Kotbah Minggu 2 Prapaskah 2017 (Kej. 12: 1-4a; 2 Tim 1: 8b-10; Mat 17 : 1-9)
Lestarikan hutan dan mata air….
Ditulis oleh: Rm. Dr. Inosensius Sutam, Pr.
Saudara/i….
Bacaan pertama menjelaskan panggilan Abraham yang dijanjikan tiga hal: tanah/wilayah, keturunan dan berkat. Panggilan Tuhan selalu merupakan sebuah ziarah yang sering membingungkan, karena harus meninggalkan apa yang sudah pasti, meninggalkan mereka atau apa yang dicintai, melepaskan kemapanan dan beralih ke hal/tempat yang belum pasti. Abraham harus meninggalkan negerinya, keluarganya, budayanya, agamanya, semuanya yang sudah menyatu dengan badan, jiwa dan rohnya, dan harus pergi ke tanah terjanji yang belum diketahuinya. Kepastian Abraham hanya satu, imannya.
Pada bacaan kedua, Santu Paulus menandaskan bahwa Allah yang sama yang memanggil Abraham, juga memanggil kita. Kita dipanggil bukan berdasarkan maksud atau rencana kita tetapi berdasarkan maksud dan kasih karunia Allah. Dalam hal ini, panggilan Allah bukan berarti sebuah fatalisme, di mana nasib kita telah ditentukan Allah sebelumnya. Panggilan Allah selalu bersifat dinamis dan terbuka sesuai dengan konteks historis ril kita kini dan di sini (hic et nunc).
Allah yang memanggil kita dan panggilan kita bersifat kudus, karena itu ia adalah sebuah misteri. Namun panggilan kita, berarti berziarah dalam penyingkapan misteri Allah sendiri. Panggilan kita oleh Allah selalu berarti masuk dalam komunio dengan sesama, dengan alam dan dengan Allah sendiri. Komunio dengan Allah berarti menyelami dan membenamkan diri dalam misteri Allah, yang dengan caranya tersingkap untuk kita. Itulah yang dialami ketiga rasul dalam bacaan Injil yang biasanya kita dengar pada setiap tanggal 6 Agustus yang adalah pesta Tuhan menampakkan kemuliaanNya. Mereka mengalami penampakan kemuliaan Tuhan…Mereka mengalami komunio dengan Tuhan. Setelah peristiwa penampakan kemuliaan Tuhan itu, Yesus dan ketiga muridNya turun gunung, tidak tinggal di sana seperti anjuran Petrus. Ini adalah dimensi perutusan (missio).
Pada kesempatan ini, kita diajak untuk merenungkan komunio kita dengan alam/lingkungan hidup. Secara khusus, pada minggu kedua masa prapaskah ini kita, kita diajak oleh Panitia APP tahun ini untuk merefleksikan bersama tentang fungsi hutan dan air bagi hidup kita. Kita diajak untuk melestarikan hutan dan air. Ini adalah rekomendasi Sinode III berkaitan dengan lingkungan hidup/ekologi. Hal ini juga selaras dengan pesan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato-Si.
Pertanyaannya adalah apakah benang merah antara pesan ekologis, khususnya berkaitan dengan pelestarian hutan dan air dengan bacaan pada hari Minggu ini? Benang merah dari ketiga bacaan pada hari ini adalah panggilan (vocatio), yang membentuk persekutuan (communio) dan yang berakhir dengan perutusan (missio). Kita mendengar dalam Injil ini Yesus dan ketiga muridNya pergi ke gunung yang tinggi dan kemudian mereka diselimuti awan. Di sini kita melihat Injil ini berdimensi ekologis. Injil ini menerangkan bahwa perjumpaan dengan Tuhan bisa terjadi lewat dan di tengah alam: gunung yang tinggi dan awan. Gunung tinggi itu bisa selalu diasosiasikan hutan yang lebat dan hulu atau sumber sungai. Gunung tinggi juga adalah tempat berlabuhnya awan, dan awan itu menjadi cikal-bakal dari hujan, yang menjadi sumber air bagi manusia. Hutan meresapkan hujan, sehingga ada mata air.
Dalam Bahasa Manggarai, kita mendengar kata poco yang mempunyai dua arti, yaitu gunung dan hutan lebat. Kita juga mendengar kata puar yang berarti hutan. Untuk orang Manggarai puar atau poco…mempunyai beberapa arti:
(1) secara mitologis, poco atau puar berasal rambut dari Nabit Alang, Putera dari Mori Kraéng, yang dibunuh pada awal penciptaan dan menjadi asal-usul alam semesta. Karena itu hutan itu dianggap kudus/suci, dan angker (regis).
(2) Hutan itu tempat tinggal roh-roh yang baik dan jahat yang dalam arti tertentu menjadi pemilik hutan, karena itu kita tidak boleh seenaknya mengambil hasil hutan. Itulah sebabnya selalu ada acara/ritus sebelum kita memotong kayu di hutan atau berburu hewan. Selain itu ada banyak persyaratan jika kita mau melewati hutan…
(3) Hutan sebagai sumber kehidupan, awal dan akhir kehidupan.
Pertama-tama, hutan adalah sumber segalanya: makanan, minuman dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kita mendengar ungkapan moncok poco atau poco moncok bokong mosé dokong lino ho’o (kelimpahan hutan/gunung menjadi bekal bagi hidup fana di dunia ini).
Selain itu, dalam Bahasa Manggarai, kita mendengar kata lé (utara, hulu). Ada tiga realitas yang dikaitkan dengan kata ini: a. puar/poco (hutan): lé poco/puar (Di hutan); b. sumber/hulu air atau sungai : ulun lé, wa’in lau (Hulu di utara, kaki/muara di selatan); c. Morin (Tuhan): lé Morin (Pada Tuhan, di tempat tinggal Tuhan). Cabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya di sebut meka hitu lé puar/poco (tamu yang di hutan, bayi yang masih di dalam rahim ibunya). Hutan di sini dilihat sebagai rahim. Ketika seseorang meninggal (akhir kehidupan) dikatakan ia pulang ke sumbernya: nggéré léy, kolé ulun waé, nggéré lé Mori Dédéky. Sebagai sumber kehidupan hutan (poco, puar) disimbolkan sebagai anak rona (pihak pemberi gadis, asal kehidupan). Hal ini kita lihat dalam ritus roko molas poco (mengambil kayu yang dijadikan tiang utama/siri bongkok dari Mbaru Gendang). Kayu besar yang akan menjadi tiang utama Mbaru Gendang dilihat sebagai gadis yang dibawa lari dari hutan (poco, puar) sebagai tempat asalnya, dan akan melahirkan berkat dan kehidupan bagi warga kampung. Tiang utama ini dilihat sebagai induk (iné) atau rahim dari semua yang kayu atau bahan apa saja yang membuat sebuah Mbaru Gendang.
Jika hutan lebat dan terjaga berarti hidup ini terjamin dan disanggah. Karena itu orang Manggarai berdoa, “mangkang koé tanagm Mori, moncok koé pocogm, uwa agu wua koé puargm” (Tuhan kiranya tanah kami menggunung, kiranya hutan kami meninggi, kiranya hutan kami bertumbuh dan berbuah= Tuhan kiranya tanah dan hutan kami memberikan hasil yang melimpah).
Hutan adalah sumber air. Untuk orang Manggarai, air (waé) adalah symbol dari jiwa atau manusia. Tempo dulu, sebelum seorang ibu mengandung, ia atau suaminya bermimpi menimba air (nipi téku waé). Air yang ditimba itu adalah simbol jiwa dari anak yang akan dikandung (dé’i). Nasib, jenis kelamin, baik atau buruknya kehidupan seseorang menurut orang Manggarai tergantung dari waé téku-nya. Setiap orang berbeda nasibnya/jalan hidupnya, karena berbeda air yang ditimba, alat yang menimba dan tempat menimba. Pada saat seorang ibu mau melahirkan, ketika anaknya belum keluar dari Rahim, orang-orang tua bertanya: “asa ka’én/waé inungn wan ga?” Apakah kakaknya atau air minumnya sudah turun/keluar? Yang dimaksudkan dengan air dalam hal ini menurut ilmu modern adalah air ketuban, tetapi menurut orang Manggarai, air itu adalah air yang ditimba pada saat sebelum seorang anak dikandung atau jiwanya. Kita sering mendengar orang bertanya, “Waé doing hio é?” (Air siapa itu? Artinya, anak siapa/turunan itu? Turunan dari klan/suku mana anak/orang itu). Ketika seseorang meninggal kita mendengar orang berkata, “Kolé ulun waé” (air yang ditimba sebelum dia dikandung kembali ke sumbernya) atau “taung/dopo waé tékun” (air yang ditimba sebelum dia dikandung sudah habis masanya berada bersama badan di dunia ini). Air juga adalah simbol sebuah relasi abadi, khususnya dalam relasi antara pria-wanita, suami-istri, anak rona-anak wina. Di sini kita dengan ungkapan: toé salang tuak, maik salang waé… Bukan jalan menuju pohon enau (yang ada hanya jika air enau ada), tetapi jalan menuju mata/sumber air. Air juga dilihat sebagai pembersih sifat buruk atau dosa: oné lesos saléd, oné waés laud… Kiranya sifat buruk, kesalahan, aib dan dosa hilang/di bawa mata hari yang terbenam di barat, dan dibawa air ke muara.
Karena itu ada ritus barong waé (bersyukur atas air, mengundang roh penjaga mata air, juga leluhur yang dipercayai juga menjaga mata air) pada saat ritus penti (tahun baru orang Manggarai). Pada saat ini ada doa berikut: Mori, kémbus koé waé tékugm, mboas koé waé wo’anggme, peno waé cemok (Tuhan semoga air untuk ditimba tak pernah berhenti/membesar, semoga air untuk mandi melimpah, semoga air keluarga selalu penuh).
Jadi, untuk orang Manggarai hutan dan air adalah anugerah Tuhan dan tanda berkat, penyertaan dan kehadiranNya di tengah manusia. Keduanya adalah jembatan dengan mana Tuhan hadir dan mengalirkan kehidupan kepada manusia. Karena hal yang ditakuti oleh orang Manggarai kekurangan atau ketiadaan hutan dan air. Dalam dua doa yang berkaitan dengan hutan dan air di atas, kita selalu mendengar lanjutannya sebagai berikut: Mori, néka koé ngo oné pong dopo, ngalor masa/meti (Tuhan, kiranya kami tidak pergi/berjalan di hutan terakhir, sungai kering). Secara harafiah, pong dopo berarti hutan terakhir, hutan yang terbatas, daerah yang dulunya hutan lebat sekarang menjadi tandus, kosong, tak ada kehidupan. Ngalor meti/masa berarti sungai/kali yang kering, tak ada air. Secara simbolis ungkapan pong dopo, ngalor masa/meti berarti hidup yang berkekurangan, kejahatan, dosa, wilayah yang dihuni oleh roh-roh jahat. Ini adalah situasi kutukan. Jauh dari Tuhan.
Tuhan yang memanggil kita pergi ke gunung yang penuh awan adalah Tuhan yang menyatu dengan kita, lewat persatuan dengan alam, khusus hutan dan air. Misteri kehidupan, yang sumbernya, Tuhan sendiri sering terbuka bagi kita lewat alam sebab alam juga adalah jejak kaki Allah, Pencipta. Alam terjaga, hutan lebat, air melimpah… Hidup terjamin. Kita akan bahagia, seperti kata Petrus tadi di gunung, “Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini”.
Manggarai (Flores, NTT, Indonesia) adalah tanah terjanji kita. Seperti Abraham, kita dipanggil untuk hidup di sini. Seperti Abraham, kita juga dipanggil untuk keluar dari kebiasaan kita yang kurang baik yang menyebabkan rusaknya hutan, kotor dan berkurangnya air. Karena itu néka pandé roco poco, boto ropo golo; néka pandé munda puar, boto maséng waé; néka sanggé ngoéng ka’ur watu, néka sara nai pandé wanggul haju, boto gak tana, toé caka mbang, toé pungkut lus, mangan reno bengkok, copél mosé… (Janganlah mengikis hutan, jangan sampai bukit terpotong; janganlah melenyapkan hutan, jangan sampai air lenyap/berkurang; jangan membongkar batu seenaknya, jangan memotong kayu tanpa aturan, hal itu menyebabkan banjir tidak bisa diatasi, longsor tidak bisa disiasati; itulah yang menyebabkan lembah tergerus/terisi longsor (dari gunung), hidup menjadi susah). Mai ga weri, worang, kudut manga wéla, wua agu waé (Marilah menanam pohon/tanaman, menyiramnya, supaya ia berbunga, berbuah dan air terjamin).
Lestarikan hutan dan mata air….
Ditulis oleh: Rm. Dr. Inosensius Sutam, Pr.
Hutan di Wae Rebo [Gambar diambil oleh Melky Pantur]
Hutan Amazon [google]
Rm. Dr. Ino Sutan, Pr.
Saudara/i….
Bacaan pertama menjelaskan panggilan Abraham yang dijanjikan tiga hal: tanah/wilayah, keturunan dan berkat. Panggilan Tuhan selalu merupakan sebuah ziarah yang sering membingungkan, karena harus meninggalkan apa yang sudah pasti, meninggalkan mereka atau apa yang dicintai, melepaskan kemapanan dan beralih ke hal/tempat yang belum pasti. Abraham harus meninggalkan negerinya, keluarganya, budayanya, agamanya, semuanya yang sudah menyatu dengan badan, jiwa dan rohnya, dan harus pergi ke tanah terjanji yang belum diketahuinya. Kepastian Abraham hanya satu, imannya.
Pada bacaan kedua, Santu Paulus menandaskan bahwa Allah yang sama yang memanggil Abraham, juga memanggil kita. Kita dipanggil bukan berdasarkan maksud atau rencana kita tetapi berdasarkan maksud dan kasih karunia Allah. Dalam hal ini, panggilan Allah bukan berarti sebuah fatalisme, di mana nasib kita telah ditentukan Allah sebelumnya. Panggilan Allah selalu bersifat dinamis dan terbuka sesuai dengan konteks historis ril kita kini dan di sini (hic et nunc).
Allah yang memanggil kita dan panggilan kita bersifat kudus, karena itu ia adalah sebuah misteri. Namun panggilan kita, berarti berziarah dalam penyingkapan misteri Allah sendiri. Panggilan kita oleh Allah selalu berarti masuk dalam komunio dengan sesama, dengan alam dan dengan Allah sendiri. Komunio dengan Allah berarti menyelami dan membenamkan diri dalam misteri Allah, yang dengan caranya tersingkap untuk kita. Itulah yang dialami ketiga rasul dalam bacaan Injil yang biasanya kita dengar pada setiap tanggal 6 Agustus yang adalah pesta Tuhan menampakkan kemuliaanNya. Mereka mengalami penampakan kemuliaan Tuhan…Mereka mengalami komunio dengan Tuhan. Setelah peristiwa penampakan kemuliaan Tuhan itu, Yesus dan ketiga muridNya turun gunung, tidak tinggal di sana seperti anjuran Petrus. Ini adalah dimensi perutusan (missio).
Pada kesempatan ini, kita diajak untuk merenungkan komunio kita dengan alam/lingkungan hidup. Secara khusus, pada minggu kedua masa prapaskah ini kita, kita diajak oleh Panitia APP tahun ini untuk merefleksikan bersama tentang fungsi hutan dan air bagi hidup kita. Kita diajak untuk melestarikan hutan dan air. Ini adalah rekomendasi Sinode III berkaitan dengan lingkungan hidup/ekologi. Hal ini juga selaras dengan pesan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato-Si.
Pertanyaannya adalah apakah benang merah antara pesan ekologis, khususnya berkaitan dengan pelestarian hutan dan air dengan bacaan pada hari Minggu ini? Benang merah dari ketiga bacaan pada hari ini adalah panggilan (vocatio), yang membentuk persekutuan (communio) dan yang berakhir dengan perutusan (missio). Kita mendengar dalam Injil ini Yesus dan ketiga muridNya pergi ke gunung yang tinggi dan kemudian mereka diselimuti awan. Di sini kita melihat Injil ini berdimensi ekologis. Injil ini menerangkan bahwa perjumpaan dengan Tuhan bisa terjadi lewat dan di tengah alam: gunung yang tinggi dan awan. Gunung tinggi itu bisa selalu diasosiasikan hutan yang lebat dan hulu atau sumber sungai. Gunung tinggi juga adalah tempat berlabuhnya awan, dan awan itu menjadi cikal-bakal dari hujan, yang menjadi sumber air bagi manusia. Hutan meresapkan hujan, sehingga ada mata air.
Dalam Bahasa Manggarai, kita mendengar kata poco yang mempunyai dua arti, yaitu gunung dan hutan lebat. Kita juga mendengar kata puar yang berarti hutan. Untuk orang Manggarai puar atau poco…mempunyai beberapa arti:
(1) secara mitologis, poco atau puar berasal rambut dari Nabit Alang, Putera dari Mori Kraéng, yang dibunuh pada awal penciptaan dan menjadi asal-usul alam semesta. Karena itu hutan itu dianggap kudus/suci, dan angker (regis).
(2) Hutan itu tempat tinggal roh-roh yang baik dan jahat yang dalam arti tertentu menjadi pemilik hutan, karena itu kita tidak boleh seenaknya mengambil hasil hutan. Itulah sebabnya selalu ada acara/ritus sebelum kita memotong kayu di hutan atau berburu hewan. Selain itu ada banyak persyaratan jika kita mau melewati hutan…
(3) Hutan sebagai sumber kehidupan, awal dan akhir kehidupan.
Pertama-tama, hutan adalah sumber segalanya: makanan, minuman dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kita mendengar ungkapan moncok poco atau poco moncok bokong mosé dokong lino ho’o (kelimpahan hutan/gunung menjadi bekal bagi hidup fana di dunia ini).
Selain itu, dalam Bahasa Manggarai, kita mendengar kata lé (utara, hulu). Ada tiga realitas yang dikaitkan dengan kata ini: a. puar/poco (hutan): lé poco/puar (Di hutan); b. sumber/hulu air atau sungai : ulun lé, wa’in lau (Hulu di utara, kaki/muara di selatan); c. Morin (Tuhan): lé Morin (Pada Tuhan, di tempat tinggal Tuhan). Cabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya di sebut meka hitu lé puar/poco (tamu yang di hutan, bayi yang masih di dalam rahim ibunya). Hutan di sini dilihat sebagai rahim. Ketika seseorang meninggal (akhir kehidupan) dikatakan ia pulang ke sumbernya: nggéré léy, kolé ulun waé, nggéré lé Mori Dédéky. Sebagai sumber kehidupan hutan (poco, puar) disimbolkan sebagai anak rona (pihak pemberi gadis, asal kehidupan). Hal ini kita lihat dalam ritus roko molas poco (mengambil kayu yang dijadikan tiang utama/siri bongkok dari Mbaru Gendang). Kayu besar yang akan menjadi tiang utama Mbaru Gendang dilihat sebagai gadis yang dibawa lari dari hutan (poco, puar) sebagai tempat asalnya, dan akan melahirkan berkat dan kehidupan bagi warga kampung. Tiang utama ini dilihat sebagai induk (iné) atau rahim dari semua yang kayu atau bahan apa saja yang membuat sebuah Mbaru Gendang.
Jika hutan lebat dan terjaga berarti hidup ini terjamin dan disanggah. Karena itu orang Manggarai berdoa, “mangkang koé tanagm Mori, moncok koé pocogm, uwa agu wua koé puargm” (Tuhan kiranya tanah kami menggunung, kiranya hutan kami meninggi, kiranya hutan kami bertumbuh dan berbuah= Tuhan kiranya tanah dan hutan kami memberikan hasil yang melimpah).
Hutan adalah sumber air. Untuk orang Manggarai, air (waé) adalah symbol dari jiwa atau manusia. Tempo dulu, sebelum seorang ibu mengandung, ia atau suaminya bermimpi menimba air (nipi téku waé). Air yang ditimba itu adalah simbol jiwa dari anak yang akan dikandung (dé’i). Nasib, jenis kelamin, baik atau buruknya kehidupan seseorang menurut orang Manggarai tergantung dari waé téku-nya. Setiap orang berbeda nasibnya/jalan hidupnya, karena berbeda air yang ditimba, alat yang menimba dan tempat menimba. Pada saat seorang ibu mau melahirkan, ketika anaknya belum keluar dari Rahim, orang-orang tua bertanya: “asa ka’én/waé inungn wan ga?” Apakah kakaknya atau air minumnya sudah turun/keluar? Yang dimaksudkan dengan air dalam hal ini menurut ilmu modern adalah air ketuban, tetapi menurut orang Manggarai, air itu adalah air yang ditimba pada saat sebelum seorang anak dikandung atau jiwanya. Kita sering mendengar orang bertanya, “Waé doing hio é?” (Air siapa itu? Artinya, anak siapa/turunan itu? Turunan dari klan/suku mana anak/orang itu). Ketika seseorang meninggal kita mendengar orang berkata, “Kolé ulun waé” (air yang ditimba sebelum dia dikandung kembali ke sumbernya) atau “taung/dopo waé tékun” (air yang ditimba sebelum dia dikandung sudah habis masanya berada bersama badan di dunia ini). Air juga adalah simbol sebuah relasi abadi, khususnya dalam relasi antara pria-wanita, suami-istri, anak rona-anak wina. Di sini kita dengan ungkapan: toé salang tuak, maik salang waé… Bukan jalan menuju pohon enau (yang ada hanya jika air enau ada), tetapi jalan menuju mata/sumber air. Air juga dilihat sebagai pembersih sifat buruk atau dosa: oné lesos saléd, oné waés laud… Kiranya sifat buruk, kesalahan, aib dan dosa hilang/di bawa mata hari yang terbenam di barat, dan dibawa air ke muara.
Karena itu ada ritus barong waé (bersyukur atas air, mengundang roh penjaga mata air, juga leluhur yang dipercayai juga menjaga mata air) pada saat ritus penti (tahun baru orang Manggarai). Pada saat ini ada doa berikut: Mori, kémbus koé waé tékugm, mboas koé waé wo’anggme, peno waé cemok (Tuhan semoga air untuk ditimba tak pernah berhenti/membesar, semoga air untuk mandi melimpah, semoga air keluarga selalu penuh).
Jadi, untuk orang Manggarai hutan dan air adalah anugerah Tuhan dan tanda berkat, penyertaan dan kehadiranNya di tengah manusia. Keduanya adalah jembatan dengan mana Tuhan hadir dan mengalirkan kehidupan kepada manusia. Karena hal yang ditakuti oleh orang Manggarai kekurangan atau ketiadaan hutan dan air. Dalam dua doa yang berkaitan dengan hutan dan air di atas, kita selalu mendengar lanjutannya sebagai berikut: Mori, néka koé ngo oné pong dopo, ngalor masa/meti (Tuhan, kiranya kami tidak pergi/berjalan di hutan terakhir, sungai kering). Secara harafiah, pong dopo berarti hutan terakhir, hutan yang terbatas, daerah yang dulunya hutan lebat sekarang menjadi tandus, kosong, tak ada kehidupan. Ngalor meti/masa berarti sungai/kali yang kering, tak ada air. Secara simbolis ungkapan pong dopo, ngalor masa/meti berarti hidup yang berkekurangan, kejahatan, dosa, wilayah yang dihuni oleh roh-roh jahat. Ini adalah situasi kutukan. Jauh dari Tuhan.
Tuhan yang memanggil kita pergi ke gunung yang penuh awan adalah Tuhan yang menyatu dengan kita, lewat persatuan dengan alam, khusus hutan dan air. Misteri kehidupan, yang sumbernya, Tuhan sendiri sering terbuka bagi kita lewat alam sebab alam juga adalah jejak kaki Allah, Pencipta. Alam terjaga, hutan lebat, air melimpah… Hidup terjamin. Kita akan bahagia, seperti kata Petrus tadi di gunung, “Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini”.
Manggarai (Flores, NTT, Indonesia) adalah tanah terjanji kita. Seperti Abraham, kita dipanggil untuk hidup di sini. Seperti Abraham, kita juga dipanggil untuk keluar dari kebiasaan kita yang kurang baik yang menyebabkan rusaknya hutan, kotor dan berkurangnya air. Karena itu néka pandé roco poco, boto ropo golo; néka pandé munda puar, boto maséng waé; néka sanggé ngoéng ka’ur watu, néka sara nai pandé wanggul haju, boto gak tana, toé caka mbang, toé pungkut lus, mangan reno bengkok, copél mosé… (Janganlah mengikis hutan, jangan sampai bukit terpotong; janganlah melenyapkan hutan, jangan sampai air lenyap/berkurang; jangan membongkar batu seenaknya, jangan memotong kayu tanpa aturan, hal itu menyebabkan banjir tidak bisa diatasi, longsor tidak bisa disiasati; itulah yang menyebabkan lembah tergerus/terisi longsor (dari gunung), hidup menjadi susah). Mai ga weri, worang, kudut manga wéla, wua agu waé (Marilah menanam pohon/tanaman, menyiramnya, supaya ia berbunga, berbuah dan air terjamin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar