RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
SINOPSIS
Diajukan
Kepada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan St. Paulus Ruteng Sebagai
Pemenuhan Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan dalam
Pendidikan Teologi
MELKIOR PANTUR
NPM: 08.31.1050
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
ST. PAULUS RUTENG
2012
RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
Melkior
Pantur
STKIP St.
Paulus Ruteng
|
Theology
Department –
|
ABSTRAKSI
Kekhasan budaya Manggarai adalah bagaimana menciptakan hubungan kekuatan dan harmoni sosial di kampung. Kekuatan hubungan terlihat pada sistim lontoleok (duduk melingkar), terutama bagaimana untuk memecahkan berbagai masalah dalam Mbaru Gendang (rumah adat) oleh Tua Golo, Tua Gendang, dan Tua Teno (pemimpin kampung).
Kasus-kasus lain yang harus diselesaikan oleh mereka adalah pembagian lingko (mendistribusi sebidang tanah yang membentuk sistem jaring laba-laba), termasuk beberapa ritual tradisi, tae kaba (perayaan mempersembahkan seekor kerbau), penti (merayakan tahun baru sekaligus dalam satu kampung), congko lokap (upacara yang mempersembahkan kerbau sebagai hewan kurban setelah membangun rumah tradisional baru di kampung dengan mengundang semua generasi kampung itu), paki jarang bolong (perayaan mempersembahkan seekor kuda hitam di alun-alun rumah adat dengan tujuan untuk menghindari kematian dini dari orang di kampung dengan mengundang semua generasi kampung itu juga). Artinya, rumah adat memiliki banyak fungsi untuk memecahkan beberapa masalah dalam satu kampung.
Kita tahu bahwa hubungan antara Mbaru Gendang dan Lingko memiliki filosofi gendang onen lingkon peang (jika memiliki rumah tradisional, sebuah kampung memiliki tanah garapan). Di sisi lain, falsafah itu memiliki lima sarana pendukung, antara lain: Mbaru Gendang (rumah adat), lingko (kebun), compang (altar), natas (lapangan, alun-alun kampung), wae teku (mata air). Filosofi itu sering dinyatakan sebagai mbaru bate kaeng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (alun-alun), compang bate dari (altar tempat mengeringkan tubuh di bawah sinar matahari), uma bate duat (kebun), wae bate teku (mata air). Selain itu, orang Manggarai juga memiliki kuburan dan sering melakukan ritus barong boa (berdoa kepada leluhur di kuburan).
Tidak hanya itu, hubungan sosial orang Manggarai dinyatakan juga dalam beberapa kegiatan, antara lain: caci (caci adalah tarian perang satu lawan satu dengan menggunakan sarana pendukung tertentu), sanda (sanda adalah tarian yang dilakukan oleh banyak orang dan yang dilakukan di rumah adat), mbata (mbata adalah memainkan musik sebagai hiburan di rumah tradisional dan sering bermain di malam hari, mereka sering menggunakan gendang besar dan gong), rangkuk alu (rangkuk alu adalah tarian yang dilakukan oleh dua orang di alun-alun kampung, dan tarian itu sering dilakukan di malam hari dan pada siang hari), sae (sae adalah tarian yang dilakukan di alun-alun kampung ketika merayakan ritual tertentu, dan yang dilakukan siang hari), danding (danding adalah tarian yang dilakukan di rumah adat ketika merayakan ritual tertentu). Oleh karena itu, untuk menjaga semua itu, diperlukan sarana pendukung yaitu struktur pemerintah adat dengan rumah adat yang memiliki lima filosofi dasar tadi. Beberapa komponen tersebut adalah bentuk hubungan warga kampung yang tidak bisa dilepaspisahkan satu dari yang lainnya.
Kata Kunci: Manusia, Budaya Manggarai dan Relasi
ABSTRACTION
A special
characteristic of Manggaraian culture is how to create a strength relation and
social harmony in a village. The strength of relation
be visible on the lontoleok system (sit
in a forrn circle) especially how to solve some of
problems in the Mbaru Gendang (traditional house) by the Tua Golo, Tua Gendang,
and Tua Teno (leaders of a village).
The other
cases that be solved by them are pati
lingko (distribute a tract of land that formed in a
spider web system), included several of traditional
rituals, such as tae kaba (a celebration that offer the sacrafice
buffalo), penti (celebrate a new year
altogether in their village), congko
lokap (a celebratioan that offer the sacrafice buffalo after build
the new traditional house in the field of the
village with invite all of generation of that village), paki
jarang bolong (a celebration that offer the
black horse in the field, with purposed to avoid the early death of village
people with invite all of generation of that village too). It means that, the
traditional house has many functions to solve some of problems in one
village.
We know
that a relation between Mbaru Gendang
and Lingko has a philosophy gendang onen lingkon peang (if have a
traditional house, a village has a land too). In other hand, the philosophy
have five medium proponent, among other
things: Mbaru Gendang (traditional
house where we dwell), lingko
(land), compang (altar), natas (field, town square) wae teku (well). That philosophy often
be expressed as mbaru bate kaeng (house), natas bate labar (field play), compang bate dari (altar to dry body in
the sun), uma bate duat (land to
garden), wae bate teku (a well
to take water). Besides of that, the Manggaraian have a grave and they
often make a barong boa ritual
(pray to ancestor in the grave).
Not only that, the social relation of Manggaraian be expressed by some
of activities, among other things: caci (caci is a war dance that one to one with need a certain
medium proponent), sanda (sanda is a dance which is done by many
person and that is done in the traditional house), mbata (mbata
is a refreshing playing or entertaintment in the traditional house and often
play in the night, they often use large drum and gong), rangkuk alu (rangkuk
alu is a dance which is done by two person in the town square, and the
dance often be done in the night and in the day), sae (sae is
dance which is done in the town square when celebrate a certain ritual, and
that be done in the day), danding (danding is a dance that be
done in the traditional house when celebrate a ritual). Therefore, to keep all
that, be needed a medium proponent alike a traditional goverment structure with
a traditional house which have five fundamental philosophy. Some of that components
are form relation of a village people who can be discharged one another.
Key words: Human Being, The
Manggaraian Culture and Relation
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Manusia pada hakekatnya adalah
makhluk berbudaya. Hal ini tampak dalam bagaimana manusia menciptakan relasi
dengan sesamanya. Di Manggarai, salah satu bentuk nyata relasi itu adalah
budaya lontoleok. Melalui budaya ini,
orang Manggarai berkumpul tidak hanya untuk memecahkan masalah antar warga,
tetapi juga dalam hal urusan lainnya, seperti urusan persiapan perkawinan, ritus congko lokap (syukuran berdirinya
rumah Gendang baru), penti (acara tahun baru), paki kaba rae (mempersembahkan kerbau
syukuran keturunan), paki jarang bolong (upacara
meminta jauh dari penderitaan dan kematian beruntun dari warga kampung), saat persiapan bermain caci ketika diundang kampung lain.
Bahkan juga pada saat menjelang dimulainya perang tanding selalu disepakati
dalam dan melalui lontoleok. Jadi, lontoleok merupakan media komunikasi
yang sangat penting dalam relasi orang Manggarai.
Di Manggarai, terdapat begitu
banyak persoalan yang membuat relasi menjadi retak baik secara vertikal maupun
secara horisontal. Secara vertikal, masalah yang muncul adalah persolan batas
tanah ulayat dengan batas hutan antara warga dan pemerintah setempat.
Penebangan kayu di kawasan hutan oleh masyarakat setempat. Persoalan lainnya
juga adalah masalah penyerahan tanah ulayat (wilayah, daerah, kawasan milik
masyarakat adat) oleh masyarakat kepada pemerintah yang kemudian menjadi persoalan.
Contoh konkretnya adalah masalah
antara batas hutan RTK 111 Meler-Kuwus, masalah transmigrasi lokal di
Goloworok, kasus transmigrasi lokal di Nanga Lanang. “Masalah pembabatan hutan di Kabupaten
Manggarai Timur atau yang disebut kasus Colol yang dikenal dengan peristiwa
Rabu Berdarah pada 10 Maret 2004 di mana tersandung dengan rencana program
Bupati Manggarai, Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si, yang membabat sekian ribu
hektar perkebunan kopi rakyat Tangkul, Welu, Colol dan Biting (Kanisius
Teobaldus Deki, 2011)”. Kemudian kasus penyerahan tanah adat kepada pemerintah
yang hampir terjadi di berbagai tempat yang kemudian digugat oleh warga.
Secara horisontal adalah masalah
antara batas kampung yang satu dengan kampung yang lain, masalah batas antara moso, cicing dari sebuah lingko. Contoh
konkretnya adalah kasus Coal dan Sama yang merebut batas dan lingko, masalah antara Ngkor dan Dalo,
masalah antara Nggawut dan Dimpong, masalah Pajo dan Puntu. Sedangkan, masalah
batas antara cicing hampir terjadi di
seluruh wilayah Manggarai Raya. Masalah lainnya adalah kasus antara Langke
Norang dan Herokoe, masalah antara Rangges dan Beokina terkait tanah sekolah.
Dari masalah-masalah baik secara
vertikal maupun secara horisontal bahkan sering terjadi pertumpahan darah yang
memakan korban jiwa. Tidak sedikit nyawa orang Manggarai hilang karena
kasus-kasus tersebut. Solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah tersebut
bukan dengan sistem lontoleok lagi
yang menghadirkan Hakim Adat dengan mengacu pada sejarah adat tetapi
menggunakan cara perang tanding.
Beberapa masalah di atas
terkadang dalam penyelesaiannya acapkali menggunakan pendekatan hukum positif
sebagai sarana pemecahan kasus sementara hukum adat jarang digunakan. Ketidakpercayaan orang Manggarai
terhadap hukum adat ketika terjadi masalah menyebabkan budaya dan adat-istiadat
tidak dihargai lagi baik dalam hal mengurus masalah perdata maupun pidana.
Ketidakpercayaan itu terjadi
karena budaya Manggarai tidak lagi dianggap sebagai wadah memecahkan kasus
meski diakui masih ada orang tertentu yang menghargai budaya dalam memecahkan
kasus. Karena ketidakpercayaan itulah maka terjadilah keretakan relasi sosial
akibat dari tidak menghargai adat. Contoh konkretnya menggugat kembali tanah
yang sudah dibagi oleh Tua Teno, baik
masalah antara cicing maupun batas
antara lingko dalam satu kampung adat
maupun berbeda kampung adat.
“Selain melalui lontoleok, relasi dalam budaya
digambarkan pula dengan berbagai macam cara. Misalnya, sistem pembagian lingko (kebun ulayat), bentuk Mbaru Gendang (rumah adat), pemecahan kasus dengan hukum adat, pembuatan
motif bahan-bahan tenunan seperti motif towe
songke. Motif towe songke atau
kain songke orang Manggarai, yaitu
segitiga, ∆ lambang rumah adat dan ladang moso pada lingko yang tertuju pada
satu titik yaitu Tuhan. X adalah lambang manusia yang masih mengembara di
dunia. Bintang, * dan garis-garis putih seperti matahari adalah terang Tuhan
kepada manusia yang sedang mengembara di dunia ini. Sedangkan, warna dasar
hitam diselang-selingi dengan garis-garis merah atau kuning, lambang situasi
pasang-surutnya kehidupan manusia di dunia yang serba sulit tetapi
diselang-selingi kebahagiaan yang mencirikan relasional manusia Manggarai
(Petrus Janggur, 2008)”.
Beberapa hal di atas mengungkapkan
bagaimana relasi antar seseorang dengan warga kampung dan Gendang maupun juga dengan Sang Pencipta, yaitu Tuhan yang disebut
orang Manggarai sebagai Morin agu Ngaran,
Jari agu Dedek, Tanan Wa Awangn Eta (Allah dan Pemilik, Pencipta langit dan
bumi).
Demikian pula
kebiasaan-kebiasaan konkret lain yang dihayati dalam hidup orang Manggarai
menunjukkan dimensi relasional yang kuat. Misalnya, sistim dodo (kerja gotong-royong secara bergantian), budaya reis (menyapa), budaya rambeng (mengajak untuk kerja), budaya cihi hutu (mencari kutu), budaya rono (meminyaki rambut sang wanita oleh pria di tempat tertentu), budaya nek cepa (ajak makan sirih pinang), budaya hambor (berdamai),
budaya bagi moso agu teing moso (bagi
kebun dan kasih kebun berupa hibah dan widang),
teing hang ata tua (kasih makan orang
tua yang telah meninggal), wuat wa’i (upacara
menjelang bepergian, merantau), budaya
caca mbolot (pecahkan kasus), gerep ruha (injak telur oleh pasangan suami-istri
saat memasuki kampung suami di rumah adat setelah dilangsungkan acara
pernikahan dan membuang cek keluarga
istri), budaya ngelong (meminta maaf
kepada binatang yang disengsarakan di mana binatang tersebut dibunuh), seperti
peralatan caci, sanda, mbata, danding,
nenggo di kampung menunjukkan ikatan relasional yang kuat.
Dari kenyataan-kenyataan ini
dapat disimpulkan bahwa relasi antar manusia sangatlah penting dalam budaya
Manggarai. Berbagai ekspresi dan wujud budaya Manggarai menggambarkan bagaimana
hubungan antara manusia dapat dijalin dengan baik dan bagaimana pelbagai problem dalam hidup bersama dapat
diatasi dengan damai.
Dengan latar belakang inilah,
penulis memilih tema tulisan: “RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
MANGGARAI”. Tema ini menggugah dan
menantang penulis untuk mendalami dan merefleksikan secara kritis tentang
bagaimana hubungan antara manusia diekspresikan dalam simbol, ritus dan praksis
hidup orang Manggarai.
2.
Rumusan
Masalah
Masalah yang dibahas dalam
tulisan ini adalah “bagaimana relasi antara manusia direfleksikan dan diekspresikan
dalam budaya Manggarai”.
3.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di
atas, maka tujuan dari penulisan ini, sebagai berikut :
1)
Menjelaskan
hakekat manusia sebagai makhluk relasional;
2)
Menjelaskan
relasi antar manusia dalam perspektif budaya Manggarai.
4.
Manfaat
Penulisan
Ada
beberapa manfaat dalam tulisan ini, antara lain:
a.
Memberi
pemahaman bagi masyarakat Manggarai untuk menghargai adat dalam memecahkan
kasus-kasus, sehingga relasi yang terjalin tidak retak;
b.
Mendorong
agar adat Manggarai khususnya lontoleok terus
dikembangkan dan dijaga oleh masyarakat adat Manggarai, lebih khusus oleh
tamatan-tamatan STKIP St. Paulus-Ruteng agar budaya Manggarai dihayati dalam
praksis hidup kemasyarakatan;
c.
Membantu
Pemerintah Kabupaten Manggarai, khususnya instansi terkait, yaitu Dinas
Pariwisata agar mempromosikan budaya Manggarai menjadi sebuah budaya yang hidup
dan menjamin relasi harmonis antar warga.
TUJUAN
Berdasarkan
persoalan di atas penulis menganjurkan sebuah metode baru untuk menegakkan
budaya Manggarai dalam menanggani permasalahan dengan tujuan menerapkan kembali
budaya Manggarai, sebagai berikut:
1.
Bahwa
perlu ada memorandum of understanding
(MoU) antara pemerintah dan masyarakat setempat terkait berbagai kasus tanah di
Manggarai baik kasus batas kawasan hutan
milik warga dan hutan lindung maupun hutan Negara termasuk kasus tanah yang
sudah diserahkan oleh masyarakat kepada pemerintah namun diambil kembali oleh masyarakat adat.
MoU tersebut tidak hanya sebatas MoU tetapi harus diperdakan oleh Pemerintah.
2.
Terkait
kasus perdata yang berujung pada pidana di Manggarai, pihak berwajib baik
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menyerahkan ke Pemerintahan Adat
terlebih dahulu sebelum dibawa ke ranah hukum positif. Kesepakatan tersebut
harus diperdakan.
3.
Setiap
Desa harus menerbitkan sebuah Peraturan Desa/Kelurahan (Perdes) untuk
menegakkan peraturan penyelesaian masalah oleh pihak Pemerintahan Adat.
Peraturan Kelurahan berdasarkan SK Bupati dan Peraturan Desa
tersebut harus memiliki paying hukum lain yaitu Peraturan Daerah (PERDA).
4.
Setiap
persoalan baik dalam kampung, antar kampung dalam desa, dan antara warga antar
desa harus diselesaikan oleh Pemerintahan Adat dengan memanggil masing-masing
pemangku adat. Penyelesaian tersebut harus memiliki payung hukum, yaitu Perda.
5.
Penyelesaian
kasus oleh Pemerintahan Adat yang diperdakan harus dibiayai oleh Negara
terutama APBD II.
6.
Penyelesaian
kasus di Manggarai harus kembali ke
akarnya yaitu dengan sistem lontoleok.
7.
Membantu
mempertahankan dan mempromosikan budaya Manggarai agar tetap menjadi salah satu
pendukung budaya Nasional di mata dunia.
8.
Budaya
Manggarai harus terus dipelihara oleh orang Manggarai dan harus dijadikan
sebagai salah satu kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah.
METODE
Dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Untuk melengkapi tulisan ini,
penulis juga menggunakan metode wawancara.
1.
Waktu
dan tempat
Waktu yang digunakan dalam mengumpul data dalam tulisan ini
berkisar pada September-Oktober 2011. Untuk studi kepustakaan dilakukan di
beberapa tempat, yaitu:
a.
Perpustakaan
STKIP St. Paulus Ruteng.
b.
Perpustakaan
Umum Daerah Ruteng.
c.
Internet
d.
Buku
sumber lain yang diambil dari beberapa tempat termasuk buku sumber pribadi.
Sedangkan, untuk wawancara lamanya 3 (tiga) hari, antara
lain:
a.
Frans Ndour, Kamelus Ador, Petrus Jemali,
Petrus Loros, Simeon Samu, Tetua Adat Gendang Lecem, di rumah adat Gendang Lecem, saat sebelum acara roban paki jarang bolong, Rabu (11/9/2011), Desa Wae Renca, Kec. Cibal, Kab. Manggarai.
b.
Lambertus
Dapur (60th), Tua Gendang
Ruteng Pu’u, di rumah adat Ruteng Pu’u tentang sanda lima dan struktur rumah adat atau Mbaru Gendang dalam kebudayaan Manggarai, Jumat (9/9/2011), Kelurahan
Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
c.
Isidorus
(70th), Isidorus, Tua
Adat Gendang Wae Rebo, di rumah Gendang Wae Rebo saat wawancara tentang
asal mula Wae Rebo, Oktober 2011, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat,
Kabupaten Manggarai.
2.
Bahan
dan alat yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan, antara lain: tape recorder,
recorder handphone, ballpoint, buku tulis dan camera digital.
3.
Metodenya
perolehan data dan informasi
Metode yang digunakan adalah wawancara narasumber dan
kepustakaan
4.
Pengolahan
data dan analisis yang dilakukan
Pengolahan data dan analisis yang dilakukan adalah hasil
studi kepustakaan didukung oleh data wawancara langsung berdasarkan pendekatan
budaya Manggarai dengan mengumpulkan
berbagai data-data pendukung dari nara sumber Tetua Adat di beberapa Gendang.
PEMBAHASAN
Dari hasil data-data di atas, maka dalam pembahasan ini secara rinci dijelaskan bahwa:
a.
Adapun falsafah dasar gendang
onen lingkon peang dalam budaya Manggarai semakin hari semakin hilang
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:
1.
Terjadinya konflik vertikal antara masyarakat adat dan
Pemerintah Daerah.
Contoh konkretnya adalah masalah antara batas hutan RTK 111
Meler-Kuwus, masalah transmigrasi lokal di Goloworok, kasus transmigrasi lokal
di Nanga Lanang dan masalah pembabatan
hutan di Kabupaten Manggarai Timur atau yang disebut kasus Colol yang dikenal
dengan peristiwa Rabu Berdarah pada 10 Maret 2004. Kasus penyerahan tanah adat
kepada pemerintah yang hampir terjadi di berbagai tempat yang kemudian digugat
oleh warga.
2.
Kurangnya penghargaan terhadap Pemerintahan Adat dan
hukum adatnya. Banyak kasus di Manggarai baik kasus perdata (tanah) yang
berujung pada pidana dan kasus-kasus moral diselesaikan oleh hukum positif, yaitu
melalui Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
3.
Struktur Pemerintahan Adat itu sendiri kurang berperan
aktif dalam mengurus kasus-kasus di Manggarai dan banyak dialihkan ke Kepala
Desa atau Lurah setempat.
Pihak
Pemerintah Adat dengan hadirnya Negara seakan-akan memangku tangan melepaskan semua urusan ke Pemerintah. Karena
itu, fungsi mereka seolah-olah ditinggalkan oleh masyarakatnya padahal setiap
kepemilikan lingko/kebun mempunyai
hak pembagi yaitu Tua Teno. Hal itu
memang karena warga tidak percaya pada Pemerintahan Adat mereka sendiri.
4.
Kurang bisa memimpin, tidak cerdas, dan pelanggaran justru
datang dari Pemerintahan Adat.
Terutama
kasus moral, banyak Tua Golo yang
beristri lebih dari satu di Manggarai. Meski demikian urusan adat tetap
dilimpahkan kepada Tua Adak. Sedangkan,
ada Tua Golo yang tidak bisa memimpin
dan tidak cerdas mengurus setiap persoalan di kampung dan Gendang sehingga
melahirkan gerakan tidak percaya dari warganya sendiri. Meski diakui bahwa
setiap Tua Adak tersebut dipilih
melalui lontoleok.
Dengan
demikian, aspek lontoleok tidak
diikuti oleh warga kampung terutama dalam mengurus masalah dan memecahkan berbagai
persoalan bersama.
b.
Praktek-praktek adat Manggarai selalu mengikuti filosofi
dasar gendang onen lingkon peang, tarian
adat Manggarai dan ritus tudak dan torok tae.
Di
Manggarai berbagai upacara adat sebagaimana tertulis dalam berbagai sumber
yaitu buku-buku dan internet. Misalnya, budaya congko lokap dan paki jarang
bolong, kesesuaian antara
filosofi gendang onen lingkon peang
betul-betul dijalankan termasuk tarian dan ritus
tudak dan torok tae. ”Saat acara congko lokap dan pakin jarang bolong selalu dilakukan ritus barong (melapor sambil membawa sesuatu ke suatu tempat berupa torok, berbicara), yaitu barong boa (kuburan), barong
compang (altar adat), barong wae bate
teku (mata air), dan ritus di natas
(alun-alun), lingko (kebun) . Semua
kegiatan ini disertakan dengan tudak dan torok tae. Sedangkan, di alun-alun melakukan tarian sae dan korban sembelihan berupa babi,
kuda dan kerbau dipersembahkan (Lambertus Dapur, 2011).”
c.
Dalam budaya Manggarai ditemukan konsep tentang Allah.
Konsep
tentang Allah dalam budaya Manggarai dikenal dengan Ame Rinding Mane, Ine Rinding Wie (Tuhan yang melindungi siang dan
malam), Morin agu Ngaran Jari agu Dedek
Tanan Wa Awangn Eta (Tuhan Pencipta Langit dan Bumi). Tuhan juga diberi predikat
Ata Pukul Par Awo Kolepn Sale (Tuhan yang menjadikan pagi dan petang).
d.
Banyak orang Manggarai sering melupakan adat atau tidak
mengikuti adat Manggarai.
Berbagai
peristiwa penting yang sering ditinggalkan, sering dilupakan, dianggap sepele
oleh orang Manggarai pada umumnya dan pada khususnya oleh pribadi-pribadi tertentu,
yang menyebabkan terjadinya yaitu mata do
(banyak orang meninggal), copel mose
(hidup sial), rudak (dihukum roh), mbele lata (dibunuh orang), wedol (gila), jurak agu toko toe kop (meniduri istri kandung), mose lengge (hidup miskin), toe do wing (pasutri yang tidak
memiliki keturunan), tunang put (jomblo
seumur hidup) adalah tidak diadakanya takung agu teing (menyuap dan memberi) kepada wura agu ceki (nenek moyang), naga golo/beo (penjaga kampung), naga mbaru (penjaga rumah tinggal), ase kae weki (roh pelindung pribadi), Morin (Tuhan Allah), empo (roh-roh), ceki (totem/larangan suku
dan keturunan). Dan perbuatan-perbuatan lain, seperti ngopet (mencuri dan menipu), hang
langang data (mencuri batas kebun milik orang lain), loma (cabul dan zinah dengan istri orang), wendo kat mantar molas data (membawa
lari begitu saja anak gadis orang tanpa melalui prosedur adat perkawinan), lako mbeot kaut agu toe pande naring teing
berkak de Morin (pergi merantau ataupun sekolah begitu saja dan pulang
merantau ataupun sekolah tanpa dibuatkannya acara adat memuja roh leluhur dan
Tuhan Semeseta Alam).
Rincian
penjelasannya, sebagai berikut:
a.
Mata
do (banyak orang meninggal).
”Peristiwa
ini dikenal dengan nemba (banyak yang
mati), baik di kampung tertentu maupun keturunan yang mati di perantauan. Nemba terjadi karena jurak, ngopet, dan tidak menjalankan
ritus adat seperti tae kaba (persembahkan
kerbau),toe manga panden tae manuk
(tidak menjalankan adat dengan menyembelihkan ayam korban saat acara-acara penti (pesta syukuran tahunan/tahun
baru), toe teing hang naga golo ko beo (tidak memberi makan roh penjaga
kampung) dan tidak dilaksanakannya
acara ako wajo wole (tuai padi baru).
Semua peristiwa tersebut dihapus dengan diadakannya pakin jarang bolong (mempersembahkan seekor kuda hitam). Acara pakin jarang bolong juga harus melakukan
barong di lima pilar adat Manggarai (Frans
Ndour, 2012, dkk)”.
b.
Copel
mose (hidup sial).
Hidup sial, mose lengge, dan mbele lata
(dibunuh orang), mati karena kecelakaan dan bunuh diri. Itu semua terjadi
karena tidak dibuatkannya acara adat, yaitu tidak menjalankan teing hang ase kae weki, pande
jurak, ndekok data tua (dosa
orang tua) tidak dibuatkannya acara saat merantau (manuk wuat wa’i dengan menggunakan ayam jantan kampung putih) dan
pulang (caca selek dengan menggunakan
ayam berbulu tiga warna dikenal lalong
cepang) dan berbagai upacara adat lainnya. Mbele lata biasanya ditebus dengan acara oke
dara ta’a (buang sial) dengan hewan persembahan keti le manuk miteng (ayam hitam) di cunga (jurang yang dalam).
c.
Rudak
(dihukum roh). Rudak biasanya terjadi karena telah
membunuh binatang melata atau binatang liar yang pada akhirnya sengsara,
menderita. Juga karena mengikatkan sebuah tali pada pohon di kebun dan di hutan
atau mengikatkan kedua pohon yang masih hidup dengan seutas tali, atau menebang
pohon yang menimpa pohon lainnya yang masih hidup. Pohon dan binatang tersebut
menjerit kepada tuan mereka. Akibatnya orang bersangkutan sakit, maka
dibuatkannya acara ngelong (meminta
maaf kepada pohon dan binatang tersebut entah di mata air atau di tempat
kejadian dengan menggunakan telur ayam kampung oleh ata pecing atau paranormal)
d.
Wedol
(gila).
Menurut keyakinan orang Manggarai wedol disebabkan oleh karena hang ceki (makan sesuatu yang dilarang
nenek moyang). Ceki misalnya ceki cemberuang
(totem burung rajawali), ceki kula
(musang), ceki cik (burung pipit), ceki rutung (landak), ceki acu (totem
anjing), ceki ndaler dan ceki lusa (totem memakan ndaler dan
lusa. Lusa dan ndaler itu sejenis tumbuh-tumbuhan) dan totem lainnya.
Ketika seorang keturunan memakan ceki tersebut maka orang tersebut atau
keturunannya akan gila. Cerita tentang ceki
ini memiliki sejarahnya masing-masing. ”Contoh konkretnya, orang Wae Rebo keturunan Maro, ceki mereka adalah kula (musang). Mereka ceki
kula (musang) karena yang membawa mereka dari kampung adat Todo dulu di
malam hari melewati hutan belantara dan dinding-dinding gunung Poco Roko hingga
ke Wae Rebo adalah seekor musang. Maka, perjanjiannya bahwa Maro dan
keturunannya tidak boleh makan daging musang, bila melanggar resiko ditanggung
sendiri. Resiko itu adalah gila dan sakit ( Isidorus, 2011)”.
e.
Jurak
agu toko toe kop (meniduri istri paman, meniduri saudari kandung
sendiri). Jurak bisa incest.
Upacara untuk memulihkan hubungan karena jurak ini adalah pana
mata leso atau istilah lain kepu
munak (memotong batang pisang) biasanya dengan hewan kurban tertentu.
f.
Wendo
kat mantar molas data, oke wina agu loma (membawa
lari begitu saja anak gadis orang, cerai dengan istri dan meniduri istri orang
atau berbuat zinah).
Wendo
kaut mantar molas data adalah
pelanggaran adat karena itu ada upacara khusus untuk meminta maaf yaitu naring lembak (membalas kebaikan orang
tua istri dibayar dengan berupa benda). Oke
wina didenda dengan benda yang dikenal dengan saung leba. Sedangkan, loma ada
dua loma wina data (meniduri istri
orang yang masih bersuami) dan loma lelo (mengintip
anak gadis orang atau istri orang yang sedang mandi). Kedua sikap amoral ini
didenda dengan benda yang disebut dengan ela
wase lima (seekor babi besar). Begitu juga kalau ngopet (mencuri dan menipu) maka didenda dengan ela wase lima termasuk hang
langang (makan batas kebun).
g.
Tunang put (jomblo
seumur hidup).
Tunang
put menurut orang Manggarai terjadi karena tidak diadakanya takung agu teing (menyuap dan
memberi) ase kae weki (roh pelindung
pribadi). Bendanya acara ini adalah telur ayam kampung, sirih pinang dan nasi.
Acaranya di tempat tidur pribadi oleh seorang yang dianggap lebih tua. Acara
ini dilakukan secara sendiri-sendiri di mana pun orang itu berdomisili.
h.
Toe
wing agu rintuk tau (tidak mempunyai keturunan dan selalu bertengkar dalam
keluarga).
Toe
wing agu rintuk tau menurut orang Manggarai disebabkan oleh toe teing hang ase kae weki de wina-rona kut
hambor ase kae weki de wina-rona (tidak memberi makan roh pelindung masing-masing
dari suami-istri karena itu perlu dilakukan agar mendamaikan kedua roh mereka)
Acara ini dilakukan oleh suami-istri
dengan seekor telur ayam kampung dan ayam jantan putih. Telur tersebut disimpan
di kamar tidur pasutri dengan menggunakan cakat
(bahan dari kayu yang dibela diujungnya menyerupai sebuah corong). Acara ini
juga perlu dibuatkan juga terutama memberi makan naga mbaru (roh pelindung
rumah) agar kehidupan berkeluarga damai dan tentram.
i.
Budaya Manggarai menciptakan relasi.
Relasi manusia Manggarai juga memiliki ciri-ciri, antara
lain:
1. Relasi internal
a.
Relasi
internal
Ada dua jenis relasi internal
personal manusia, relasi personal manusia tidak hanya secara intrapersonal
tetapi juga interpersonal. Relasi intrapersonal berupa berpikir, meminta
bantuan Tuhan misalnya doanya kepada Tuhan yang tidak diketahui oleh siapapun
juga (ngaji kudut sembeng le Dedek)
dilakukan secara sendirian. Sedangkan, relasi interpersonalnya baik dengan
keluarga, warga kampung, suku, dengan Wujud Tertinggi, dengan alam semesta
tampak dalam ritus-ritus dan upacara adat tertentu.
Ritus-ritus personal yang
melibatkan relasinya dengan keluarga, warga kampung, suku, alam semesta, dan
dengan Wujud Tertinggi adalah melalui ritus-ritus, seperti cear cumpe, ngaji agu Morin, ngelong, teing hang ase kae weki, wuad
wa’i, pana mata leso (jurak), kawing, kelas (duhu matan atau saat
kenduri). Ritus-ritus ini yang mengarah kepada personal dan tidak mengarah
kepada sesuatu di luar dirinya.
b.
Relasi
internal dalam keluarga
Relasi internal dalam keluarga
biasanya tampak dalam acara teing hang
tinu ata tua (membalas jasa orang tua berupa mempersembahkan seekor babi,
dengan mana kerap disebut ela tinu);
tampak dalam acara wuat wa’i mantar (acara pelepasan dengan
mempersembahkan hewan korban berupa ayam jago putih sebelum anak pergi
merantau, pergi sekolah maka dikenal sebutan lalong bakok du lakon/lalong rompok du ngon lalong rombeng du kolen
– pulang mesti membawa rezeki).
Relasi internal juga tampak
dalam ritus we’e mbaru (masuk dan
mendiami rumah), cemol wing (penutup
kelahiran), ela haeng nai (babi minta
maaf terhadap orang tua yang tidak sempat menyaksikan secara langsung saat
meninggal), wae lu’u (memberikan
sumbangan kepada keluarga yang meninggal).
Relasi tersebut juga tampak
dalam acara kapu agu naka sanggen beka
agu buar (melakukan acara syukuran atas banyaknya keturunan dalam keluarga.
Acara ini biasanya dilakukan oleh kedua orang tua, namun pelaksanaannya
melibatkan anak-anak mereka untuk mendukung dari sisi dana).
“Selain itu, relasi dalam
keluarga tampak dalam acara cear cumpe
meka weru atau lega cumpe (upacara yang dilaksanakan pada hari ke-3 atau ke-5
setelah seorang bayi dilahirkan. Tujuan dari acara ini adalah agar ibu dan bayi
yang baru lahir bisa berpindah tempat karena sebelum dibuatkan acara tersebut
bayi dan ibu hanya di kamar (Kanisius Teobaldus Deki, 2012)”.
Acara tersebut bisa dimengerti
sebagai ratung wuwung atau ubun-ubun
bayi yang masih lembek dikuatkan dan sebagai wali cumpe atau pemindahan bayi dari dari tenda ke tikar atau
tempat yang layak. Hewan korbannya adalah ayam jantan. Cear cumpe bisa juga artinya pemberian nama anak).
c.
Relasi
internal dalam suku
Relasi internal dalam suku
tampak dalam pemecahan soal-soal dalam suku yang dipimpin oleh Kepala Suku.
Konkretnya adalah masalah suami-istri dalam keluarga. Yang menanggani masalah
tersebut biasanya kepala suku. Relasi dalam suku juga misalnya bila ada acara penti atau acara congko lokap, maka wajib setiap anggota keluarga terlibat atas
perintah Kepala Suku.
Kepala Suku dapat juga disebut
sebagai Tua Panga. Terkait masalah
yang tidak bisa diselesaikan oleh Kepala Suku maka kasus tersebut dibawa ke Tua Golo. Kepala Suku juga mengatur
anggota-anggotanya dalam sistem pembagian lingko
apabila suku tersebut yang pertama kali menguasi dan mendiami kampung tertentu,
maka Tua Golo dipilih dari suku
tersebut meski kemudian dipilih melalui musyarawah. Sedangkan, relasi dalam
suku biasanya dalam acara kaba tambung,
kaba bakok, jarang bolong, mbe bolong.
d.
Relasi
saudara-saudari
Relasi internal saudara-saudari
tampak dalam bentuk hak dan kewajiban. Saudara dimengerti sebagai anak rona atau korong kok potang iring, sedangkan pihak saudari adalah anak wina. Saudara berhak meminta sida, pihak anak wina saudari wajib membayar sida (meski sesuai kemampuan). Sida
tersebut banyak bentuk, bisa sida laki
(saudara mau menikah), sida mata
(keluarga yang meninggal). Namun sida
tersebut tidak bisa dikembalikan atau dituntut bayar kembali oleh anak wina.
2.
Relasi
eksternal
a.
Relasi
dengan warga kampung
Relasi dengan warga kampung
dapat diungkapkan melalui acara penti (tahun
baru), congko lokap (syukuran atas
pembangunan rumah adat baru), laki (mengambil
istri), wai (gadis yang bersuami), cekeng bowo wae (saat meninggal), cai meka beo (dihadiri tamu kampung), randang lingko (pembukaan lahan baru), paki jarang bolong (upacara
menghindari kutukan dan kematian beruntun warga kampung), raha lingko (perang tanding dengan kampung lain).
Relasi dengan warga kampung juga
misalnya diadakan acara rangkuk alu
(bermain lompat alu biasanya pada saat bulan purnama), tabur gendang agu ngong one ca beo (membunyikan gong dan gendang
di rumah adat sambil bernyanyi), ngo dodo
(kerja gotong-royong).
b.
Relasi
dengan Wujud Tertinggi
Relasi dengan Tuhan biasanya
tampak dalam torok adak (doa dalam bentuk adat) yaitu pada
saat pesta-pesta adat. Selain itu, tampak dalam barong compang, bentuk rumah adat, teing hang ase kae weki.
“Relasi orang Manggarai juga
diungkapkan melalui go’et (nasehat
atau petuah). Misalnya, go’et yang
berbicara tentang relasi horisontal dengan Wujud Tertinggi, Misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping
Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia
untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa. Go’et ini juga mengandung pesan agar manusia tidak mengabaikan doa
(ngaji) (Kanisius Teobaldus Deki,
2009)”
Dalam torok orang Manggarai sering menyebut dalam kata pendahuluan doa
mereka: “Denge lite Morin, Jari agu
Dedek, parn awo kolepn sale, tanan wa awangn eta”. Ini adalah doa yang
menyebut nama Tuhan.
c.
Relasi
dengan alam semesta
Relasi dengan alam semesta
tampak dalam acara ngelong baik
karena telah menyengsarakan tetumbuhan dan binatang ataupun ngelong pada saat berburu agar
memperoleh hasil. Sarananya sama adalah telur ayam kampung. Selain itu, relasi
dengan alam juga tampak dalam barong wae
bate teku, dan memelihara mata air. Di mata air dipercaya ada roh yang
menjaganya.
Wujud relasi lainnya adalah pande ruha one wae bate teku. Ini
biasanya disebut barong wae sebelum
acara-acara adat dimulai. Relasi dengan alam juga terkait melakukan acara di
sawah sebelum padi dituai.
KESIMPULAN
Manusia adalah makhluk
relasional. Hal ini tampak dalam atribut
manusia sebagai homo socius, homo ludens,
homo economicus, homo religius, dan
homo politicus. Khususnya dalam budaya Manggarai, ciri relasional ini
sangat kuat dalam budaya lontoleok, bentuk
rumah adat dan upacara adat demi harmoni sosial.
Dalam budaya lontoleok, relasi ini tampak dalam
membahas dan memecahkan kasus-kasus yang dipandu langsung oleh Tua Adak atau wakil-wakil lain yang
dipercaya oleh kelompok. Lontoleok
tersebut bertujuan untuk musyawarah mufakat di antara warga kampung. Biasanya, lontoleok dilaksanakan di dalam rumah
adat (Mbaru Gendang). Sesuai
bentuknya yang melingkar, Mbaru Gendang
atau Rumah Adat dipakai sebagai tempat mengadakan lontoleok.
Hubungan lontoleok, Mbaru Gendang,
bentuk tanah ulayat dan ritus-ritus adatnya dikenal dengan sebutan gendang onen lingkon peang. Gendang onen lingkon peang adalah
hubungan yang menunjukkan ciri kerekatan sosial orang Manggarai. Ciri kesamaan lontoleok dan bentuk Mbaru Gendang tersebut menunjukkan
kuatnya hubungan relasi sosial di antara warga Gendang. Ketiganya adalah pilar kerekatan relasi sosial yang kuat
dan mampu menciptakan relasi antar manusia dalam konteks budaya Manggarai.
Budaya Manggarai perlu
dipelihara dan dijadikan sebagai wadah untuk terjalinnya harmoni sosial di
Manggarai. Budaya Manggarai kiranya menjadi dasar relasi sosial antar manusia.
Untuk itu, perlu dikembangkan budaya lontoleok,
upacara-upacara adat dan
simbol-simbol adat lainnya.
Dengan menghayati nilai-nilai
budaya Manggarai, harmoni sosial akan terus berjalan dengan baik khususnya bagi
generasi muda Manggarai perlu menjadikan budaya Manggarai sebagai dasar
berpikir dan bertindak dalam konteks kehidupan sosial pada umumnya. Karena hal
ini mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dan damai.
Karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Lambertus Dapur, Bapak Yohanes
Ngagut, Bapak Hendrikus Sonto, Bapak Frans Ndour, Kamelus Ador, Petrus Jemali, Petrus Loros,
Simeon Samu atas segala tenaga dan waktu. Terima kasih kepada Dr. Martin Chen,
Kanisius Teobaldus Deki, M.Th, atas dukungan refrensi dan dorongan moril.
DAFTAR PUSTAKA
Deki, T. Kanisius, 2011a, Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai: Sebuah Pendekatan Biblis,
dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Ed. Januari, STKIP. St.
Paulus-Ruteng: 25.
Deki, T. Kanisius, 2012b, Ritual Kelahiran Orang Manggarai sebagai
Bentuk Inisiasi Individu ke dalam Masyarakat, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan Missio, Ed. Januari, STKIP St. Paulus-Ruteng: 34.
Janggur, P. 2008, Butir-butir Adat Manggarai,
Ruteng: Artha Gracia, Buku: 96.
Lambertus D., Tua
Gendang Ruteng Pu’u, di rumah adat Ruteng Pu’u tentang sanda lima dan struktur rumah adat atau Mbaru Gendang dalam kebudayaan Manggarai, Jumat (9/9/2011), Kelurahan
Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Frans N, Kamelus A, Petrus J, Petrus L, Simeon S, Tetua
Adat Gendang Lecem, di
rumah adat Gendang Lecem, saat
sebelum acara roban paki jarang bolong,
Rabu (11/9/2011), Desa Wae Renca, Kecamatan
Cibal, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Isidorus, Tua Adat
Gendang Wae Rebo, di rumah Gendang Wae Rebo saat wawancara tentang asal
mula Wae Rebo, Oktober 2011, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten
Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
__________________________________________________
__________________________________________________
Yang memosting tulisan ini: Melky Pantur***, Selasa (7/3/2017) di Ruteng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar