Ditulis oleh: Melky Pantur***.
"Songke Manggarai, Identitas yang Terabaikan".
Identitas daerah, wilayah pasti ditunjukkan melalui berbagai cara
termasuk bagaimana mengenakan busana. Dalam keseharian, sebut saja
jilbab, kerudung. Oleh orang Arab, jilbab menunjukkan identitas
perempuan. Identitas ke-Araban (Timor Tengah) itu kemudian dipakai
dalam budaya agama dengan mana nyaris orang-orang Muslim di seluruh
dunia terutama kaum perempuan wajib mengenakan jilbab. Pengenaan
jilbab tersebut adalah sebuah identitas.
Dalam dunia agama, sebut saja agama Katolik. Para biarawati atau kerap
disebut Suster wajib mengenakan kerudung sebagai bentuk identitas
mereka. Dalam agama Hindu, para Pendeta mengenakan jubah berwarna
kuning tua keemasan. Demikian pula dalam agama Budha, pada Pendeta
Budha mengenakan jubah berwarna cokelat. Para Pendeta di agama
Shinto-Jepang mengenakan jubah kemerahan sebagai penunjukkan
identitas.
Dalam seni tari, tarian Jai dari Bajawa. Tarian tersebut sudah
mendunia. Itu adalah identitas seni tari mereka. Tarian orang
Manggarai yang populer adalah caci, sanda. Caci adalah identitas orang
Manggarai. Caci tidak ada di belahan dunia manapun kecuali hanya di
Manggarai saja, begitu pula dengan sanda.
Dari sisi organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, sebut saja GMNI
menggenakan jas merah, PMKRI mengenakan jas merah tua. Dalam sisi
organisasi partai politik Indonesia, sebut saja PDI Perjuangan
menggenakan jas merah, Partai Golkar mengenakan jas kuning, Partai
NasDem berwarna biru. Begitu pula dalam dunia ke-TNI-an, dunia
Kepolisian, dalam dunia perhubungan. Itu adalah identitas.
Dari sisi bahasa, kita tahu nyaris tiap daerah memiliki bahasanya
sendiri-sendiri, misalnya bahasa Manggarai. Begitupula bahasa yang
diakui nasional, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan
bahasa-bahasa nasional lainnya. Berbagai bahasa itu juga merupakan
identitas.
Nah, kembali ke Manggarai. Apa identitas orang Manggarai? Identitas
orang Manggarai tentu saja salah satunya adalah songke dan towe Todo,
towe Cibal. Budaya Manggarai terutama dari kreasi menenun songke (kain
songket motif Todo, Cibal dan Ruis), towe Todo, motif songke Cibal.
Songke, motifnya tentu berbeda dengan motif songket dari daerah lain.
Kain songke dengan coraknya tersendiri dapat dikreasi menjadi jas
songke, topi songke, kain meja songke, dan selendang songke, rompi
songke.
Lalu, apa inti yang mau dibahas dalam tulisan ini? Sebagaimana semua
orang tahu bahwa orang Manggarai nyaris ada di belahan dunia manapun,
ada di berbagai benua. Kendati orang Manggarai berada di beberapa
benua, orang Manggarai banyak yang lupa akan identitas mereka terutama
dalam hal berbusana pada acara-acara penting di pemerintahan, di
tempat ibadah dan di tempat-tempat pesta. Orang Manggarai sudah banyak
beralih, beralih ke gaya modern, yaitu dengan mengenakan jas luar,
menggenakan baju batik dari luar.
Bila saja orang Manggarai menunjukkan identitas mereka kendati dicap
sebagai orang miskin atau marginal (terpinggirkan) oleh orang luar
pasti saja orang Manggarai akan disanjung identitasnya di mana-mana.
Terutama pada saat acara-acara penting, ketika misalnya di Amerika, di
Arab, orang Manggarai menggenakan jas songke dan topi songke. Wah,
luar biasa indahnya.
Yang menarik lagi bahwa ketika ada kesadaran songkenisasi saat berada
di luar negeri, saling mengenal satu sama lain itu sangat mudah.
Gereja Katolik Manggarai telah melakukan itu terutama pada saat Misa
di Gereja-gereja Minggu ketiga dalam bulan . Para umat wajib
mengenakan towe songke dan jongkong songke. Itu adalah contoh.
Jika saja di luar negeri juga di dalam daerah, budaya songkenisasi itu
tumbuh dan ditumbuhkan, tentu identitas itu semakin menonjol. Itu
adalah seni di mana orang-orang yang berasal dari Manggarai sangat
mudah untuk saling mengenal di mana pun mereka berada.
Bilamana identitas itu kerap ditampilkan, pasti saja ada orang di luar
orang Manggarai yang ingin mengenakannya meski ada juga orang yang
tidak mau karena mau mempertahankan identitas mereka sendiri.
Songkenisasi tentu akan berdampak pada meningkatnya pendapatan penenun
songke, meningkat pula taraf hidup para penadah, distributor dan
penjualnya. Demikian pula, meningkat pula bagi perusahan pencetak
benang dan pewarna. Perusahaan kain dan pewarna juga mendapat untung.
Lalu, apa yang perlu dikritik terutama songkenisasi khususnya di
Manggarai? Salah satu yang dilupakan selama ini di Manggarai saja
adalah motif songke hanya dikenakan oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak
saat koor adat di Gereja, pada saat acara penti, congko lokap, pada
saat acara meminang perempuan dan yang paling parah dipakai pada saat
perang tanding.
Di sekolah-sekolah mulai SMP, SMA di Manggarai, para siswa mengenakan
rok abu-abu dengan baju berwarna putih, atau ada pula yang motifnya
diambil dari luar bahkan hingga ke Perguruan Tinggi, sebut saja STKIP
St. Paulus Ruteng, STIPAS St. Sirilus Ruteng, jas kampus sama sekali
jauh dari warna budaya.
Artinya, belum ada satu sekolah model pun di Manggarai yang setiap
siswanya pada hari tertentu harus mengenakan rok songke, baju songke,
topi songke, kaus kaki motif songke, dan rompi songke. Nah, itulah
salah satu kelemahan orang Manggarai, baik pemerintah maupun maupun
masyarakatnya. Siswa-siswi di Manggarai harus ada corak tersendiri,
yaitu corak motif songke.
Ada pertanyaan lain yang mesti jawab, yaitu apakah towe (keto) Todo,
towe (keto) Cibal, songke Cibal dan songke-songke lainnya agar tidak
terjadi kecemburuan? Menjawabi pertanyaan ini solusi penulis adalah
harus perlu diakomodir.
Di Manggarai, sekolah-sekolah mengenakan dua pakaian utama pada saat
jam pelajaran, yaitu pakain wajib yang dikenakan oleh anak SMP dan SMA
berlaku seluruh Indonesia. Sebut saja, untuk SMA, celana/rok abu-abu
dan seragam pramuka. Kedua seragam itu adalah keharusan. Perkembangan
kemudian, di beberapa sekolah, misalnya SMAK Fransiskus Ruteng, SMAK
Setia Bakti, SMAK Karya Ruteng, SMAN I Langke Rembong, SMP Fransiskus.
Mereka mempunyai pakain khusus tetapi tidak ada yang pakai motif
songke.
Bagi penulis, kesadaran budaya di sekolah harus sejak dini perlu
ditumbuhkan. Penulis mengambil contoh, SMAN I Langke Rembong memiliki
beberapa jenis pakaian seragam. Pakain seragam abu-abu, pakain pramuka
dan pakaian seragam roh/celana putih dengan baju kemeja berwarna merah
bergaris. SMAK Fransiskus juga demikian, dengan pakaian rok/celana
putih dengan baju kemeja berwarna hitam kecokelatan dengan sedikit
bermotif batik. Mereka pada dasarnya mengenakan kaus kaki putih atau
bercorak warna tanpa ada keseragaman kaus kaki dengan corak motif
songke.
Lalu, bagaimana dengan motif towe (keto) Todo dan tenunan towe (keto)
Cibal?. Apakah kedua motif ini dianaktirikan? Sekali-kali tentulah
tidak. Kedua kain tersebut juga harus dibudayakan. Dalam sepekan, ada
waktu efektif proses kegiatan belajar mengajar dengan jumlah hari enam
hari. Jika hari Senin mengenakan pakaian seragam abu-abu, hari Selasa
mengenakan motif Songke, hari Rabu mengenakan motif towe (keto) Todo,
hari Kamis mengenakan motif towe (keto) Cibal, hari Jumat mengenakan
motif bebas sesuai identitas sekolah seperti seragam merah bergaris
dan celana/rok merah seperti di SMAN I Langke Rembong, sedangkan hari
Sabtu mengenakan pakaian seragam Pramuka.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan motif songke di Manggarai
yang berbeda? Bagi penulis, motif songke setiap sekolah tentu perlu
diatur agar tidak terjadi subtitusi status motif. Misalnya, jika hari
Selasa dalam empat pekan, dua pekannya mengenakan motif songke Todo,
dua pekan yang lain mengenakan motif Cibal. Begitupula dengan towe
(keto) Todo dan towe (keto) ala Cibal dipakai per dua pekan sesuai
dengan kesepakatan para Kepala Sekolah bersama Pemkab mengenai
penggenaan pakaian daerah tersebut.
Mengenai topi (jongkong—dalam bahasa Manggarai) yang lazim dipakai
anak-anak SMP. Topi juga harus bermotif songke. Pemikiran ini jika
dilaksanakan, maka Manggarai sangat luar biasa ke depannya.
Penulis memperhatikan anak-anak TK, juga belum ada yang menjadi TK
model dengan mengenakan busana motif songke. Ini yang perlu dipikirkan
oleh orang Manggarai dengan mempertahankan identitas mereka. Di sini,
Manggarai tentu harus menjadi daerah model, daerah budaya model.
Hilangnya identitas orang Manggarai tampak juga dalam keikutan
arstitektur bangunan dari luar. Bentuk rumah adat di kampung-kampung
dari keaslian telah hilang. Hanya satu saja kampung yang
mempertahankan keaslian itu, yaitu Kampung Tradisional Wae Rebo,
padahal tahun 1930-an ke bawah masih terdapat begitu banyak kampung di
Manggarai yang mempertahankan keaslian itu. Apakah tidak ada orang
Manggarai yang ingin kembali ke keaslian itu terutama dari sisi rumah
adat?
Pengaruh perkembangan zaman memang tidak bisa dipungkiri, tetapi jika
arus modern tetap menghanyutkan orang Manggarai, identitas itu
pelan-pelan terbawa arus, tertelan lumpur dan arus lautan luas.
Penulis mau mengajak, hendakya back to nature, kembalilah ke identitas
kita. Dengan kembali dan mempertahankan identitas kita, maka aspek
ekonomi akan terangkat. Kesejahteraan tentu dapat terbantu.
Menyatakan cita-cita itu memang tidaklah gampang tetapi dengan memulai
dari sekolah-sekolah yang ada di Kota Ruteng, kesadaran itu akan
tumbuh. Hal itu tentu menjadi wisata menarik. Kelak banyak pihak dari
luar yang akan terkagum-kagum.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa songkenisasi media
perjumpaan identitas orang Manggarai. Atau, songke adalah sarana
pertemuan orang Manggarai mengenai identitas mereka di mana pun mereka
tinggal.
Penulis seorang Jurnalis, dan Ketua Lembaga Studi Budaya dan Sejarah
Manggarai (LSBSM). Asal Manggarai. Tinggal di Ruteng, Ibukota
Kabupaten Manggarai, NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar