12/02/19

Pante Tuak Orang Manggarai, Tradisi Curu Reis dan Tiba Meka

Raping adalah sebutan umum di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menunjukkan pohon enau. Sedangkan, hasil sadapannya disebut tuak. Raping jika diindonesiakan menjadi pohon enau.

Beberapa sumber menjelaskan, beberapa komponen raping menurut Bahasa Manggarai, di antaranya:

Pertama, owak. Owak berada di bagian dalam raping. Owak ini mirip dengan kambium. Manfaatnya sebagai bahan makanan.

Kedua, wunut. Wunut atau ijuk memiliki banyak manfaat, sebut saja untuk atap rumah, sapu ijuk, tali, saringan tuak yang biasanya diletakkan di mulut robo (kendi).

Ketiga, leka. Leka atau daun enau memiliki banyak manfaat, baik untuk dinding kemah maupun untuk atap gubuk. Manfaat lainnya sebagai keranjang darurat sebagai penjinjing ayam, babi kecil. Biasanya juga dipakai sebagai nggiling atau perisai melatih anak-anak bermain caci. Saat berlatih main caci waktu kecil, perisai dari anyaman daun enau, koret-nya dari cabang bambu, sedangkan cambuk-nya dari wase lincor (sejenis cincau dan cuing), wase ntawang, wase sara. Wase lincor lebih berbahaya dari  cambuk asli yang terbuat dari kulit kerbau atau lempa.

Keempat, suik. Suik atau lidi bermanfaat untuk sapu lidi, tusuk gigi, tusuk sate, alat hitung mirip sempoa. Suik secara paranormal dapat mengusir pengaruh-pengaruh roh jahat dengan perhitungan-perhitungan tertentu yang lazimnya mengunakan angka ganjil 5 dan 7 yang diikatkan satu sama lain lalu diayunkan pada malam hari. Orang Manggarai lazim memanfaatkannya sebagai anti krenda (guna-guna).

Kelima, lombong. Lombong atau pucuk enau memiliki beberapa manfaat terutama untuk perhiasan dekorasi, cupat (ketupat), langkar (keranjang jinjing yang berbentuk sedemikian rupa untuk membawa ayam ke anak rona, tali ukat, umbul-umbul. Suit lombong bisa juga digunakan sebagai tali pengikat kayu bakar.

Keenam, longko. Longko atau buah raping. Ada tiga jenis longko, yaitu longko rana, longko ndara dan longko tu'a. Longko rana biasanya buah yang masih muda sekali yang belum bisa diproduksi menjadi tuak tetapi khusus sebagai bahan untuk kolang-kaling. Sedangkan, longko ndara (biasanya setengah matang dan agak sedikit kemerahan) berguna untuk menghasilkan tuak melalui tewa (memukul dengan palu kayu). Longko ndara juga berfunsi untuk membuat gula dan sopi. Sedangkan, longko tu'a untuk pembibitan. Longko yang sudah tua biasanya terasa gatal jika dipegang. Disarankan anak-anak jangan bermain dengan longko tu'a tersebut karena akan terkena alergi.

Ketujuh, soko. Soko ini berupa batang longko untuk tewa, pante tuak (sadap). Saat tewa itulah, maka dibuatnyalah deren nenggo (nyanyian menghibur pohon tuak karena enau disimbolkan sebagai perempuan).

Kayu pemukul namanya pasi, sejenis wenggu. Kayu pemukul diambil dari uwu, lente, ngantol, dan ara lalok. Kalau ndara-nya merah, maka kayunya ngantol, uwu. Kalau mbolong (bulat) harus ara lalok, lente. Saat tekang (pahat) usai tewa (pukul) di sana ada istilah sawing. Sawing toko agu inewai (mimpi tidur dengan perempuan pertanda air niranya banyak). Bila sawing dan pasi cocok, maka airnya banyak.

Untuk menutup lubang pante (pahat) atau kalau mau ditutup dengan saung rangat (lidah ular, Inggrisnya snake plant, Latinnya hedyotis difussa wild ), silamata (korejat, dalam Inggrisnya milkwort, Latinnya polygala paniculata), tongkak (pegagan, Inggrisnya Buabok, Latinnya Centella Asiatica) dan ngelong (semanggi, Inggrisnya clover leaf, Latinnya marsilea crenata). Beberap fungsi daun tersebut bertujuan untuk mengundang wae raping (te jak main wae raping).

Sebelum dipanen, air nira dibungkus dengan wunut agu leka agar gogong (bumbung) tidak terkena hujan. Awalnya mince (nira) lalu dirubah menjadi tuak karena dicampur haju ngancar (untuk sopi), puser (tuak untuk minum). Untuk buat gula maka haju pak  (pohon selatri) yang dicampur di teong/gogong (bumbung, Inggrisnya roof). Untuk bikin pahit pakai haju loi, wora (woing atau legundi) untuk rekang tuak (sebagai perasa pahit tuak). Tuak juga bisa dicampur dengan bambu tua.

Enau Punya Pemali.

Raping rupanya memiliki keharaman tersendiri, memiliki pemali tersendiri.

Pesadap akan sangat jarang kulit tubuhnya bersentuhan dengan sabun kimia. Sering mandi menggunakan sabun kimia, enau sepertinya ngambek tidak mau memberikan niranya ke bumbung.

Kerap memang, pesadap membilas tubuh mereka dengan sabun alami, yaitu dengan menggunakan daun kembang sepatu dan menggunakan serat kulit waek rona (sengon jantan lokal).

Daun kembang sepatu dan serat loke waek rona adalah sabun tradisi orang Manggarai. Busa serat kulit waek rona sangat wangi dan melembutkan rambut. Serat kulit rona juga bagus untuk kecermalangan kulit wajah.

Penulis pada waktu kecil memang kerap memperhatikan itu bersama seorang Kakek Gaspar Garung (Ema Elong). Kakek Gaspar selalu memanfaatkan serat kulit waek rona untuk membersihkan rambutnya. Hal itu dilakukan setelah celu kaba (menggembalakan kerbau) di Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT.

Tuak Raja Medium Komunikasi Perjumpaan dan Persahabatan Orang Manggarai

Halnya mince sebagai bahan dasar pembuatan gola malang (gula enau) melalui proses kokor mince (masak nira), tuak pun demikian selain sebagai bahan dasar untuk pembuatan sopi nomor satu yang kalau dibakar menyala juga sebagai sarana curu (jemput) dan sila (menjamu) tamu. Namun, lazimnya yang ditaruh di robo (kendi) harus tuak, tidak boleh sopi.

Di bawah pohon enau, pesadap lazimnya menjamu temannya dengan bila (topi yang terbuat dari buah maja). Sedangkan, untuk penerimaan tamu-tamu penting yang dilakukan di pa'ang (gerbang kampung) dan di dalam rumah adat menggunakan robo (sejenis labu botol atau labu kendi). Saat ri'o rengka (pamit) juga menggunakan robo. Tuak bagian dari materi dasar pengisi budaya orang Manggarai.

Jadi, sopi tidak boleh digunakan saat curu kecuali tuak. Sopi bukan bagian dari budaya Manggarai. Dalam acara adat apa pun, sopi tidak dipakai. Yang dipakai adalah tuak Manggarai, tuak raja. Sopi hanyalah minuman hiburan, sama seperti bir. Sopi bukan minuman budaya tetapi hanya sarana pertemanan belaka.

Oleh: Melky Pantur, Rabu (25/5/2016). Diedit lagi pada Kamis, 24 Februari 2019.
Narasumber: Theodorus Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar