasa lega
karena sudah merasa kembali merdeka.
Dua Pekan Tinggal di Rumah Paman Frans
Parut.
Tiba
di Ruteng, aku pun pergi ke rumah keluarga, Bapak Frans Parut di Karot-Pering.
Bapak Frans adalah kakak kandung dari Rm. Karel. Sepekan aku menginap di rumah
Bapak Frans tersebut lalu bertemu sang Ayahku tercinta di Coal.
Enam Bulan Tinggal di Coal.
Aku
pun pamit dari Karot lalu ke Coal. Di sana aku kemudian bertemu sang ayah
dengan saudariku Yovita Setia, sementara saudariku yang bungsu Florida Sinar
tinggal di Pamannya, Herman Kiot di Popor-Cancar.
Di
Coal, aku pun mendirikan sebuah forum, namanya Forum Komunikasi Desa (FKD).
Forum ini sempat melakukan beberapa rapat dan diskusi bersama beberapa pemuda
di Coal. Sekali pertemuan, pernah dilakukan di rumah Keraeng Mensi di Porong
Tedeng bersama Keraeng Hubertus Garut dan Keraeng Vinsen. Pernah juga melakukan
pertemuan lepas di rumah Keraeng Emad Reli tentang FKD tersebut.
Menanam Kopi di Wae Lowang.
Nyaris
sepekan aku bekerja di kebunku, namanya Wae Lowang. Aku tidak membawa bekal.
Bekalku hanyalah ubi kayu mentah ditambah dengan daun pisang muda. Ada juga
daun cawat.
Saat
hampir kerja selesai, roh nenekku Sobina Sidung mendatangi aku. Aku pun
berhenti bekerja. Aku tidak takut meski pulang jam 8 malam sementara jauhnya
dari tempat tinggal hampir 4 kilometer.
Kain Lenan Putih Berisi Pelbagai
Makanan.
Kemudian,
Tuhan Yesus turun dari langit. Beliau menggenakan jubah putih terang mengkilat.
Beliau membentangkan sebuah helai kain putih bersih. Panjang sekira 20-an meter
dan lebarnya hampir 1 meter. Di kain itu tergambar pelbagai jenis makanan yang
lezat. Setelah Beliau menunjukkan hal itu kepadaku, kain itu menghilang lalu
aku pulang.
Tri Suci Maha Agung Datang di Kebun
Pancasila.
Stefanus
Martir dalam Kitab Suci Perjanjian lama, kisah melihat dua orang di Kitab Wahyu
dan kisah-kisah Abraham dalam Perjanjian Lama, Tri Suci Maha Agung turun ke
hadapanku. Mereka turun di tempat di mana rumah pertama kami dibangun di mana
Ibuku mulai terkena sakit. Pada waktu itu, aku diperintahkan agar menghentikan
segera pekerjaanku padahal tinggal sedikit tetumbuhan paku yang belum
diselesaikan. Tuhan Yesus ada padaku. Tidak lama kemudian, Bunda Maria turun ke
tempat itu. Peristiwa itu, persis seperti terjadi di Sampar sebelumnya di mana
Tuhan Yesus hadir dalam kemulian-Nya, Ia bercahaya, menghalau bak kilatan
halilintar yang amat dahsyat besarnya.
Janji Kelahiran Putera dan Puteri.
Aku
menetap di rumah salah seorang Paman di Lenggo. Di rumah gubuk itulah aku
dibangunkan untuk memberi nama pada putera dan puteriku. Datanglah seorang
berjubah hitam, Beliau memanggil namaku anak muda. “Anak muda, bangunlah.
Ambillah ballpoint dan buku, catatlah nama anak-anakmu!”. Beliau memberi nama
Puteraku. Peristiwa itu, mirip perjumpaan pada saat aku lari dari rumah Pamanku
semasa belum masuk SD, pakainnya sama hanya saja beliau membimbingku pada waktu
itu lagian aku sembari menangis. Maklum anak kecil.
Aku
pun mencatat nama anak-anakku, Arnoldus Sanpepi Juang Pantur dan Vinsensan
Jovialen Perki Pantur. Perjanjian pada waktu itu tahun 2007.
Masalah Besar di Coal.
Coal
kemudian dilanda sebuah masalah besar yang berujung pada sidang Pengadilan.
Masalah ini, saya sendiri tidak tahu apa sebabnya. Begitu panasnya situasi di
Coal pada waktu itu, kemudian turut mendesak pribadiku untuk juga segera
meninggalkan kampung tersebut.
Kembali ke Menetap Ruteng.
Rencana
hati datang ke Ruteng untuk menyaksikan perkara kasus di Coal tersebut tetapi
ternyata menuntunku untuk sulit kembali ke Coal. Saya pun mencari Bung
Fortunatus Hamsah Manah (Alfan Manah) di Sekretariat GMNI di Nekang, namun
mereka ternyata telah pindah. Saya mendapat kabar, Sekretariat GMNI di samping
SPBU Mbaumuku Ruteng.
Aku
pun meluncur ke sana. Sesampai di sana, bertemulah Keraeng Alfan Manah, Keraeng
Konstan Nompirama, Keraeng Gabriel Pouk, Keraeng Yoakhim Jehati, Keraeng Bony
Panar, Keraeng Mantho Panar. Akibat asyiknya diskusi, saya pun bergabung dengan
mereka.
Merapat ke GMNI Manggarai.
Awalnya,
saya tidak mau menetap di sana namun karena persona di GMNI waktu itu amat
welcome dan selaras dengan selera saya diskusi, maka jadilah petang demi petang
kami pun tidur dan makan bersama di sana sampai-sampai bergabung dengan aksi
unjuk rasa tolak tambang termasuk persoalan 40-30 kursi DPRD Manggarai tahun
2009.
Daftar Kuliah di STIPAS St. Sirilus
Ruteng.
Saya
pun kemudian memutuskan diri untuk kembali melanjutkan perkuliahan saya dan
saya memilih belajar di STIPAS Ruteng. Saya bergegas ke sana dan bertemu P. Dr.
Hubert Muda, SVD. Pater Hubert pada waktu itu masih Rektor. Persis beliau
mengenal saya dan saat itu beliau meminta saya bertemu dengan Dosen yang
berhubungan dengan Kesekretariatan.
Waktu
itu, transkripsi nilaiku berada di STKIP Madiun. Aku menelpon ke sana untuk
memintanya, namun kampus di sana menolak. Saya pun bertandang ke Sekretariat
STKIP St. Paulus Ruteng untuk meminta transkrip nilai, namun mereka menolak
mentah-mentah tawaran saya. Saya pun stress, harus bagaimana?
Awal Mula Jadi PERS/WARTAWAN.
Saat
kami tengah melakukan aksi 40-30, ada sebuah Koran bernama SUARA FLORES, milik
Kornelis Moa Nita dari Maumere yang berpusat di Kupang, yang persis Biro
Manggarainya dipegang oleh Bapak Frans Jehoda.
Bapak
Frans Jehoda meminta saya untuk bergabung, lalu beliau menelpon redaksi dan
meminta saya menulis naskah. Tulisan pertama saya adalah mengupas fakta 40-30
kursi DPRD Manggarai. Berita pertama dinaikkan. Maka, sejak saat itu saya
pegang Koran tersebut.
Tidak
lama berselang, Keraeng Frans Jehoda mengikuti test CPNSD dan lulus kemudian
mengajar dan ditempatkan di SMA Kejuruan Bangka Kenda, Wae Ri’i.
Alfan Manah Dorong Saya Belajar Lagi di
STKIP Ruteng.
Alfan
Manah dan Konstan Nompirama memaksa saya untuk kuliah lagi di STKIP St. Paulus
Ruteng. Akhirnya, saya iya-iya saja karena memang STKIP Ruteng tidak mau
mengeluarkan transkrip nilai untuk aku bisa pindah. Waktu itu, Pater Ketuanya
adalah P. Servulus Ishak, SVD. Begitu saya bertemu P. Servulus untuk
melanjutkan studi di STKIP St. Paulus Ruteng, dianya menolak menerima. Saya pun
tambah gembira karena saya memang mau belajar di STIPAS yang penting transkrip
nilai bisa kasih keluar.
Romo Karel Sang Malekat Penolong.
Begitu
P. Servulus menolak lalu saya laporkan kejadian itu ke Romo Karel. Romo Karel
pun membuat Surat Rekomendasi dan menelpon beberapa pihak STKIP St. Paulus
Ruteng untuk menerima saya kuliah di sana. Kendati saya dengan berat hati untuk
kembali belajar di sana lagi pula saya sudah punya pekerjaan, tetapi apa daya saya
pun belajar lagi di STKIP sebagai mahasiswa transfer. Karena sempat kehabisan
dana, terpaksa masuk pertama di STKIP St. Paulus Ruteng dibantu oleh Romo
Karel. Beliau membantu saya dengan besaran dana 600.000 rupiah. Selanjutnya,
saya memahami Romo Karel, dan sejak saat itu aku tidak meminta lagi bantuan
dari beliau.
Kuliah pun Dimulai.
Saya
pun memulai kuliah lagi dengan menyelesaikan mata kuliah yang kreditnya belum
selesai. Satu Semester saya kuliah lalu Semester berikut langsung pergi Kuliah
Kerja Nyata (KKN). Aku pun KKN di Paroki Ponggeok dengan penempatan SDI Kaca
dan Kapela Kaca.
Dimulainya KKN Pertama di Ponggeok.
Di
Kaca, saya diminta oleh Pastor Paroki, Rm. Albert Abu, Pr untuk melakukan
pendataan umat. Selain data umat, saya pun mengajar di SDI Kaca dan tiap hari
Minggu memimpin doa di Altar Kapela Kaca. Hal itu hanya berlangsung dua bulan
saja karena saya kemudian mendapat surat wasiat dari Kepala Sekolah SDI Kaca
yang mana dia mendapat laporan kalau saya tidak sering tidur di rumah Ketua Kelompok
di mana saya tinggal tetapi kerap meninggalkan rumah padahal saya bahkan hinnga
Iteng melakukan pendataan umat yang harus menginap di rumah umat karena harus
berjalan kaki dari masuk dari satu rumah umat ke rumah umat lainnya.
Saya
pun kecewa lalu kembali ke Ruteng dan diskusi di GMNI melepaskan KKN yang
tinggal dua bulan saja. Saya tinggalkan teman KKN saya, Siska Alus dan seorang
teman perempuan lainnya.
KKN Kedua di Paroki Ekaristi Kudus Ka
Redong.
Tahun
berikutnya, saya program ulang KKN saya bersama dengan seorang teman Flori
Effendi Mahu di Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong yang waktu itu Pastor Paroki,
P. Ferdinandus Ganti, SVD bersama P. Dr. Hubert Muda, SVD. Persis seorang
Frater Ledalero, Fr. Sil Ule, SVD juga Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di sana.
Di sana, aku juga sembari mengajar di SDI Redong sebagai persyaratan aku
menyelesaikan salah satu mata kuliah mengajarku tingkat SD karena praktek
mengajar di SMA sudah dijalankan yaitu di SMK Sadar Wisata Ruteng. Aku pun
berhasil menyelesaikan KKN-ku dengan sukses hingga menyusun SKRIPSI dengan
judul: Relasi Antar Manusia Dalam Perspektif Budaya Manggarai.
Cahaya Putih dari Puncak Gunung Ranaka.
Aku
melihat seperti secercah bintang bak intan permata bercahaya dari puncak gunung
Ranaka. Cahaya itu sering terlihat dan lazim dilihat pada siang hari.
Naga Api Besar di Gunung Ranaka.
Saya
melihat semacam naga besar bercahaya dari Gunung Ranaka. Naga tersebut
bermahkota dan dari tubuhnya keluar cahaya bersinar seperti api. Ternyata naga
besar bercahaya tersebut pernah dilihat oleh Ayahnya Keraeng Jo Kenaru di atas
Rentung.
Yang Lanjut Usianya Keluar dari Mulut
Gunung Api Anak Ranaka.
Saat
saya pulang dari Borong, saya rindu ke puncak Ranaka. Waktu itu aku pulang
meliput dari Borong. Aku berguman dalam hati. Waktu itu belum terjadi gemparan
yang besar ancaman meletusnya Gunung Ranaka.
Bupati
Rotok begitu mulai seriusnya mengurus rakyatnya untuk mengevakuasi ke Stadion
Golo Dukal sebagai tempat yang nyaman terutama warga Robo. Beliau pada waktu
itu bahkan dengan cepatnya membangun jalan alternatif dari Poka menuju Mano
tepatnya bagian utara.
Suatu
ketika, saya dan BPBD Kabupaten Manggarai pun diputuskan untuk ke Gunung
Ranaka. Saya ingat waktu itu, ada Keraeng Jo Kenaru, Keraeng Alfan Manah, Leo
Gonsaga, dan Kepala BPBD, Anggalus Angkat. Saya waktu itu pergi dengan
memboncengi Keraeng Alfan Manah. Kami waktu itu menggunakan motor dinas dari
BPBD. Ketika sampai di dekat puncak, di bawah Sano Mas Mongko, seorang Yang
Lanjut Usianya keluar dari mulut Gunung Api. Beliau lari dengan begitu
cepatnya. Beliau bersahut: Anak daku…anak
daku. Ho’o kaku – anakku, anakku ini aku. Saya merasakan kedatangan Beliau.
Sejak saat itu, saya pun tahu bahwa letusan
gunung itu tidak jadi. Setelah peristiwa itu, aku teringat ketika Beliau
datang menghibur aku saat turun di Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu di mana
Beliau turun dari langit. Saat di Paroki aku tengah menangis.
Dituntun ke Wae Rebo.
Saat
saya berjalan ke Wae Rebo, saya dituntun Yang Agung.
Berjumpa Yang Lanjut Usianya di Wae
Rebo.
Ketika
sampai di Wae Rebo, Yang lanjut usianya menyambut kami. Beliau menggenakan
tongkat. Tampaknya Kakek pertama yang mendatangi kampung tersebut.
Setelah
di Niang utama, ada ular mahkota di situ tepatnya di belakang seorang Bapak di sana dan seorang yang sudah
meninggal di hutan sudah lama peristiwanya datang ke tempat tersebut dengan
pengaduan.
Bunda Maria Tersuci di Atas Langit
Persawahan Terang.
Waktu
itu, 21 Juni 2011, aku ke Terang bersama Keraeng Didimus Naka. Waktu itu,
Terang dilanda oleh gagal panen. Kami hendak meliput. Saat tiba di Golo Garang,
aku menengadah ke langit. Tampak Bunda Maria memandang ke persawahan. Beliau
tidak berkata apa-apa. Aku hanya termenung saat itu. Itulah peristiwa kedua berjumpa
Bunda Tuhan itu.
Dwi Suci Datang di Compang Lecem.
Waktu
itu, 7 September 2011. Lecem tengah merayakan ritus Paki Jarang Bolong. Sebelum
dimulainya lilik compang roban pakin
jarang bolong, ada dua orang turun dari langit dan memasuki compang. Mereka menggunakan jubah putih
bagaikan kilat. Satu dari kedua Beliau berpesan agar aku harus berani
mengatakan bahwa ritus itu tidak perlu dilakukan karena doa mereka sudah
diterima. Saat Beliau berbicara demikian, aku tidak memberitahu orang di situ
karena lilik compang sudah mau
dimulai. Aku masih gusar. Beliau berkata bahwa doa mereka sudah diterima dan
dikabulkan yang Mahakuasa. Aku saat itu hanya bisa merinding keheranan ternyata
ritus paki jarang bolong adalah ritus
yang luar biasa dan ternyata Yang Maha Agung hadir di situ.
2012, Akhirnya Dilantik Jadi Sarjana.
Skripsi
tersebut dibimbing oleh Rm. Dr. Martin Chen, Pr dan Bapak Kanisius Theobaldus
Deki, M.Th, yang pada ujian bersama Dosen Penguji Bapak Manto Tapung, M.Pd.
Kemudian baru dilantik jadi Sarjana Pendidikan tahun 2012 yang padahal dikejar
sejak tahun 2000.
Facebook: 9 Juli 2012, Bertemu Tulang
Rusuk.
Pasca
melaksanakan ujian Skripsiku dan tepatnya sebelum diwisuda, saya kemudian
berkenalan dengan seorang perempuan asal Karot Tadong, Regina Wangung untuk
sehidup semati. Kisah perjumpaan kami begitu singkat dan sederhana bahkan tanpa
melewati proses-proses adat Manggarai.
Tepatnya,
8 Juli 2012 di malam hari, ada seorang adik namanya Patris Bota. Persis dia
tinggal denganku. Tidak secara sengaja, yah mungkin kehendak Yang Mahakuasa,
kami pun bertemu keesokan harinya persis juga ayahku baru berangkat dari
Depansar – Bali menjenguk kedua puterinya di sana.
Rumah
tangga kami pun berjalan dengan pengalaman pahit dan manis. Semua itu dilalui untuk
mengetahui sifat masing-masing karena tidak melalui pacaran. Istriku hanya
seorang Ibu Rumah Tangga biasa, di pundaknya tidak ada predikat lain sebagai
seorang Ibu bagi puteranya Arnoldus Sanpepi Juang Pantur dan Vinsensan Jovialen
Perki Pantur.
Juang
lahir di RSUD Ruteng, Minggu, 19 Mei 2013 pada Pukul 06.00 sore. Sedangkan,
adiknya lahir di Puskesmas Kota Ruteng, Sabtu, 21 Februari 2015 pada Pukul 05.00 sore. Dan, kami tinggal di Goro,
Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT saat itu.
Yang Agung di Puncak Golomori.
Saat
pertama ke Golomori, Yang Suci memasuki puncak tersebut. Saat itu, warga di
sana Abdul Karim menceritakan tentang kisah Ndiwar Kewali dan peristiwa Tenteng
Lawe. Waktu itu 24 November 2012.
Kreta Kencana.
Dalam
hidup, baru pertama kali aku melihat Kreta Kencana. Aku melihat sebelumnya
dalam film. Sebuah Kreta Kencana dinaiki seorang lelaki ditarik oleh kuda yang
bersih dan dihiasi pakaian yang indah. Ada dua ekor yang menarik kreta
tersebut. Waktu itu, salah seorang berilmu di sana menceritakan tentang sejarah
Golomori. Saat diceritakan, muncullah Kreta Kencana lewat di depan kami. Saya
sangat kaget karena Kreta Kencana benar seperti yang diceritakan orang. Malam
itu, 22 Februari 2013. Itu adalah misi kedua saya ke sana.
Keraeng
Alfan Manah merasa lucu karena ke pipis saja saya butuh bantuan beliau.
Takutnya aku malam itu bukan main. Pengalaman pertama melihat langsung kreta
kencana.
Yang Agung Datang di Compang Gendang
Ka’a.
Saat
ritus kaba congko lokap Gendang Ka’a,
waktu mau lilik compang sempat seekor burung elang terbang atas gendang
tersebut. Lalu, setelah kerbau disembelih datanglah seorang yang jubahnya putih
dan menerima persembahan tersebut. Aku pun pada waktu itu hanya tertegum betapa
mulainya ritus tersebut.
Melihat Api Merah di Goro.
Di
Goro Ruteng, suatu malam ada sebuah api besar muncul dari pohon-pohon warnanya
merah terang seperti nyala api tetapi sekitar 1 menit lamanya lalu menghilang.
Berjumpa Yang Lanjut Usianya di Pong Panas.
Suatu
ketika saya bersama Juang, Poping, Ren ke Pong Panas. Sebelumnya, saya sudah
pergi ke situ sebelum saya membawa mereka ke sana. Yang Lanjut Usianya datang
ke tempat tersebut. Pakaiannya seperti saat saya memasuki kehidupan yang jauh
tanpa batas di mana saya berjumpa Yang Agung, Tuhan Semesta Yesus Kritus.
Pakaian Yang Lanjut Usianya itu persis dipakai Beliau pada saat keluar dari
mulut Gunung Api Ranaka dan datang dari langit di Paroki Golowelu. Perjumpaan
tersebut persis pengalaman saudara Ivan Obo yang berjumpa dengan Yang Lanjut
Usianya.
Di
Pong Panas, Juang menyebut Opa. Saya melihatnya namun tidak memberitahu mereka.
Berjumpa Sosok Berjubah Hitam Pekat di
Tiwu Riung
Saya
waktu itu bersama Keraeng Otwin Wisang ke Pong Panas lalu ke Tiwu Riung. Kami
dipandu Keraeng Rofinus Tasing. Ketika sampai di Tiwu dan mengambil gambar aku
melihat Beliau di bawah pohon. Saat itulah aku memberitahu Keraeng Otwin untuk
membuatkan ritus tesi atau permisi. Setelah ritus tersebut baru terasa damai. Di
tempat itulah orang Taga menggelar ritus meminta hujan pada masa lampau.
[Masih dilanjutkan……… dan sebelumnya
masih banyak yang perlu ditambah. Ini baru sebagian kecil dari catatan
ziarahku di bumi dengan pelbagai perjanjian-perjanjian dengan Yang Maha Agung
sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci Agama-Agama di dunai. Janji Presiden
Soeharto saat beliau meninggal. Perjumpaan lainnya pun ada. Akan segera
ditulis].
@Tuhan Yesus bersabda: Lupakanlah kesalahan masa lampau! Demikian ditulis Buku Kerahiman Ilahi. Tuhan Yesus ampunilah dosa - dosa kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar