07/03/17

SINOPSIS



RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI


SINOPSIS


Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan St. Paulus Ruteng Sebagai Pemenuhan Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan dalam Pendidikan Teologi



MELKIOR PANTUR
NPM: 08.31.1050



JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
ST. PAULUS RUTENG
2012

RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
Melkior Pantur
STKIP St. Paulus Ruteng

Theology Department –


ABSTRAKSI

Kekhasan budaya Manggarai adalah bagaimana menciptakan hubungan kekuatan dan harmoni sosial di kampung. Kekuatan hubungan terlihat pada sistim lontoleok (duduk melingkar), terutama bagaimana untuk memecahkan berbagai masalah dalam Mbaru Gendang (rumah adat) oleh Tua Golo, Tua Gendang, dan Tua Teno (pemimpin kampung).

Kasus-kasus lain yang harus diselesaikan oleh mereka adalah  pembagian lingko (mendistribusi sebidang tanah yang membentuk sistem jaring laba-laba), termasuk beberapa ritual tradisi, tae kaba (perayaan mempersembahkan seekor kerbau), penti (merayakan tahun baru sekaligus dalam satu kampung), congko lokap (upacara yang mempersembahkan kerbau  sebagai hewan kurban setelah membangun rumah tradisional baru di kampung dengan mengundang semua generasi kampung itu), paki jarang bolong (perayaan mempersembahkan seekor kuda hitam di alun-alun rumah adat dengan tujuan untuk menghindari kematian dini dari orang di kampung dengan mengundang semua generasi kampung itu juga). Artinya, rumah adat memiliki banyak fungsi untuk memecahkan beberapa masalah dalam satu kampung.

Kita tahu bahwa hubungan antara Mbaru Gendang dan Lingko memiliki filosofi gendang onen lingkon peang (jika memiliki rumah tradisional, sebuah kampung memiliki tanah garapan). Di sisi lain, falsafah itu memiliki lima sarana pendukung, antara lain: Mbaru Gendang (rumah adat), lingko (kebun), compang (altar), natas (lapangan, alun-alun kampung), wae teku (mata air). Filosofi itu sering dinyatakan sebagai mbaru bate kaeng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (alun-alun), compang bate dari (altar tempat mengeringkan tubuh di bawah sinar matahari), uma bate duat (kebun), wae bate teku (mata air). Selain itu, orang Manggarai juga memiliki kuburan dan sering melakukan ritus barong boa (berdoa kepada leluhur di kuburan).

Tidak hanya itu, hubungan sosial orang Manggarai dinyatakan juga dalam beberapa kegiatan, antara lain: caci (caci adalah tarian perang satu lawan satu dengan menggunakan sarana pendukung tertentu), sanda (sanda adalah tarian yang dilakukan oleh banyak orang dan yang dilakukan di rumah adat), mbata (mbata adalah memainkan musik sebagai hiburan di rumah tradisional dan sering bermain di malam hari, mereka sering menggunakan gendang besar dan gong), rangkuk alu (rangkuk alu adalah tarian yang dilakukan oleh dua orang di alun-alun kampung, dan tarian itu sering dilakukan di malam hari dan pada siang hari), sae (sae adalah tarian yang dilakukan di alun-alun kampung ketika merayakan ritual tertentu, dan yang dilakukan siang hari), danding (danding adalah tarian yang dilakukan di rumah adat ketika merayakan ritual tertentu). Oleh karena itu, untuk menjaga semua itu, diperlukan sarana pendukung yaitu struktur pemerintah adat dengan rumah adat yang memiliki lima filosofi dasar tadi. Beberapa komponen  tersebut adalah bentuk hubungan warga kampung yang tidak bisa dilepaspisahkan satu dari yang lainnya.
Kata Kunci: Manusia, Budaya Manggarai dan Relasi
ABSTRACTION
A special characteristic of Manggaraian culture is how to create a strength relation and social harmony in a village. The strength of relation be visible on the lontoleok system (sit in a forrn circle) especially how to solve some of problems in the Mbaru Gendang (traditional house) by the Tua Golo, Tua Gendang, and Tua Teno (leaders of a village).

The other cases that be solved by them are pati lingko (distribute a tract of land that formed in a spider web system), included several of traditional rituals, such as tae kaba (a celebration that offer the sacrafice buffalo), penti (celebrate a new year altogether in their village), congko lokap (a celebratioan  that offer the sacrafice buffalo after build the new traditional house in the field of the village with invite all of generation of that village),  paki jarang bolong (a celebration that offer the black horse in the field, with purposed to avoid the early death of village people with invite all of generation of that village too). It means that, the traditional house has many functions to solve some of problems in one village.    

We know that a relation between Mbaru Gendang and Lingko has a philosophy gendang onen lingkon peang (if have a traditional house, a village has a land too). In other hand, the philosophy have five medium  proponent, among other things: Mbaru Gendang (traditional house where we dwell), lingko (land), compang (altar), natas (field, town square) wae teku (well). That philosophy often be expressed as mbaru bate kaeng (house), natas bate labar (field play), compang bate dari (altar to dry body in the sun), uma bate duat (land to garden), wae bate teku (a well to take water). Besides of that, the Manggaraian  have a grave and they often make a barong boa ritual (pray to ancestor in the grave).   

Not only that, the social relation of Manggaraian be expressed by some of activities, among other things: caci (caci  is a war dance that one to one with need a certain medium proponent), sanda (sanda is a dance which is done by many person and that is done in the traditional house), mbata (mbata is a refreshing playing or entertaintment in the traditional house and often play in the night, they often use large drum and gong), rangkuk alu (rangkuk alu is a dance which is done by two person in the town square, and the dance often be done in the night and in the day), sae (sae is dance which is done in the town square when celebrate a certain ritual, and that be done in the day), danding (danding is a dance that be done in the traditional house when celebrate a ritual). Therefore, to keep all that, be needed a medium proponent alike a traditional goverment structure with a traditional house which have five fundamental philosophy. Some of that components are form relation of a village people who can be discharged one another. 
Key words: Human Being,  The Manggaraian Culture and Relation
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya. Hal ini tampak dalam bagaimana manusia menciptakan relasi dengan sesamanya. Di Manggarai, salah satu bentuk nyata relasi itu adalah budaya lontoleok. Melalui budaya ini, orang Manggarai berkumpul tidak hanya untuk memecahkan masalah antar warga, tetapi juga dalam hal urusan lainnya, seperti urusan persiapan perkawinan, ritus congko lokap (syukuran berdirinya rumah Gendang baru), penti (acara tahun baru), paki kaba rae (mempersembahkan kerbau syukuran keturunan), paki jarang bolong (upacara meminta jauh dari penderitaan dan kematian beruntun dari warga kampung), saat persiapan bermain caci ketika diundang kampung lain. Bahkan juga pada saat menjelang dimulainya perang tanding selalu disepakati dalam dan melalui lontoleok. Jadi, lontoleok merupakan media komunikasi yang sangat penting dalam relasi orang Manggarai.
Di Manggarai, terdapat begitu banyak persoalan yang membuat relasi menjadi retak baik secara vertikal maupun secara horisontal. Secara vertikal, masalah yang muncul adalah persolan batas tanah ulayat dengan batas hutan antara warga dan pemerintah setempat. Penebangan kayu di kawasan hutan oleh masyarakat setempat. Persoalan lainnya juga adalah masalah penyerahan tanah ulayat (wilayah, daerah, kawasan milik masyarakat adat) oleh masyarakat kepada pemerintah yang kemudian menjadi persoalan. 
Contoh konkretnya adalah masalah antara batas hutan RTK 111 Meler-Kuwus, masalah transmigrasi lokal di Goloworok, kasus transmigrasi lokal di Nanga Lanang.  “Masalah pembabatan hutan di Kabupaten Manggarai Timur atau yang disebut kasus Colol yang dikenal dengan peristiwa Rabu Berdarah pada 10 Maret 2004 di mana tersandung dengan rencana program Bupati Manggarai, Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si, yang membabat sekian ribu hektar perkebunan kopi rakyat Tangkul, Welu, Colol dan Biting (Kanisius Teobaldus Deki, 2011)”. Kemudian kasus penyerahan tanah adat kepada pemerintah yang hampir terjadi di berbagai tempat yang kemudian digugat oleh warga.
Secara horisontal adalah masalah antara batas kampung yang satu dengan kampung yang lain, masalah batas antara moso, cicing dari sebuah lingko. Contoh konkretnya adalah kasus Coal dan Sama yang merebut batas dan lingko, masalah antara Ngkor dan Dalo, masalah antara Nggawut dan Dimpong, masalah Pajo dan Puntu. Sedangkan, masalah batas antara cicing hampir terjadi di seluruh wilayah Manggarai Raya. Masalah lainnya adalah kasus antara Langke Norang dan Herokoe, masalah antara Rangges dan Beokina terkait tanah sekolah.
Dari masalah-masalah baik secara vertikal maupun secara horisontal bahkan sering terjadi pertumpahan darah yang memakan korban jiwa. Tidak sedikit nyawa orang Manggarai hilang karena kasus-kasus tersebut. Solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah tersebut bukan dengan sistem lontoleok lagi yang menghadirkan Hakim Adat dengan mengacu pada sejarah adat tetapi menggunakan cara perang tanding.
Beberapa masalah di atas terkadang dalam penyelesaiannya acapkali menggunakan pendekatan hukum positif sebagai sarana pemecahan kasus sementara hukum adat jarang  digunakan. Ketidakpercayaan orang Manggarai terhadap hukum adat ketika terjadi masalah menyebabkan budaya dan adat-istiadat tidak dihargai lagi baik dalam hal mengurus masalah perdata maupun pidana.
Ketidakpercayaan itu terjadi karena budaya Manggarai tidak lagi dianggap sebagai wadah memecahkan kasus meski diakui masih ada orang tertentu yang menghargai budaya dalam memecahkan kasus. Karena ketidakpercayaan itulah maka terjadilah keretakan relasi sosial akibat dari tidak menghargai adat. Contoh konkretnya menggugat kembali tanah yang sudah dibagi oleh Tua Teno, baik masalah antara cicing maupun batas antara lingko dalam satu kampung adat maupun berbeda kampung adat.
“Selain melalui lontoleok, relasi dalam budaya digambarkan pula dengan berbagai macam cara. Misalnya, sistem pembagian lingko (kebun ulayat), bentuk Mbaru Gendang (rumah adat), pemecahan kasus dengan hukum adat, pembuatan motif bahan-bahan tenunan seperti motif towe songke. Motif towe songke atau kain songke orang Manggarai, yaitu segitiga, ∆ lambang rumah adat dan ladang moso pada lingko yang tertuju pada satu titik yaitu Tuhan. X adalah lambang manusia yang masih mengembara di dunia. Bintang, * dan garis-garis putih seperti matahari adalah terang Tuhan kepada manusia yang sedang mengembara di dunia ini. Sedangkan, warna dasar hitam diselang-selingi dengan garis-garis merah atau kuning, lambang situasi pasang-surutnya kehidupan manusia di dunia yang serba sulit tetapi diselang-selingi kebahagiaan yang mencirikan relasional manusia Manggarai (Petrus Janggur, 2008)”. 
Beberapa hal di atas mengungkapkan bagaimana relasi antar seseorang dengan warga kampung dan Gendang maupun juga dengan Sang Pencipta, yaitu Tuhan yang disebut orang Manggarai sebagai Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek, Tanan Wa Awangn Eta (Allah dan Pemilik, Pencipta langit dan bumi).
Demikian pula kebiasaan-kebiasaan konkret lain yang dihayati dalam hidup orang Manggarai menunjukkan dimensi relasional yang kuat. Misalnya, sistim dodo (kerja gotong-royong secara bergantian), budaya reis (menyapa), budaya rambeng (mengajak untuk kerja), budaya cihi hutu (mencari kutu), budaya rono (meminyaki rambut sang wanita oleh pria di tempat tertentu), budaya nek cepa (ajak makan sirih pinang), budaya hambor (berdamai), budaya bagi moso agu teing moso (bagi kebun dan kasih kebun berupa hibah dan widang), teing hang ata tua (kasih makan orang tua yang telah meninggal), wuat wa’i (upacara menjelang bepergian, merantau), budaya caca mbolot (pecahkan kasus), gerep ruha  (injak telur oleh pasangan suami-istri saat memasuki kampung suami di rumah adat setelah dilangsungkan acara pernikahan dan membuang cek keluarga istri), budaya ngelong (meminta maaf kepada binatang yang disengsarakan di mana binatang tersebut dibunuh), seperti peralatan caci, sanda, mbata, danding, nenggo di kampung menunjukkan ikatan relasional yang kuat.
Dari kenyataan-kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa relasi antar manusia sangatlah penting dalam budaya Manggarai. Berbagai ekspresi dan wujud budaya Manggarai menggambarkan bagaimana hubungan antara manusia dapat dijalin dengan baik dan bagaimana pelbagai problem dalam hidup bersama dapat diatasi dengan damai.
Dengan latar belakang inilah, penulis memilih tema tulisan: “RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI”. Tema ini menggugah dan menantang penulis untuk mendalami dan merefleksikan secara kritis tentang bagaimana hubungan antara manusia diekspresikan dalam simbol, ritus dan praksis hidup orang Manggarai.

2.      Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam tulisan ini adalah “bagaimana relasi antara manusia direfleksikan dan diekspresikan dalam budaya Manggarai”.

3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini, sebagai berikut :
1)      Menjelaskan hakekat manusia sebagai makhluk relasional;
2)      Menjelaskan relasi antar manusia dalam perspektif budaya Manggarai.

4.      Manfaat Penulisan
Ada beberapa manfaat dalam tulisan ini, antara lain:
a.       Memberi pemahaman bagi masyarakat Manggarai untuk menghargai adat dalam memecahkan kasus-kasus, sehingga relasi yang terjalin tidak retak;
b.      Mendorong agar adat Manggarai khususnya lontoleok terus dikembangkan dan dijaga oleh masyarakat adat Manggarai, lebih khusus oleh tamatan-tamatan STKIP St. Paulus-Ruteng agar budaya Manggarai dihayati dalam praksis hidup kemasyarakatan;
c.       Membantu Pemerintah Kabupaten Manggarai, khususnya instansi terkait, yaitu Dinas Pariwisata agar mempromosikan budaya Manggarai menjadi sebuah budaya yang hidup dan menjamin relasi harmonis antar warga.

TUJUAN
Berdasarkan persoalan di atas penulis menganjurkan sebuah metode baru untuk menegakkan budaya Manggarai dalam menanggani permasalahan dengan tujuan menerapkan kembali budaya Manggarai, sebagai berikut:
1.      Bahwa perlu ada memorandum of understanding (MoU) antara pemerintah dan masyarakat setempat terkait berbagai kasus tanah di Manggarai baik kasus batas kawasan  hutan milik warga dan hutan lindung maupun hutan Negara termasuk kasus tanah yang sudah diserahkan oleh masyarakat kepada pemerintah  namun diambil kembali oleh masyarakat adat. MoU tersebut tidak hanya sebatas MoU tetapi harus diperdakan oleh Pemerintah.
2.      Terkait kasus perdata yang berujung pada pidana di Manggarai, pihak berwajib baik Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menyerahkan ke Pemerintahan Adat terlebih dahulu sebelum dibawa ke ranah hukum positif. Kesepakatan tersebut harus diperdakan.
3.      Setiap Desa harus menerbitkan sebuah Peraturan Desa/Kelurahan (Perdes) untuk menegakkan peraturan penyelesaian masalah oleh pihak Pemerintahan Adat. Peraturan  Kelurahan  berdasarkan SK Bupati dan Peraturan Desa tersebut harus memiliki paying hukum lain yaitu Peraturan Daerah (PERDA).
4.      Setiap persoalan baik dalam kampung, antar kampung dalam desa, dan antara warga antar desa harus diselesaikan oleh Pemerintahan Adat dengan memanggil masing-masing pemangku adat. Penyelesaian tersebut harus memiliki payung hukum, yaitu Perda.
5.      Penyelesaian kasus oleh Pemerintahan Adat yang diperdakan harus dibiayai oleh Negara terutama APBD II.
6.      Penyelesaian  kasus di Manggarai harus kembali ke akarnya yaitu dengan sistem lontoleok.
7.      Membantu mempertahankan dan mempromosikan budaya Manggarai agar tetap menjadi salah satu pendukung budaya Nasional di mata dunia.
8.      Budaya Manggarai harus terus dipelihara oleh orang Manggarai dan harus dijadikan sebagai salah satu kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah.

METODE
Dalam menyelesaikan tulisan  ini, penulis menggunakan  metode  kepustakaan. Untuk melengkapi tulisan ini, penulis juga menggunakan metode wawancara.
1.      Waktu dan tempat
Waktu yang digunakan dalam mengumpul data dalam tulisan ini berkisar pada September-Oktober 2011. Untuk studi kepustakaan dilakukan di beberapa tempat, yaitu:
a.      Perpustakaan STKIP St. Paulus Ruteng.
b.      Perpustakaan Umum Daerah Ruteng.
c.      Internet
d.     Buku sumber lain yang diambil dari beberapa tempat termasuk buku sumber pribadi.
Sedangkan, untuk wawancara lamanya 3 (tiga) hari, antara lain:
a.       Frans Ndour, Kamelus Ador, Petrus Jemali, Petrus Loros, Simeon Samu, Tetua Adat Gendang Lecem, di rumah adat Gendang Lecem, saat sebelum acara roban paki jarang bolong, Rabu (11/9/2011),  Desa Wae Renca, Kec. Cibal, Kab. Manggarai.
b.      Lambertus Dapur (60th), Tua Gendang Ruteng Pu’u, di rumah adat Ruteng Pu’u tentang sanda lima dan  struktur  rumah adat atau Mbaru Gendang dalam kebudayaan Manggarai, Jumat (9/9/2011), Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
c.      Isidorus (70th), Isidorus, Tua Adat Gendang Wae Rebo, di rumah Gendang Wae Rebo saat wawancara tentang asal mula Wae Rebo, Oktober 2011, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai.
2.      Bahan dan alat yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan, antara lain: tape recorder, recorder handphone, ballpoint, buku tulis dan camera digital.
3.      Metodenya perolehan data dan informasi
Metode yang digunakan adalah wawancara narasumber dan kepustakaan
4.      Pengolahan data dan analisis yang dilakukan
Pengolahan data dan analisis yang dilakukan adalah hasil studi kepustakaan didukung oleh data wawancara langsung berdasarkan pendekatan budaya Manggarai dengan  mengumpulkan berbagai data-data pendukung dari nara sumber Tetua Adat di beberapa Gendang.

PEMBAHASAN
Dari hasil data-data di atas, maka dalam  pembahasan ini secara rinci dijelaskan bahwa:
a.       Adapun falsafah dasar gendang onen lingkon peang dalam budaya Manggarai semakin hari semakin hilang disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:
1.      Terjadinya konflik vertikal antara masyarakat adat dan Pemerintah Daerah.
Contoh konkretnya adalah masalah antara batas hutan RTK 111 Meler-Kuwus, masalah transmigrasi lokal di Goloworok, kasus transmigrasi lokal di Nanga Lanang dan  masalah pembabatan hutan di Kabupaten Manggarai Timur atau yang disebut kasus Colol yang dikenal dengan peristiwa Rabu Berdarah pada 10 Maret 2004. Kasus penyerahan tanah adat kepada pemerintah yang hampir terjadi di berbagai tempat yang kemudian digugat oleh warga.
2.      Kurangnya penghargaan terhadap Pemerintahan Adat dan hukum adatnya. Banyak kasus di Manggarai baik kasus perdata (tanah) yang berujung pada pidana dan kasus-kasus moral diselesaikan oleh hukum positif, yaitu melalui Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
3.      Struktur Pemerintahan Adat itu sendiri kurang berperan aktif dalam mengurus kasus-kasus di Manggarai dan banyak dialihkan ke Kepala Desa atau Lurah setempat.
Pihak Pemerintah Adat dengan hadirnya Negara seakan-akan memangku tangan  melepaskan semua urusan ke Pemerintah. Karena itu, fungsi mereka seolah-olah ditinggalkan oleh masyarakatnya padahal setiap kepemilikan lingko/kebun mempunyai hak pembagi yaitu Tua Teno. Hal itu memang karena warga tidak percaya pada Pemerintahan Adat mereka sendiri.
4.      Kurang bisa memimpin, tidak cerdas, dan pelanggaran justru datang dari Pemerintahan Adat.
Terutama kasus moral, banyak Tua Golo yang beristri lebih dari satu di Manggarai. Meski demikian urusan adat tetap dilimpahkan kepada Tua Adak. Sedangkan, ada Tua Golo yang tidak bisa memimpin dan tidak cerdas mengurus setiap persoalan di kampung dan Gendang sehingga melahirkan gerakan tidak percaya dari warganya sendiri. Meski diakui bahwa setiap Tua Adak tersebut dipilih melalui lontoleok.
Dengan demikian, aspek lontoleok tidak diikuti oleh warga kampung terutama dalam mengurus masalah dan memecahkan berbagai persoalan bersama.
b.      Praktek-praktek adat Manggarai selalu mengikuti filosofi dasar gendang onen lingkon peang, tarian adat Manggarai dan ritus tudak dan torok tae.
Di Manggarai berbagai upacara adat sebagaimana tertulis dalam berbagai sumber yaitu buku-buku dan internet. Misalnya, budaya congko lokap dan paki jarang bolong, kesesuaian antara filosofi gendang onen lingkon peang betul-betul dijalankan termasuk tarian dan  ritus tudak dan torok tae. ”Saat acara congko lokap dan pakin jarang bolong selalu dilakukan ritus barong (melapor sambil membawa sesuatu ke suatu tempat berupa torok, berbicara),  yaitu barong boa (kuburan), barong compang (altar adat), barong wae bate teku (mata air), dan ritus di natas (alun-alun), lingko (kebun) . Semua kegiatan  ini disertakan dengan tudak dan torok tae. Sedangkan, di alun-alun melakukan tarian sae dan korban sembelihan berupa babi, kuda dan kerbau dipersembahkan (Lambertus Dapur, 2011).”
c.       Dalam budaya Manggarai ditemukan konsep tentang Allah.
Konsep tentang Allah dalam budaya Manggarai dikenal dengan Ame Rinding Mane, Ine Rinding Wie (Tuhan yang melindungi siang dan malam), Morin agu Ngaran Jari agu Dedek Tanan Wa Awangn Eta (Tuhan Pencipta Langit dan Bumi). Tuhan juga diberi predikat Ata Pukul Par Awo Kolepn Sale (Tuhan yang menjadikan pagi dan petang).
d.      Banyak orang Manggarai sering melupakan adat atau tidak mengikuti adat Manggarai.
Berbagai peristiwa penting yang sering ditinggalkan, sering dilupakan, dianggap sepele oleh orang Manggarai pada umumnya dan pada khususnya oleh pribadi-pribadi tertentu, yang menyebabkan terjadinya yaitu mata do (banyak orang meninggal), copel mose (hidup sial), rudak (dihukum roh), mbele lata (dibunuh orang), wedol (gila), jurak agu toko toe kop (meniduri istri kandung), mose lengge (hidup miskin), toe do wing (pasutri yang tidak memiliki keturunan), tunang put (jomblo seumur hidup) adalah  tidak diadakanya takung agu teing (menyuap dan memberi) kepada wura agu ceki (nenek moyang), naga golo/beo (penjaga kampung), naga mbaru (penjaga rumah tinggal), ase kae weki (roh pelindung pribadi), Morin (Tuhan Allah), empo (roh-roh), ceki (totem/larangan suku dan keturunan). Dan perbuatan-perbuatan lain, seperti ngopet (mencuri dan menipu), hang langang data (mencuri batas kebun milik orang lain), loma (cabul dan zinah dengan istri orang), wendo kat mantar molas data  (membawa lari begitu saja anak gadis orang tanpa melalui prosedur adat perkawinan), lako mbeot kaut agu toe pande naring teing berkak de Morin (pergi merantau ataupun sekolah begitu saja dan pulang merantau ataupun sekolah tanpa dibuatkannya acara adat memuja roh leluhur dan Tuhan Semeseta Alam).
 Rincian penjelasannya, sebagai berikut:
a.       Mata do (banyak orang meninggal).
”Peristiwa ini dikenal dengan nemba (banyak yang mati), baik di kampung tertentu maupun keturunan yang mati di perantauan. Nemba terjadi karena jurak, ngopet, dan tidak menjalankan ritus adat seperti tae kaba (persembahkan kerbau),toe manga panden tae manuk (tidak menjalankan adat dengan menyembelihkan ayam korban saat acara-acara penti (pesta syukuran tahunan/tahun baru), toe teing hang naga golo ko beo (tidak memberi makan roh penjaga kampung) dan tidak dilaksanakannya acara ako wajo wole (tuai padi baru). Semua peristiwa tersebut dihapus dengan diadakannya pakin jarang bolong (mempersembahkan seekor kuda hitam). Acara pakin jarang bolong juga harus melakukan barong di lima pilar adat Manggarai (Frans Ndour, 2012, dkk)”.
b.      Copel mose (hidup sial).
      Hidup sial, mose lengge, dan mbele lata (dibunuh orang), mati karena kecelakaan dan bunuh diri. Itu semua terjadi karena tidak dibuatkannya acara adat, yaitu tidak menjalankan teing hang ase kae weki,  pande jurak, ndekok data tua (dosa orang tua) tidak dibuatkannya acara saat merantau (manuk wuat wa’i dengan menggunakan ayam jantan kampung putih) dan pulang (caca selek dengan menggunakan ayam berbulu tiga warna dikenal lalong cepang) dan berbagai upacara adat lainnya. Mbele lata biasanya ditebus dengan acara  oke dara ta’a (buang sial) dengan hewan persembahan keti le manuk miteng (ayam hitam) di cunga (jurang yang dalam).  
c.       Rudak (dihukum  roh). Rudak biasanya terjadi karena telah membunuh binatang melata atau binatang liar yang pada akhirnya sengsara, menderita. Juga karena mengikatkan sebuah tali pada pohon di kebun dan di hutan atau mengikatkan kedua pohon yang masih hidup dengan seutas tali, atau menebang pohon yang menimpa pohon lainnya yang masih hidup. Pohon dan binatang tersebut menjerit kepada tuan mereka. Akibatnya orang bersangkutan sakit, maka dibuatkannya acara ngelong (meminta maaf kepada pohon dan binatang tersebut entah di mata air atau di tempat kejadian dengan menggunakan telur ayam kampung oleh ata pecing atau paranormal)
d.      Wedol (gila).
      Menurut keyakinan orang Manggarai wedol disebabkan oleh karena hang ceki (makan sesuatu yang dilarang nenek moyang). Ceki misalnya ceki cemberuang (totem burung rajawali), ceki kula (musang), ceki cik (burung pipit), ceki rutung (landak), ceki acu (totem anjing), ceki ndaler dan ceki lusa (totem memakan  ndaler dan  lusa. Lusa dan ndaler itu sejenis tumbuh-tumbuhan) dan totem lainnya.
      Ketika seorang keturunan memakan ceki tersebut maka orang tersebut atau keturunannya akan gila. Cerita tentang ceki ini memiliki sejarahnya masing-masing. ”Contoh  konkretnya, orang Wae Rebo keturunan Maro, ceki mereka adalah kula (musang). Mereka ceki kula (musang) karena yang membawa mereka dari kampung adat Todo dulu di malam hari melewati hutan belantara dan dinding-dinding gunung Poco Roko hingga ke Wae Rebo adalah seekor musang. Maka, perjanjiannya bahwa Maro dan keturunannya tidak boleh makan daging musang, bila melanggar resiko ditanggung sendiri. Resiko itu adalah gila dan sakit ( Isidorus, 2011)”.  
e.       Jurak agu toko toe kop (meniduri istri paman, meniduri saudari kandung sendiri). Jurak bisa incest.
      Upacara untuk memulihkan hubungan karena jurak  ini adalah pana mata leso atau istilah lain kepu munak (memotong batang pisang) biasanya dengan hewan kurban tertentu.
f.       Wendo kat mantar molas data, oke wina agu loma (membawa lari begitu saja anak gadis orang, cerai dengan istri dan meniduri istri orang atau berbuat zinah).
      Wendo kaut mantar molas data  adalah pelanggaran adat karena itu ada upacara khusus untuk meminta maaf yaitu naring lembak (membalas kebaikan orang tua istri dibayar dengan berupa benda). Oke wina didenda dengan benda yang dikenal dengan saung leba. Sedangkan, loma ada dua loma wina data (meniduri istri orang yang masih bersuami) dan loma lelo (mengintip anak gadis orang atau istri orang yang sedang mandi). Kedua sikap amoral ini didenda dengan benda yang disebut dengan ela wase lima (seekor babi besar). Begitu juga kalau ngopet (mencuri dan menipu) maka didenda dengan ela wase lima termasuk hang langang (makan batas kebun).
g.       Tunang put (jomblo seumur hidup).
      Tunang put menurut orang Manggarai terjadi karena tidak diadakanya takung agu teing (menyuap dan memberi) ase kae weki (roh pelindung pribadi). Bendanya acara ini adalah telur ayam kampung, sirih pinang dan nasi. Acaranya di tempat tidur pribadi oleh seorang yang dianggap lebih tua. Acara ini dilakukan secara sendiri-sendiri di mana pun orang itu berdomisili.
h.      Toe wing agu rintuk tau (tidak mempunyai keturunan dan selalu bertengkar dalam keluarga).
      Toe wing agu rintuk tau menurut orang Manggarai disebabkan oleh toe teing hang ase kae weki de wina-rona kut hambor ase kae weki de wina-rona (tidak memberi makan roh pelindung masing-masing dari suami-istri karena itu perlu dilakukan agar mendamaikan kedua roh mereka)
      Acara ini dilakukan oleh suami-istri dengan seekor telur ayam kampung dan ayam jantan putih. Telur tersebut disimpan di kamar tidur pasutri dengan menggunakan cakat (bahan dari kayu yang dibela diujungnya menyerupai sebuah corong). Acara ini juga perlu dibuatkan juga terutama memberi makan naga mbaru  (roh pelindung rumah) agar kehidupan berkeluarga damai dan tentram.
i.        Budaya Manggarai menciptakan relasi.
Relasi manusia Manggarai juga memiliki ciri-ciri, antara lain:
1.      Relasi internal
a.       Relasi internal
Ada dua jenis relasi internal personal manusia, relasi personal manusia tidak hanya secara intrapersonal tetapi juga interpersonal. Relasi intrapersonal berupa berpikir, meminta bantuan Tuhan misalnya doanya kepada Tuhan yang tidak diketahui oleh siapapun juga (ngaji kudut sembeng le Dedek) dilakukan secara sendirian. Sedangkan, relasi interpersonalnya baik dengan keluarga, warga kampung, suku, dengan Wujud Tertinggi, dengan alam semesta tampak dalam ritus-ritus dan upacara adat tertentu.
Ritus-ritus personal yang melibatkan relasinya dengan keluarga, warga kampung, suku, alam semesta, dan dengan Wujud Tertinggi adalah melalui ritus-ritus, seperti cear cumpe, ngaji agu Morin, ngelong, teing hang ase kae weki, wuad wa’i, pana mata leso (jurak), kawing, kelas (duhu matan atau saat kenduri). Ritus-ritus ini yang mengarah kepada personal dan tidak mengarah kepada sesuatu di luar dirinya.
b.      Relasi internal dalam keluarga
Relasi internal dalam keluarga biasanya tampak dalam acara teing hang tinu ata tua (membalas jasa orang tua berupa mempersembahkan seekor babi, dengan mana kerap disebut ela tinu); tampak dalam acara wuat wa’i mantar (acara pelepasan dengan mempersembahkan hewan korban berupa ayam jago putih sebelum anak pergi merantau, pergi sekolah maka dikenal sebutan lalong bakok du lakon/lalong rompok du ngon lalong rombeng du kolen – pulang mesti membawa rezeki).
Relasi internal juga tampak dalam ritus we’e mbaru (masuk dan mendiami rumah), cemol wing (penutup kelahiran), ela haeng nai (babi minta maaf terhadap orang tua yang tidak sempat menyaksikan secara langsung saat meninggal), wae lu’u (memberikan sumbangan kepada keluarga yang meninggal).
Relasi tersebut juga tampak dalam acara kapu agu naka sanggen beka agu buar (melakukan acara syukuran atas banyaknya keturunan dalam keluarga. Acara ini biasanya dilakukan oleh kedua orang tua, namun pelaksanaannya melibatkan anak-anak mereka untuk mendukung dari sisi dana).
“Selain itu, relasi dalam keluarga tampak dalam acara cear cumpe meka weru atau lega cumpe (upacara yang dilaksanakan pada hari ke-3 atau ke-5 setelah seorang bayi dilahirkan. Tujuan dari acara ini adalah agar ibu dan bayi yang baru lahir bisa berpindah tempat karena sebelum dibuatkan acara tersebut bayi dan ibu hanya di kamar (Kanisius Teobaldus Deki, 2012)”.
Acara tersebut bisa dimengerti sebagai ratung wuwung atau ubun-ubun bayi yang masih lembek dikuatkan dan sebagai wali cumpe atau pemindahan bayi dari dari tenda ke tikar atau tempat yang layak. Hewan korbannya adalah ayam jantan. Cear cumpe bisa juga artinya pemberian nama anak).
c.       Relasi internal dalam suku
Relasi internal dalam suku tampak dalam pemecahan soal-soal dalam suku yang dipimpin oleh Kepala Suku. Konkretnya adalah masalah suami-istri dalam keluarga. Yang menanggani masalah tersebut biasanya kepala suku. Relasi dalam suku juga misalnya bila ada acara penti atau acara congko lokap, maka wajib setiap anggota keluarga terlibat atas perintah Kepala Suku.
Kepala Suku dapat juga disebut sebagai Tua Panga. Terkait masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Kepala Suku maka kasus tersebut dibawa ke Tua Golo. Kepala Suku juga mengatur anggota-anggotanya dalam sistem pembagian lingko apabila suku tersebut yang pertama kali menguasi dan mendiami kampung tertentu, maka Tua Golo dipilih dari suku tersebut meski kemudian dipilih melalui musyarawah. Sedangkan, relasi dalam suku biasanya dalam acara kaba tambung, kaba bakok, jarang bolong, mbe bolong.
d.      Relasi saudara-saudari
Relasi internal saudara-saudari tampak dalam bentuk hak dan kewajiban. Saudara dimengerti sebagai anak rona atau korong kok potang iring, sedangkan pihak saudari adalah anak wina. Saudara berhak meminta sida, pihak anak wina saudari wajib membayar sida (meski sesuai kemampuan). Sida tersebut banyak bentuk, bisa sida laki (saudara mau menikah), sida mata (keluarga yang meninggal). Namun sida tersebut tidak bisa dikembalikan atau dituntut bayar kembali oleh anak wina.

2.      Relasi eksternal
a.       Relasi dengan warga kampung
Relasi dengan warga kampung dapat diungkapkan melalui acara penti (tahun baru), congko lokap (syukuran atas pembangunan rumah adat baru), laki (mengambil istri), wai (gadis yang bersuami), cekeng bowo wae (saat meninggal), cai meka beo (dihadiri tamu kampung), randang lingko (pembukaan lahan baru), paki jarang bolong (upacara menghindari kutukan dan kematian beruntun warga kampung), raha lingko (perang tanding dengan kampung lain).
Relasi dengan warga kampung juga misalnya diadakan acara rangkuk alu (bermain lompat alu biasanya pada saat bulan purnama), tabur gendang agu ngong one ca beo (membunyikan gong dan gendang di rumah adat sambil bernyanyi), ngo dodo (kerja gotong-royong).



b.      Relasi dengan Wujud Tertinggi
Relasi dengan Tuhan biasanya tampak dalam torok adak (doa dalam bentuk adat) yaitu pada saat pesta-pesta adat. Selain itu, tampak dalam barong compang, bentuk rumah adat, teing hang ase kae weki.
“Relasi orang Manggarai juga diungkapkan melalui go’et (nasehat atau petuah). Misalnya, go’et yang berbicara tentang relasi horisontal dengan Wujud Tertinggi, Misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa. Go’et ini juga mengandung pesan agar manusia tidak mengabaikan doa (ngaji) (Kanisius Teobaldus Deki, 2009)”
Dalam torok orang Manggarai sering menyebut dalam kata pendahuluan doa mereka: “Denge lite Morin, Jari agu Dedek, parn awo kolepn sale, tanan wa awangn eta”. Ini adalah doa yang menyebut nama Tuhan.
c.       Relasi dengan alam semesta
Relasi dengan alam semesta tampak dalam acara ngelong baik karena telah menyengsarakan tetumbuhan dan binatang ataupun ngelong pada saat berburu agar memperoleh hasil. Sarananya sama adalah telur ayam kampung. Selain itu, relasi dengan alam juga tampak dalam barong wae bate teku, dan memelihara mata air. Di mata air dipercaya ada roh yang menjaganya.
Wujud relasi lainnya adalah pande ruha one wae bate teku. Ini biasanya disebut barong wae sebelum acara-acara adat dimulai. Relasi dengan alam juga terkait melakukan acara di sawah sebelum padi dituai.

KESIMPULAN
Manusia adalah makhluk relasional.  Hal ini tampak dalam atribut manusia sebagai homo socius, homo ludens, homo economicus, homo religius, dan homo politicus. Khususnya dalam budaya Manggarai, ciri relasional ini sangat kuat dalam budaya lontoleok, bentuk rumah adat dan upacara adat demi harmoni sosial.
Dalam budaya lontoleok, relasi ini tampak dalam membahas dan memecahkan kasus-kasus yang dipandu langsung oleh Tua Adak atau wakil-wakil lain yang dipercaya oleh kelompok. Lontoleok tersebut bertujuan untuk musyawarah mufakat di antara warga kampung. Biasanya, lontoleok dilaksanakan di dalam rumah adat (Mbaru Gendang). Sesuai bentuknya yang melingkar, Mbaru Gendang atau Rumah Adat dipakai sebagai tempat mengadakan lontoleok.
Hubungan lontoleok, Mbaru Gendang, bentuk tanah ulayat dan ritus-ritus adatnya dikenal dengan sebutan gendang onen lingkon peang. Gendang onen lingkon peang adalah hubungan yang menunjukkan ciri kerekatan sosial orang Manggarai. Ciri kesamaan lontoleok dan bentuk Mbaru Gendang tersebut menunjukkan kuatnya hubungan relasi sosial di antara warga Gendang. Ketiganya adalah pilar kerekatan relasi sosial yang kuat dan mampu menciptakan relasi antar manusia dalam konteks budaya Manggarai.
Budaya Manggarai perlu dipelihara dan dijadikan sebagai wadah untuk terjalinnya harmoni sosial di Manggarai. Budaya Manggarai kiranya menjadi dasar relasi sosial antar manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan budaya lontoleok, upacara-upacara adat dan simbol-simbol adat lainnya.
Dengan menghayati nilai-nilai budaya Manggarai, harmoni sosial akan terus berjalan dengan baik khususnya bagi generasi muda Manggarai perlu menjadikan budaya Manggarai sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam konteks kehidupan sosial pada umumnya. Karena hal ini mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dan damai.
Karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Lambertus Dapur, Bapak Yohanes Ngagut, Bapak Hendrikus Sonto, Bapak Frans Ndour, Kamelus Ador, Petrus Jemali, Petrus Loros, Simeon Samu atas segala tenaga dan waktu. Terima kasih kepada Dr. Martin Chen, Kanisius Teobaldus Deki, M.Th, atas dukungan refrensi dan dorongan moril.





DAFTAR PUSTAKA
Deki, T. Kanisius, 2011a, Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai: Sebuah Pendekatan Biblis, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Ed. Januari, STKIP. St. Paulus-Ruteng: 25.
Deki, T. Kanisius, 2012b, Ritual Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke dalam Masyarakat, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Ed. Januari, STKIP St. Paulus-Ruteng: 34.
Janggur, P. 2008, Butir-butir Adat Manggarai, Ruteng: Artha Gracia, Buku: 96.
Lambertus D., Tua Gendang Ruteng Pu’u, di rumah adat Ruteng Pu’u tentang sanda lima dan struktur rumah adat atau Mbaru Gendang dalam kebudayaan Manggarai, Jumat (9/9/2011), Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Frans N, Kamelus A, Petrus J, Petrus L, Simeon S, Tetua Adat Gendang Lecem, di rumah adat Gendang Lecem, saat sebelum acara roban paki jarang bolong, Rabu (11/9/2011),  Desa Wae Renca, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Isidorus, Tua Adat Gendang Wae Rebo, di rumah Gendang Wae Rebo saat wawancara tentang asal mula Wae Rebo, Oktober 2011, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

__________________________________________________

Yang memosting tulisan ini: Melky Pantur***, Selasa (7/3/2017) di Ruteng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar