13/05/17

RAMI.

Bagi orang Manggarai pasti tidak lazim mendengar kata ini RAMI. Rami adalah tingkat ketiga untuk menyebut hutan, forest. Pertama hutan disebut sebagai poco dan kedua disebut puar. Rami itu hutan kecil yang di dalamnya terdiri dari pohon paku, senduduk, kerenyuh, tekelan dan jenisnya. Kebun yang sudah lama tidak diterabas akan disebut remu uma. Remu itu membersihkan uma atau kebun yang sudah banyak sekali sembot. Sembot itu suatu tempat yang tetumbuhannya sulit untuk masuk kecuali harus diterabas terlebih dahulu.

Setelah rami ada tingkat kedua disebut puar. Puar ditumbuhi pohon-pohon besar tetapi tidak seperti poco. Sedangkan, poco adalah hutan belantara di gunung yang tinggi di mana orang bahkan jarang memasukinya. Jika sebuah golo atau gunung tidak ditumbuhi pohon-pohon besar, itu disebut poco karena tidak ada puarnya, sedangkan apabila dipenuhi tetumbuhan seperti pepohanan besar akan disebut poco bahkan poco mese. Ada pula disebut puar dan puar mese.

Jadi, tingkatan hutan orang Manggarai yaitu rami, puar dan poco. Hutan belantara disebut puar cengit.

Relasi Budaya.

Ada ungkapan orang Manggarai: Ngkiong le poco, roko molas poco. Poco atau hutan di pegunungan itu digambarkan sebagai Anak Rona. Molas Poco itu adalah tiang tengah rumah adat atau siri bongkok di mana Tua Golo duduk pada saat lontoleok.  Bahkan sekarang siri bongkok itu diambil dari rami atau kebun warga. Hal itu karena, pohon untuk dijadikan siri bongkok sudah mulai menipis.

Bagi orang Manggarai hutan dilestarikan karena merupakan yang harus dihargai. Mereka adalah pemberi rezeki, berkat, kekuasaan dan ketutunan.

Apa korelasi antara ungkapan: bom salang tuak landing salang wae? Maksudnya, hutan atau poco sebagai Anak Rona selalu mengalirkan air, memberikan kepuasan dan kesegaran. Ketika Anak Rona dijaga, dihargai dan disanjung-sanjung maka ia akan memberikan kesegaran. Dan, air itu tidak pernah berhenti mengalir dari hutan. Artinya, hubungan itu abadi bukan sesaat seperti nira yang cepat habis ketika disadap airnya dari pohon enaunya.

Hutan sebagai pemberi rezeki dapat menghadirkan awan dan awan memberikan hujan. Awan sangat suka suhu yang dingin di mana pegunungan adalah sarangnya, rumahnya atau tempat tinggalnya untuk berkumpul.

Hutan belantara dalam pengertian Jepang mereka membahasakannya sebagai mori. Nah, bagi orang Manggarai, Mori adalah Pencipta langit dan bumi. Di sini, bukan hutan lagi sebagai Anak Rona dari Gendang orang Manggarai melainkan Tuhan Semesta Alam.

Coba diperhatikan, ada dua jenis pohon yang menjadi simbol dari Mori orang Manggarai yang tumbuh menjadi besar rindang di compang atau mezbah adat. Pertama, langke. Langke kerap disebut haju ruteng atau nuling. Ruteng terdiri dari kata ru yang artinya aku sendiri dan teng yang artinya kuat menahan. Ruteng artinya aku sendirilah yang kuat menahan. Ruteng sama dengan berdikari dalam konsep Soekarno. Kedua, kalo. Kalo itu sebenarnya kalo rona atau dadap berduri. Kalo itu adalah simbol keperkasaan, naungan, lindungan gaib, lindungan Tuhan. Kalo rona itu lazim dipakai oleh tetua adat untuk berperang ketika cabangnya diambil yang mana musuh akan ketakutan dan memutuskan untuk tidak berperang. Kalo rona adalah simbol rekonsiliasi atau perdamaian. Untuk diketahui, di atas compang itulah Pencipta akan datang menyucikan persembahan warga.

Apa korelasi antara ungkapan: kuni agu kalo? Kuni artinya pusat manusia sedangkan kalo adalah pelindung, rekonsiliasi. Kuni agu kalo adalah tanah tumpah darah di mana seseorang dilahirkan dan dibesarkan, di mana tali pusat atau kuni ditanam termasuk mbau atau plasenta yang kemudian disebut wae cemok. Ritus takung wae cemok adalah bentuk penghormatan terhadap kuni agu kalo. Kuni itu privatif sedangkan kalo itu kolegial. Maka, ada ungkapan pemersatu: cama po'e nggerone, cama lewang nggerpe'ang, nai ca yanggit tuka ca leleng.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, 13 Mei 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar