08/03/17

KUNI AGU KALO

"Neka Hemong Kuni agu Kalo": Catatan untuk Generasi Lintas Masa Kini dan Depan.

Oleh: Melky Pantur***.

Neka hemong kuni agu kalo” ini adalah ungkapan orang Manggarai, Flores, NTT berupa ajakan.

Ajakannya jelas agar baik generasi masa kini yang masih tinggal di Manggarai maupun yang tinggal di perantauan untuk jangan melupakan negerinya sendiri di mana ia lahir ataupun orang tuanya berasal dari Manggarai.

Sebuah lirik lagu Ngkiong: maram rogan ngkiong e tana ya bate loas ge ta ngkiong e, maram rucukn ngkiong e tamal ya tana rug ge ta ngkiong e – sekalipun penuh dengan bebatuan negeriku tetapi di situ aku dilahirkan dan sekalipun negeriku kurus, yang terpenting negeriku sendiri.

Lirik lagu di atas secara pasti menekankan neka hemong kuni agu kalo – jangan lupa tanah kelahiran sendiri.

Dilihat dari sintaksisnya, neka artinya jangan, hemong artinya lupa, kuni artinya tali pusat manusia, dan kalo artinya pohon dadap berduri yang lazim ditanam di tengah-tengah compang atau mezbah adat. Jelas, kuni artinya negeri kelahiran.

Kemudian, kalo atau dadap berduri adalah senjata yang dipakai oleh orang Manggarai untuk berperang. Kalo itu akan membuat musuh bakal lari pontang panting bila menenteng kayu itu. Alasannya apa? Karena pada saat itu wura agu ceki – Tuhan dan nenek moyang akan turut membantu sehingga perkelahian tidak terjadi. Itulah kalo.

Dewasa ini, dengan kemajuan teknologi sudah banyak orang Manggarai yang lupa bahasa daerahnya, lupa budayanya sendiri, dan yang lebih parah tidak mau membangun negerinya sendiri.

Yang lebih parah, orang Manggarai sudah menjual negerinya sendiri kepada perusahaan tambang, kepada orang-orang berduit yang tidak sebudaya dengan mereka, menjual martabat negerinya dengan berjudi. Ini semua tanda bahwa orang Manggarai hemong kuni agu kalo, hemong serong dise empo mbate dise ame – lupa pemberian nenek moyang mereka.

Terlihat, tanah-tanah di pusat kota Ruteng, masyarakat lokal sudah mulai tersingkir bahkan tanah di bibir pantai sudah laku terjual kepada orang-orang yang tidak memiliki compang. Ini tanda mulai hilangnya identitas kemanggaraian.

Coba diperhatikan, di pesisir pantai, misalnya di Labuan Bajo, kekhasan rumah kerucut Manggarai sudah tidak ada, dan bahkan peradaban luar itu sudah mulai masuk ke kampung-kampung. Manggarai sudah tidak ada ciri khas lagi.

Data yang dihimpun Penulis, hingga tahun 1940-an, masih terlihat rumah khas Manggarai yang berbentuk seperti Wae Rebo di mana-mana di Nuca Lale itu. Kenangan itu hanya bisa diceritakan melalui wujud Wae Rebo sekarang ini. Wae Rebo adalah contoh konkret: toe hemong kuni agu kalo, serong dise empo agu mbate dise ame.

Yang lebih sedih lagi, sekolah-sekolah sekarang ini sudah tidak mengajarkan keaslian bahasa Manggarai. Bahasa Manggarai sama sekali ditinggalkan penghuninya. Orang Manggarai malah lebih tertarik belajar bahasa asing yang nota bene mereka telah memperdayai orang Manggarai yang kehidupan budayanya sangat sempurna soal struktur ritus-ritus adatnya yang luar biasa. Apakah budaya, bahasa Manggarai harus dilupakan? Mengapa orang Manggarai mengganggapnya remeh? Apakah budaya Manggarai ada di belahan dunia lain? Sekali-kali tidak! Marilah mencintai bahasa, budaya dan sejarah Manggarai sebelum kita terlambat!

Budaya Manggarai mulai digulingkan dari tonggak utamanya sebagai pedoman utama kehidupan orang beradat tampak dalam sikap orang Manggarai yang suka poka puar – merambah hutan. Status hutan sebagai anak rona -pihak perempuan), sudah pelan-pelan hilang. Roko molas poco – menyunting gadis hutan yang disimbolkan dengan siri bongkok atau tiang tengah rumah adat), juga mulai hilang dengan mana orang Manggarai sudah memakai pohon lokal yang ditanam bukannya pohon dari hutan.

Tidak hanya itu, fisik rumah-rumah adat sudah mengikuti gaya modern di mana atap ijuk sudah diganti dengan zing begitupun dinding rumah bahkan ada yang menggunakan tembok. Compang pun demikian, sudah mulai menggunakan semen.

Terlihat memang, banyak masyarakat adat yang sudah mulai mental instan. Hal itu terjadi karena enau habis dibakar dan dipotong termasuk tidak ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan enau. Semua itu tinggal kenangan padahal dalam satu kampung adat hanya satu Mbaru Gendang.

Kita melihat, terjadi pula pergeseran bahasa Manggarai yang bahkan pelan-pelan ditinggalkan padahal berbicara dengan wura agu ceki tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia apalagi bahasa asing bahkan teks tidak boleh ditulis harus sudah terhafal. Apa maksudnya harus sudah dikuasai di dalam otak? Itu sangat beralasan karena ada sebutan “cadel”. Cadel terutama dalam torok memiliki arti tersendiri yaitu gatangn, manga ungangn. Gatangn itu artinya tanda. Tanda itu artinya tanda tidak baik. Dalam torok dan tudak tidak boleh ada cadel – tesalah dalam mengucapkan torok atau doa adat.

Kemudian, budaya Manggarai itu khas dan unik dan karena itu sangat melekat kuat dengan bahasanya. Bahasa menunjukkan sebuah bangsa dan budaya adalah identitas sebuah bangsa.

Sikap-sikap di atas adalah tanda di mana generasi muda sudah mulai hemong mbante dise ame, serong dise empo.

Bisa diperhatikan pula, budaya nampo ruha agu teka latung – meminta petunjuk pada telur dan jagung), sudah mulai tenggelam bahkan budaya toka usang, budaya reis orang Manggarai, budaya wau wini – menanam benih), budaya cear cumpe – pemberian nama dengan menggunakan adat, budaya ngelong, budaya oke copel. Khusus budaya oke copel atau tolak bala hanya dilakukan oleh satu kampung adat.

Yang lebih sadis, budaya ipo wa wancang – perjanjian adat yang mudah sekali dilanggar, budaya penyelesaian kasus tanah dengan meninggalkan Tu'a Teno, budaya takung ase kae weki, budaya beka agu buar – mohon kebaikan Tuhan atas berkeriapnya keturunan, budaya mbata, budaya hambor atau rekonsiliasi, budaya loma lelo atau budaya neka ninik langgar wancang reme cebong ata molas, budaya rewo beo berupa rangkuk alu sembari melirik pasangan pun sudah lenyap padahal itu semua keunikan.

Coba diperhatikan, tidak ada di dunia lain soal mempersembahkan hewan kurban berupa menyembelih ayam jantan putih saat memasuki tahun baru yang didahului torok agu wura agu ceki merupakan satu-satunya di planet bumi. Itu yang masih dipertahankan soal teing hang – memberi makan roh lelulur dan Tuhan, namun yang lain seakan dihisap zaman lalu mulai ditinggalkan.

‘Orang Manggarai sudah menjadi tawanan di negerinya sendiri’.

Coba kita mengerling ke inti kehidupan masyarakat Kota Ruteng sekarang ini pada umumnya di mana banyak sekali aktivitas warga yang kental dengan lengga wakas lage alu – menggusur gelagah melewati alu tanpa permisi), yang artinya melakukan aktivitas melanggar norma adat dan norma estetika.

Tampak terlihat dengan jelas beberapa hal tersebut:

Pertama, masyarakat aslinya sudah dikuasi ata long – pendatang. Hal itu tampak dalam aktivitas ekonomi masyarakat di pusat perbelanjaan yang masyarakat lokal asli kian termarjinar. Itu diduga para penguasa lokal lebih berkonco dengan orang berduit ata long.

Kedua, judi masih menjadi habitual. Bukan barang lama, togel atau kupon putih masih mewabah dan itu adalah pandangan kebiasaan. Bahkan pula, jurdi kartu dan sabung ayam masih merajalela. Judi kuda air tampaknya mulai redup.

Ketiga, banyak bengkel-bengkel di Kota Ruteng merusak prinsip dasar orang Manggarai tentang werus nggeluk nawi saki ka’eng golo. Semestinya, lembaga adat di Kota Ruteng harus diangkat lagi. Itu dalam rangka rewon nggelok beo – beramai-ramainya kebersihan kota. Bila nggelok beo diserahkan ke pemerintahan adat, semua orang dipastikan mendengar lagipula adat istiadat diatur dalam UUD’45 dan itu jelas serong dise empo mbate dise ame. Jangan seeanaknya saja masyarakat sesuka hati membuang sampah sembarang termasuk limbah bengkel di kali-kali. Hal yang sama juga, di kampung-kampung pemerintahan adat harus difungsikan dalam mempertanggungjawabkan rewon nggelok beo.

Keempat, harus ada upaya dari pemerintah dan masyarakat lokal agar Bahasa Manggarai harus terus dikampanyekan dan harus diterapkan agar di setiap sekolah, instansi pemerintahan, ada hari di mana orang Manggarai menggunakan bahasa daerah dan berbusana daerah. Di Gereja lokal sudah melakukan itu.

Kelima, harus ada lembaga khusus yang bertugas mengajarkan bahasa ilmiah Manggarai kepada generasi muda. Orang Manggarai jangan mengganggap bahasanya sebagai bahasa rendahan. Amat disayangkan, masa orang Manggarai berbicara bahasa asing sementara dia tengah berada di wilayahnya sendiri. Di sini, orang Manggarai menjadi tawanan di negerinya sendiri.

Keenam, nama-nama jalan di Kota Ruteng harus mencirikan kuni agu kalo. Nama jalan yang diambil mestinya, misalnya diambil dari bangsa unggas: cerciek, ka, cemberuang, lawe lujang, ngkiong, kokak, cik. Diambil dari dari nama binatang lain, misalnya: tembong, rengka, njieng, rutung, kula. Diambil dari nama tetumbuhan, misalnya renggong, kuncang, pane, kilit, karot, legi dan beberapa nama tetumbuhan lain.

Kita lihat, orang Manggarai sangat khas dan unik. Hasil studi Lembaga Studi Budaya dan Sejarah Manggarai, nama pohon di Manggarai hampir sama dengan kampung, misalnya kampung Cimpar ada nama pohon bernama cimpar, pohon raci kampung Raci dan seterusnya.

Tidak hanya itu, hasil studi LSBSM, jika kita cek di dunia, kata apapun di Manggarai, ada pula nama tempat di belahan dunia lain.

“Maram rewokn cewok’gh, tamal cewo remong cecopm’n repos empog’h – sekalipun gubukku tampak amat kecil asal saja gubuk di mana aku bisa mengumpulkan seluruh keturunanku termasuk cucu-cucuku”.
Dan, inilah prinsip-prinsip dasar hidup orang Manggarai itu di mana kehidupan keseharian berbudaya orang Manggarai sangat melekat dengan konsep, rumusan dan prinsip hidup berkelompoknya.
Berikut konsep, rumusan dan prinsip dasar tersebut, di antaranya:
Pertama, beka agu buar atau keturunan yang berkeriapan.
Hal itu tampak dalam ungkapan: Res baling lele, ras baling racap – keturunan yang banyak hingga merapat di dekat ketiak dan samping kiri kanan rusuk; borek cala bocel, ta’i cala wa’i – sukar diurus karena keturunan yang terlalu banyak; bengkars’ ceca du cewak, lors bokong du tobok, ciris wini du cicing’h- tumbuh dan berkembangnya anak-anak; saung bembangs’ nggereta, wake celers nggerwa, cing taki sili wela taki pe’ang – kehidupan mereka rindang seperti dedaunan pohon hingga cucu dan ceceplence; bolek loked baca tarad, uwa gulad bok lesod – sehat, sejahtera dan makmur; uwa haeng wulangs’, langkas haengntalas’- bertumbuh hingga mencapai bulan dan tinggi mencapai bintang; loke neho timung, neho timung te’e – kulit seperti mentimun bak mentimun ranum; uwa haeng wulang, neho wulang rana- bertumbuh seperti bulan bak bulan purnama; pacu neho lasar pau, ranga neho lasar pandang – pipi seperti irisan mangga matang dan irisan nenas masak.
Kedua, ungkapan keceriaan.
Di sini yang dimaksudkan senantiasa senyum dan tertawa dalam situasi sedih sekalipun. Itu merupakan ungkapan kegembiraan. Hal itu tampak dalam ungkapan: tawa raes neho runing pake, neho runing pake pasat – tertawa ceria sembari rukun seperti bunyi katak bak katak besar amat; tawa lima gantang, reges lima leke – tertawa lebar sembari terkekeh-kekeh.
Ketiga, ungkapan kebersihan.
Tampak dalam ungkapan: nggelok neho enggo, neho enggo lerongs’- bersih seperti kucing hutan, bak kucing piaraan; nawi saki wasa tara, neho tara bacang – mencuci muka membersihkan kotoran seperti paras yang elok nan ayu. Nawi saki wasa tara juga bisa berarti membersihkan hati dan menampilkan mimik paras yang ceria, riang dan gembira.
Keempat, ungkapan keberanian.
Tampak dalam ungkapan: nggars’ neho acu, neho acu ba’ang -menggonggong keras seperti anjing bak anjing buru; ranga neho ntala, neho ntala gewang – paras seperti bintang, bak bintang timur; ncahar neho jarang, neho jarang rie – meringkik seperti kuda, bak kuda lomba pacu; cirang neho rimang, neho rimang rana – keras seperti ijuk lidi yang baru;  kimpur neho kiwung, neho kiwung tuak – tebal seperti bagian dalam pohon enau; bok neho betong, neho betong asa – tumbuh seperti bambu seperti bambu yang sudah tua.
Kelima, konsep perlu senantiasa mengingat tanah kelahiran.
Hal itu tampak dalam ungkapan: Maram rebasn lempak dise ema, tamal mangay lempak te ceha gegag’h – biarpun gubuk orang tuaku reot, yang terpenting ada gubuk di mana aku berteduh; maram cerotn cewo dise empo, tamal cewo ali le tebokg nitu bok lesog’h – biarpun sarang peninggalan nenek moyangku tak elok, yang terpenting aku bertumbuh subur di situ; marambukangn mukang data tu’agh, tamal manga mukang caka uwad gulag’h – sekalipun gubuk orang tuaku kotor, yang terpenting ada ada tempat aku bertumbuh di fajar menyingsing; maram raetn bate ka’eng dise ameg’h, tamal mangay pa’eng kaeng maneg’h – kendatipun tampak compang-camping gubuk orang tuaku, yang terpenting ada tempat aku berteduh di senja hari; maram ringangn likang renekg’h, tamal ciang si’ang hang ciwalg’h – meski tampak rapuh tempattungku api untuk menanak, yang terpenting aku selalu memiliki makanan dari jerih payahku sendiri; maram koratn wongka lo’ang’h, tamal manga osang bate ro’angh – walau tampak reot tempat aku meletakkan kepala, yang terpenting aku memiliki tempat berteduh; maram tompok potang lontog’h, tamal potang korong kokg’h – biar tampak sempit gubukku yang terpenting aku berkokok teduh di situ.

Keenam, tanah kehidupan.

Hal itu tampak dalam ungkapan: maram  rautn kampung’h, tamal mbau rug’h – biarpun kampungku dipenuhi umbi hutan yang racun, yang terpenting kampungku sendiri; maram rogan tane bate loasg’h, tamal tana compang ka’eng todag’h – meskipun penuh bebatuan negeriku, yang terpenting negeri di mana aku dilahirkan; maram ceran tana gegag’h, tamal tana retang dise emag’h – sekalipun negeri tempat bermainku penuh dengan pohon paku,yang terpenting tanah peninggalan ayahku; maram cirangn tana riang’h, tamal ita kin cimpa ciwalg’h – sekalipun keras tanah yang kujaga, yang terpenting aku bisa menuai sedikit hasil bumi dari negeriku.
Ketujuh, prinsip persatuan.
Hal itu tampak dalam ungkapan: Todo cokol neho coko, neho coko muku – bertumbuh besar seperti irisan, bak irisan tandanan pisang; impung timbu, neho timbu liup – berkumpul sepertipapirus/bambu air bak bambu air yang selalu tumbuh berdiri bersama; mepil weki anggom kabo, neho anggom de ajo – mengambil dan mengumpulkan perbedaan seperti ikatan pelukan, bak tembolok ayam; kope oles todo kongkol – saling mengikat dan bertumbuh bersama; nai ca yanggit tuka ca leleng – sehati sejiwa; cama lewang nggerpe’ang cama po’e nggerone – sehati sesuara; teu ca yanggom neka woleng jaong, muku ca pu’us neka woleng curup – tebu serumpun jangan berbeda suara, pisang serumpun jangan berbeda suara, ipung ce tiwu neka woleng wintuk, nakeng ce woleng tae – ipun satu telaga harus satu pikiran.

Kedelapan, prinsip kebaikan.

Hal itu tampak dalam ungkapan: Mu’u luju, lema emas – mulut yang baik dan lidah seperti emas; sesa nai cancar gawas – pikiran yang baik dan ungkapan perasaan hati yang datar atau rata net; ca wa mai, cai eta main, jepek-jepek – hidup itu harus jujur, tepat, benar dan pasti atau lurus saja tanpa embel-embel dan teleng aling-aling.

Kesembilan, prinsip kepemilikan.

Tampak dalam ungkapan: neka daku ngong data – jangan mengklaim kepunyaan orang diakui sebagai milik sendiri.

Kesepuluh, prinsip kesopanan dalam kebersamaan:

Hal itu tampak dalam ungkapan: neka acu ngong wa’u – jangan menyebut sebagai anjing keluarga; neka kode ngong woe – jangan menyebut sebagai monyet keluarga pihak laki-laki; neka kaba ngong ata – jangan menyebut sebagai kerbau orang lain; neka tae ela ngong cama hae reba – jangan menyebut babi sesama teman permainan; neka tae mbe cama ata lengge – jangan menyebut sebagai kambing sesama kaum papa; neka tae lawo ata cai rebaong – jangan menyebut sebagai anjing orang yang datang barusan; neka tae tekur cai retuk yata cai weru – jangan menyebut sebagai tekukur orang yang datang barusan; neka tae ata lele dali ata cai musi mai – jangan menghina orang yang datang kemudian; neka ngong enggo yata cimping beo – jangan menyebut sebagai kucing rimba orang tetangga kampung, neka ngong kaba yata cimping wancang – jangan menyebut sebagai kerbau tetangga dekat.

[Itulah pesan penting bagi orang Manggarai untuk senantiasa mencintai tanah warisan leluhurnya – neka hemong kuni agu kalo].

Songkenisasi,

Media
Perjumpaan Identitas Orang Manggarai.


"Songke Manggarai, Identitas yang Terabaikan".

Identitas daerah, wilayah pasti ditunjukkan melalui berbagai cara
termasuk bagaimana mengenakan busana. Dalam keseharian, sebut saja
jilbab, kerudung. Oleh orang Arab, jilbab menunjukkan identitas
perempuan. Identitas ke-Araban (Timor Tengah) itu kemudian dipakai
dalam budaya agama dengan mana nyaris orang-orang Muslim di seluruh
dunia terutama kaum perempuan wajib mengenakan jilbab. Pengenaan
jilbab tersebut adalah sebuah identitas.

Dalam dunia agama, sebut saja agama Katolik. Para biarawati atau kerap
disebut Suster wajib mengenakan kerudung sebagai bentuk identitas
mereka. Dalam agama Hindu, para Pendeta mengenakan jubah berwarna
kuning tua keemasan. Demikian pula dalam agama Budha, pada Pendeta
Budha mengenakan jubah berwarna cokelat. Para Pendeta di agama
Shinto-Jepang mengenakan jubah kemerahan sebagai penunjukkan
identitas.

Dalam seni tari, tarian Jai dari Bajawa. Tarian tersebut sudah
mendunia. Itu adalah identitas seni tari mereka. Tarian orang
Manggarai yang populer adalah caci, sanda. Caci adalah identitas orang
Manggarai. Caci tidak ada di belahan dunia manapun kecuali hanya di
Manggarai saja, begitu pula dengan sanda.

Dari sisi organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, sebut saja GMNI
menggenakan jas merah, PMKRI mengenakan jas merah tua. Dalam sisi
organisasi partai politik Indonesia, sebut saja PDI Perjuangan
menggenakan jas merah, Partai Golkar mengenakan jas kuning, Partai
NasDem berwarna biru. Begitu pula dalam dunia ke-TNI-an, dunia
Kepolisian, dalam dunia perhubungan. Itu adalah identitas.

Dari sisi bahasa, kita tahu nyaris tiap daerah memiliki bahasanya
sendiri-sendiri, misalnya bahasa Manggarai. Begitupula bahasa yang
diakui nasional, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan
bahasa-bahasa nasional lainnya. Berbagai bahasa itu juga merupakan
identitas.

Nah, kembali ke Manggarai. Apa identitas orang Manggarai? Identitas
orang Manggarai tentu saja salah satunya adalah songke dan towe Todo,
towe Cibal. Budaya Manggarai terutama dari kreasi menenun songke (kain
songket motif Todo, Cibal dan Ruis), towe Todo, motif songke Cibal.
Songke, motifnya tentu berbeda dengan motif songket dari daerah lain.
Kain songke dengan coraknya tersendiri dapat dikreasi menjadi jas
songke, topi songke, kain meja songke, dan selendang songke, rompi
songke.

Lalu, apa inti yang mau dibahas dalam tulisan ini? Sebagaimana semua
orang tahu bahwa orang Manggarai nyaris ada di belahan dunia manapun,
ada di berbagai benua. Kendati orang Manggarai berada di beberapa
benua, orang Manggarai banyak yang lupa akan identitas mereka terutama
dalam hal berbusana pada acara-acara penting di pemerintahan, di
tempat ibadah dan di tempat-tempat pesta. Orang Manggarai sudah banyak
beralih, beralih ke gaya modern, yaitu dengan mengenakan jas luar,
menggenakan baju batik dari luar.

Bila saja orang Manggarai menunjukkan identitas mereka kendati dicap
sebagai orang miskin atau marginal (terpinggirkan) oleh orang luar
pasti saja orang Manggarai akan disanjung identitasnya di mana-mana.
Terutama pada saat acara-acara penting, ketika misalnya di Amerika, di
Arab, orang Manggarai menggenakan jas songke dan topi songke. Wah,
luar biasa indahnya.

Yang menarik lagi bahwa ketika ada kesadaran songkenisasi saat berada
di luar negeri, saling mengenal satu sama lain itu sangat mudah.

Gereja Katolik Manggarai telah melakukan itu terutama pada saat Misa
di Gereja-gereja Minggu ketiga dalam bulan . Para umat wajib
mengenakan towe songke dan jongkong songke. Itu adalah contoh.

Jika saja di luar negeri juga di dalam daerah, budaya songkenisasi itu
tumbuh dan ditumbuhkan, tentu identitas itu semakin menonjol. Itu
adalah seni di mana orang-orang yang berasal dari Manggarai sangat
mudah untuk saling mengenal di mana pun mereka berada.

Bilamana identitas itu kerap ditampilkan, pasti saja ada orang di luar
orang Manggarai yang ingin mengenakannya meski ada juga orang yang
tidak mau karena mau mempertahankan identitas mereka sendiri.

Songkenisasi tentu akan berdampak pada meningkatnya pendapatan penenun
songke, meningkat pula taraf hidup para penadah, distributor dan
penjualnya. Demikian pula, meningkat pula bagi perusahan pencetak
benang dan pewarna. Perusahaan kain dan pewarna juga mendapat untung.

Lalu, apa yang perlu dikritik terutama songkenisasi khususnya di
Manggarai? Salah satu yang dilupakan selama ini di Manggarai saja
adalah motif songke hanya dikenakan oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak
saat koor adat di Gereja, pada saat acara penti, congko lokap, pada
saat acara meminang perempuan dan yang paling parah dipakai pada saat
perang tanding.

Di sekolah-sekolah mulai SMP, SMA di Manggarai, para siswa mengenakan
rok abu-abu dengan baju berwarna putih, atau ada pula yang motifnya
diambil dari luar bahkan hingga ke Perguruan Tinggi, sebut saja STKIP
St. Paulus Ruteng, STIPAS St. Sirilus Ruteng, jas kampus sama sekali
jauh dari warna budaya.

Artinya, belum ada satu sekolah model pun di Manggarai yang setiap
siswanya pada hari tertentu harus mengenakan rok songke, baju songke,
topi songke, kaus kaki motif songke, dan rompi songke. Nah, itulah
salah satu kelemahan orang Manggarai, baik pemerintah maupun maupun
masyarakatnya. Siswa-siswi di Manggarai harus ada corak tersendiri,
yaitu corak motif songke.

Ada pertanyaan lain yang mesti jawab, yaitu apakah towe (keto) Todo,
towe (keto) Cibal, songke Cibal dan songke-songke lainnya agar tidak
terjadi kecemburuan? Menjawabi pertanyaan ini solusi penulis adalah
harus perlu diakomodir.

Di Manggarai, sekolah-sekolah mengenakan dua pakaian utama pada saat
jam pelajaran, yaitu pakain wajib yang dikenakan oleh anak SMP dan SMA
berlaku seluruh Indonesia. Sebut saja, untuk SMA, celana/rok abu-abu
dan seragam pramuka. Kedua seragam itu adalah keharusan. Perkembangan
kemudian, di beberapa sekolah, misalnya SMAK Fransiskus Ruteng, SMAK
Setia Bakti, SMAK Karya Ruteng, SMAN I Langke Rembong, SMP Fransiskus.
Mereka mempunyai pakain khusus tetapi tidak ada yang pakai motif
songke.

Bagi penulis, kesadaran budaya di sekolah harus sejak dini perlu
ditumbuhkan. Penulis mengambil contoh, SMAN I Langke Rembong memiliki
beberapa jenis pakaian seragam. Pakain seragam abu-abu, pakain pramuka
dan pakaian seragam roh/celana putih dengan baju kemeja berwarna merah
bergaris. SMAK Fransiskus juga demikian, dengan pakaian rok/celana
putih dengan baju kemeja berwarna hitam kecokelatan dengan sedikit
bermotif batik. Mereka pada dasarnya mengenakan kaus kaki putih atau
bercorak warna tanpa ada keseragaman kaus kaki dengan corak motif
songke.

Lalu, bagaimana dengan motif towe (keto) Todo dan tenunan towe (keto)
Cibal?. Apakah kedua motif ini dianaktirikan? Sekali-kali tentulah
tidak. Kedua kain tersebut juga harus dibudayakan. Dalam sepekan, ada
waktu efektif proses kegiatan belajar mengajar dengan jumlah hari enam
hari. Jika hari Senin mengenakan pakaian seragam abu-abu, hari Selasa
mengenakan motif Songke, hari Rabu mengenakan motif towe (keto) Todo,
hari Kamis mengenakan motif towe (keto) Cibal, hari Jumat mengenakan
motif bebas sesuai identitas sekolah seperti seragam merah bergaris
dan celana/rok merah seperti di SMAN I Langke Rembong, sedangkan hari
Sabtu mengenakan pakaian seragam Pramuka.

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan motif songke di Manggarai
yang berbeda? Bagi penulis, motif songke setiap sekolah tentu perlu
diatur agar tidak terjadi subtitusi status motif. Misalnya, jika hari
Selasa dalam empat pekan, dua pekannya mengenakan motif songke Todo,
dua pekan yang lain mengenakan motif Cibal. Begitupula dengan towe
(keto) Todo dan towe (keto) ala Cibal dipakai per dua pekan sesuai
dengan kesepakatan para Kepala Sekolah bersama Pemkab mengenai
penggenaan pakaian daerah tersebut.

Mengenai topi (jongkong—dalam bahasa Manggarai) yang lazim dipakai
anak-anak SMP. Topi juga harus bermotif songke. Pemikiran ini jika
dilaksanakan, maka Manggarai sangat luar biasa ke depannya.

Penulis memperhatikan anak-anak TK, juga belum ada yang menjadi TK
model dengan mengenakan busana motif songke. Ini yang perlu dipikirkan
oleh orang Manggarai dengan mempertahankan identitas mereka. Di sini,
Manggarai tentu harus menjadi daerah model, daerah budaya model.

Hilangnya identitas orang Manggarai tampak juga dalam keikutan
arstitektur bangunan dari luar. Bentuk rumah adat di kampung-kampung
dari keaslian telah hilang. Hanya satu saja kampung yang
mempertahankan keaslian itu, yaitu Kampung Tradisional Wae Rebo,
padahal tahun 1930-an ke bawah masih terdapat begitu banyak kampung di
Manggarai yang mempertahankan keaslian itu. Apakah tidak ada orang
Manggarai yang ingin kembali ke keaslian itu terutama dari sisi rumah
adat?

Pengaruh perkembangan zaman memang tidak bisa dipungkiri, tetapi jika
arus modern tetap menghanyutkan orang Manggarai, identitas itu
pelan-pelan terbawa arus, tertelan lumpur dan arus lautan luas.
Penulis mau mengajak, hendakya back to nature, kembalilah ke identitas
kita. Dengan kembali dan mempertahankan identitas kita, maka aspek
ekonomi akan terangkat. Kesejahteraan tentu dapat terbantu.

Menyatakan cita-cita itu memang tidaklah gampang tetapi dengan memulai
dari sekolah-sekolah yang ada di Kota Ruteng, kesadaran itu akan
tumbuh. Hal itu tentu menjadi wisata menarik. Kelak banyak pihak dari
luar yang akan terkagum-kagum.

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa songkenisasi media
perjumpaan identitas orang Manggarai. Atau, songke adalah sarana
pertemuan orang Manggarai mengenai identitas mereka di mana pun mereka
tinggal.

Penulis seorang Jurnalis, dan Ketua Lembaga Studi Budaya dan Sejarah
Manggarai (LSBSM). Asal Manggarai. Tinggal di Ruteng, Ibukota
Kabupaten Manggarai, NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar