BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.
Manusia
pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia
cenderung menjadikannya sebagai jembatan emas untuk menyelesaikan berbagai
persoalan. Selanjutnya,
persoalan-persolan tersebut, misalnya perang tanding karena merebut tanah
ulayat, yang mengklaim tanah lingko[1] tertentu sebagai milik dari sebuah suku
atau klen, milik dari sebuah gendang saja.
Secara etimologis, gendang adalah alat musik
tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah
lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum
adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing.
Secara umum, gendang
adalah tempat tinggal nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya
yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan
berkuasa atas wilayahnya.[2]
Pemahaman
seperti ini, turut mempengaruhi cara berpikir orang Manggarai untuk coba
melihat manusia atau suku lain sebagai musuh yang mesti dihancurkan. Manusia
lain dianggap sebagai pesaing yang menakutkan. Bahkan, perhatian terhadap
prinsip persaudaraan kian dikesampingkan.
Kurangnya
perhatian terhadap nilai persaudaraan bahkan nilai-nilai budaya kerap terjadi
dari masa ke masa, yang mempengaruhi nilai-nilai budaya dari masa ke masa kian
pudar. Itu karena fungsi adat terlupakan dan manusia kerap menjadikan intelek
dan perasaan kelompok mempengaruhi cara berpikir manusia itu sendiri, yang pada
akhirnya arti makhluk berbudaya tidak mendapat tempatnya lagi dalam bingkai
cinta kasih.
Konteks
Manggarai, kebiasaan-kebiasaan, seperti loma
wina data[3],
menggarap batas tanah milik orang lain, mencuri barang atau harta milik
orang lain di kebun, membunuh (melalui aktivitas perang tanding) sudah mendarah
daging.
Kembali
kepada situasi tersebut, orang Manggarai (Manggarai, menurut Van Bekkum,
mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata Mangga
yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan dengan
satu peristiwa terdahulu. Sehingga, Manggarai artinya sauh berlari[4]) coba
membangun kembali citra buruk yang diperankan oleh masyarakatnya dengan
berusaha melahirkan sebuah pendekatan lama, yaitu lonto leok[5].
Lonto leok kemudian menjadi pendekatan yang ampuh untuk merekatkan kembali
relasi-relasi yang ambruk ulah perbuatan manusia yang tidak menjunjung tinggi
manusia dan kemanusiaan.
Dengan
begitu, tentu manusia dan budaya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan
karena manusia adalah bagian dari budaya itu sendiri. Di Manggarai, Penulis
begitu tergugah melihat bahwa relasi justru dan bahkan dapat juga terjadi atau
muncul dengan dan melalui budaya, selain pendekatan lonto leok, juga dengan aktus-aktus adat, misalnya saja, budaya caci
dalam ritus Penti.
Budaya
caci dalam ritus Penti[6], Paki
Jarang Bolong[7],
Paki Kaba Rae, Congko Lokap, Roko Molas Poco dalam membuat Mbaru Gendang baru
dan bentuk aplikasi budaya lainnya begitu kuat mempengaruhi ikatan sosial dalam
masyarakat Manggarai.
Dilihat dari segi kata, roko berarti mengambil, molas diidentikkan dengan wanita cantik
dan poco berarti gunung. Upacara ini
merupakan upacara pengambilan kayu di hutan yang digunakan sebagai tiang utama
dalam pembuatan rumah adat (Mbaru Tembong).
Dalam upacara ini “Molas Poco” yang diambil untuk dijadikan tiang
utama (siri bongkok) yang akan dibuat
dan diletakkan di tengah-tengah rumah adat yang akan dibuat; dan rumah adat
yang akan dibuat tersebut berbentuk kerucut dan bagian ujung atas rumah
dipasang tanduk kerbau (rangga kaba).[8]
Caci
yang merupakan tarian adat Manggarai, kemudian menjadi tontonan yang paling
mengasyikkan. Secara terminologis atau peristilahan Manggarai, congko artinya membersihkan kembali,
mengangkat kembali, mengambil kembali, menaruh kembali ke tempat sebelumnya atau
ke wadah lain, sedangkan lokap
artinya sisa-sisa bangunan. Congko lokap adalah membersihkan
sisa-sisa dari sebuah bangunan.
Secara
etimologis, tarian “caci” berasal
dari dua kata yaitu "ca"
yang berarti satu dan "ci"
artinya uji. Caci bermakna ujian satu
lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah. Maka dalam kamus
sastra arti caci adalah tarian
ketangkasan[9].
Selain
budaya caci, praktek-praktek adat, yaitu budaya caca mbolot
(memecahkan kasus) ketika terjadi kasus, justru menimbulkan ketertarikan untuk
mengkajinya sedikit mendalam dalam bentuk tulisan ini karena Penulis
menganggapnya begitu penting.
Melihat
keterpurukan yang diperankan oleh manusia Manggarai, maka Penulis amat tertarik
untuk mengupasnya, sehingga mengangkat tema: RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI, sebagai
tulisan yang cukup menggugah Penulis sendiri dan barangkali bagi setiap orang
yang coba menyentuhnya.
1.2
Perumusan Masalah.
Bertolak dari latar belakang penulisan di atas, maka perumusan masalah
atas tema yang diuraikan, sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksudkan dengan manusia dan
kebudayaan?
2.
Apa yang dimaksudkan dengan relasi antara
manusia?
3.
Bagaimana relasi antara manusia dalam perspektif
budaya Manggarai?
1.3
Tujuan Penulisan.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini,
sebagai berikut :
1.
Menjelaskan hakekat manusia dan kebudayaan;
2.
Menjelaskan hakekat relasi antara manusia;
3.
Menjelaskan relasi antara manusia dalam
perspektif budaya Manggarai.
1.4
Manfaat Penulisan.
Ada beberapa manfaat dalam tulisan ini, antara lain:
a.
Memberi pemahaman bagi masyarakat Manggarai
bahwa pentingnya menghargai adat dalam memecahkan kasus-kasus, sehingga relasi
yang terjalin tidak retak;
b.
Menjadikan adat Manggarai khususnya lonto leok terus dikembangkan dan dijaga
sekaligus dipraktekkan, baik oleh masyarakat adat Manggarai, lebih khusus maupun oleh
tamatan-tamatan STKIP St. Paulus – Ruteng agar dikembangkannya budaya Manggarai
dalam praksis hidup kemasyarakatan;
c.
Membantu Pemerintah Kabupaten Manggarai,
khususnya instansi terkait, yaitu Dinas Pariwisata[10] agar lebih
mangaplikasikan budaya Manggarai menjadi sebuah budaya yang hidup dan
menciptakan relasi antar warganya.
1.5
Metode Penulisan.
Dalam
menyelesaikan tulisan ini, Penulis menggunakan metode kepustakaan dan juga berdasarkan hasil kajian kritis Penulis. Juga berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa narasumber, yaitu Tua Gendang Ruteng Pu’u[11], Tua Adat
Gendang Lecem, yang sempat ditemui Penulis.
1.5
Sistematika Penulisan.
Tulisan
ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan Pendahuluan yang membahas tentang Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan L
Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab II berisi tentang Manusia Selayang Pandang. Pada Bab III akan diuraikan tentang Kebudayaan Manggarai. Selanjutnya, pada Bab IV dibahas tentang Relasi Antar Manusia dalam Perspektif Budaya Manggarai. Sedangkan, Bab V merupakan Penutup yang terdiri atas Kesimpulan dan Usul-saran.
Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab II berisi tentang Manusia Selayang Pandang. Pada Bab III akan diuraikan tentang Kebudayaan Manggarai. Selanjutnya, pada Bab IV dibahas tentang Relasi Antar Manusia dalam Perspektif Budaya Manggarai. Sedangkan, Bab V merupakan Penutup yang terdiri atas Kesimpulan dan Usul-saran.
BAB II
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
2.1 Siapa
Manusia?
Secara etimologis, manusia dalam
bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Angglo-Saxon, mann).
Dalam bahasa Latin disebut mens, berarti ada yang berpikir. Dalam
bahasa Sansekerta, manu, yang artinya pertama, manusia pertama. Dalam
arti anthropos berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Akan tetapi,
sekarang kata itu diartikan sebagai wajah manusia. Homo dalam bahasa
Latin berarti “orang yang dilahirkan di atas bumi”, bandingkan humus.[12]
Manusia
menurut pandangan umum masyarakat dunia adalah ciptaan Allah yang mempunyai
nilai dalam dirinya sendiri. Emanuel
Kant mengatakan bahwa manusia itu bernilai karena ditunjang oleh harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Martabat
menurut Kant adalah sebuah nilai yang ada dalam dirinya sendiri. Nilai itu
ialah nilai kemanusiaan, yang secara kodrat diciptakan oleh
Allah dengan nilai yang tinggi.
Terkait
dengan itu, Clyde Kluckhon mendefenisikan nilai, sebagai berikut:
A value is a conception, explicit or
implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the
desirable which influences the selection from available modes, means, and ends
of action (Parson and Shill, 1965: 395)
(Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau
implisit, yang khas milik seseorang individu atau kelompok, tentang seharusnya
diinginkan yang mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk,
cara-cara dan tujuan-tujuan tindakan)[13]
Dari
defenisi di atas, yang perlu diperhatikan adalah kalimat kuncinya, yaitu ”value”. “Value” adalah konsepsi tentang seharusnya diinginkan. Di sini perlu
diingatkan bahwa “hal yang seharusnya diinginkan” adalah berbeda dari “hal yang
diinginkan”.
Sebagai
konsepsi, nilai adalah abstrak, sesuatu yang dibangun di dalam pikiran atau
budi, tidak dapat diraba dan dilihat secara langsung dengan pancaindra. Nilai hanya dapat disimpulkan dan
ditafsirkan dari ucapan, perbuatan, dan materi yang dibuat manusia.[14]
Nilai,
dalam pengertiannya sebagai standar,
adalah konsep tentang the
desireable. The desireable tidak sama dengan the desired. The desireable adalah konsepsi tentang sesuatu “yang
seharusnya diinginkan”, sedangkan the
desired adalah hal “yang diinginkan”.
Nilai merupakan kriteria dalam menentukan
tentang apa yang seharusnya diinginkan seseorang sebagai anggota dari suatu
masyarakat, bukan tentang apa yang diinginkannya. Contohnya, ada banyak
anggota DPR RI dari berbagai Fraksi Partai Politik yang menginginkan agar NKRI
mesti memberlakukan atau menetapkan Undang-undang Pornografi yang mengatur tentang
pornografi. Ini bukan nilai, bukan the desireable. Ini hanya sebuah keinginan.
Akan tetapi, kalau anggota DPR RI dari
berbagai Fraksi Partai Politik mengatakan bahwa setiap Anggota Parlemen harus
setuju dengan UU ini, maka ini barulah nilai. Ini adalah the desireable.
Jadi, nilai mengacu pada kategori “good” dan “bad”, dan “right” dan “wrong”. Nilai berbeda dari kepercayaan
karena kepercayaan mengacu pada “true”
dan “false”, dan “correct” dan “incorret”. Kepercayaan dalam pengertian popular sering juga
diartikan sebagai yang disetujui dan diperintahkan oleh Tuhan.
Dengan
demikian, Jurgen Habermas membenarkan contoh di atas tadi, bahwa apa yang
dianggap sah oleh semua bakal menjadi sebuah aturan, sebuah nilai. Karena norma
ada, demikian Habermas, atas dasar kesepakatan dari semua. Tetapi perlu diingat
bahwa nilai yang lebih ditekankan di sini ialah nilai manusia sebagai manusia.
Secara agama, manusia bernilai karena ia
adalah makhluk yang khas, unik dan memiliki kehendak bebas yang bertanggung
jawab. Dan, menurut hukum positif, manusia harus dihormati hak dasarnya yaitu
hak untuk hidup. Itu berarti bahwa nilai manusia sebagai manusia harus mendapat
tempat yang layak demi kesejahteraan manusia itu sendiri.
Dalam Pembukaan UUD’45, khususnya Bab X tentang Warga Negara, Pasal
27 Ayat 1 dan Ayat 2. Ayat 1: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”. Ayat 2: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.[15] Penghayatan terhadap pasal ini
membenarkan bahwa manusia mesti dihormati, manusia dan kemanusiaannya.
Mendukung
kajian di atas, Thomas Aquinas menerangkan bahwa manusia mewujudkan tujuan
hidupnya melalui hubungan sosial dengan sesama, yaitu dengan wadah masyarakat.
Oleh karena itu, hukum alam moral hanya berfungsi dalam hidup masyarakat
tersebut.
Masyarakat, terang Aquinas, merupakan
suatu kesatuan individu-individu. Kesatuan adalah suatu realitas sendiri dengan
kepentingan sendiri, yang berbeda dari kepentingan umum. Masyarakat tertuju
kepada kepentingan umum.[16]
Sedangkan, Brunner menolak baik
individualisme dan kolektivisme. Manusia, kata Brunner, adalah makhluk sosial
tetapi dengan hak-hak pribadi yang tidak boleh dirugikan orang. Manusia
merupakan pusat aturan hidup bersama. Hidup bersama itu, kata dia, diwujudkan
melalui sikap manusia yang baik terhadap sesama, yakni melalui sikap keadilan
dan cinta kasih.
Makin dekat suatu hidup bersama pada
manusia, tambah Bruner, makin hidup bersama itu ditandai oleh cinta kasih,
seperti halnya dalam perkawinan. Makin jauh hidup bersama dari manusia, makin
keadilan menonjol, seperti halnya dalam hidup bersama dalam Negara.[17]
Sementara, Jean-Jacques Rousseau
(1712-1778), katakan, bahwa manusia pada hakekatnya merupakan makhluk yang
bebas dan otonom. Kebebasan yang otonom itu menjadi dasar perasaan moral.
Terdorong oleh perasaan moral itu, manusia tentu, paparnya, merasa berwajib
untuk menjalankan suatu kehidupan yang baik.
Lain halnya dengan Rousseau, bahwa
menurutnya, kebebasan dan perasaan moral
manusia diancam oleh situasi masyarakat yang ditandai oleh kebudayaan
dan ilmu pengetahuan.[18]
Meski demikian, kebebasan yang ditawarkan
oleh Rousseau mesti dilandasi oleh norma yang menyatukan aspek-aspek sosial,
sehingga kebebasan manusia harus bertanggung jawab.
Berbeda dengan Rousseau, pemikir lain,
halnya seorang Alfred N. Whitehead mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
tetapi kebebasan itu mesti bertanggung jawab. Artinya, untuk mencapai saling
pengertian, jelas Whitehead, dalam arti memiliki nilai harus dilandasi oleh the disired, seperti yang dikatakan
Kluckhon.
Dengan begitu, berdasarkan pemahaman
beberapa pandangan tadi, maka Penulis menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk
bernilai, dan itu mesti didasari juga oleh hukum atau norma yang dianggap sah
oleh semua sebagaimana tandasan Habermas untuk menegakkan kehidupan normatif
yang semakin konsisten.
Manusia tentunya, meski merupakan makhluk
yang senantiasa dikehendaki, jika dilihat dari sisi pandangan manusia, setiap
orang perlu memperhatikan apa yang disebut dengan kesadaran eksternal akan
tanggungjawabnya sebagai insan sosial, atau kerap orang sebut zoon politicon. Bisa juga makhluk
sosial.
Dikatakan demikian, seperti yang
ditandaskan Aquinas, di mana sesuai dengan pemahamannya bahwa manusia mewujudkan tujuan hidupnya
melalui hubungan sosial dengan sesama, yaitu dengan wadah masyarakat. Jika
begitu, demikian menurut Aquinas, agar terjadi jalinan yang selaras pasti tentu
butuh apa yang disebut dengan norma, kendati tujuan semuanya hukum moral akan
menjadi nyata dan itu juga menjadi target utamanya.
Dengan begitu, apa pun konsepnya, hasil
akhirnya demi manusia dan kemanusiaan, atau boleh orang kerap dengungkan
sebagai kedamaian semua. Maka, kedamaian semua tentu butuh kesadaran semua
pula. Dan, untuk mencapainya, tentu dilahirkannya apa yang disebut sebagai
aturan, sehingga kesesuaian hidup kian nyata.
2.2 Hakekat Manusia.
Manusia yang normal selalu pada kondisi
bertanya dan bertanya serta menemukan jawaban terhadap segala sesuatu yaitu
Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Aristoteles (384-322)
bahwa dari kodratnya manusia memiliki hasrat ingin tahu (human curiosity).
Dalam diri manusia ada dorongan untuk
mengetahui (desiderium sciendi) lebih
banyak tentang kenyataan yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia
memiliki akal budi yang senantiasa membutuhkan pengetahuan baru (an inquistive mind), yang terbuka untuk
mempelajari dan menyelidiki segala kejadian dan gejala.[19]
Selain
sebagai homo curiositas, manusia juga
dilihat sebagai animal rationale.
Juga Ernest Cassier (1874-1945), filsuf terkemuka aliran Neokantian
mendefenisikan manusia sebagai animal
symbolicum, yaitu makhluk yang menggunakan simbol-simbol. Tidak hanya itu,
manusia juga kerap disebut sebagai animal educandus
dan sekaligus animal educandum, yaitu manusia yang mendidik sekaligus
dididik.[20]
Ada
juga predikat manusia lainnya, seperti homo sapiens, religius, politicus,
economicus, sosial, berbudaya, berperasaan, homo faber, homo ludens, dan
lain-lain. Selanjutnya akan dijawab pada kajian-kajian di bawah ini.
2.2.1 Homo Sapiens.
Menurut Aristoteles, manusia terdiri atas
dua prinsip, yaitu materi dan bentuk. Materi adalah badan karena itu manusia
harus mati. Sedangkan, yang memberikan bentuk kepada materi itu adalah jiwa.
Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi, yaitu memberikan hidup vegetatif
(seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa
binatang-binatang), akhirnya membentuk hidup intelektif.
Hanya karena fungsi yang terakhir ini,
jiwa membentuk hakekat yang khas bagi manusia. Rationale inilah yang membikin
manusia, kata Aristoteles, berhubungan dengan dunia materi dan rohani.
Aristoteles kemudian membedakan antara akal budi pasif
dan aktif. Pasif, menurutnya,
bersentuhan dengan materi. Sedangkan, akal budi aktif bersentuhan dengan yang
rohani dan ia bersifat murni dan ilahi. Tugas akal budi aktif, kata dia, ialah
memandang yang ilahi untuk mencari pengertian tentang makhluk-makhluk menurut bentuknya masing-masing. Hasilnya adalah pengetahuan teoritis.
Maka, di sini perlu ketelitian dan kebijaksanaan.
Aristoteles pun sangat menekankan ilmu-ilmu empiris,
seperti fisika, biologi dan psikologi. Tugas lain dari akal budi aktif, demikian Aristoteles, adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Tentu di
sini juga perlu kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Keutamaan-keutamaan
teoritis dan praktis, baginya, justru membawa kepada kebahagiaan (eudaimonia), yaitu memiliki segala hal.
Eduamania
berasal dari bahasa Yunani, artinya kebahagiaan. Menurut Bagus dalam kamusnya menjelaskan, eudomania mengacu pada
kebahagiaan oleh perlindungan roh yang murah hati. Dikatakan kebahagiaan menjadi
tujuan utama manusia. Istilah itu ada kaitannya dengan etika yang dirumuskan
Aristoteles, yang mengatakan bahwa eudomania
menunjuk pada jenis khusus perwujudan diri yang melibatkan kegiatan dan praktek
akal seseorang, yang disertai kesenangan.[21]
Tak
hanya itu, Aristoteles pun berkeyakinan bahwa manusia dapat berkembang dan
mencapai kebahagiaan, kalau ia hidup dalam polis. Aritoteles katakan bahwa vegetative
adalah hidup seperti tumbuh-tumbuhan yang mutlak tunduk pada hukum alam
dan merupakan penurunan dari hidup manusia. Artinya, manusia juga tunduk pada
hukum alam. Hanya saja manusia berada di atas tingkat vegetatif.[22].
Berdasarkan
pemikiran Aristoteles ini, kita bisa menarik benang merahnya, bahwa manusia
yang terdiri dari materi dan rohani dengan kekhasannya masing-masing memberi
warna, di mana manusia berbudaya karena manusia itu berada dalam perintah tirai
intelek untuk mengenal dunia luar, berelasi dengan apa yang di luar termasuk
memahami budaya-budaya dan budaya yang sedang diterimanya, sekaligus
”perangkat-perangkat budaya[23]”.
Dia juga menjelaskan, manusia mesti
menghargai etika keutamaan[24] untuk mencapai eudaimonia, dan hukum
bertugas untuk menjaga pengliaran terhadap keutamaan-keutamaan. Karena itu,
tanpa hukum, yang jelas hemat Penulis, keutamaan-keutamaan akan hambar,
sehingga konsep Aristoteles di atas kemudian menjadi mubazir.
Manusia sebagai homo sapiens ini, kalau
dikaitkan dengan konteks budaya Manggarai, dapat terlihat dari benda-benda adat
yang ada di Manggarai. Selain benda-benda dibuat, nenek moyang orang Manggarai
pun mampu berbicara adat dengan begitu baik, baik dalam bentuk bahasa adat,
seperti goet, tudak, maupun acara adat lainnya.
Kita bisa mengambil sebuah sampel, di mana
orang Manggarai begitu cerdas, yah misalnya, budaya caci dengan membuat
beberapa peralatan penjadinya, seperti nggiling,
gendang, ngong, lalong ndeki, panggal, nggorong, sapu, selendang, bali-belo,
towe songke, peci, keris[25], termasuk peralatan rumah adat lainnya.
Ini membuktikan tingkat pikiran orang Manggarai begitu tinggi.
Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa
sebagai homo sapiens, manusia dipahami sebagai second creator, meski
diakui bahwa ciptaan manusia itu hanyalah produk percikan-percikan akal yang
diberikan Allah untuk menciptakan sesuatu yang baru, kendati seperti yang
dikatakan Aristoteles, bahwa segala sesuatu sudah ada, sudah diciptakan semua
sebelumnya, yang dianggap baru oleh manusia, sebenarnya telah ada, hanya dapat
ditemukan saja oleh manusia. Semuanya sudah direncanakan.
Jika demikian, mengacu pada Aristoteles,
kita tidak dapat menyangsikan bahwa manusia sebagai makhluk berakal budi adalah
juga disebut mediator Dei, dengan
mana manusia diangkat statusnya menjadi second creator.
2.2.2 Homo Faber.
Sebuah
ungkapan Latin yang paling populer dipakai orang-orang bahkan hingga dewasa
ini, yaitu ora et labora[26]. Dari ungkapan ini saja, jelas-jelas
manusia disebut sebagai makhluk pekerja. Dengannya, toh, untuk dapat bertahan
hidup manusia harus dapat berkerja. Namun, lazimnya tidak semua perbuatan
dikatakan atau termasuk bekerja. Jika begitu, pasti saja dipahami sebagai
permainan (homo ludens).
Akan tetapi, Penulis tidak
coba berbicara ke ranah itu di bagian ini karena alur berpikirnya soal bekerja
untuk bertahan hidup dan memberi makna pada hidup. Karenanya, pemahaman homo
faber, tentu mengarah pada bekerja yang senantiasa berorientasi pada nilai
untuk dapat bertahan hidup, bukan hanya sebuah kesenangan belaka, sebagaimana
yang dimengerti dalam ludensisme.
Jika
begitu halnya, di tanah Manggarai pun, konsep manusia sebagai homo faber ini
ditampakkan melalui bagaimana orang Manggarai berusaha membuka lahan-lahan
baru, meski mereka hidup berpindah-pindah (nomaden).
Orang Manggarai disebut
sebagai homo faber dapat dibuktikan dengan adanya sistem dodo dan membuat hal-hal baru yang menghidupkan orang zamannya,
meski tidak sehebat zaman sekarang, yang selalu beriringan dengan globalisasi
dan modernitas, yang kian membentuk watak dan mind set[27] orang untuk menemukan arti hidupnya.
Selanjutnya, dipahami bahwa ternyata
kebiasaan dodo yang kerap dilakukan oleh orang Manggarai, justru
menciptakan relasi di antara anggota kelompok, warga, suku dan sebagainya. Dodo malahan memberi makna mendalam bagi
hubungan sosial manusia di Manggarai.
Lazimnya, dalam sistim dodo ini, ada istilah yang kerap orang
sebut rambeng. Kata rambeng
itu sendiri dimengerti secara ambigu, yaitu sistem kerja yang tidak membutuhkan
imbalan jasa, tetapi para pekerja hanya diberi makan siang saja, lalu bisa
berlangsung selama beberapa hari.
Hanya saja, biasanya, sistem rambeng ini dilakukan pada saat
sebuah keluarga membangun sebuah rumah, entah menggali tempat untuk buat rumah,
atau lain sebagainya. Sementara, dalam pengertian lain, kata rambeng
itu sendiri dapat diartikan sebagai mengajak orang lain untuk bekerja di kebun
atau di sawah dengan sistim harian, namun tetap dibayar. Karena itu, rambeng
dipahami secara ambigu menurut kebiasaan orang Manggarai.
2.2.3 Homo Socius.
Manusia
adalah makhluk interaktif dan hidup dalam bingkai sosial. Tindakan manusia yang
sosialis menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memahami dunia luar. Hal ini muncul dengan
adanya prinsip solidaritas dan subsidiaritas.
Pada hakekatnya, relasi justru terbentuk
karena dasarnya bahwa manusia adalah ciptaan yang tahu membagi dalam segala
hal, dengan mana manusia diadakan demikian, halnya oleh Penciptanya.
Namun,
sosialitas manusia untuk konteks Manggarai berupa memberi dukungan saat
pernikahan atau ada orang yang meninggal, menunjukkan bahwa begitu kental dan
kuatnya kehidupan sosial, yang betul-betul turut membentuk dan mempengaruhi
cara hidup orang Manggarai pada umumnya.
Hal lain lagi, seperti yang
ada di Manggarai, di mana dalam membangun relasi dengan orang lain, dulu
Manggarai lahir apa yang orang sebut sistem Kedaluan atau sekarang Kecamatan.
Sistim Kedaluan melekat kuat sebagai satu kesatuan struktur sosial yang
mengikat dirinya dalam sebuah bingkai sosial, sehingga toh, kemudian muncul
keakraban yang begitu tinggi di masyarakat. Justru dengan sistim inilah,
kekhasan sosialitas Manggarai menunjukkan dirinya sebagai sebuah masyarakat
yang berkebudayaan dan berinteraksi dengan sesamanya.
Bentuk
lain sosialitas orang Manggarai, sebagai misal, yaitu bila ditelisik dari aspek
budaya wida dan widang[28]. Ada juga yang disebut dengan sida anak wina[29], bila semisal, acara Penti atau pernikahan
dilangsungkan.
Jadi, itu semua bentuk bahwa orang Manggarai punya corak sosial yang tinggi dengan sangat menjunjung tinggi budaya, yang dihidupi
mereka, yang tak dapat dipungkir menunjukkan relasitas atau memunculkan relasi
baru dalam kehidupan masyarakat Manggarai.
2.2.4 Homo Ludens.
Ekspresi budaya seperti budaya caci dalam budaya Manggarai tidak
terlepas dari sebuah bentuk permainan. Tentu, ada berbagai bentuk permainan.
Permainan tidak harus menargetkan nilai mutlak tetapi bisa saja sekedar sebuah
kesenangan belaka, hanya saja ada juga permainan yang mengarah pada nilai. Dan, kita tahu bahwa
permainan adalah bentuk pengejawantahan relasi.
Caci
merupakan pertarungan antara dua laki-laki, satu lawan satu, secara bergantian,
sehingga tarian caci selalu dibawakan
dua penari. Dalam caci ada pihak yang
memukul (paki) lawannya hanya satu
kali pukulan dengan menggunakan larik (pecut)
atau tali yang terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan.
Kemudian, lawan yang
dipukulnya diharapkan menangkis (ta'ang)
dengan menggunakan nggiling atau “perisai” terbuat dari kulit kerbau dan agang atau busur yang terbuat dari bambu
atau rotan. Memukul dilakukan secara bergantian. Bagian badan yang boleh dipukuli meliputi bagian
pusar ke atas hingga wajah. Maka, seorang penari caci dinyatakan kalah bila pukulan larik mengenai bagian wajah
hingga luka/ berdarah. Itu dinamakan beke
atau aib, sehingga si penari harus berhenti bertarung dan seterusnya boleh
diganti oleh temannya yang lain.[30]
Relasi dapat muncul dari permainan,
seperti misal tarian caci ala
Manggarai, memberi motif yang luar biasa terbentuknya relasi atas cikal bakal
dari budaya. Ada banyak jenis permainan ditinjau dari perspektif adat Manggarai
bakal menciptakan keakraban sosial. Ambil misal, sanda, sae, danding, mbata, dan lain-lain.
Sanda dinyanyikan di Rumah Adat sambil mengelilingi
siri bongkok, sedangkan mbata dinyanyikan di Rumah Gendang sambil memukul
gendang dan gong selama beberapa malam berturut-turut sampai puncak acara (penti atau tae kaba). Lagu-lagu sanda
dan mbata mengandung banyak nilai
positif, seperti persatuan, mendamaikan yang cekcok, mohon perlindungan,
kesehatan, kesejahteraan hidup, rekreasi dan hiburan, mendidik keturunan dan
mewariskan nilai-nilai luhur.[31]
Tujuan
dari sanda dan mbata adalah merayu Tuhan agar menurunkan berkat-Nya sehingga
manusia dapat memperoleh kesejahteraan lahir dan batin; menasehati atau
mendidik generasi muda agar setia dan patuh pada tuntutan adat serta tekun dan
ulet dalam hidup; mohon perlindungan agar luput dari penyakit; memohon
kesuburan tanah dan kesejahteraan.[32]
Sedangkan,
danding atau dende, di mana danding di Manggarai Timur adalah lagu hiburan di
malam hari di halaman kampung atau Rumah Gendang, sedangkan di Manggarai
danding atau dende hanya dipakai pada saat caci saja.[33]
Kehadiran seni-seni permainan adat
tersebut, banyak mempengaruhi kerekatan sosial. Dengan begitu, dapat dikatakan,
seni-seni permainan tesebut merupakan bukti bahwa semuanya berasal dan kembali
kepada-Nya, juga menunjukkan identitas-Nya.
Nah, tentu dengan cara demikian, Tuhan
menghibur, menyatukan ciptaan-Nya sendiri yang tercerai-berai, atau yang kerap
tidak bersua, atau pula sulit sekali untuk hidup dalam sebuah komunitas kasih,
dengan budaya, mereka saling berelasi dan membagi kasih.
Dengan begitu, sebetulnya Allah punya
banyak cara untuk mencintai anak-anaknya, yang salah satunya, yaitu lewat
penghiburan budaya. Ritus-ritus atau seni-seni itulah, yang membenarkan bahwa
Allah memang dekat dengan ciptaan-Nya, bahkan menyatu dengan ciptaan-Nya.
2.2.5 Homo Economicus.
Manusia adalah makhluk ekonom. Hal ini
bersentuhan dengan kebutuhan harian manusia. Konteks Manggarai, kegiatan
ekonomi juga membuka ruang munculnya relasi, yang dapat ditunjukkan melalui
pembuatan alat-alat adat, juga mempunyai
transaksi yang jelas. Tentu hal ini menciptakan relasi juga.
Transaksi dan nilai benda budaya,
sebetulnya, tergantung kualitas yang dimiliki benda tersebut, sehingga turut
mempengaruhi minat dan kemudian menciptakan relasi. Ambil misal, orang membuat
benda seni, seperti nggiling, dan
lain-lain menawarkan sebuah nilai adanya proses transaksi dan relasi. Dengan
ketrampilan yang dimiliki manusia saja, lalu seseorang bisa hidup darinya dan
relasi tetap aman dan sungguh terjadi.
Dikatakan bahwa benda-benda seni bisa
menciptakan relasi, tentu tidak dapat ditolak. Alasannya amatlah sederhana, di
mana tidak setiap orang mengerti atau terampil membuat benda seni, semisal nggiling (perisai) atau benda-benda
penunjang seni lainnya. Maka, jelas ada proses transaksi di sana. Karena itu,
sangat masuk akal bahwa dari sanalah terciptanya relasi baru.
Sedangkan, hal menarik lain dari segi
peningkatan sistem ekonomi di Manggarai, yaitu dengan adanya sistem ijon dan tuda. Perbaikan ekonomi banyak sekali dalam bentuk ijon dan tuda, yang bahkan sistem ini hingga sekarang masih tetap ada. Itu
semua lahir di Manggarai, yang mesti dipelajari sebagai pelajaran penting untuk
diketahui oleh semua generasi.
2.2.6 Homo Religius.
Orang Manggarai percaya pada Allah sebagai Mori agu Ngaran, Ata Jari Dedek, Pu’un
Kuasa, Tanan wa Awangn Eta. Praktek kepercayaan orang Manggarai kepada
Tuhan Semesta Alam dapat dilihat dari ritus-ritus adat, dan lain-lain.
Tentu manusia mencari Tuhannya karena
manusia menganggap akunya lemah dan mati. Karena itu, ia mencari Yang Lebih
Tinggi darinya. Keyakinan inilah yang membuat manusia sadar bahwa orang lain
adalah Allah bagi dirinya, yang menjelma dalam diri orang lain.
Orang Manggarai melihat Allah adalah ibu
dan bapak, yang melahirkan dan membesarkan mereka. Tetapi ada yang tak
terbandingkan di atas itu ialah Allah. Keyakinan akan Allah, Tuhan Semesta Alam
inilah membuat manusia sadar, bahwa ternyata, sesamanya bukan orang lain,
melainkan dirinya sendiri. Atas dasar inilah, maka terjadi relasi yang kuat
dalam kehidupan.
2.2.7 Homo
Politicus.
Manusia
tidak luput juga dari politik. Untuk mendapat pemimpin, manusia mesti
berpolitik. Dan, ternyata relasi hanya terjadi juga dari dan melalui politik.
Orang Manggarai juga berpolitik untuk merebut kekuasaan. Misalnya, membuat
klarifikasi yang jelas antara anak wina dan
anak rona[34].
Tindakan belis termasuk juga sebuah
kegiatan politik adat. Ini bermaksud, bahwa antara pihak perempuan dan pihak
lak-laki harus ada mengatasi dan membawahi. Muncul di sini relasi yang jelas.
Di Manggarai, pada masa lampau dikenal
adanya sistem feodal (bangsawan), yang dalam bahasa Manggarai disebut Keraeng.
Beberapa jabatan tua-tua adat pada masa itu, yaitu Keraeng Raja Keraeng
Dalu, Keraeng Gelarang, Keraeng Tua Golo, Keraeng Tongka, Keraeng Tua Teno.
Maka, dari sebutan jabatan-jabatan seperti
itu, terdapat aspek politik yang melekat dalam kebudayaan Manggarai. Ambil
misal, sistem pembagian lingko di Manggarai, yang kerap membedakan suku
dan posisi dalam masyarakat.
2.2.8 Manusia Makhluk Berbudaya.
Manusia adalah makhluk berbudaya. Dan,
kita tahu bahwa dengan dan melalui kebudayaan manusia bisa berelasi. Misalnya,
budaya reis[35],
menyapa orang lain atau
cara menerima tamu dan tanda senang pada orang lain, dan lain-lain.
Selain budaya reis, yang menarik di
Manggarai, misalnya saja, saat meminang anak orang, orang Manggarai senantiasa
menggunakan sarana berupa cepa, kalau tidak melalui penyembelihan
binatang piaran yang dipersembahkan kepada nenek moyang, yang diadakan dalam
ritus-ritus tertentu.
Praktek budaya semacam ini, misalnya juga,
saat acara wuat wai[36] sebelum seseorang
berangkat studi atau berjalan ke luar daerah, entah mencari pekerjaan atau
mencari pengalaman.
Jelas sekali, bahwa istilah orang
Manggarai lalong bakok du lakon, lalong rombeng du kolen membenarkan
orang Manggarai berbudaya. Jadi, ketika pulang juga, pasti disyukuri sebagai
bentuk terima kasih kepada Tuhan Semesta Alam. Di situ, muncul kerekatan sosial
manusia.
2.2.9 Makhluk Berperasaan.
Manusia adalah makhluk berperasaan. Hal
ini nampak dalam sikap gengsi. Gengsi adalah sikap mempertahankan otoritas
diri, akunya, ego, harkat dan martabatnya sebagai akunya, sekaligus
kemanusiawiaannya. Perasaan juga justru menimbulkan relasi. Perasaan selalu
bersentuhan dengan cinta, sikap erotis menginginkan sesuatu.
Ambil contoh, ketika Chelin dipinang oleh
Edu, dan mereka berdua sama-sama Manggarai. Maka, hubungan keduanya, yang
muncul akibat kerja perasaan melahirkan hubungan reciprocal relation[37].
Jadi, hubungan itu karena
”perasaan cinta”.
2.2.10 Kesimpulan.
Salah
satu keinginan dasar manusia adalah rasa aman dan memiliki apa yang menjadi
cita-citanya, karena itu manusia selalu bersikap idealis. Cita-cita rasa aman
itu, selalu muncul melalui cara berpikir pragmatis dan memiliki apa yang diidealkannya.
Pencapaian idealisme itu tidak hanya berpikir tetapi juga berelasi dengan
sesama dalam pelbagai bentuk.
Hanya
saja, terkadang cita-cita rasa aman itu dikejar dengan terjun ke sebuah
institusi, seperti keagamaan, intitusi kepemerintahan. Bahkan, rasa aman itu
dilaluinya dengan bergulat dengan situasi sosial tertentu, seperti terjun dalam
dunia maya, antara lain: perjudian, dunia seks, dunia fantasi, halnya narkoba.
Ironisnya
juga, mental manusia terkadang untuk memperoleh rasa aman dengan getol terjun
ke perjudian, dunia prostitusi¸ dunia fantasi lainnya seperti narkoba. Tetapi
memang mesti diakui bahwa orang lari dalam dunia seks, karena dikejar oleh
kemiskinan ekonomi rumah tangga. Jadi, sangat aneh dan tidak bisa ditentang
oleh dunia, sebab begitulah dunia.
Terkait dengan pencarian rasa nyaman
sebagaimana dipaparkan di atas, siapakah yang disalahkan, maka tentu saja tidak
ada yang dapat menjawabnya. Tentu saja kembali ke konsep ”Penyelenggaraan
Ilahi”[38], yang
tak terbantahkan itu, bahwa segala sesuatu adalah empunya Dia, dengan tidak
berarti, manusia tetap mental enak tanpa berupaya keras.
Akan tetapi, bagi kita yang dewasa, kita
hanya berpikir, bahwa kita mesti menggunakan akal budi untuk keluar dari
semuanya, dengan prinsip buang jauh-jauh rasa malu itu, karena rasa malu itulah
yang membuat orang miskin di dunia dimanapun, kecuali tidak boleh melanggar
Sepuluh Perintah Allah. Itu yang penting.
Manusia
pada dasarnya begitu lemah. Karena lemahnya, maka dia mencari perlindungan.
Salah satu tempat perlindungannya adalah agama. Ia mencari Tuhan dalam agama
tertentu.
Sedangkan,
manusia yang ingin dikasihi, cara yang dipakainya adalah dengan terjun dalam
kehidupan sosial, yang merasa memiliki rasa belas kasihan. Misalnya,
organisasi-organisasi tertentu, atau bentuk kehidupan lainnya, yang dinilai
cocok dengan dirinya, maka bila tidak disenangi, seseorang itu mencari
perlindungan lain, yang dirasanya betah.
Akan
tetapi, yang dimaksudkan ingin dilindungi di sini, ialah mendapat teman hidup,
atau boleh dikatakan berkeluarga sebagai suami-istri. Selain itu, konteks
kenegaraan, orang lalu membuat suatu badan atau pertahanan kenegaraan, seperti
ABRI. Ini kan bentuk pencarian perlindungan terhadap pengaruh luar.
Mencari
perlindungan pada Tuhan, tentu melalui agama. Perlindungan diakui oleh negara
dengan berlindung di bawah konstitusi atau undang-undang, atau juga menciptakan
angkatan perang, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Perlindungan dari kesepian dan keturunan,
tentu manusia harus hidup berkeluarga, selain mencari perlindungan dalam
organisasi sebagai tempat dan sarana aktualisasi diri.
Singkatnya,
manusia adalah tipe manusia yang senantiasa ingin dilindungi dan dikasihi tanpa
dipungkiri, karena semua manusia butuh bantuan orang lain dalam menjalani
hidupnya, sehingga menjadi begitu lengkap dan memberi kepastian, bagi
insan-insan untuk bertahan hidup.
Dengan begitu, tentu budaya
Manggarai juga merupakan tempat perlindungan. Misalnya saja terjadi kasus tanah
yang tidak bisa diurus secara hukum positif, maka jelas yang bermain di sana
adalah hukum adat.
Karena itu, jika demikian halnya
terjadi, kita dapat mengatakan bahwa budaya dan adat-istiadat sebagai tempat
berlindung justru menciptakan relasi. Relasi selalu saja terjadi dari sana,
jika betul-betul konsen dan diperhatikan.
Pencarian manusia akan hidupnya
mesti dan harus dengan prinsip menciptakan relasi, dengan melakukannya, maka
seseorang akan begitu gampang menjalaninya.
BAB
III
KEBUDAYAAN
MANGGARAI
3.1 Sejarah Manggarai.
Manggarai
dam sejarahnya, mengikuti ulasan kritis buku
”Tradisi Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, tulisan Kanisius Teobaldus Deki, S. Fil. M.Th, dijelaskan bahwa Manggarai dari perspektif historis, ada tiga tokoh yang menjadi acuan utama, antara lain: Mgr. Van Bekkum, Doroteus Hemo, dan Damia N. Toda.
”Tradisi Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, tulisan Kanisius Teobaldus Deki, S. Fil. M.Th, dijelaskan bahwa Manggarai dari perspektif historis, ada tiga tokoh yang menjadi acuan utama, antara lain: Mgr. Van Bekkum, Doroteus Hemo, dan Damia N. Toda.
Van
Bekkum sebagaimana dikutip Jilis Verheijen, meneliti tentang Wujud Tertinggi,
bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Bekkum, dalam buku tersebut, yang
mengutip pernyataan orang Bima, katakan,
bahwa Manggarai adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti sauh, dan rai
yang berarti lari, berpautan dengan suatu peristiwa terdahulu.
Verheijen
yang mengacu pada Van Bekkum, coba mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang
kisah tokoh yang bernama Mangga-Macing. Konon, tulisnya, putra sulung Nunisa
itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama
Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada
Nuca Lale.
Doroteus
Hemo, dalam buku tersebut, katakan, bahwa konon pada waktu perahu Mangga-Maci
bersaudara itu tengah membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal
menyerang, memotong sauh hingga perahu – perahu hanyut. Pasukan Bima pun
terperanjat dan berteriak. Sejak peristiwa itulah tanah Manggarai mendapat
namanya hingga sekarang ini.
Selanjutnya menurut Dami N. Toda, tulis
Deki, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata
Manggarai, manga berarti ”ada” tetapi
kata ”raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata ”raja” dalam bahasa
Melayu-Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, kata Raja berari sebab musabab,
masalah, biasa, manusiawi, nyata (sebagai lawan kata yang bersifat seberang
sana, asing).
Toda coba membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga
raja berarti: ”ada (memiliki) sebab-musabab”, hanyalah sebuah frase yang
bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis,
misalnya: manga rajan: ada sebab
musabab alasan, manga rajag: ada sebab musabab alasanku. Ata raja dalam bahasa
Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan ”Ada raja”, seperti yang dibuat
oleh Freijss, melainkan ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini
berlawanan dengan sebutan ata pele sina
yang berarti: orang (manusia) dari dunia seberang, manusia roh, makhluk halus.
Perbedaan pemahaman soal asal-usul
Manggarai, tulis Nick, bahwa sebelum abas ke-18, Manggarai dinamakan sebagai
Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang yang
memiliki warna kekuning-kuningan. Pohon Lale,
menurut pengakuan petani merupakan lambang kesuburan.
3.2 Unsur-unsur Kebudayaan Manggarai.
3.2.1 Bahasa.
Hollander mendefenisikan bahasa sebagai
atribut distintif yang menyolok dari manusia. Dan, yang perlu ialah kontak
dengan manusia dan terdiri dari arti-arti simbolik dengan stimulasi dan adanya
tanggapan-tanggapan mediator. Bahasa
sebetulnya sebuah ekspresi seni untuk mengungkapkan maksud-maksud dari sebuah
entitas, halnya manusia, agar dapat dipahami lawan bicara.[39]
Krech dan Hollander memahami bahasa
sebagai mediator, sehingga bagi mereka bahasa berfungsi sebagai sarana atau
alat utama komunikasi, membantu membentuk kepribadian dan kultur, dan bahasa
memungkinkan pertumbuhan dan transmisi budaya, masyarakat yang
berkesinambungan, dan mengontrol kelompok-kelompok sosial.[40]
Berdasarkan pemahaman dari kedua pemikir
di atas, dapat kita sintesakan bahwa bahasa adalah alat kontrol sosial. Menjadi
perantara saling pengertian antara komunikator dan komunikan[41].
Bahasa menurut Habermas tujuannya yaitu
untuk mencapai saling pengertian, dengan tentu membutuhkan kejelasan,
ketepatan, kebenaran dan kepastian dalam mengungkapkan suatu maksud.
Dari sinilah dapat kita simpulkan, bahwa
bahasa tentu membutuhkan respon-respon positif terhadap stimulus-stimulus yang
ditawarkan oleh subyek yang sedang berkomunikasi.
Konteks Manggarai, bahasa dilihat sebagai
sarana relasitas komunitas konstruktif aktual[42] dalam segala bentuk kemungkinan
menyampaikan suatu maksud tentang apa yang mau dikatakan.
Bahasa adalah sarana mewujudkan relasi
sosial-budaya di mana manusia- manusia atau pribadi menyatakan holisitasnya,
kediriannya kepada orang lain. Maka, yang penting dalam komunikasi yaitu
bagaimana individualitas dan sosialitas diejawantah dalam ranah afektif,
kognitif, psikomotorik, sosial dan spiritual[43].
Bahasa
adalah ekspresi pikiran yang muncul dari pengalaman dan pemberian langsung yang
bersifat kodrat dan naturalis. Dengan ekspresi itu, orang lain kemudian
memahami pesan-pesan tersembunyi yang terkontrak secara alamiah dalam pribadi-pribadi
tertentu yang hendak bersosialisasi dengan pluralitas eksternal kompleks yang
ada di luar dirinya.
Ada berbagai ekspresi bahasa untuk
menyatakan suatu maksud tertentu,
seperti alegoris, kiasan, metaforis, personifikasi, puitis yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.
Demikianpun dalam budaya Manggarai ada goet, atau bahasa kiasan dan bahasa
metafora seperti ipung ca tiwu neka
woleng inggut, wae ca nakeng neka woleng tae[44]. Ini sebuah model ekspresi bahasa
representatif yang menciptakan konstelasi-kontelasi aspek-aspek sosial[45] dan pengertian-pengertian sosial.
Etika itulah yang menjadi landasan filosofis
memperbantukan keterarahan dari aspek-aspek sosial. Bahasa dapat juga
menimbulkan ketergantungan, perpecahan tetapi serentak juga kolaboratif budaya.
Menurut
Verheijen Jilis A, di Manggarai terdapat enam rumpun bahasa, yakni:
1.
Rumpun bahasa Komodo yang terdapat dan dipakai
di pulau Komodo dan sekitarnya.
2.
Rumpun bahasa Manggarai yang terdapat dan
dipakai di wilayah Manggarai Barat, Tengah, Utara, Selatan, dan sebagian besar
wilayah Manggarai Timur.
3.
Rumpun bahasa Waerana yang terdapat dan dipakai
di Waerana dan sekitarnya.
4.
Rumpun bahasa Kempo yang terdapat dan dipakai di
Kempo.
5.
Rumpun bahasa Rembong yang terdapat dan dipakai
di wilayah bekas kedaluan Rembong.
6.
Rumpun bahasa Rajong yang terdapat dan dipakai
di kedaluan Rajong.[46]
Dipertegas
lagi sebagaimana ditulis Chytia Abbo, mengutip hasil penelitian Pastor P. J.
Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai
terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Waerana di
Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada
Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan
bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa
Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan
bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di
Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan
genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam
kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.[47]
Semua perbedaan dialeg tersebut akan
sangat menciptakan relasi antar manusia Manggarai. Ambil misal, acara
perkawinan. Saat-saat itulah akan munculnya relasi karena misalnya ketika
meniru-niru atau belajar kepada yang jagonya logat-logat.
Intinya, keragaman dialek dan logat bahasa
Manggarai dapat memunculkan bahasa, meski pengaruh perbedaannya dapat
memunculkan perpecahan. Itu tak disangsikan pula.
3.2.2 Sistem Pengetahuan.
Konteks
Manggarai, sistem pengetahuan didasarkan pada sejarah, pengalaman, dan dibangun
di atas struktur adat dan hukum adat. Pengetahuan tidak dibatasi pada
deskripsi, hipotetis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang digunakan. Pengetahuan
terdiri atas kepercayaan tentang kenyataan.
Beberapa cara untuk mendapat pengetahuan
yaitu melalui metode ilmiah (pengamatan dan eksperimen); melalui logika atau
metode deduktif, (misalnya semua manusi mati, Karx Marx adalah manusia, maka
Marx juga mati); dan juga didapat melalui tradisi dan otoritas.[48]
3.2.3
Organisasi Sosial.
Pemahaman tentang organisasi sosial
pertama kali diungkapkan oleh Antropolog Inggris Raymond Firth (1945-1955) dan
Fredrik Barth (1966). Konsep organisasi
sosial adalah derivatif (derivatif adalah kata sifat yang berarti dikarang dari
yang asli[49]) dari konsep struktur sosial yang
diformulasikan oleh antropolog Inggris Radcliffe-Brown (1979). Organisasi
sosial adalah adalah aspek dinamis dari struktur sosial, ia terdiri atas peran,
dan berbicara tentang perilaku empiris dan situasional.[50]
Dengan demikian, sistem kemasyarakatan
Manggarai yang turut menentukan pengaruh-pengaruh sosial ialah status
perkawinan, sukuisme, klenisme, dan struktur Pemerintahan Adat. Itu semua turut
mempengaruhi sistem kemasyarakatan di mana saja, tanpa terkecuali.
Struktur sosial tidak bisa dipungkiri
karena melalui struktur itu, lahir paham kenegaraan, yang terdiri pemimpin dan
rakyatnya. Demikianpun dalam organisasi sosial yang merupakan bagian dari
masyarakat, ada struktur yang membentuk, yang kemudian mengarah kepada sistem
kemasyarakatan.
Sistem kemasyarakatan yang ada di
Manggarai, justru menciptakan relasi karena dari struktur dengan tentu pasti
terjadi hubungan, ambil misal, karena perkawinan. Woe nelu, anak rona dalam masyarakat Manggarai merupakan organisasi
sosial yang mengikat dirinya karena adat, sehingga dari sanalah muncul relasi.
Menurut
Kanisius Theobaldus Deki, dalam bukunya, Tradisi Lisan Orang Manggarai,
dikatakan bahwa woe nelu adalah
bentuk kekerabatan yang terjadi akibat perkawinan. Woe nelu[51] melahirkan
istilah kekerabatan yang khas antara pihak keluarga laki-laki dan keluarga
pihak perempuan.
Ada juga semacam, organisasi sosial di
Manggarai, yang lebih berpengaruh adalah organisasi adat, berupa organisasi caci, pertemanan caci. Ada banyak contoh tentang ini di Manggarai, misalnya kelompok
dodo, dan sebagainya.
Organisasi sosial di Manggarai bisa
terwujud juga dengan sebutan kumpul kope.
Kumpul kope banyak mempengaruhi relasi
sosial, halnya di Manggarai. Ambil misal, kumpul
kope sebelum meminang seorang gadis. Kumpul kope tidak terikat pada aspek
hubungan darah, tetapi justru memunculkan relasi antar manusia Manggarai.
Selanjutnya, adat budaya Manggarai membangun kebersamaan hidup
dan relasi sosialnya atas filosofi dasar kebersamaan ”gendang onen lingkon peang”; relasi antara laki-laki (ata one/insider) dan perempuan (ata peang/outsider) pun dibentuk
berdasarkan filosofi kerukunan dan kesatuan yang komplementaris (saling melengkapi)
dan bukan pada filosofi kesetaraan dan
kesederajatan.[52]
3.2.3.1 Sruktur Pemerintahan Adat.
3.2.3.1.1 Tua Golo.
Lazimnya, pada tataran perkampungan,
biasanya dipilih berdasarkan musyawarah mufakat, dan ia berasal dari keturunan
tertua (rang kae) dari suku itu (ata ngara tana[53]), dan berlaku secara turun-temurun.
Tugasnya ialah mengatur tata kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Dalam buku Budaya Manggarai Selayang
Pandang, tulisan Adi M. Nggoro, seperti tercantum pada hal 78, dikatakan bahwa
kriteria untuk menjabat Tua Golo, pada umumnya memenuhi usia dewasa dan sudah
menikah, orang yang asli warga kampung, sehat jasmani dan rohani, memahami adat
Manggarai, mampu memimpin, dan tinggal di rumah adat (konteks sekarang, tinggal
di rumah adat jarang terjadi, bahkan telah pudar).
Proses pemilihan kepala kampung, seperti
dijelaskan Nggoro dalam bukunya, yaitu berdasar musyawarah dan mufakat warga
kampung, dan bisa juga dipilih secara aklamasi, bisa juga musyawarah antara
Tua-tua Keluarga Ranting. Semuanya dikondisikan, karena lebih mengutamakan rasa
kekeluargaan dan persaudaraan.
Lebih lanjut, tulis Nggoro, tugas dan
wewenang Tua Golo, diantaranya
untuk memimpin sidang warga kampung menyangkut kepentingan warga kampung. Ambil
misal, saat pagar kompleks kampung, rehabilitasi rumah adat, bersih kubur,
membersihkan mata air.
Masa jabatan Tua Golo tak tentu, bisa sewaktu-waktu ganti sesuai
situasi dan kondisi melalui rapat ”Tua-tua
Panga[54]”.
3.2.3.1.2 Tua Gendang.
Orang yang dipandang sebagai Tua Gendang adalah orang yang
dianggap mempunyai kebijaksanaan dalam
hidupnya atau orang yang dianggap mampu untuk memimpin dari anggota klen (panga). Tua Panga (kepala keluarga ranting). Tua Panga itu tinggal di usung Mbaru Tembong. Biasanya di sebuah
kampung terdapat banyak suku dan Tua
Gendang itu dipilih dari suku-suku itu.
Dan, Tua Gendang tidak hanya satu orang, tetapi ditentukan
berdasarkan suku yang dianggap mampu. Di Mbaru
Gendang, semua atribut disimpan. Urusan Gendang ini sangat terkait dengan kebun komunal, yang dikenal
dengan prinsip “gendang one lingkon peang”,
karena kebun (lingko) itu dianggap
sah menurut adat ditandai oleh adanya Tua
Tembong yang bertanggung jawab secara adat dalam pembukaan kebun yang
dimaksud.
3.2.3.1.3 Tua Teno.
Tua Teno, ditunjuk dari anggota klen
(tua panga), yang dipandang mampu dan bijak untuk mengatur kepentingan
bersama dalam pembukaan kebun serta semua urusan adat, yang berpautan dengan
kebun tersebut. Tua Teno dapat
melaksanakan fungsiya setelah mendapat restu dari Tua Gendang, yang dimusyawarahkan dalam Rumah Gendang.
Bila
disetujui, maka mereka segera memukul gong sebagai tanda setuju dan memanggil pa’ang olo ngaung musi untuk
memusyawarahkan penentuan pembukaan kebun dimaksud. Jenis lingko ada dua, yaitu Lingko Ela dan Lingko Randang.
Dinamakann Lingko Ela karena hewan persembahannya yang tertinggi adalah babi.
Sedangkan, dikatakan Lingko Randang, karena lingko tersebut panennya
baik dan dalam pesta randang, hewan sembelihannya ialah kerbau dengan
mengundang semua pa’ang olo ngaung musi.
Mengutip Nggoro, melalui bukunya, dikatakannya bahwa Tua Teno adalah kepala bagi tanah
ulayat. Tua Teno harus dipilih
secara musyawarah karena ia mewakili tuan tanah, anggota kerabat yang lain.
Tuan tanah adalah pemilik tanah, dalam arti bahwa, dialah (merekalah) yang
pertama tinggal, menetap di lokasi tanah atau di sekitar tanah tersebut,
sehingga dapat sungguh-sunguh memahami status keabsahan atau kepemilikan tanah,
dan sejarah tanah tersebut.
Ditulis
juga bahwa, sebagai keluarga pendatang kemudian menetap di kampung tertentu, ia
tak diizinkan menjadi Tua Teno. Hanya
yang diperbolehkan kepadanya ialah mendapat pembagian tanah ulayat dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Resikonya, tulis Nggoro, ialah
Tua Teno beserta
anggota tuan tanah yang lain sebagai penanggung jawab, ketika suatu saat kebun
ulayat (lingko) diganggu gugat oleh pihak lain, maka penanggung jawab
utamanya adalah Tua Teno.
3.2.3.1.4 Sebuah Sintesa.
Struktur Pemerintahan Adat ini memberi
tanda dan bukti yang jelas, bahwa Pemerintahan Adat juga sebagai simbol relasi
dalam budaya Manggarai. Relasi itu bukan tanpa musyawarah, tetapi atas dasar the desired and the desireable, dan
berada dalam lingkaran musyawarah-mufakat.
Kita telah mendengar, bahwa pemilihan
Pemerintahan Adat, selalu saja atas dasar musyawarah. Itu berarti, warga mesti
melakukan temu warga, dengan begitu pasti ada ada relasi, yang kemudian
melahirkan relasi yang berstruktur.
Boleh dikatakan, ada keinginan-keinginan,
kemudian keinginan-keinginan tertata dalam sebuah wadah dan diatur dalam bentuk
persatuan, sehingga sebuah struktur menjadi struktur Pemerintahan Adat yang
akurat dan jelas.
Dengan demikian, Pemerintahan Adat adalah
relasi yang terjalin secara kuat dan dapat dipetanggungjawabkan berdasarkan
ketentuan bersama atas dasar kehendak dan kesepakatan yang dianggap sah oleh
semua, yang kemudian, membentuk sebuah tatanan norma bersama.
Hal ini benar, sebagaimana ditandaskan
dalam teori Etika Diskursus Habermas, bahwa adanya sebuah norma harus dan
melalui kesepakatan bersama dan dianggap sah oleh semua. Atau, seperti yang
dikatakan Abraham Lincoln, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.
3.2.3.2 Berdasarkan Hukum Adat.
Kita mengetahui bahwa dalam kebudayaan
dari sebuah daerah terdapat hukum adatnya. Hukum adat sebagai aspek dari
kebudayaan.[55] Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum
adatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum diartikan sebagai peraturan
resmi yang menjadi pengatur dan dilakukan oleh pemerintah, undang-undang,
peraturan-peraturan, patokan, mengenai peristiwa tertentu, keputusan yang
dijatuhkan hakim-hakim.
Jadi, hukum adalah tata aturan atau norma
yang disahkan bersama dalam menyepakati suatu hal. Adat diartikan sebagai
kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun, kebiasaan yang diturut
dari nenek moyang sejak zaman dahulu kala.[56] Maka, hukum adat adalah hukum yang
diwariskan secara turun-temurun. Hukum ada sifatnya yang tidak tertulis, namun
disetujui oleh masyarakat tertentu.[57]
Reinach mengambil kesimpulan, bahwa hukum
adalah suatu gejala yang bersifat idiil. Yang idiil mempunyai suatu keharusan,
maka berlaku sebagai norma. Akan tetapi, norma hukum tidak boleh disamakan
dengan norma-norma lain yang tetap berarti, yakni norma-norma etis. Norma-norma
yuridis memang berlaku, tetapi selalu terdapat kemungkinan bahwa norma itu
lenyap pada suatu ketika karena tidak cocok lagi dengan kebutuhan dalam hidup
bersama.
Maka dari itu, dapat dibenarkan bahwa
hukum mempunyai suatu bidang tersendiri, yang terpisah dari bidang lain. Gejala
hukum tidak sama dengan gejala lain.[58] Koentjaraningrat, dalam hukum adat, sifat
komunalnya karena kepentingan individu. Dalam hukum adat selalu diimbangi oleh
kepentingan umum, hak-hak individu dan diimbangi oleh hak-hak umum.[59]
F. D. Hollemen, membagi empat sifat umum
hukum adat Indonesia, yaitu religio magis
(filosofi dan paradigmanya, yaitu prelogis, animisme dan pantangan), komun (filosofinya yaitu gaib merupakan
bagian dari kosmos dari keseluruhan kehidupan jasmani dan rohani), contant (filosofinya dengan perbuatan
nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, dengan serentak
bersamaan waktu-waktu, tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh
adat).
Selain itu juga, apa yang disebut dengan concret (filosofinya dalam alam pikiran
yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan,
diingini, dikehendaki, atau akan dikerjakan, ditransformasikan dan diberi wujud
suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya
berupa obyek yang dikehendaki, misalnya simbol, tanda-tanda magis.[60]
Karena itu, sifat umum hukum adat
memberi ruang bagi penganutnya untuk beraksi dengan tanda-tanda atau
simbol-simbol, maksud-maksud, yang pada finalnya menimbulkan minat kebersamaan,
dan relasi menjadi kuat di antara warga kampung adat.
3.2.3.2.1 Pembagian Tanah.
3.2.3.2.1.1 Spider Web System
Model ini menggunakan pendekatan lodok dan cicing. Sistem ini menggambarkan bagaimana relasi dalam budaya
Manggarai, khususnya relasi struktural. Lodok
biasanya berada di bagian tengah, sentrum kebun ulayat.
Lodok
melambangkan seorang
pemimpin yang mengatur jalannya sidang pleno. Cicing melambangkan batas luar kekuasaan atau penjaga struktur.
Dalam lodok itu, biasanya Tua Teno menancapkan sebuah
kayu Teno di pusatnya, atau dalam bahasa setempat tente teno.
Spider web System adalah suatu cara
pembagian lingko, yang memiliki nilai kebudayaan yang tinggi,
yang melambangkan keakraban dan kesalinghubungan manusia, dengan pola pandang
subyek-subyek atau win-win, meski
tidak disangsikan juga, bahwa setiap musyawarah-mufakat, mesti membutuhkan
moderator atau pengarah diskusi.
Perlu
diakui, bahwa sistem lonto leok
menjadi metode yang sangat menonjolkan kecintaan dan memunculkan sikap dialog
partisipatif demokratis, yang bisa menunjang kesalingpengertian dengan sikap
respek yang dapat membawa sebuah situasi hidup sosial masyarakat, yang
menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat manusia di berbagai segi soal,
dengan tidak memandang status dalam persona yang berbeda, tetapi memandang
perbedaan dalam status yang sama, yang tidak berat sebelah dan sungguh-sunguh
integral.
Relasi Manggarai, selalu
berpautan dengan budaya atau sistem pembagian lingko. Di sini, ada kesamaan yang jelas dan menunjukkan bagaimana
tipe kepemimpinan orang Manggarai selalu bersifat lingkaran, seperti sarang
laba-laba. Orang sebut ini sebagai simbol musyawarah-mufakat atau lonto leok.
Pembagaian lingko seperti ini membuktikan bahwa orang Manggarai, budaya
relasitasnya tinggi dan mengambarkan bagaimana tipe kepemimpinan semacam ini
menunjukkan persamaan hak dasar manusia dan sama-sama menjunjung hukum,
khususnya hukum adat.
3.2.3.2.1.2 Sistem Bujur atau Biasa.
Model bujur banyak ditemukan di mana-mana
di seluruh dunia. Di Manggarai, pembagian dengan menggunakan spider web system (SPS) bisa terjadi
kalau daerahnya memungkinkan untuk itu. Kalau di dataran yang terjal,
gunung-gunung, spider web system
sedikit disesuaikan karena harus sesuai dengan kondisi topografisnya.
Tetapi meski demikian, sistem lodok dan cicing, masih tetap ada. Di setiap kebun atau lingko, pasti ada cicing
dan lodok. Ini menunjukkan bahwa tipe
kemimpinan di Manggarai, bisa lontoleok
dan bisa juga dengan sistem berderet.
3.2.3.2.2 Elemen Tingkah Laku Berhadapan dengan
Adat dan Silih Dosa.
Kehidupan bermasyarakat, pada hakekatnya
tidak luput dari berbagai gejolak dan munculnya masalah-masalah yang
mempengaruhi sikap hormat terhadap manusia dan kemanusian. Lazimnya, setiap
tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum adat, pasti akan disanksi.
Hal ini nampak dalam upacara-upacara
tertentu untuk membangun kembali relasi manusia, dan bahkan dengan Yang
Tertinggi. Silih dosa itu, biasanya orang kerap bilang mandi (cebong),
dan bahkan ada upacara hitam.
Di Manggarai, upacara silih dosa, biasa
dilakukan untuk menghindari diri dari kebiasaan lama, dengan maksud menjadi
manusia baru. Pelanggaran terhadap norma moral dan sistem norma adat, sering
dilakukan, yang biasanya mempengaruhi relasitas keluarga itu sendiri. Di sini,
ada beberapa jenis pelanggaran dan metode untuk keluar dari silih dosa, antara
lain:
3.2.3.2.2.1
Pelanggaran Norma Moral Adat dalam Perspektif Tingkah Laku Kondisonal.
Pelanggaran norma moral adat, dapat
terjadi karena tingkah laku kondisional, yang sadar maupun tak sadar
menimbulkan kerentanan relasi di antara manusia. Dipahami bahwa setiap manusia
di bawah hukum adat sama apabila melakukan kesalahan.
Kesalahan itu mengakibatkan relasi mandeg,
fatal dan menimbulkan keresahan karena salah paham dan prasangka buruk
tertentu, keinginan atau haus kuasa. Ada dua metode pemecahannya, sebagai
berikut:
3.2.3.2.2.1.1 Metode Tuak Laing.
Orang Manggarai, setiap kali melakukan
kesalahan. Kesalahan itu terkadang disengaja atau tidak disengaja menghancurkan
relasi, apalagi itu bersimpangan langsung dengan budaya. Motode yang sering
dilakukan ialah tuak laing.
Tuak
laing berarti orang
meminta maaf atas kesalahan dengan meminta mu’u
luju lema emas[61] atau kebijaksanaan dari orang yang patut
memberi kebijakan. Ada dua
obyek pemintamaafan karena ulah-ulah tertentu, antara lain:
3.2.3.2.2.1.1.1 Konteks Spiritual.
Konteks pemintamaafan di sini ialah kepada
roh nenek moyang, bisa juga kepada Pencipta Semesta. Istilah yang paling sering didengar di daerah
Manggarai akibat melakukan kesalahan disebur rudak. Rudak ini disebabkan oleh perbuatan seseorang yang secara sengaja
atau tidak sengaja melakukan kesalahan terhadap alam, binatang-binatang dan
tetumbuhan.
Keyakinan
orang Manggarai dibenarkan oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, bahwa setiap
makhluk mempunyai jiwanya. Dengan demikian, konteks Manggarai, di mana ketika
makhluk yang kita sengsarakan mengeluh pada Penciptanya, maka manusia yang
perusak itu sakit dan bahkan bisa mati.
Keyakinan orang Manggarai itu, bisa
disebabkan oleh nangki[62], maka ketika itang didapat, maka orang kemudian berusaha mencari benda-benda
tertentu untuk melakukan silih kesalahan atau dosa. Ambil misal, tuak laing.
Biasanya penyilihan membutuhkan ata pecing, orang yang mempunyai karisma
ilahi (paranormal) khusus untuk keluar dari soal-soal berat itu.
3.2.3.2.2.1.1.2 Konteks yang Tampak.
Konteks yang tampak ini, misalnya
melakukan pelanggaran terhadap sesama manusia. Melakukan kesalahan secara
nyata. Maka, ketika seseorang melakukan kesalahan, orang yang melakukan itu
menghadapi pihak yang menjadi subyek
kesalahan dengan memanggil Tua Adak
untuk memecahkan persoalan-persoalan itu.
Pemecahan kasus, lazimnya diurus di
kampung oleh Tua Adat. Tua Adat tersebut dalam bahasa Manggarai disebut pula ata
caca mbolot, Tua ata nganceng imbi laing one ca kaeng, ko beo, te wantis
sangged do’ong ko dengkok de hae ata, hae tau, atau boleh dibilang para
Hakim Adat.
Setiap
persoalan pada masa lampu, biasa diselesaikan di Mbaru Gendang, bahkan hingga kini, dengan disaksikan oleh
keluarga dan warga dengan denda tertentu dan berupa tuak laing.
Anehnya,
terjadinya kesalahan malah menimbulkan relasi, lebih-lebih, kasus yang menimpa
sesama yang tidak saling mengenal dan berbeda kampung halaman. Kesalahan
ternyata membawa relasi baru dalam kehidupan.
3.2.3.2.2.1.2 Tala
atau Denda.
Tala atau denda, lazimnya dilakukan oleh
seorang tersangka atau pelaku yang melakukan pelanggaran moral. Kesalahan itu
harus diganti dengan benda sebagai bentuk nyata tindakan pemaafan dari pelaku
kesalahan.
Pelaku wajib membayar hutang kesalahannnya
dengan lunas. Ketika pelaku tidak bisa membayar hutangnya, maka bisa saja
menurut pelaku dibunuh atau dilemparkan ke Mahkamah Pemerintahan. Ada dua jenis
pemaafan, yaitu:
3.2.3.2.2.1.2.1 Ekspressi Pemaafan Verbal.
Kesalahan, sistem pembayarannya tidak
harus menggunakan pendekatan berupa pemberian semacam barang tunai, lunas atau
tidak. Pemintamaafan dan pemaafan bisa dilakukan dengan cara ekspresi pemaafan
verbal. Misalya, neka rabo e ite, neka rabo e kraeng tua, dan
lain-lain. Jadi, tanpa harus
dibayar dengan utang benda manapun. Bisa secara langsung saat kejadian atau
bisa juga melalui lontoleok yang
dipandu langsung Tua Caca Mbolot.
Kebiasaan pemaafan Manggarai selalu
berkonteks kekeluargaan, tanpa keterwakilan benda tertentu. Dalam bahasa daerah
dikenal, hae diding, ase kae, cama tau, weda wuwung tau, ca raja, dan
lain sebagainya.
Itu
semua ada dan selalu dimunculkan dalam budaya Manggarai, yang memang diakui
hingga sekarang, meski sekarang pemecahan semacam itu kian berpaling ke hukum
positif[63].
3.3.3.2.2.1.2.2 Berupa Benda.
Terkadang pemaafan juga menggunakan
pendekatan dengan pemberian semacam barang tunai, lunas atau tidak.
Pemintamaafan dan pemaafan bisa dengan membayar langsung dengan barang atas
kesalahan, jika melakukan kesalahan.
Pemaafan ini biasanya dengan kata-kata,
juga dengan berupa uang atau barang lainnya untuk menebus kesalahan. Orang
kerap sebut tala ela wase lima.
3.2.3.2.2.2 Pelanggaran Sistem Norma Adat dalam
Perspektif Penepatan Pembagian dan Kepemilikan Lingko.
Pelanggaran di sini hanya bersifat tampak,
tidak ada aspek spiritualnya atau yang tidak tampak karena hanya berkaitan
dengan sistem penetapan dan pembagian dan kepemilikan lingko.
Ada dua metode yang dipakai di sini,
antara lain:
3.2.3.2.2.2.1 Tuak Laing.
Tuak
laing biasa dilakukan
ketika sesorang melakukan kesalahan. Misalnya, pelanggaran batas antara moso, antara cicing dengan cicing,
antara lodok, bisa juga karena
sengaja mencuri langang atau batas
kebun di antara dua atau tiga pemilik kebun.
Ketika ada pelanggaran, maka pelaku
meminta maaf dan tuak laing. Hal ini
kerap dilakukan di Manggarai ketika muncul sebuah persoalan.
3.2.3.2.2.2.2 Imbalan Jasa.
Penebusan kesalahan di sini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan imbalan jasa, berupa benda-benda. Misanya, denda
atau tala, yang kerap disebut ela wase
lima. Hanya saja, tergantung kebijakan Adak Laing mengenai besar kecilnya neraca kesalahan. Namun
lumrahnya, sedikit banyaknya imbalan itu tergantung neraca kesalahan yang
ditentukan secara hukum adat.
3.2.3.4 Bentuk Hirarki Kelekatan Kepemilikan
Kekuasan.
Sebagaimana
diketahui, metode lonto leok yang diterapkan di Manggarai, jelas-jelas
sesuai dengan konsep pembagian lingko, termasuk pembuatan rumah adatnya,
yang juga, sama seperti konsep sarang laba-laba.
Pembagian
lingko dan pembuatan rumah adat, berawal dari kebiasaan nenek moyang di
Manggarai, sudah dari tradisinya mengadakan pertemuan dengan sistem lonto leok.
Kebiasaan itulah menjadi cikal bakal dibuatnya pula konsep bagi kebun dan
dibangunnya rumah adat.
Lonto leok, tentu mempunyai makna yang
sangat unik karena merupakan metode diskusi dialogis partisipatif yang paling
menarik. Sehingga, nenek moyang orang Manggarai dihargai dari sisi menciptakan
sebuah seni yang patut disyukuri, dan perlu dikembangkan oleh generasi sekarang
dan mendatang
Namun,
tak bisa dipungkiri, meski metode lonto leok begitu melekat kuat, budaya
seperti itu tidak bisa terlepas juga, dari apa yang disebut dengan kepemimpinan
yang masih sukuistis dan feodalistik, kaitannya dengan metoda kepemimpinan.
3.2.3.4.1 Sukuistis.
Karakteristik budaya Manggarai
menurut hirarkis kelekatan kekuasaan masih bersifat sukuistik. Lalu mengapa?
Tentu alasan yang paling mendasar dalam tatanan budaya Manggarai, sebagaimana
lazim dikenal, yaitu adanya sebuah istilah “rang
tu'a atau rang ka'e[64]” .
Istilah
rang tu'a itu, selalu bersentuhan
dengan kekuasaan. Karena itu, di Manggarai, yang menjabat Tua Golo adalah orang yang
terpandang dan dinilai sebagai rang kae, maka
jelas, masih bersifat sukuistik.
Hal
demikian pun tak bisa dipungkiri karena tradisi dan budaya seperti itu adanya.
Ambil misal, siapa suku yang lebih dulu menempati suatu daerah terlebih dahulu,
maka dia yang berkuasa penuh terhadap daerah itu, termasuk keturunannya sampai
kapan pun, tak tergantikan.
Karena
tidak tergantikan, maka kita menyebutnya sebagai sebuah kekhasan yang tak
terbantahkan. Atas dasar itu, dia kemudian disebut sebagai budaya atau
adat-istiadat, baik aspek aplikatif budaya maupun struktur kepemimpinan yang
membudaya, yang telah tetap melekat sebagai sebuah adat-istidat, dan karena itu
tepatlah disebut sebagai adat-istiadat Manggarai.
3.2.3.4.2 Feodalistik.
Budaya
Manggarai, pada dasarnya bersifat feodal (bangsawan). Hal itu nampak dalam gaya
kepemimpinan yang dibangun. Terkadang, gaya feodal ini mempengaruhi lonto leok,
tetapi lazimnya dalam konteks tertentu, yakni status kepemimpinan.
Budaya Manggarai, pengaruh
feodalistik itu termasuk gaya kepemimpinan turut mempengaruhi lonto leok,
namun satu sisi, tipe kepemimpinan di Manggarai memang menganut “Kerajaan
Feodalistik[65]”,
termasuk juga kepemimpian kekuasaan dalam suatu wilayah tertentu, seperti
misalnya Tu'a Uku.
Memperjelas hal itu, secara jelas
akan dikaji pada Bab IV, yang secara detail memaparkan seperti hirarki adat di
Manggarai, yang sudah berurat akar semenjak munculnya budaya itu sendiri.
3.2.3.5 Struktur Rumah Adat.
Manusia pada dasarnya, membutuhkan sebuah
wadah untuk berdiskusi. Konteks Manggarai, salah satu tempat berkumpul ialah
menggunakan Rumah Adat atau Mbaru Gendang, yang didesain sekian rupa, yang
mirip dengan the spider web. Pun pula
sistem pembuatan Rumah Adat mempunyai arti yang dalam bagi budaya Manggarai itu
sendiri.
Rumah Adat adalah simbol
kebesaran dan keakraban orang Manggarai. Ada beberapa simbol penting yang ada
dalam Mbaru Tembong, yaitu
tanduk kerbau, kinang, siri bongkok,
cakat, gendang, ngong, bentuk rumah adat, periuk persembahan. Kata mbaru secara etimologis berasal dari dua
kata yakni: mbau (teduh) dan ru (sendiri) yang berarti naungan (yang
dibuat sendiri).[66]
Jenis dan logo Rumah Adat Manggarai,
sebagai berikut: pada puncak (bubung)
Rumah Adat (tampak luar) terpampang tiga simbol utama, yaitu periuk persembahan
sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, Allah harus
disembah, diberi makan supaya tidak marah.
Kemudian, tanduk kerbau yaitu simbol nilai
kemanusian dan yang kuat, dan/atau suka bekerja keras. Atap ijuk yang bermodel
bulat, yaitu lambang persatuan dan kesatuan yang kuat, tak terpisahkan, utuh. Siri bongkok simbol pemimpin, sedangkan rangkung
api (para-para perapian), yaitu tempat menjemur padi, makanan yang
diawetkan dan sapo (tempat untuk
memasak atau tungku api).
Demikianlah Rumah Adat adalah simbol
relasi, kesejahteraan dan permusyawaratan dan perwakilan dalam tatanannya. Isi gendang bagian dalamnya[67] dan Tiang
tengah atau siri bongkok dengan
kerangka bagian dalam Gendang[68] mempunyai
arti tersendiri, juga Langkar atau tempat menyimpan sesajian dan wae
barong, mempunyai arti tersendiri.
Menurut
Tua Gendang Ruteng Pu’u, langkar adalah tempat menyimpan bahan-bahan sesajian saat acara adat
berlangsung, sedangkan wae barong (wae artinya air, sedangkan barong atau baro, artinya lapor, meminta atau memberitahu lebih dahulu ke mata
air, ke pemilik mata air, sebelum acara adat dilangsungkan).
Selanjutnya, lima balok yang
melintang hingga ke bubungan atap mempunyai arti tersendiri yang mempunyai
hubungannya dengan sanda lima.
Tingkat pertama disebut leba mese (tempat
menyimpan barang-barang, seperti jagung, padi dan hasil pertanian lainnya,
semua barang makanan), kedua disebut
lempa rae (sama dengan Leba Mese,
juga tempat simpan joreng atau bakul
besar), ketiga sekang kode (simpannya
barang pusaka, barang-barang peninggalan dan jimat), keempat sepot neka lelo, ruang koe (raum taung de
menda, yaitu pertemuan balok bubung). Wura
agu ceki (ema tua dite bao agu mede,
yaitu nenek moyang).[69]
3.2.4
Peralatan Hidup dan Teknologi.
Secara etimologis, konsep teknologi
terdiri atas dua kata, yaitu tekhnos
dan logos. Tekhnos adalah cara, sementara logos
adalah ilmu. Kamus besar bahasa Indonesia mendefenisikan tekhnos sebagai “cara membuat sesuatu”
atau “sistem membuat sesuatu”.
Teknologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai tekhnis atau cara-cara penerapan. Jadi, teknologi adalah penerapan
cara-cara tertentu agar dalam mengerjakan sesuatu dapat dikerjakan dengan
mudah, cepat, efektif dan efisien.
Teknologi dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu individual (perpanjangan tangan manusia secara individual), kolektif
(digunakan dalam proses produksi), dan sosial (ilmu-ilmu sosial yang
dipergunakan sebagai dasar perencanaan sosial).[70]
3.2.5 Sistem Mata Pencaharian.
Sebagaian besar masyarakat Manggarai
adalah petani. Ada pula yang menekuni bidang pertukangan, perdagangan dan
kepegawaian. Kalau kita perhatikan di Manggarai, sistim dodo dalam mengerjakan kebun menjadi bukti nyata bahwa mata
pencaharian di Manggarai, meski bertani, toh
menjadi pekerjaan yang menciptakan relasi baru dalam kehidupan
bermasyarakat.
Seringkali,
praktek dodo[71] ini dilakukan dengan maksud mempermudah
pekerjaan, apalagi di Manggarai, topografinya memberi peluang bagi masyarakat
untuk mengolah alam secara dodo.
Fakta bahwa orang Manggarai, sedikit
sekali berminat dalam dunia bisnis, tetapi mereka cendrung merantau sebagai
buruh kasar di mana-mana, termasuk mencari rezeki lintas nasional, seperti ke
Malasya dan lain-lain.
Kenyataan bahwa di Manggarai, relasi tidak
harus terjadi hanya melalui kegiatan kumpul kecil-kecilan seperti UBSP (Usaha
Bersama Simpan Pinjam) dan Usaha Tani, tetapi juga melalui Usaha Koperasi
Bersama. Kegiatan solidaritas bersyarat mutlak itu terus mereka galang dalam
mencapai kesejahteraan.
3.2.6 Sistem Religi.
Salah
satu sistem religi orang Manggarai adalah dengan dilaksanakannya paki jarang bolong[72], Ritus ini
banyak tidak dimengerti oleh masyarakat Manggarai karena jarang dilakukan,
teruma generasi muda. Tidak banyak orang muda Manggarai mengenal bahwa ritus paki jarang bolong adalah aplikasi dari
budaya Manggarai, karena itu sukar dipahami bahkan dilupakan.
Kita
kembali tentang pemahaman agama, bahwa secara etimologis, asal kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a-gam-a. Kata a berarti “tidak”, dan gam berarti
“pergi” atau “berjalan”. Huruf a di
belakang merupakan imbuhan untuk membentuk kata sifat.
Agama disebut sebagai suatu yang bersifat
“tidak pergi” atau bersifat kekal. Maka, agama dimengerti sebagai suatu
kepercayaan manusia yang didasarkan atas wahyu dari Tuhan.
Menurut Kitab Sunarigama, kata agama berasal dari
A-Ga-Ma. A berasal dari kata awang-awang,
yang berarti “kosong atau hampa”. GA berasal
dari kata genah (Bali) yang berarti
tempat. Kata MA berarti “matahari”
atau “bersinar”. Dengan demikian, agama
dimengerti sebagai sesuatu yang berasal dari tempat yang bersinar atau surga.[73]
J. G. Frazer memahami agama sebagai
pencarian akan sesuatu yang melampaui manusia tersebut, manusia pertama-tama
melakukan praktik-praktik ilmu gaib. Namun demikian, keberadaan ilmu gaib
tersebut tidak dapat berbuat banyak dalam menjawab permasalahan yang dihadapinya.
Anthony F. Wallace mendefenisikan agama
sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang
menggerakkan kekuatan supranatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk
menghindarkan suatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Wallace memandang
agama sebagai perbuatan.[74]
Sedangkan, Mercia Eliade melihat agama
sebagai kepercayaan terhadap yang suci, kratos dan kudus melalui peristiwa
teofani, penampakan Ilahi.
Terkait dengan pandangan di atas,
Widyiosiswoyo coba mengartikan agama sebagai kepercayaan. Kepercayaan, menurut
dia, adalah sikap menganggap sesuatu sebagai benar adanya. Kepercayaan adalah
ungkapan batin akan adanya sesuatu yang rohaniah.
Kepercayaan tidak mengikat diri pada dogma-dogma, tetapi
lebih pada kebebasan pemahaman. Dogma berasal dari bahasa Yunani berarti
“opini” atau “dekrit”, dari dogma (tampak benar, suatu pendapat, pikiran), dokeo (seolah-olah, tampak). Jadi, dogma adalah
suatu ajaran (doktrin, keyakinan, ideologi, pendapat) yang telah diumumkan secara
resmi dan otoritatif entah oleh seseorang pemimpin ataupun oleh suatu lembaga
Gereja.[75]
Kelemahan dari cara pandang Widyiosiswoyo,
yaitu tidak mengakui formulasi iman yang dicetuskan agama-agama karena lebih
menekankan pada kebebasan pemahaman, padahal, kepercayaan membutuhkan dogma
yang mengikat. Misalnya, budaya Manggarai yang memandang Allah sebagai Mori agu Ngaran.
Konsep Mori agu Ngaran sangat abstrak dan
umum, sementara berbeda dengan konsep Kristiani, yang memandang Mori agu Ngaran
itu sendiri adalah pribadi Tuhan Yesus Kristus. Sehingga, tidak salah Mori agu
Ngaran belum tahu persis seperti apa pribadinya Ia oleh budaya Manggarai.
Mengenai penguasa kehidupan, dalam
kebudayaan Manggarai terdapat suatu Dewa, Keadaan Tertinggi, yaitu Mori Keraeng.
Ikatan suami istri juga amat tetap, dan jarang bercerai. Tetapi poligami
menjadi kebiasaan umum pada orang-orang besar dan bapa kaya. Tugas-tugas
keagamaan dijalankan terutama oleh bapa keluarga atau pengetua desa atau tuan
tanah. Ata wae nggereng atau juga ata pecing/mbeko,
yaitu orang yang mempunyai kekuatan magis, yang bisa menjelaskan arti mimpi dan
ramalan (lazim misalnya saat mau
diadakannya upacara paki jarang bolong).[76]
Agama adat Manggarai, kuat mempengaruhi
relasi di antara warga. Misalnya, ketika mereka merayakan paki kaba rae, paki jarang bolong. Dalam memeriahkan acara adat,
orang Manggarai kerap menyebut nama Tuhan, khususnya ungkapan acara adat saat
memulai ritus tertentu, seperti misal: ”denge
lite Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek
(dengarlah hai, yah Allah, Tuhan langit dan bumi).
Hanya saja, Allah menurut orang Manggarai
sebagai tanan wa awangn eta. Tanan wa
awangn eta itulah Allah bagi orang Manggarai, yang juga hadir dalam ritus
adat. Bahkan, orang Manggarai mengartikan Allah sebagai ende agu ema, Naga Beo.
Kalau orang Jawa upacara keagamaannya
adalah selamatan (suatu upacara makan
bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagikan). Sedangkan,
religi asli orang Manggarai adalah “monoteis implisit” menyembah Tuhan Sang
Pencipta, dengan melakukan persembahan di compang.
Lagu,
yang paling terkenal adalah Renggas sebagai
bentuk sikap waspada atas perintah Allah
dalam bentuk genggus[77] (untuk segera menyiapkan bibit).
Lagu renggas
Solo: U……sampur raja wela……(siapkan
semua bibit)
Jawaban
bersama: U………..
Solo: Sama-sama (sama-sama, jangan yang
lain siap, yang lain tidak)
Dijawab:
Ya………..
Solo : Sama ita (siapkan sungguh, lihat
kesiapan orang lain)
Dijawab
: Ya…..,U
Orang
Manggarai tidak lupa pada roh-roh nenek moyang dan persembahan diberikan kepada
mereka karena mereka dianggap tak terpisahkan. Biasanya, upacara-upacara adat
dipimpin oleh lembaga adat dan ata pecing.[78]
Salah satu ritus adat Manggarai selain penti, paki kaba rae, congko lokap, dan cece cocok takung mangko mese, juga ada sebuah ritus yang kerap
orang sebut dan praktekkan, yaitu ritus paki
jarang bolong. Paki jarang bolong (seekor kuda hitam yang
kecokelat-cokelatan) adalah lambang penderitaan dan kematian.
Banyak kematian beruntun di sebuah kampung yang sukar disembuhkan, baik
oleh pihak medis maupun oleh paranormal, yang kemudian berujung pada kematian
melalui entah penderitaan atau mati kaget, maka warga pun rayakan paki jarang bolong.
Menyadari kondisi sadis tersebut, maka salah satu cara mengatasi
penderitaan dan kematian dini warga yang beruntun di sebuah kampung atau golo
dalam wilayah sebuah Gendang (Rumah Adat), warga gendang coba menalanginya
dengan menyembelih dan mempersembahkan seekor jarang bolong untuk diberikan kepada Naga Beo atau Naga Golo (Naga dari sebuah gendang).
Dalam buku Deki,
jelaskan bahwa Naga Golo adalah roh
alam atau roh lelulur, sedangkan Naga Tanah adalah naga kampung. Naga Golo ini diyakini memiliki peran
khusus yaitu melindungi masyarakat dari berbagai macam yang merugikan. Naga Beo itulah, yang diyakini oleh
orang Manggarai sebagai (pelindung Gendang) yang memberi kekuatan kepada
penghuni Gendang di sebuah kampung atau pula keturunan dari sebuah Gendang yang
berkelana di perantauan.[79]
Paki jarang bolong, menurut
penuturan beberapa Tua-tua Adat Gendang Lecem,
Petrus Loros, Petrus Jemali, Kamelus Ador, Frans Ndour, Simeon Samu,
saat diwawancarai penulis sebelum penyembelihan seekor kuda hitam
kecoklatan-coklatan (di alun-alun gendang) di Gendang Lecem, Rabu (11/9/2011),
bahwa diketahui melalui mimpi dari, misalnya salah seorang warga kampung, yang
kemudiandiberitakan kepada seluruh kampung, atau bisa juga, kata Tetua Adat,
berdasarkan penglihatan paranormal, atau mencari orang pintar (ata mata gerak, ata pecing, kawe wae
nggereng).
Hanya saja, jelas mereka, paki
jarang bolong sekali seumur gendang, setelah itu tidak ada lagi, untuk
menggantikan posisi jarang bolong,
persembahan selanjutnya hanya menggunakan seekor ayam jantan putih, yang juga
melibatkan seluruh warga gendang di sebuah kampung dalam merayakannya.
Adapun susunan paki jarang bolong,
menurut penjelasan Tetua Adat Lecem, terdiri dari beberapa bagian penting,
antara lain: oke sial (membuang
seluruh dosa dan mala pelataka ke sebuah jurang, dalam bahasa Manggarai cunga atau nampar dengan mempersembahkan seekor anjing buta hitam dan seekor
ayam hitam[80],
lalu adakan potok (lakukan tarian
adat yang dikenal dengan sae di gendang dengan mempersembahkan seekor babi, yang sebelumnya mempersembahkan
seekor anjing buta dan ayam hitam di sebuah jurang terjal, yang belum bisa
melihat, dengan maksud mengusir semua sial).
Berikutnya, barong wae bate teku
(lakukan ritus adat di sumber mata air dengan bahan persembahan babi dan
seeokor ayam), kemudian barong watu boa
(ritus adat di perkuburan, dengan maksud membangkitkan semua roh nenek moyang
di perkuburan agar mereka mengikuti rangkaian acara paki jarang bolong), dan ritus adat di pa'ang (ritus adat di gerbang utama menuju kampung dan gendang
dengan menggunakan manuk lale (seekor
ayam berwarna merah padam dan bercampur hitam).
Lalu, dilanjutkan dengan acara mbau
lintep (minta beka atau keturunan, diharapkan setiap keturunan yang tidak
mendapatkannya agar dengan paki jarang
bolong, keturunan diminta untuk menjadi seperti bintang di langit dan pasir
di tepi pantai), berikutnya takung
compang dari (memberi persembahan di mezbah adat dengan gunakan babi dan manuk bolong).
Setelah itu kapu ceki[81] di rumah
adat dengan gunakan ayam putih (ceki
semacam hal-hal yang haram dari sebuah keturunan atau nenek moyang), teing hang (beri makan), ela we'e wie dan pagi harinya roban jarang bolong (bunuh kuda), sorenya nongko laca[82] (kumpul
kembali semua peralatan adat termasuk tikar dan semua perlengkapan lainnya,
dengan sembahkan seekor babi), terakhir baru persembahkan seekor ayam, atau
istilah Manggarai merep dengan maksud
meminta keturunan dan kesejahteraan.
Dalam kesempatan itu, Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, memberi pesan agar segera setelah
dirayakannya acara Paki Jarang Bolong, diharapkan warga untuk saling kerjasama
dan kerja keras, dengan maksud semua intensi adat yang dikumandangkan oleh
Tetua Adat Lecem saat acara berlangsung diterima oleh Ceki (ceki adalah orang tua kampung yang sudah meninggal atau bisa
juga dipahami sebnagai binatang haram yang tidak dimakan oleh nenek moyang dan
kebiasaan itu diteruskan oleh generasi, ambil misal, tidak makan kera, belut,
burung elang, kura-kura, dan sebagainya).
Sedangkan, Naga Beo (Naga Beo dimengerti sebagai pemelihara kampung),
yakni Tuhan Alam Semesta mengabulkan semua permohonan dan semua keturunan agar
hidup senantiasa damai, aman dan sejahtera, juga tidak kurang dalam segala hal
termasuk sehat lahir dan batin.
Selanjutnya, acara adat lainnya
sebagai bentuk keyakinan orang Manggarai adalah congko lokap. Congko lokap adalah
salah satu bentuk pewujudan adat-istiadat orang Manggarai Raya, mulai dari
Selat Sape - Manggarai Barat hingga Wae
Mokel - Manggarai Timur, adalah dengan diadakannya ritus syukuran congko lokap. Congko lokap itu sendiri, lazimnya dilakukan setelah sebuah rumah
Gendang baru dibangun kembali atau kerap orang sebut setelah rekonstruksi Rumah
Adat.
Ritus congko lokap, menurut
orang Manggarai, tidak dilakukan dalam tenggang waktu yang sudah ditetapkan,
hanya budaya penti yang harus
dilakukan per setengah dekade. Congko
lokap amat berbeda, karena dirayakan, hanya setelah Rumah Adat yang baru
dibangun, entahkah Rumah Adat tersebut baru dibangun sama sekali atau
membongkar gendang yang lama,lalu
membangun yang baru.
Jadi, setiap dibangunnya Gendang baru, maka dengan sendirinya congko lokap pun diikutsertakan. Ini
sebuah keharusan, imperatif kategoris moral[83] adat
Manggarai.
Memahami arti congko lokap itu
sendiri, jika diterjemahkan per kata, maka akan lain pengertiannya, karena congko itu sendiri dalam terjemahan
Indonesianya berarti memungut, mengangkat lalu dipindahkan ke tempat lain, ke
sebuah wadah tertentu atau ke tempat-tempat tertentu dengan maksud membersihkan
atau membereskan tempat tertentu dari kotoran.
Sedangkan, lokap dalam bahasa
sehari-hari orang Manggarai, yaitu sisa kulit kayu balok yang diambil dari
pohon di hutan atau milik warga yang ditebang secara sengaja untuk dijadikan
balok bangunan, termasuk rumah, yang salah satunya adalah balok untuk Gendang
atau Rumah Adat.
Sisa-sisa potongan-potongan kecil dari kayu, yang terbuat dari pohon
tertentu, itulah yang orang Manggarai baptiskan sebagai lokap. Lokap tersebut,
lazimnya, digunakan oleh pengrajin balok sebagai salah sumber energi, yaitu
bahan bakar api untuk rumah tangga.
Lokap juga dimengerti sebagai
sisa-sisa kotoran pembangunan Mbaru Gendang yang harus dibersihkan, yaitu
dengan meng-congko kotorannya. Pengertian lain tentang lokap itu sendiri juga dalam bahasa
daerah Manggarai disebut weang de balok, artinya sisa-sisa kotoran
balok. Weang itu sendiri juga dapat diartikan sebagai sampah. Maka, congko lokap sama dengan congko weang.
Sementara, pengertian tentang pohon itu sendiri, dipahami oleh orang
Manggarai sebagai wela de tana, atau dalam bahasa Indonesianya, yaitu
bunga bumi. Sedangkan, daun-daun yang layu atau buah-buah yang sudah matang
dari sebuah pohon yang jatuh ke tanah, itulah yang disebut dengan weang de
haju.
Haju artinya pohon, misalnya,
daun pohon beringin, yang dalam bahasa Manggarai disebut haju langke. Daun dari haju
langke yang jatuh ke tanah itulah yang disebut dengan weang.
Biasanya, kalau mau agar lingkungan seputar haju langke tersebut kelihatannya apik, maka perlu disapu bersih.
Sapu bersih itulah dalam bahasa daerah Manggarai dinamakan sapu weang.
Kalau memperhatikan pohon
beringin, dalam bahasa daerahnya haju
langke, sebagai mezbah adat (compang – tempat hadirnya Sang Maha
Tinggi, Maha Dewa) samping depan Kantor Bupati Manggarai, maka laksana itulah
kedirian orang Manggarai, yang hidup dan tumbuh rindang, dengan tentu segala
daun-daunnya harus diperhatikan untuk dibersihkan.
Karena itu, haju langke (wela
de tana) simbol persatuan orang Manggarai, Tanah Nuca Lale, kuni
agu kalo (tanah tumpah darah).
Kemudian, soal pemamahan tentang siapa itu manusia menurut cara pandang
orang Manggarai, Tetua Manggarai, kerap mengartikan manusia itu sendiri sebagai
“wela de tana, saung de haju. Wela de tana, saung de haju” itulah, ciri dari kefanaan
hidup manusia yang dapat layu.
Tuturan orang Manggarai akan kesemuan manusia, diungkapkan melalui
kalimat ini: “E, itet manunsia ho'o ga, tamal laing wela de tana, saung de
haju” - Yah, kasihan
kita manusia, tidak lebih dari sebuah daun pohon”.
Ungkapan “E, itet
manunsia ho'o ga, tamal laing wela de tana, saung de haju” inilah, yang menunjukkan
kepada manusia agar saling mengasihi, mencintai satu sama lain, atau kerap
orang sebut cinta kasih. Karena itu, segala
bentuk pencarian manusia harus diarahkan kepada belas kasihan atau cinta kasih.
Ungkapan belas kasihan dan cinta kasih itulah, yang kemudian
diejawantahkan oleh orang Manggarai melalui Rumah Adat. Di dalam dan melalui
Rumah Adat itulah, semua orang berkumpul merayakan ritus adat untuk memuji Sang
Maha Pencipta pada masa-masa menjelang Penti (pesta adat yang dirayakan setiap
lima tahun), pada masa sebelum panen raya atau syukuran panen raya.
Tidak hanya itu, pada saat sebelum pembagian lingko (tanah ulayat milik warga oleh Tua Adat, seperti Tua Teno),
urusan perkawinan, misalnya gerep ruha (injak telur oleh pasangan
suami-isteri), persiapan sebelum berangkat
ke medan perang melawan suku-suku
lain (yang masih berlaku sejak baheula nenek moyang hingga sekarang), juga
sebagai tempat untuk memecahkan semua
persoalan warga kampung. Di gendang
itulah, segala persoalan kemudian dituntaskan oleh Tua Adat.
Kembali kepada istilah weang de tana dan wela de haju berkaitan
dengan penilaian terhadap diri manusia. Maka, orang Manggarai kerap mengartikan
manusia sebagai wela de haju. Wela berarti bunga, namun wela
tidak sekedar berarti bunga, tetapi juga buah dari sebuah pohon, berarti
biji-bijian.
Biji-bijian pasti dan jelas akan menghasilkan benih baru, entah menjadi
bibit unggul atau tidak. Unggul tidaknya benih tersebut tergantung di mana
jatuhnya dan di mana dibawanya ia oleh sesuatu yang lain. Ambil misal, jatuh di
atas bebatuan, di atas tanah yang kering, di tengah kerumunan ilalang menyengat
dan menghimpit mematikan, di atas tanah yang basah yang menumbuhkan benih-benih
tambun dan hijau mempesona, dibawa angin, dibawa para hewan atau binatang,
ataupula dibawa air.
Itu semua terpegantung bagaimana benih tersebut jatuh dan dijatuhkan
dengan di mana benih itu harus mengabdikan dirinya untuk buminya,
selama-selamanya dengan mempertahankan nafasnya secara masing-masing. Semua
dalam keadaan tak tentu, tercerai-berai, terpencar-pencar, hidup di perantaun
atau sporadis.
Maka, keceraiberaian dan kepencarpencaran itulah yang memunculkan sebuah
gerakan semangat baru, yang kalau dalam bahasa daerah Manggarai dikenal sebagai
kole beo, artinya pulang kampung karena rindu akan kampung halaman dan
sanak saudara, laksana sebuah pohon yang merindukan bunga-bunga kembali
menetek berbunga dan terbuai dalam kasih
sayang sang semangnya, demikian pulalah orang-orang yang berasal dari
Manggarai, baik laki maupun perempuan harus berkumpul kembali dan bersatu padu.
Jadi, seperti itulah congko lokap
sebenarnya.
Dikatakan demikian karena gendang hanyalah sebuah simbol perekatan
persaudaraan, di mana sanak saudara yang terpencar-pencar, dan yang
tercerai-berai harus kembali dan berkumpul
dalam satu semangat dan wadah baru, yaitu melalui ritus adat congko lokap Mbaru Gendang.
Itulah makna dan inti congko lokap
orang Manggarai. Dengan begitu, istilah wela de tana, saung de haju, menjadi
sangat bermakna ketika congko lokap
dilakukan karena congko lokap adalah
ritus cinta kasih dan persaudaraan.
Lalu, mengenai kesemuan manusia, kesemuan hanya dapat diterjemahkan
dengan istilah kole le okan wae, air kembali ke sumbernya, dalam arti
negatif. Akan tetapi, kesemuanya itu menjadi hilang, ketika semua air yang
berasal dari mata air mengalir dari hulu ke hilir menuju samudra lepas. Samudra
itulah yang disebut Mbaru Gendang, karena air tersebut mengalir dari berbagai
sumber mata air melalui gerakan siklus yang disebabkan oleh panas matahari.
Yah, boleh diibaratkan seperti
gerakan Zionisme bangsa Israel, dengan mana kedua belas suku keturunan bangsa
Israel, bangsa Yakob yang jauh melampui saudaranya kembali membangun sebuah
negeri, yaitu Negeri Zion.
Karena itu, congko lokap dapat
diidentikkan dengan istilah gerakan Zionisme, gerakan kembali ke asal.
Kembalinya kaum-kaum musafir. Atau, dalam bahasa filsafat teleologi dinamakan
kembali ke Sumber Mata Air Sejati, yaitu Tanah Air Surgawi, di mana Sang Ada
bertahta dalam kemulian-Nya.
Demikian pulalah yang dilakukan oleh warga adat Gendang Meler, yang merayakan
ritus congka lokap, Rabu (27/7/2011)
di kampung Meler, sebagaimana pantauan penulis di lokasi, sebagai bentuk
gerakan penyatuan akan sanak saudara, handaitaulan, keluarga, adik-kakak, baik
yang karena perkawinan, profesi, karena
sebab perselisihan, menyatukan jiwa dan badan, dengan tujuan menyatukan semuanya.
Bentuk penyatuan itu, orang Manggarai kerap mengumadangkannya melalui
sebutan”padir wa', rentu sai, nai ca anggit, tuka ca leleng, bantang cama,
reje lele, neki weki, manga ranga, kope oles, todo kongkol,weta nara, ase kae,
wan koe, etan tua, pa'ang olo, ngaung musi, nggerone mbaru gendang taung, osang
bate ka'eng.”
Selebihnya, orang manggarai
berharap bahwa “sangged da'at one lesos saled, one laus wa'ed, kudut pola
neka gomal, kapu neka pa'u, embe neka bete, wu'ur rucuk, wears pempang, kando dango, bolek
loke, baca tara, uwa gula, bok leso, langkas haeng ntala, uwa haeng wulang,
temek wa mbau eta, jenggok le ulu wiko lau wai”. Artinya, duduk bersama dalam persekutuan cinta kasih
persaudaraan menuju kesejahteraan bersama, semua keturunan.
Disaksikan penulis, pemeriahan congko
lokap Gendang Meler ditandai dengan upacara adat, yaitu pa'u tuak kapu
(menerima hadirin dengan melalui sambutan diikuti ungkapan adat dan disertakan
tuak yang tersimpan dalam tempat khusus, dalam bahasa Manggarai robo) kepada para hadirin[84]. Tuak
kapu tersebut diupacarakan di dalam Mbaru Gendang, yang diterima oleh Tua
Adat, dengan berbagai upacara tertentu, yaitu tuak kapu reis (sejenis
tuak penyapa tamu untuk dijamu).
Selanjutnya, sesuai aturan urutannya, dari jajaran Muspida, yang pada
kesempatan itu hadir Putra Daerah, yaitu
melalui Wabup Deno, memberi wae lu'u (berupa uang layatan) bagi nenek
moyang atau keluarga yang telah
berpulang ke rahmatullah, baik yang berjasa maupun yang tidak, baik yang
dianggap Tetua maupun tidak sebagai bentuk penghormatan dan turut berlangsung
kawa atas semua keluarga yang telah meninggal dari Gendang tersebut, kemudian
hadirin dipersilahkan ke kemah, diiringi dengan tarian-tarian adat dan musik
adat.
Baru setelah itu, diikuti dengan paki reis (memeci pemain caci sebagai tanda dimulainya tarian caci oleh Muspida, dan sebagai simbol
keakraban dan penghormatan terhadap hadirin yang datang), kemudian caci antar warga yang mengundang dan diundang
termasuk meka landang (tamu), setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan
hewan persembahan, yaitu seekor kerbau jantan, yang diikatkan di alun-alun
dekat mezbah adat (compang) disaksikan oleh semuanya.
Kerbau tersebut lalu dilambangkan dengan semangat, kerja keras, kekuatan
dan persaudaraan. Melalui darah kerbau tersebut Mbaru Gendang itu dipermandikan
secara simbolis sebagai tanda ucapan terima kasih kepada Tuhan dan merupakan
simbolis persaudaraan Gendang. Maka, kerbau persembahan tersebut, dalam bahasa
Manggarai dinamakan sebagai kaba congko
lokap.
Kaba (kerbau) melalui darahnya
yang dipersembahkan kepada Tuhan sebagai tanda terima kasih dan langkah baru
pewujudan persaudaraan dan persaudarian semua warga Gendang agar “neka pala ranga, sangged da'at one
lesos saled, one laus wa'ed, kudut pola neka gomal, kapu neka pa'u, embe neka
bete, wu'ur rucuk, wears pempang,
kando dango, bolek loke, baca tara, uwa gula, bok leso, langkas haeng ntala,
uwa haeng wulang, temek wa mbau eta, jenggok le ulu wiko lau wai” oleh Tuhan Sang Pencipta
Alam Semesta Raya bagi gendang yang merayakannya.
3.2.7 Kesenian.
Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Koentjaraningrat
memahami seni sebagai keahlian dan ketrampilan manusia untuk mengekspresikan
atau menciptakan hal-hal indah serta
bernilai.
Sedangkan, karya seni merupakan hasil dari tindakan seseorang dalam
berkesenian. Sebuah karya seni dapat digolongkan, berdasarkan jenis seni yang
melingkupinya. Misalnya, sebuah karya seni lukis termasuk ke dalam jenis seni
rupa. Seni rupa diwujudkan dalam bentuk garis,
warna, bidang, tekstur (susunan atau jaringan) dan pencahayaan. Seni sastra
seperti ceritera rakyat, prosa, puisi, pantun, sajak, dan lain-lain. Seni
pertunjukkan berupa sanda, mbata, sae,
danding, caci, dan rangkuk alu.[85]
Menurut
Aristoteles, seni harus memiliki fungsi untuk membuat katarsis bagi masyarakat.
Katarsis berarti pelepasan hal-hal yang negatif, atau dalam bahasa religi
pemurnian jiwa. Dengan demikian, seorang yang menikmati seni dapat memurnikan
jiwanya, sehingga tingkah lakunya menjadi baik.
Fungsi
seni yaitu pertama, ritual (mantra-mantra yang dianggap mempunyai kekuatan
magis). Kedua, pendidikan (kesenian menjadi medium penyampaian nilai-nilai
moral dengan mempertahankan nilai-nilai sosial kemasyarakatan). Ketiga,
penerangan atau kritikan sosial.
3.2.8 Kesimpulan.
Beberapa
unsur kebudayaan di atas, tidak bisa dilepaspisahkan satu sama lain karena
dalam masyarakat unsur-unsur kebudayaan melekat kuat, sehingga ketika unsur itu
bermain peran dalam menjaga stabilitas masyarakat, dengan sendirinya masyarakat
budaya akan terwujud.
Masyarakat budaya adalah masyarakat
ditandai dengan penjunjungan nilai dan norma yang berlaku untuk menjaga
stabilitas bersama. Dan, ketika unsur kebudayaan mencari bentuk dalam dirinya
dan menyusaikan dirinya dengan lingkungan di sekitar, pasti saja, ada jaringan
komunikasi yang jelas.
Yang diutamakan dalam unsur
kebudayaan itu adalah manusia dan tujuan utama terciptanya kebudayaan itu ialah
manusia. Melalui manusia, kebudayaan dapat dinyatakan dan dialurkan pada tempat
yang benar. Dengan demikian, unsur kebudayaan adalah pembentuk manusia utuh dan
bertanggung jawab di semua lini kehidupan.
Selain itu, adat Manggarai dengan
wujud tertinggi juga turut membentuk relasi manusia. Bentuk relasi
antara adat Manggarai berkaitan dengan relasinya dengan Sang Ada, selalu
diperbandingkan dengan simbol-simbol, petuah atau ungkapan dan ritualistik.
Sang Ada kemudian dipercaya hadir, hanya dan melalui simbol-simbol, petuah atau
ungkapan dan ritual-ritual.
Orang Manggarai kemudian menjadikan
“semuanya itu” sebagaimana disebutkan di atas sebagai doa. Dikatakan demikian,
karena merupakan bentuk penghormatan terhadap Sang Ada, meski diakui semuanya
merupakan pelimpahan Sang Ada kepada manusia guna terjadinya apa yang disebut
dengan persukutuan cinta kasih antara sesama melalui budaya.
Artinya,
Sang Ada membuat keakraban melalui budaya, sehingga tulisan ini jelas-jelas
memberi maksud untuk itu bahwa keakraban atau perwujudan cinta kasih dapat
diejawantahkan melalui budaya sebagai salah satunya, meski diakui juga bahwa
keakraban dapat terjadi juga selain budaya, antara lain dalam bentuk:
Ada
tiga tiga hal utama di Manggarai, yaitu Pemerintahan Adat atau Lembaga Adat
(adalah sama seperti Trias Politica), Rumah Adat (adalah bait masyarakat atau
tempat berdiskusi tercakup compang
atau altar adat dan natas atau alun-alun ), lingko yang
berbentuk sarang laba-laba (adalah model musyawarah).
Pemerintahan
Adat (lambang Trinitas), Rumah Adat (Rumah Bapa, bisa juga Gereja), Lingko
atau kebun (adalah hirarki dengan Paus sebagai Siri Bongkok; pekerjanya adalah Pastor, Suster, dan Ketekis) tanah
adalah manusia.
Sedangkan,
rempah-rempah adalah pikiran dan perilaku, ilalang adalah kesulitan atau dosa;
air dan pupuk adalah doa, perwartaan dan berkat). Manusia disimbolkan sebagai
tanah karena manusia diciptakan dari tanah. Pemerintahan Adat, Rumah Adat dan
Tanah Adat adalah satu kesatuan yang mengikat satu sama lain dan utuh.
Manggarai
juga akrab dengan sebutan Mori Jari agu
Dedek, Tanan Wa Awangn Eta, Pu’un Kuasa. Mori adalah Tuhan, Jari adalah hidup, Dedek adalah cipta. Berarti Tuhan adalah Tuhan, yang hidup dan
Pencipta. Tanan berarti pemilik
tanah, wa berarti bawah maka berarti
pemilik tanah yang berada di bawah berarti bumi; Awangn berarti pemilik langit, Eta
berarti atas, di atas. Berarti pemilik langit di atas. Pu’un adalah sumber atau asal, Kuasa
adalah kuasa, Sang Penguasa. Dengan demikian,
Mori Jari agu Dedek, Tanan Wa
Awangn Eta, Pu’un Kuasa adalah Tuhan yang Hidup dan Pencipta, Pemilik
langit dan bumi, Asal Segala Kuasa.
Apa makna relasi manusia dalam
budaya Manggarai? Relasi, manusia, budaya, dan daerah Manggarai adalah percikan
Allah, disebut juga Allah. Mengapa manusia Manggarai hidup dan bernilai?
Alasannya karena manusia adalah perpaduan antara relasi, budaya dan Manggarai.
Keempatnya
adalah Allah. Manggarai adalah badan (darah, daging, dan tulang), budaya
(cipta, rasa dan karsa); relasi adalah cinta atau Roh (karena Allah adalah Roh
dan Cinta); dan manusia adalah hidup. Karena kalau manusia mati, dia tidak
disebut lagi sebagai manusia. Perpaduan antara Budaya dan Manggarai atas dasar
relasi cinta melahirkan manusia yang hidup dan bernilai.
Selain itu, ada yang disebut
Ritualistik. Ritualistik adalah perjumpaan dengan Yang Maha Sempurna. Manusia,
doa, dan benda-benda suci tercakup dalam ritual. Manusia bisa menjadi manusia kalau ada doa
dan benda-benda suci. Doa terwujud juga melalui benda-benda suci. Benda-benda
dianggap suci kalau ada Penyuci.
Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa ritual adalah sebuah bentuk relasi atau
ekspresi penterimakasihan kepada Yang Maha Suci. Maka, ritual adalah perwujudan
relasi manusia dengan dunia di luarnya, realitas metafisis. Yang menarik juga
ialah bagaimana instrumen-instrumen budaya justru menciptakan relasi manusia
dengan manusia pada tataran partisipatif-demokratis dialogis.[86]
BAB IV
RELASI
ANTAR MANUSIA
DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
4.1 Relasi sebagai Kenyataan
Fundamental.
Kehidupan
manusia dan kebudayaannya senantiasa ditandai oleh relasi, baik relasi secara
eksternal (yang tidak langsung mempengaruhi hakekatnya, ambil misal: saya ada
di dekat mereka, hubungan antara saya dan orang-orang atau mereka tidak menjadi
bagian esensial dari saya dan mereka) juga secara internal (yang mempengaruhi
secara langsung hakekatnya, ambil misal: manusia adalah makhluk yang berakal
budi).[87]
Karena
itu, dikatakan relasi sebagai kenyataan fundamental di mana dalam konteks
budaya orang tidak melakonkan atau menjalankan budaya hanya pada tataran diri
sendiri, kelompok tertentu tetapi mencakup keseluruhan warga gendang yang juga
terdiri atas berbagai anak kampung misalnya.
Kehidupan
manusia selalu berelasi, hal mendasarnya adalah budaya senantiasa hadir dalam
kehidupan bersama, dengan begitu kuat mempengaruhi relasi dalam kehidupan
tersebut dan relasi di sana menjadi hal
yang mendasar ketika warga gendang menjalankan ritus-ritus budaya adatnya
secara bersama-sama. Tanpa kebersamaan relasi antar manusia dalam konteks
budaya Manggarai hanya merupakan relasi sosial semata, bahkan tidak terjadinya
relasi antar warga atau manusia.
4.2 Bentuk Relasi dalam
Kebudayaan Orang Manggarai.
4.2.1 Relasi Vertikal.
4.2.1.1 Dengan Tuhan.
Ungkapan
hubungan orang Manggarai dengan Tuhan melalui tanda-tanda konkret, yaitu dengan
upacara-upacara khusus, seperti doa (tudak/torok),
hewan persembahan, toto urat dan helang, yang menyatakan taat dan
tobatnya kepada Tuhan.[88]
Ada
berbagai macam kebaktian kepada Tuhan, yaitu upacara tobat, syukur, permohoman.
Upacara tobat seperti “kaba oke jurak”, upacara kepu munak atau pana mata leso.
Sedangkan, upacara syukur diungkapkan dengan “kaba sese topok, kaba randang golo, kaba ruda lodok”. Upacara
permohonan, misalnya “kaba kaer ulu wae atau kaba oke hanang, kaba bolang”.[89]
Upacara
yang paling populer berkaitan dengan relasi dengan Tuhan ini yaitu dengan acara
tae kaba. Istilahnya kaba nangki karena kutukan Tuhan adalah
kekilafan leluhur di masa lampau. Kutukan tersebut berupa keturunan tidak
berkembang, banyak yang mati, kehidupan keluarga kurang bahagia karena
penghasilan kurang, dan sebagainya.[90]
4.2.1.2 Dengan Leluhur.
Ungkapan
hubungan dengan leluhur (empo) dalam
budaya Manggarai yaitu dengan diadakannya upacara “kaba kaing dani” (upacara potong kerbau untuk memohon kekayaan,
kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagian hidup). Sebaliknya, ada juga upacara
potong kerbau karena diberi kesejahteraan, kemakmuran hidup, berkembangbiaknya
keturunan di dalam kampung, yang disebut dengan “kaba randang golo agu kaba sese topok”.[91]
Selain
itu, ada juga acara “oke cua”, yaitu
meminta leluhur (empo) untuk meminta
bantuan leluhur menjaga dan memelihara tanaman saat menanam padi atau jagung. Bisa juga dengan acara wuat wa’i, penti, dan kaba congko lokap.
Adapun
kerbau yang dipakai yang dipakai yaitu kerbau merah (tanda dimulai mendiami
sebuah kampung baru, segala yang baik diminta kepada leluhur untuk
menghilangkannya, juga roh-roh leluhur atau roh-roh lain tidak kaget karena
telah dihuni karenanya diminta untuk menjaga, selain itu minta kesejahteraan,
makmur, memelihara hewan piaraan, tananaman, mata air, kebun, rumah, kampung
tetap dijaga.[92]
4.2.1.3 Dengan Roh Kampung.
Konteks
Manggarai, acara yang menghubungkan relasi dengan roh-roh atau roh kampung,
misalnya dengan mengadakan upacara ngelong
(persembahan berupa sebutir telur kepada roh yang mengikat anak di hutan,
atau karena memotong salah pohon, mengikatkan dua pohon dengan tali dan
sebagainya, atau karena membunuh binatang, seperti katak yang kemudian binatangnya
sengsara seumur hidup, maka diadakan upacara ngelong, yaitu meminta maaf.[93]
Selain
itu, biasanya dalam berburu, bila saja pemburu ingin mendapat buruannya, maka
mereka mesti membawa sebutir telur kampung ke mata air tertentu, yang dianggap
tempat tinggal penghuni hutan. Kebanyakan, ketika telur tersebut dipersembahkan
maka buruan akan diperoleh.
Tidak
hanya itu, kepercayaan orang Manggarai yang disebut dengan naga. Ada naga tana dan
ada naga beo, ada juga naga mbaru. Naga bukan tergolong roh-roh (jahat).
Upacara
khusus yang kerap dilakukan adalah “takung
naga”, baik secara bersama-sama oleh warga kampung karena ada masalah yang
dihadapi bersama (misalnya acara paki jarang bolong), maupun secara khusus
dalam rumah-rumah keluarga,yang disebut “takung
naga mbaru”. Takung naga golo
biasanya juga pada saat mau perang
tanding, pergi main caci, yang
lazimnya di mezbah (compang),
benda-bendanya berupa tuak, cepa, ruha.[94]
4.2.2 Relasi Horisontal.
4.2.2.1 Dalam Lingkup Keluarga
Kecil.
Relasi
dalam keluarga mini bisa dilakukan misalnya, embong anak (timang anak), rening
anak agu entap tonin (memboboi anak, yang biasanya mengelus-elus kepalanya
agar bisa tidur yang juga disertakan dengan tepuk-tepukan kecil di bagian
punggung anak agar bisa tidur, juga disertai dengan lagu-lagu Manggarai berupa nenggo[95]).
Bisa
juga dengan memberi benda hibah kepada anak perempuan (widang), atau membagikan
tanah warisan kepada anak-anak laki (sistem partilineal). Acara wuat wa’I ketika hendak merantau atau ke
sekolah, acara cear cumpeng. Orang
tua juga menyiapkan belis bagi anak-anak laki-laki yang hendak menikahi seorang
gadis.
4.2.2.2 Dalam Lingkup Keluarga
Besar.
Hubungan
antara anak dan orang tua di dalam keluarga besar, yaitu berupa teing hang tinu (ela tinu) untuk kedua
orang tua yang sudah renta. Bisa juga dengan membunuh seekor kerbau atau
kambing (mbe kondo[96])
untuk mengucap terima kasih atas keturunan yang diberikan Tuhan.
Tidak
hanya itu, juga mempersembahkan hewan persembahan kepada nenek moyang atau
kepada Tuhan atas anugerah keturunan, kekayaan dan hasil yang melimpah.
Selain itu, wale sida anak wina, kumpul
kope keluarga besar menjelang pesta pernikahan. Yang kuat di sini adalah
hubungan antara anak wina dan anak rona.
4.2.2.3 Dalam Lingkup Kampung.
Bersama-sama
merayakan penti, dibuatnya sistim dodo dalam mengerjakan kebun.
Praksis-praksis budaya lainnya, misalnya dalam pemecahan kasus, saat terjadinya
kematian, musibah atau bencana yang disebabkan alam atau saat terjadinya
masalah besar yang terjadi di dalam sebuah kampung.
Terkait
dengan ini, ada banyak contoh yang sudah diberikan pada pembahasan sebelumnya
dalam skripsi ini.
4.2.2.4 Dalam Lingkup Umum.
Konteks
umum misalnya, ikut dalam kegiatan politik, permainan caci dengan warga kampung lain, yang kerap disebut meka landang (tamu).
4.3 Makna Relasi Orang Manggarai.
4.3.1 Relasi Geneologis dan
Perannya.
Relasi
geneologis misalnya menciptakan relasi adik – kakak, ayah atau ibu berupa teing hang tinu ata tua (memberi makan
orang tua yang kian renta) sebelum meninggalkan keluarga besar.
Hal
lainnya dalam urusan belis agu wale anak
rona ko benta anak wina (duduk bersama bila ada acara dari keluarga pihak
pria (dalam urusan apapun, baik perkawinan maupun kematian, dan lain-lain).
Sedangkan, benta anak wina (memanggil
keluarga pihak perempuan untuk terlibat dalam acara apapun yang diwujudkan
melalui kegiatan sida.
Perannya yaitu lonto
torok neki weki (duduk bersama keluarga) dalam menjawab setiap urusan
apapun, ambil misal bayar belis, ataupun sida.
4.3.2 Relasi Perkawinan sebagai
Penghubung.
Relasi
perkawinan, misalnya melalui perkawinan tungku
cu (antara anak lelaki ibu dengan anak perempuan saudara ibu), tungku canggot (antara anak laki-laki
ibu dengan anak perempuan saudara sepupu ibu), tungku dungka (ini sama dengan tungku
cu hanya saja terjadi pada lapisan kedua), tungku salang (perkawinan cucu-cece atau perkawinan cako).
Ada
juga berupa perkawinan lobo pa’a (dua
orang pria kakak beradik menikah dua perempuan kakak beradik), perkawinan duluk atau kempeng kabo (satu pria dengan dua orang gadis yang beradik kakak),
perkawinan lili (menikahi janda kakak
atau adik dari istrinya sendiri), perkawinan tinu lalo (seorang pria menikahi istri dari yang meninggal).
4.3.3 Relasi Vertikal dan
Kehidupan Beragama.
Banyak
orang Manggarai merupakan keturunan Muslim yang kemudian karena masuk ke
Kristen, memisahkan diri dari ritus agama. Hanya saja, secara adat, tetap agak
berbeda karena berbeda budaya yang kemudian dianut. Relasi dengan agama lain
terjadi misalnya saat acara pernikahan dan kematian atau terkena bencana lainnya.
Manggarai
menganut kepercayaan monoteisme inplisit, yaitu percaya pada Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek, Tanan Wa
Awangn Eta. Karena itu, relasinya dengan Tuhan melalui ritus-ritus
tertentu, sedangkan dengan kehidupan beragama Manggarai mengambil peran dalam
kehidupan Gereja yang menganut sistim perkawinan monogami dan terceraiberaikan.
Perkawinan seperti ini banyak diterima di Manggarai karena dipengaruhi
pandangan Gereja Katolik.
4.3.4 Relasi Baru dan
Kepentingan.
Ada
juga relasi di Manggarai yang karena kepentingan, misalnya pada tataran politik
praktis. Ambil misal, saat terjadinya pesta demokrasi, yaitu pemilihan pemimpin
adat di Manggarai pada konteks dulu, konteks sekarang, seperti pemilihan Kepala
Desa, Kepala Daerah, Gubernur atau Presiden (pemilihan langsung), pemilihan
Anggota DPRD.
Realitas
kepentingan baru tersebut, misalnya pengaruh politik, kuat memunculkan relasi
baru dalam budaya Manggarai, bukan karena suku atau klen di kampung. Hal
demikian terbukti ketika pemilihan Kepala Desa dan sejenisnya, lazimnya orang
Manggarai menerima tamu-tamu secara bersama-sama di Rumah Adat (Mbaru Gendang)
kehadiran politik di kampung menimbulkan relasi baru yang senantiasa bercorak
kepentingan.
4.3.5 Budaya Hambor.
4.3.5.1 Pengertian.
Hambor diartikan damai. Damai dari
perselihan karena terjadi kesalahan. Hambor
senantiasa diikuti dengan tuak laing. Hambor
konteks Manggarai selalu terjadi di Rumah Adat dan diurus oleh tetua adat
dengan sistim lonto leok.
Konteks
Manggarai, budaya hambor dilakukan dalam Mbaru Gendang yang diurus oleh Tua-Tua Adat, jika bersangkutan bersalah maka
akan didenda dengan seekor babi (ela wase
lima) dalam perkara apa pun.
Hemat
penulis, kata hambor, bila dimengerti
secara etimologis merupakan gabungan dari beberapa kata: ham (bo ga= oh begitukah?), ambo (serumpun, sekelompok, ada bersama
dalam satu kelompok, rumpun), mbor (mbi-mbor) jalan tak ada pada tempatnya
karena status yang tidak jelas dipicu oleh sebuah kekurangan tertentu yaitu ada
masalah, jalan sembarangan tak ada tujuan, tidak jelas), mbo lia (sejenis memanggil kembali sesuatu yang telah tiada atau
mati, misalnya saat ayam atau anak ayam mati, orang tua di kampung biasanya
menyebut mbo lia mo manuk, pada saat
itu ayam yang telah mati dipercaya bisa hidup kembali, bahkan bisa hidup itu
ayam), lia adalah sejenis jahe yang
biasa mengobati orang sakit atau bumbu penyedap masakan.
Kata
ham bo ga (merupakan ungkapan tanda
disetujui terhadap sebuah seruan tetapi bernada sinis dan tidak sopan menurut
adat orang Manggarai karena sebelahnya atau responden dianggap remeh).
Dengan
demikian, hambor adalah upaya
menghidupkan kembali relasi yang rusak atau mati dengan menggunakan benda-benda
perantara agar orang yang tercerai-berai, yang tidak jelas arahnya kembali ke
dalam rumpun kelompoknya dengan tidak lagi mengejek atau menganggap remeh
saudara-saudari yang mempengaruhi terjadinya sebuah kasus.
4.3.5.2 Budaya Hambor sebagai
Upaya Memperbaiki Relasi.
Dikatakan
sebagai upaya memperbaiki relasi karena pihak yang bermasalah duduk bersama di
Rumah Gendang. Penebusan kesalahan biasanya diistilahkan dengan vunis peheng,
yaitu berupa babi, ayam dan berupa uang.
Terkadang
persoalan-persoalan yang sukar diselesaikan akan bisa dipecahkan dengan hambor.
Relasi yang sebelumnya retak kemudian diperbaiki secara hukum adat di depan Tua
Adat, acaranya bisa berupa kepu munak
(akibat jurak), loma wina data, mencuri
barang milik orang lain atau membunuh orang lain tanpa sebab akibat atau karena
mabuk dan ketidaksengajaan. Semuanya dapat dipecahkan dalam ranah adat.
4.3.5.3 Makna Penting Budaya
Hambor.
Budaya
hambor sangat bermakna karena relasi
yang baru dan bahkan telah lama terpendam akan menciptakan relasi yang semakin
kuat. Misalnya, masalah perkara tanah.
Maknanya
adalah mengembalikan citra hubungan yang retak akibat tindakan kesalahan dan
justru memperkuat relasi. Intinya hambor dengan hati yang tulus dan terbuka.
4.3.5.4 Metode Budaya Hambor
dengan Pendekatan Lonto Leok.
4.3.5.4.1 Konsep Dasar.
Lonto leok dalam adat Manggarai,
sebenarnya sudah dimulai sejak munculnya orang Manggarai di tanah Manggarai. Manggarai disebut juga negeri Nuca Lale.
Namun, lazimnya dalam memecahkan setiap persoalan, orang Manggarai selalu lonto leok.
Mengutip Mgr. Van Bekkum, dalam
buku tersebut dijelaskan bahwa Manggarai adalah gabungan dari kata-kata mangga
yang berarti suah, dan rai
berarti lari. Buku tersebut juga menulis bahwa Manggarai disebut juga Nuca Lale. Nuca
artinya pulau, sedangkan Lale adalah
nama pohon kerbang (arto carpus) yang
memiliki warna kekuning-kuningan. Namun, ada juga yang mengartikan Nuca
Lale adalah Pulau Ular (pulau Nepa).[97]
Perilaku
itu dinyatakan juga melalui desain Rumah Adat dan sistem pembagian tanah milik.
Sistem pembagian tanah (lingko) di
Manggarai, mirip seperti sarang laba-laba (spider
web), sama juga dengan pembuatan Rumah Adat dan pembuatan Altar Adat, yang
biasanya berada di depan Rumah Adat.
Altar adat disebut sebagai watu compang, yang dipercayai sebagai tempat hadirnya Mori agu Ngaran, Tuhan Semesta Alam.
Konsep tentang Allah juga mengambil simbol Rumah Adat dan pembagian lingko
atau kebun kerja.
Orang
Manggarai melihat Allah sebagai sentrum segala sesuatu karena Ia adalah Wujud
Tertinggi dan Pemimpin Tertinggi. Begitupun dalam konteks pembagian sistem
dalam adat, selalu memandangnya dari aspek kekuasaan Sang Ilahi.
Demikian
kekuasaan Manggarai, mempengaruhi juga bagaimana mereka bersolider, membuat
sebuah keputusan selalu memperhatikan titah-titah pemimpin, sebagaimana kita
pahami dalam tulisan ini sebagai Siri Bongkok Sejati.
Siri
Bongkok itu adalah pemimpin atau pusat lodok,
yang berada dalam kebun sebagai simbol keistimewaan pemimpin membuat musyawarah
mufakat dalam mengambil kebijakan maupun dalam menentukan keputusan dalam
perkara apapun.
Budaya
lonto leok
kalau diterjemahkan ialah diskusi dialogis untuk memecahkan soal
bersama. Diskusi yang sifatnya melingkar. Budaya lontoleok bertujuan untuk mencapai nilai persatuan. Persatuan itu
juga, dicapai dengan dan melalui budaya politik, sehingga budaya lonto leok bisa juga diartikan sebagai
budaya politik karena persatuan dapat dicapai juga melalui budaya politik (politic culture).
Budaya
politik oleh Pye adalah istilah relatif baru yang berusaha membuat lebih
eksplisit dan sistematis pemahaman yang berkaitan dengan konsep-konsep yang sudah
lama mapan, seperti ideologi politik, etos dan semangat nasional, psikologi
politik nasional, dan nilai-nilai fundamental masyarakat.
Sementara, Sydney Verba mengartikan budaya
politik adalah pola-pola tertentu, orientasi yang mengarahkan dan membentuk
tindakan-tindakan politik. Budaya politik merupakan produk dari “collective history”.[98]
Budaya lontoleok dan nilai persatuan, mesti didasari oleh
adanya etika kepedulian. Judith White mengajukan karakteristik etika
kepedulian, seperti hubungan kepedulian (caring
relationship); individu yang menerima dan memberikan kepedulian itu; adanya
interdependensi; orang lain yang konkret; pengambilan keputusan berdasarkan
konteks dan partikularitas kasus; hubungan manusia yang bersifat sirkuler;
kebajikan dan keadilan.
Demikianlah bagi White, etika kepedulian
menyatakan perasaan, pikiran, intuisi dan intelek yang menyatu secara
intrinsik. Jika etika kepedulian dijalankan dan sebagai modal persatuan, dan lontoleok itu terlaksana dengan baik,
maka jelas akan menjadi acuan dasar pengkritisan internal adat dan pola laku
keseharian masyarakat Manggarai khususnya.
Prinsip lonto leok adalah solidaritas dan subsidiaritas. Istilah
“solidaritas” berasal dari bahasa Latin solidus:
padat, kompak, kuat. Dari sinilah bermula kata Perancis, yang diambil bahasa
Indonesia ‘solider’, yaitu setia kawan dan merasa senasib.[99] Dengan demikian, solidaritas adalah
kesetiakawanan, kerukunan dan kekeluargaan.[100]
Paul Budi Kleden menjelaskan bahwa solidaritas
terungkap dalam kesedian untuk menopang, dan meneguhkan subyek di hadapan
bahaya dan penderitaan yang mengancamnya.[101] Sedangkan, subsidiaritas adalah sebuah
prinsip saling membantu sesama dalam komunitas kelompok.
Budaya lonto leok
adalah subyek penghindaran stratifikasi sosial. Karl Marx membagi kelas sosial
ke dalam tiga golongan, yaitu golongan proletariat, kapitalis dan golongan
menengah. Sedangkan, Aristoteles membagi penduduk dalam tiga kategori, yaitu
golongan kaya, golongan miskin, dan
golongan yang berada di antara keduanya.[102]
Mendasar pada pembagian di atas dalam
masyarakat Manggarai, terdapat juga pembagian itu tetapi cendrung bersifat
klen, suku, dan itu adalah pembagian secara adat. Sedangkan, pembagian
berdasarkan tingkat ekonomi dilihat dari sistem kasta. Ada perbedaan yang
menyolok antara keturunan Raja atau bangsawan, begitu juga dalam kedudukan
adat, di Rumah Adat dan sistem pembagian lingko
atau kebun.
Untuk menghindari perbedaan itu, maka
orang Manggarai biasanya melakukan lonto leok,
khususnya dalam memecahkan masalah-masalah, tetapi tetap dalam lingkaran adat
dan sistem yang ada, yaitu tatanan ”Pemerintahan Adat”.
4.3.5.4.2 Maksud dan Tujuan Dasariah Lonto Leok.
Adapun
tujuan lonto leok, antara lain:
Compartmentalization. (menghindari,
yaitu pemisahan peran yang satu dengan peran yang lainnya, agar supaya orang
tidak menyakini adanya konflik antara peran. Karenanya, lontoleok hadir untuk tidak adanya pemisahan), social control (fungsi lonto leok adalah kontrol sosial. Kontrol
sosial adalah segenap cara dan proses yang digunakan oleh suatu masyarakat
untuk menjamin terciptanya konformitas para anggotanya terhadap harapan
kelompok atau masyarakat itu), Association
(suatu kelompok terorganisasi berupaya mencapai tujuan bersama). Keempat, Anticipation of identity crisis.[103]
Selain
itu, bertujuan untuk income
redistribution (yang dimaksudkan adalah pandangan-pandangan masyarakat,
yang dihasilkan untuk diretribusikan kembali untuk menemukan pendapat umum
kemudian dinyatakan), integration (suatu proses pengembangan
masyarakat, di mana segenap kelompok ras dan etnik berperan serta secara
bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi), internalize (memperlajari suatu secara lebih mendalam, sehingga
sudah mencapai respon kita yang bersifat otomatis dan tidak dipikirkan lagi).
Kemudian, lonto leok dapat terciptanya group
progress (perubahan sosial budaya yang menurut ukuran nilai tertentu
dipandang sebagai suatu yang baik), social order (suatu sistem
kemasyarakatan, pola hubungan dan kebiasaan yang berjalan lancar demi mencapai
tujuan masyarakat), social stabilization
(mencapai stabilitas sosial termasuk ekonomi, politik dan lain-lain), dan confidence (menghargai intergritas
kelompok. Dalam lonto leok, perlu juga
adanya kepercayaan sebagai bentuk motivasi intrinsik).
4.3.5.4.3 Bentuk Nyata dan Aplikasi Budaya
Lonto Leok.
Lonto leok sesungguhnya
sebagai perwujudan solidaritas dan bentuk keakraban masyarakat.
Koentjaraningrat mendefenisikan masyarakat dari sudut pandang antropologi
budaya. Baginya, masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk manusia yang
terikat dalam sistem adat-istiadat tertentu.[104]
Sedangkan, R. Linton mengatakan bahwa
masyarakat itu timbul dari konstelasi setiap individu, yang hidup berkerja
sama. Itu mengalami proses adaptasi dan orang bertingkah laku, sekaligus timbul
perlahan-lahan perasaan kelompok.[105]
Mengacu pada dua pandangan di atas, dapat
dinilai, bahwa lontoleok pun
muncul dari perasaan kelompok, yang berangsur-angsur membentuk kebersamaan,
yaitu dari the disered ke the desireable, sehingga muncul, apa
yang disebut dengan moralitas bersama.
Kita tahu bahwa solidaritas juga karena adanya lonto leok. Kita sebut solidaritas jadian. Artinya, terbersit karena
adanya musyawarah dan mufakat, dan ia lonto leok
sungguh menjadi simbol keakraban dalam masyarakat, sehingga lonto leok sungguh menjadi dasar utama
kehidupan manusia. Tentu saja, yang paling penting ialah, bahwa persatuan itu
sebagai idealisme utama menuju masyarakat yang bernilai.
4.3.6 Catatan Kritis Tentang
Pola Relasi dan Pertautannya dengan Kehidupan yang Lebih Baik.
Demikianlah
lonto leok menjadi tolok ukur dan
petunjuk utama menuju persatuan. Tanpanya, maka dengan sendirinya persatuan dan
nilai yang terkandung di dalam budaya menjadi mati. Karena itu, sangat
dianjurkan lonto leok untuk memecahkan setiap persoalan yang ada.
Bagi sekian pemimpin yang ada di
Manggarai senantiasa mengumandangkan agar diupayakan masyarakat menghargai lonto leok, baik untuk memecahkan
soal-soal juga untuk menciptakan rencana baru demi pewujudan cita-cita
pembangunan atau cita-cita masyarakat pada umumnya. Jadi, lonto leok sangat membantu masyarakat.
4.4 Kesimpulan.
Tindakan
nyata manusia untuk mencapai kesejahteraan adalah mesti dengan mengembalikan
citra relasi yang baik. Budaya Manggarai pada dasarnya sebuah budaya yang
teribat, yang menjadikan aspek kemanusian dan relasi menjadi hal penting untuk
terciptanya kesejahteraan bersama.
Ada
banyak hal yang mesti dilakukan orang Manggarai melalui budayanya sehingga
relasi tetap terjamin secara mutlak, baik terhadap Tuhan, sama dan lingkungan
alam sekitarnya memberi warna dan maksud dasariah yaitu bahwa hendaknya manusia
Manggarai mesti hidup di bawah payung yang sama yaitu mencintai manusia dan
kemanusian, mencintai Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya untuk tidak menimbulkan
keresahan dan kesulitan bagi manusia.
Praktek-praktek
adat di Manggarai, hanya mempunyai satu tujuan yaitu kebaikan manusia Manggarai
karena segala sesuatu sama sekali tidak bermanfaat, jika apa yang ada di
sekitar manusia tidak membantu manusia.
Lalu,
bagaimana caranya agar kehidupan itu diziarahi dengan baik, tentu pasti
bahwa ciptakan relasi yang baik dengan apa saja yang ada di luar adat, seperti
budaya Manggarai selalu hadir itu sebuah sikap dan cara berpikir yaitu meminta
maaf atas segala kekilafan dan meminta bantuan kepada Tuhannya untuk senantiasa
terjalinnya hubungan baik di antara warga dan senantiasa diberi kegembiraan
dari banyak sisi termasuk relasi semakin kuat dan kokoh.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan.
Manusia
adalah makhluk berbudaya. Karena ia berbudaya, maka untuk melekatkan
keberbudayaannya, manusia mesti berelasi dengan sesamanya. Kemudian relasi itu
menghasilkan cita rasa kehidupan yang etis yang sungguh menghidupi etika dan
norma-norma. Dengan berelasi, akhirnya manusia menemukan kediriannya: Siapakah
manusia itu, siapakah aku sesungguhnya?
Manusia
menjadi bernilai dan hidup hanya dapat terjadi kalau ia berelasi dan menjadi
manusia yang menjunjung tinggi kebudayaan, sehingga keteraturan menjadi
nischaya.
Ada banyak macam bentuk terciptanya
relasi antar manusia di Manggarai, misalnya melalui ritus – ritus adat, yaitu penti, congko lokap, paki jarang bolong,
paki kaba rae, mbele mbe kondo, yang selalu diiringi dengan sanda, banta, sae, caci, rangkuk alu,
danding. Tarian-tarian adat itu sangat menentukan meriah tidaknya
ritus-ritus dirayakan. Kesemuanya, menciptakan keakraban warga gendang.
Relasi manusia di Manggarai, juga
terjadi lewat kerajinan seni, berbisnis pada tataran budaya yang saling
menguntungkan, misalnya sistim wida, yaitu meminta dukungan dari pihak keluarga
wanita, yang berlaku untuk semua ritus, termasuk juga ritus kematian. Banyak
ritus-ritus di Manggarai yang memunculkan relasi.
Karena itu, Manggarai dan budayanya
tidak terpisahkan dari bahwa manusia Manggarai adalah makhluk intelek, pekerja,
sosial, bermain, bereligi, berbisnis, berpolitik. Selain itu, gaya yang
diperankan untuk menyelesaikan setiap kasus senantiasa menggunakan metode lonto leok. Tak heran juga, bentuk
simbol-simbol adat, ungkapan dan petuah, termasuk ritualistik kemanggaraian,
turut membentuk hubungan akrab antar warga.
Intinya,
budaya Manggarai justru mampu memunculkan relasi antar manusia Manggarai.
Ketika semua aspek-aspek budaya dijalankan sebetulnya bertujuan untuk
terciptanya relasi. Berarti yang diharapkan kesejahteraan dan kedamaian
bersama. Allah tujuan ingin senantiasa mencinta sesama itulah,
tindakan-tindakan budaya diadakan.
5.2 Saran.
Semua prilaku budaya tidak terlepas dari daya upaya orang
Manggarai untuk menghidupkan secara terus menerus budaya Manggarai. Aktus
budaya tidak lain tidak bukan hanya untuk kebaikan semua saja. Karena itu,
budaya Manggarai harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, dari
generasi ke generasi untuk tetap terus dikembangkan.
Meski demikian, kupasan penulis dalam skripsi ini tidaklah
sepenuhnya benar sebagaimana diharapkan pembaca. Masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan. Meski begitu, budaya Manggarai harus tetap menjadi
primadona, terutama budaya lonto leok
harus terus dipertahankan.
Lonto leok adalah modal utama bagi terciptanya hubungan
timbal balik yang tidak merugikan. Budaya lonto leok
tidak boleh pandang sebelah mata, karena bagaimanapun juga ia tetap menjadi
kebanggaan orang Manggarai.
Dengan begitu, orang Manggarai telah memelihara budaya dan
mempertahankan citra budaya yang begitu unik dan dibangga-banggakan orang Manggarai.
Untuk mempertahankan budaya Manggarai, pembaca harus pula memberi arti pada
budaya Manggarai karena penulis menyadari bahwa sumbangsih pembaca bagi
mekarnya budaya sangat dibutu
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
HALAMAN
PEMBIMBING
PERNYATAAN
LEMBARAN
PENGESAHAN
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
1.5 Metode Penulisan
1.6 Sistematika Penulisan
BAB
II PANDANGAN TENTANG MANUSIA
2.1 Siapa Manusia?
2.2
Manusia dalam Pelbagai Perspektif
2.2.1
Homo Sapiens
2.2.2
Homo Faber
2.2.3
Homo Socius
2.2.4
Homo Ludens
2.2.5
Homo Economicus
2.2.6
Homo Religius
2.2.7
Homo Politicus
2.2.8
Manusia Makhluk Berbudaya
2.2.9
Makhluk Berperasaan
2.2.10
Kesimpulan
BAB III KEBUDAYAAN MANGGARAI
3.1
Sejarah Manggarai
3.2 Unsur-unsur Kebudayaan
Manggarai
3.2.1 Bahasa
3.2.2
Sistem Pengetahuan
3.2.3
Organisasi Sosial
3.2.3.1 Sruktur Pemerintahan Adat
3.2.3.1.1 Tua Golo
3.2.3.1.2 Tua Gendang
3.2.3.1.3 Tua Teno
3.2.3.1.4 Sebuah Sintes
3.2.3.2 Berdasarkan Hukum Adat
3.2.3.2.1 Pembagian Tanah
3.2.3.2.1.1 Spider Web System
3.2.3.2.1.2 Sistem Bujur atau Biasa
3.2.3.2.2 Elemen Tingkah Laku Berhadapan dengan
Adat dan Silih Dosa
3.2.3.2.2.1
Pelanggaran Norma Moral Adat dalam Perspektif Tingkah Laku Kondisonal
3.2.3.2.2.1.1 Metode Tuak Laing
3.2.3.2.2.1.1.1 Konteks Spiritual
3.2.3.2.2.1.1.2 Konteks yang Tampak
3.2.3.2.2.1.2 Tala
atau Denda
3.2.3.2.2.1.2.1 Ekspressi Pemaafan Verbal
3.3.3.2.2.1.2.2 Berupa Benda
3.2.3.2.2.2 Pelanggaran Sistem Norma Adat dalam
Perspektif Penepatan Pembagian dan
Kepemilikan Lingko
3.2.3.2.2.2.1 Tuak Laing
3.2.3.2.2.2.2 Imbalan Jasa
3.2.3.4 Bentuk Hirarki Kelekatan Kepemilikan
Kekuasan
3.2.3.4.1 Sukuistis
3.2.3.4.2 Feodalistik
3.2.3.5 Struktur Rumah Adat
3.2.4
Peralatan Hidup dan Teknologi
3.2.5
Sistem Mata Pencaharian
3.2.6
Sistem Religi
3.2.7 Kesenian
3.2.8 Kesimpulan
BAB IV RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
4.1 Relasi sebagai Kenyataan
Fundamental
4.2 Bentuk Relasi dalam Kebudayaan
Orang Manggarai
4.2.1 Relasi Vertikal
4.2.1.1 Dengan Tuhan
4.2.1.2 Dengan Leluhur
4.2.1.3 Dengan Roh Kampung
4.2.2 Relasi Horisontal
4.2.2.1 Dalam Lingkup Keluarga
Kecil
4.2.2.2 Dalam Lingkup Keluarga
Besar
4.2.2.3 Dalam Lingkup Kampung
4.2.2.4 Dalam Lingkup Umum
4.3 Makna Relasi Orang Manggarai
4.3.1 Relasi Geneologis dan
Perannya
4.3.2 Relasi Perkawinan sebagai
Penghubung
4.3.3 Relasi Vertikal dan
Kehidupan Beragama
4.3.4 Relasi Baru dan
Kepentingan
4.3.5 Budaya Hambor
4.3.5.1 Pengertian
4.3.5.2 Budaya Hambor sebagai
Upaya Memperbaiki Relasi
4.3.5.3 Makna Penting Budaya
Hambor
4.3.5.4 Metode Budaya Hambor
dengan Pendekatan Lonto Leok
4.3.5.4.1 Konsep Dasar
4.3.5.4.2 Maksud dan Tujuan Dasariah Lonto Leok
4.3.5.4.3 Bentuk Nyata dan Aplikasi Budaya
Lonto Leok
4.3.6 Catatan Kritis Tentang
Pola Relasi dan Pertautannya dengan Kehidupan yang Lebih Baik
4.4 Kesimpulan
BAB V PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Usul-saran
DAFTAR PUSTAKA
RELASI ANTAR
MANUSIA
DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
St. Paulus Ruteng untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan
Program Sarjana Pendidikan
OLEH
MELKIOR
PANTUR
NIM:
08.31.1050
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN TEOLOGI
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
ST.PAULUS
RUTENG
2010/2011
HALAMAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
MANGGARAI
SKRIPSI
Telah disetujui
pada tanggal….
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Rm. Dr. Martin Chen, Pr Kanisius
Theobaldus Deki, S. Fil., M.Th
NDIN: NIDN:
Diketahui Keprodi Teologi
Hendrikus Midun, S. Fil. M.Pd
NDIN:
PERNYATAAN
Dengan
ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri sesuai dengan pengetahuan saya, sedangkan karya-karya lain yang diambil
dari sumber tertentu hanya sebagai refrensi saja sebagaimana termaktud dalam
catatan kaki dan daftar pustaka untuk mendukung argumentasi saya mengenai judul
tulisan ini. Dengan begitu, jika saja di kemudian hari bahwa ternyata skripsi
ini merupakan hasil jiplakan langsung dari skripsi manapun sebelumnya, maka
resiko ditanggung sendiri
Ruteng,…………,
2011
Melkior
Pantur
PENGESAHAN
SKRIPSI
RELASI
ANTAR MANUSIA
DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
Dipersiapkan dan Ditulis Oleh
MELKIOR
PANTUR
NPM: 08.31.1050
Telah Dipertahankan di depan
Dewan Penguji
Pada tanggal………………….2011
Di Program Pendidikan Teologi
Susunan Dewan Penguji
Penguji Utama
…………….
Penguji I, Penguji
II
……….
……….
Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar sarjana pendidikan
Tanggal…….
Rm. Dr. Yohanes Servasius
Boylon, MA
MOTTO
JADILAH PADAKU
MENURUT PERKATAAN-MU
(LUK 1: 38)
KATA PENGANTAR
Pada
dasarnya, manusia tidak terlepas dari kebudayaan. Untuk memahami dirinya,
manusia harus berinteraksi dengan lingkungan yang mendukungnya untuk bertumbuh
subur di tengah masyarakat.
Lalu,
bagaimana caranya supaya relasi itu tetap berakar, bertumbuh, berkembang dan
tetap mekar? Menjawabi pertanyaan ini, kita coba mengerling sebentar bagaimana
seharusnya relasi manusia dengan budayanya, khususnya budaya Manggarai
menghadapi kompleksitas hidup di masyarakat.
Untuk
itu, penulis coba mengajak budi pembaca untuk bertualang bersama saya di
tengah-tengah relung-relung pemikiran kritis logis yang dipaparkan dalam
tulisan ini, yang memang penting untuk diperhatikan dan dikritisi kira-kira
berpautan dengan kolaborasi dengan budaya, terutama sekali konteks dan perspektif
budaya Manggarai pada umumnya.
Selain sebagai pembuka tabir
pengkritisan manusia Manggarai dan budayanya, tulisan ini saya persembahkan
kepada kedua orang tua, yakni Bapak Theodorus Tamat dan Ibu Veronika Danut
(Almh) yang membesarkan saya, adik perempuan yang tercinta, Yovita Setia dan
Florida Sinar, kakak perempuan Theresia, termasuk dosen STKIP Ruteng, Rm. Dr.
Marten Chen, Pr dan Kanisius Theobaldus Decky, S. Fil., M.Th.
Terima kasih kepada Pa Nick, yang telah mendorong saya
untuk jadikan tulisan ini, yang dulunya makalah, kini dipoles sedikit menjadi
tulisan skripsi yang cukup dapat dipertanggungjawabkan kendati masih terdapat
begitu banyak kekurangan yang kurang diperhitungkan. Juga terima kasih kepada
Pa Poli, yang telah membantu penulis menyelesaikan tulisan ini berupa
perbaikan-perbaikan dalam seminar proposal. Hanya saja, hemat penulis, tulisan
ini sedikit memberi masukan dan bahan permenungan mengenai relasi manusia
Manggarai dan budayanya.
Ruteng,…………..2011
Penulis
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU-BUKU
Bagur,
D.Anton, Kebudayaan Manggarai: Sebagai
Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional, 1997, Ubhara Press : Surabaya,
Cet. II.
Baskara, TB., (Ed.) Aspek-aspek
Antropologi Sosial, 1997, Depdikbud, Jakarta.
Blake,
H. Reed, and Haroldsen O. Edwin, A
Taxonomy of Concepts in Communication, 1979, Hasting House : New York,
Second Printing.
Brata, T. Nugroho, Antropologi
untuk SMA Kelas XII, Juni 2007, Gelora
Aksara Pratama : Erlangga.
Deki, K. Teobldus, Tradisi
Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Satra, 2011,
Parrhesia: Jakarta.
Horton,
B. Paul, dan Hunt L. Chester, Sociology, Alih
Bahasa Aminudin Ram, 1984, Erlangga : Jakarta.
Huijbers,
Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah, 1982, Kanisius : Yogyakarta.
Janggur,
Petrus, Butir-butir Adat Manggarai,
2008, Artha Gracia: Ruteng, Buku I.
Kontjaraningrat,
Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, 2004,
Gramedia Pustaka : Jakarta.
Marzali,
Amril, Antropologi dan Pembangunan di Indonesia, 2007, Kencana:Jakarta, Ed.
I, Cet. 2.
Muhammad,
Bushar, Asas-asas Hukum Adat, 2003,
Pradanya Paramita : Jakarta.
Mulyana,
Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, 2001,
Remaja Rosdakarya : Bandung.
Nggoro,
M. Adi, Budaya Manggarai Selayang Pandang, 2006, Nusa Indah: Ende.
Oetama,
Jakob, (Peng), Indonesia Abad ke XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global,Agustus
2000, Harian Kompas : Jakarta.
Regus,
Max, dan Deki, K. Teobldus, (Ed.) Gereja Menyapa Manggarai: Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan
Cinta, Menjaga Harapan; Satu Abad Gereja Manggarai Flores, 2011, Parrhesia:
Jakarta.
BAHAN SEMINAR
Kleden,
B. Paulus, Teologi Politik J.B. Metz dan
Implikasinya untuk Pendidikan dalam Era Global dan Otonomi Pendidikan, (Makalah
Seminar STKIP St. Paulus Ruteng tahun
2004), Ledalero, 04 November 2001.
MAJALAH
Mursito,
N. Sunarto, Hidup Bernegara Mewujudkan Kondisi Hormat atas Martabat Manusia,
No. 1-12, Jld. XIV, Bln. Jan-Des 1985.
KORAN
Suara
Flores, Syukuri Gendang Baru, Meler Rayakan
Congko Lokap, Edisi 45 Thn II, Minggu ke-2 Agustus 2011.
__________,
Atasi Kematian Dini, Lecem Rayakan 'Paki Jarang Bolong”, Edisi 46 Tahun
II / 1-15 September 2011.
JURNAL
Tapung,
Marianus, Filsafat Pendidikan
Konstruktivisme dan Upaya Pencerdasan Sosial Peserta Didik dalam Jurnal
Missio : Wacana Iman dan Humaniora,
Vol.5, No. 1, Januari-Juli 2007.
Pembukaan
Undang-undang Dasar Tahun 1945, Bab X
tentang Warga Negara, Pasal 27 Ayat 1
dan Ayat 2.
KAMUS
Bagus,
Lorens, Dr., Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, Cet.
IV, September 2005.
Echols,
Jhon, dan Sadly, Hassan, Kamus Inggris-
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, Cet. XXV. 2003.
__________________________, Jhon,
U. Wolff, and James T. Collins, (Rev. and Ed), Kamus Indonesia – Inggris, Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, Edisi
Ke-3, Cet. IX, November 2003
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
INTERNET
Abbo,
Chyintia, Budaya Manggarai: Ragam Budaya Manggarai, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/p/budaya-manggarai_04.html) diakses 26 Oktober 2011.
______________, Upacara Roko Molas Poco, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/) diakses 27 Oktober 2011.
Jas,
Rofinus, SVD, Tarian Caci; Tarian Heroik
dan Menegangkan Khas Budaya Manggarai, (http://rofinusjas.blogspot.com/2009/01/budaya-1.html) diakses 27 Oktober 2011.
WAWANCARA
Frans
Ndour, Kamelus Ador, Petrus Jemali, Petrus Loros, Simeon Samu, Tua-tua Adat Gendang Lecem, di Rumah
Gendang Lecem, saat sebelum Acara Roban Paki Jarang Bolong, Rabu (11/9/2011).
Lambertus
Dapur, Tua Gendang Ruteng Pu’u, di Rumah Gendang Ruteng Pu’u usai pengambilan
gambar di sekitar Kampung Adat Ruteng Pu’u, Jumat (9/9/2011).
Acara
Congko Lokap di Gendang Meler, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten
Manggarai, Rabu (27/7/2011).
Abstraksi
Kata
kunci: Manusia, budaya dan relasi
Kepribadian manusia sejak lahir tentu selalu bersentuhan dengan budaya di
mana dia menapaki kakinya. Budaya di mana dia berada menjadi cikal bakal
seseorang tumbuh dan berkembang, sehingga betul-betul menjadi manusia beradab
atau berbudaya.
Karena
itu, relasitas manusia dengan budayanya kemudian menjadi pertimbangan awal
ketika kita hendak menilai karakter atau watak seseorang, seperti apa seseorang
bertingkah, baik seni berbusana, cara menyapa dengan orang-orang di sekitarnya,
sehingga tidak terjadi salah kaprah untuk menilai kedirian manusia secara
sepihak saja tanpa sebuah kajian radikal yang dapat dipertanggungjawabkan, yang
kemudian menjadi model bagi orang lain.
Terkait dengan itu, kemudian kita membuat sebuah sintetik kritis bahwa
penilaian terhadap kedirian seseorang secara pasti toh mesti bermula dari
sebuah pertanyaan: Dimanakah dia itu
dijadikan dan berhadapan dengan budaya apa?
Ditelisik menurut konteks Manggarai, jelas-jelas mengkritisi hal demikian,
yang memang sudah diatur meski secara lisan, yang mana pengaturan itu
terkandung dalam ritus-ritus dan bentuk-bentuk aplikatif lainnya, seperti cara menyapa, berbusana,
bagaimana menghargai orang tua yang merasa lebih, baik sisi umur, kedudukan
maupun pengalaman.
Toh, semuanya sudah diajarkan dan ditetapkan nenek moyang. Maka, jelaslah
relasi manusia senantiasa berhubungan dengan budaya, yang tidak bisa dipungkiri
sebagaimana tampak di Manggarai.
Pada
prinsipnya, budaya apapun yang ada di bumi senantiasa mengarah pada pembentukan
relasi. Di Manggarai, budayanya juga selalu mengarah ke sana dan ternyata
budaya justru mengarah ke sana yaitu relasi atau menciptakan relasi. Tujuan
akhir dari semuanya adalah persaudaraan sejati. Justru itulah yang mau dikupas
di sini bahwa bagaimana budaya Manggarai justru menjadi model yang baik
terciptanya hubungan atau relasi di antara warga kampung. Dengan budaya,
orang-orang menjadi saudara meski masyarakatnya sangat plural dan mencirikan
masyarakat yang heterogen dari banyak sisi terutama sekali kesukuan.
[1] Lingko artinya kebun, yang mempunyai lodok dan cicing. Lodok berada di tengah kebun, cicing
adalah batas luarnya.
[2]Chyintia Abbo, Budaya
Manggarai: Ragam Budaya Manggarai, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/p/budaya-manggarai_04.html) diakses 26
Oktober 2011.
[3] Loma wina data, artinya mengganggu istri orang dengan memperkosa
atau bersenggegama, selingkuh.
[4]Kanisius T. Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai:
Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, Parrhesia Institute Jakarta:
Jakarta, 2011, p. 30-34.
[5] Lonto Leok, kata ini merupakan gabungan dari kata lonto (duduk) dan leok (melingkar, berkeliling). Dengan demikian, lonto leok berarti duduk melingkar.
[6] Penti adalah acara syukuran panen
raya.
[7] Paki kaba rae, upacara mensyukuri kampung.
[8] Chyntio Abbo, Upacara Roko
Molas Poco, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/) diakses 27 Oktober 2011.
[9] Rofinus Jas, Tarian Caci; Tarian Heroik dan Menegangkan
Khas Budaya Manggarai, (http://rofinusjas.blogspot.com/2009/01/budaya-1.html) diakses 27
Oktober 2011.
[10] Ada wacana sekarang dari Pusat
bahwa urusan budaya diserahkan lagi
kepada Dinas PPO karena itu namanya bukan lagi PPO, tetapi kembali ke P&K.
Meski demikian, Pemkab Manggarai
diharapkan tulisan ini menjadi sebagai
sedikit bahan refleksi terkait dengan
budaya Manggarai.
[11] Wawancara dengan Tua Gendang
Ruteng Pu’u, Lambertus Dapur, Jumat (9/9/2011) di Rumah Gendang Ruteng Pu’u
usai pengambilan gambar di sekitar Kampung Adat Ruteng Pu’u. Penulis mengambil
Gendang Ruteng Pu’u sebagai tempat refrensi karena Gendang tersebut sangat
banyak diminati para wisatawan yang berkunjung ke sana. Selain itu, Gendang
Ruteng Pu’u, begitu lengkap untuk ukuran Kecamatan Langke Rembong di antara
gendang-gendang yang lain, baik sisi barong
wae (mata air), compang (mezbah
adat), natas (alun-alun), maupun lingko (kebun ulayat). Sedangkan,
memilih Gendang Lecem karena bertepatan
dengan kunjungan Muspida Kabupaten Manggarai, yang mana, penulis menyempatkan indah itu untuk
mengambil beberapa sumber.
[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
PT Gramedia: Jakarta, 2005, Cet.
Ke-IV, p. 564.
[13] Amril Marzali,
Antropologi dan Pembangunan di
Indonesia, Kencana : Jakarta, 2007, Ed. I, Cet. 2, p. 104.
[15] Pembukaan Undang-undang
Dasar Tahun 1945, Bab X tentang Warga Negara, Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat
2.
[16] Theo Huijbers,
Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius
: Yogyakarta, 1982, p. 253.
[17] Ibid., p.
259.
[18] Ibid., p. 87-88
[19] Marianus
Tapung, Filsafat Pendidikan
Konstruktivisme dan Upaya Pencerdasan Sosial Peserta Didik, dalam Jurnal
Missio, Wacana Iman dan Humaniora:
Discourse on Faith and Humanism, Vol. 5, N0.1, Januari-Juni, 2007, p. 77.
[20] Ibid., p.77-78.
[21] Lorens Bagus, Op. Cit., p. 221.
[22] Ibid., p.
27-29
[26]
Ora et
labora, yaitu berdoa dan bekerja, seperti
dikutip dalam 2 Tes 2: 8,10, di mana tiap orang harus bekerja, tidak boleh
makan roti orang dengan percuma, tetapi
harus berjerih payah, supaya jangan menjadi beban bagi orang lain. Bahwa orang
yang tidak kerja (kecuali sakit) tidak boleh makan. Perlu juga orang untuk
berdoa agar Tuhan memberi kekuatan dan
hasil yang memuaskan. Meski Dia yang memberi semuanya, baik doa maupun
kerja.
[27] Mind
set, yaitu bagaimana orang menempatkan pikirannya pada halnya yang benar
guna melahirkan hal-hal baru dan
menciptakan suasana kondusif di mana seseorang harus menapak dan
menjejaki kakinya.
[29] Sida anak wina maksudnya meminta pihak perempuan (anak wina) untuk mengambil bagian berupa
memasukkan dana atau berupa jenis benda lainnya untuk diberikan kepada pihak anak rona atau pihak laki-laki dalam segala urusan apa pun. Sida adalah sebuah imperatif karena itu sifatnya sine qua non.
[30] Rofinus Jas, Op.Cit.
[31] Petrus
Janggur, Butir-butir Adat Manggarai, Artha
Gracia: Ruteng, Buku I, 2008, p.87.
[32] Ibid.
[33] Ibid., p. 88.
[36] Wuat wa'i adalah pelepasan di
mana seseorang dibiarkan pergi ke tanah
orang, entah pergi sekolah atau mencari pekerjaan (kawe mose), tetap dibuatkan
sebuah upacara dengan mempersembahkan seekor ayam jantan putih.
[38] Orang kerap beranggapan, bahkan
secara pasti, katakan, bahwa segala sesuatu yang terjadi berkaitan dengan
kehidupan manusia tidak lebih dari apa yang dinamakan dengan penyelenggaraan
Ilahi, Allah yang menyelenggarakannya. Manusia adalah mediator-Nya. Karena itu,
manusia disebut sebagai jembatan kemahakuasaan Allah dalam rencana membangun dunia.
[39]
Reed H. Blake, and Edwin O. Haroldsen, A
Taxonomy of Concepts in Communication, Hasting House: New York, 1979,
Second Printing, P. 6.
[46] Max Regus,
dan Kanisius T. Deki, Gereja Menyapa
Manggarai: Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Keutamaan;
Satu Abad Gereja Manggarai Flores, 2011, Parrhesia: Jakarta.
[47]Chyintia, Abbo,
Budaya Manggarai: Ragam Budaya Manggarai, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/p/budaya-manggarai_04.html) diakses 27
Oktober 2011.
[52] Yohanes S.
Boylon, Violence Against Woman and
Manggaraian Culture, dalam Jurnal Missio, Wacana Iman dan Humaniora: Discourse on Faith and Humanism, Vol.5,
No.1, Januari-Juni 2007, STKIP St. Paulus Ruteng, p.27.
[62] Nangki
adalah sakit akibat telah menyengsarakan binatang-binatang atau hewan-hewan
tertentu. Sedangkan, Itang berarti
sakit dan penyakit yang diketahui oleh paranormal karena telah membunuh
binatang-binatang, seperti katak, ular, yang hanya sakit, misalnya hanya satu
kaki terpotong sementara katak tersebut masih hidup. Karena itulah, orang yang
melakukannya pun oleh Tuhan. Tuak laing
yang dimaksudkan ketika seseorang kena nangki
atau rudak, maka orang pintar
kemudian membawa sebutir telur ke tempat di mana seseorang itu telah
menyengsarakan seekor binatang tertentu.
[64] Rang
diterjemahkan secara langsung artinya gatal. Kae artinya kakak. Akan tetapi,
rang kae artinya soal siapa yang tertua karena usia saja.
[66]
Kanisius, T. Deki, Op. Cit. p.
89-90.
[69] Wawancara
dengan Tua Gendang Ruteng Pu’u
[72]
Suara Flores, Atasi Kematian Dini, Lecem
Rayakan ‘Paki Jarang Bolong’, Edisi ke-46, Thn II/I-15 September 2011, p.
9.
Salah seorang
ahli pemotong hewan saat paki jarang
bolong di Lecem Cibal sebagaimana tertera dalam gambar sebagimana
terlampir. Ahli potong hewan persembahan tersebut dinilai menurut keyakinan
orang Manggarai mempunyai ilmu tinggi yang memahami secara pasti terkait
pemotongan hewan persembahan karena seturut keyakinan orang Manggarai bahwa
bila pemotongan salah, maka akan berbahaya bagi pemotong hewan persembahan itu
sendiri, berarti pula ada yang kurang dari acara adat tersebut.
[75]
Lorens Bagus, Op. Cit. p.
172-173.
[76] Max Regus,
Kanisius T. Deki (Ed.), Op. Cit., p.
204.
Ata pecing sama dengan para normal yang mempunyai
ilmu dan penglihatan-penglihatan.
[79] Kanisius T. D, Op.Cit,. 58-59.
[83]
Minguan Suara Flores, “Syukuri Gendang
Baru, Meler Rayakan Congko Lokap”, Ed. 45, Thn II, Minggu ke II, Agustus
2011, p. 12. Congko Lokap merupakan
keharusan mutlak secara moral dari
adat Manggarai. Maka, Penti adalah sebuah keharusan moral
untuk menghargai wuar agu ceki, yaitu
nenek moyang dan Tuhan.
[84] Hadir pada waktu itu, Bupati Manggarai yang diwakili Wabup
Deno Kamelus, jajaran muspida lainnya, seperti Dandim 1612 Manggarai, Letkol
Infantry, Abdul Fatony, Kajari Ruteng, Gembong Priyanto, Kapolres Manggarai,
Pontjo, Ketua PN Ruteng, Robert, SH, Wakil Ketua DPRD Manggarai, Rafael
Nanggur, dan jajaran muspida
lainnya.
[86]
Partisipatif-demokratis dialogis hampir mirip dengan lontoleok yaitu duduk melingkar dalam memecahkan kasus adat yang
diurus secara adat oleh pemerintahan adat.
[87] Lorens
Bagus, Op. Cit., p. 947-948.
[88] Petrus
Janggur, p. 17.
[89] Ibid., p. 18.
[90] Ibid.
[91] Ibid., p. 48.
[92] Ibid., p. 49-57.
[93] Ibid., p. 64.
[94] Ibid., p. 64-65.
[95] Nenggo sejenis lagu yang biasa
dilantunkan oleh orang tua saat acara tertentu untuk menghibur kelurga. Nenggo berbeda dengan landu yang dinyanyikan saat acara caci atau pada saat pergi tewa tuak atau pante tuak, saat mengiris tuak aren. Sambil memukul-mukul tuak aren
dengan wagol (kayu untuk memukul
batang buah aren guna mengeluarkan tuak dari aren).
[96] Mbe kondo sejenis kambing yang berwarna
putih campur bintik-bintik hitam.
[97] Kanisius T. D, Op.Cit., p. 32-33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar