07/03/17

PEMBAHASAN: RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI

BAB I 
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang.

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia cenderung menjadikannya sebagai jembatan emas untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Selanjutnya, persoalan-persolan tersebut, misalnya perang tanding karena merebut tanah ulayat, yang mengklaim tanah lingko[1]  tertentu sebagai milik dari sebuah suku atau klen, milik dari sebuah gendang saja.
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing.
Secara umum, gendang adalah tempat tinggal nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.[2]
Pemahaman seperti ini, turut mempengaruhi cara berpikir orang Manggarai untuk coba melihat manusia atau suku lain sebagai musuh yang mesti dihancurkan. Manusia lain dianggap sebagai pesaing yang menakutkan. Bahkan, perhatian terhadap prinsip persaudaraan kian dikesampingkan.
Kurangnya perhatian terhadap nilai persaudaraan bahkan nilai-nilai budaya kerap terjadi dari masa ke masa, yang mempengaruhi nilai-nilai budaya dari masa ke masa kian pudar. Itu karena fungsi adat terlupakan dan manusia kerap menjadikan intelek dan perasaan kelompok mempengaruhi cara berpikir manusia itu sendiri, yang pada akhirnya arti makhluk berbudaya tidak mendapat tempatnya lagi dalam bingkai cinta kasih.
Konteks Manggarai, kebiasaan-kebiasaan, seperti loma wina data[3], menggarap batas tanah milik orang lain, mencuri barang atau harta milik orang lain di kebun, membunuh (melalui aktivitas perang tanding) sudah mendarah daging.
Kembali kepada situasi tersebut, orang Manggarai (Manggarai, menurut Van Bekkum, mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata Mangga yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Sehingga, Manggarai artinya sauh berlari[4]) coba membangun kembali citra buruk yang diperankan oleh masyarakatnya dengan berusaha melahirkan sebuah pendekatan lama, yaitu lonto leok[5]. Lonto leok kemudian menjadi pendekatan yang ampuh untuk merekatkan kembali relasi-relasi yang ambruk ulah perbuatan manusia yang tidak menjunjung tinggi manusia dan kemanusiaan.
Dengan begitu, tentu manusia dan budaya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan karena manusia adalah bagian dari budaya itu sendiri. Di Manggarai, Penulis begitu tergugah melihat bahwa relasi justru dan bahkan dapat juga terjadi atau muncul dengan dan melalui budaya, selain pendekatan lonto leok, juga dengan aktus-aktus adat, misalnya saja, budaya caci dalam ritus Penti.
Budaya caci dalam ritus Penti[6], Paki Jarang Bolong[7], Paki Kaba Rae, Congko Lokap, Roko Molas Poco dalam membuat Mbaru Gendang baru dan bentuk aplikasi budaya lainnya begitu kuat mempengaruhi ikatan sosial dalam masyarakat Manggarai.
Dilihat dari segi kata, roko berarti mengambil, molas diidentikkan dengan wanita cantik dan poco berarti gunung. Upacara ini merupakan upacara pengambilan kayu di hutan yang digunakan sebagai tiang utama dalam pembuatan rumah adat (Mbaru Tembong). Dalam upacara ini “Molas Poco” yang diambil untuk dijadikan tiang utama (siri bongkok) yang akan dibuat dan diletakkan di tengah-tengah rumah adat yang akan dibuat; dan rumah adat yang akan dibuat tersebut berbentuk kerucut dan bagian ujung atas rumah dipasang tanduk kerbau (rangga kaba).[8]
Caci yang merupakan tarian adat Manggarai, kemudian menjadi tontonan yang paling mengasyikkan. Secara terminologis atau peristilahan Manggarai, congko artinya membersihkan kembali, mengangkat kembali, mengambil kembali, menaruh kembali ke tempat sebelumnya atau ke wadah lain, sedangkan lokap artinya sisa-sisa bangunan.  Congko lokap adalah membersihkan sisa-sisa dari sebuah bangunan.
Secara etimologis, tarian “caci” berasal dari dua kata yaitu "ca" yang berarti satu dan "ci" artinya uji. Caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah. Maka dalam kamus sastra arti caci adalah tarian ketangkasan[9].
Selain budaya caci, praktek-praktek adat, yaitu budaya caca mbolot (memecahkan kasus) ketika terjadi kasus, justru menimbulkan ketertarikan untuk mengkajinya sedikit mendalam dalam bentuk tulisan ini karena Penulis menganggapnya begitu penting.
Melihat keterpurukan yang diperankan oleh manusia Manggarai, maka Penulis amat tertarik untuk mengupasnya, sehingga mengangkat tema: RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI, sebagai tulisan yang cukup menggugah Penulis sendiri dan barangkali bagi setiap orang yang coba menyentuhnya.

1.2     Perumusan Masalah.
Bertolak dari latar belakang penulisan di atas, maka perumusan masalah atas tema yang diuraikan, sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksudkan dengan manusia dan kebudayaan?
2.         Apa yang dimaksudkan dengan relasi antara manusia?
3.         Bagaimana relasi antara manusia dalam perspektif budaya Manggarai?

1.3     Tujuan Penulisan.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini, sebagai berikut :
1.         Menjelaskan hakekat manusia dan kebudayaan;
2.         Menjelaskan hakekat relasi antara manusia;
3.         Menjelaskan relasi antara manusia dalam perspektif budaya Manggarai.

1.4     Manfaat Penulisan.

Ada beberapa manfaat dalam tulisan ini, antara lain:
a.         Memberi pemahaman bagi masyarakat Manggarai bahwa pentingnya menghargai adat dalam memecahkan kasus-kasus, sehingga relasi yang terjalin tidak retak;
b.         Menjadikan adat Manggarai khususnya lonto leok terus dikembangkan dan dijaga sekaligus dipraktekkan, baik oleh masyarakat adat Manggarai, lebih khusus maupun oleh tamatan-tamatan STKIP St. Paulus – Ruteng agar dikembangkannya budaya Manggarai dalam praksis hidup kemasyarakatan;
c.         Membantu Pemerintah Kabupaten Manggarai, khususnya instansi terkait, yaitu Dinas Pariwisata[10] agar lebih mangaplikasikan budaya Manggarai menjadi sebuah budaya yang hidup dan menciptakan relasi antar warganya.

1.5     Metode Penulisan.

Dalam menyelesaikan tulisan ini, Penulis menggunakan metode kepustakaan dan juga berdasarkan hasil kajian kritis Penulis. Juga berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu Tua Gendang Ruteng Pu’u[11], Tua Adat Gendang Lecem, yang sempat ditemui Penulis.

1.5 Sistematika Penulisan.

Tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan Pendahuluan yang membahas tentang Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan L
Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab II berisi tentang Manusia Selayang Pandang. Pada Bab III akan diuraikan tentang Kebudayaan Manggarai. Selanjutnya, pada Bab IV dibahas tentang Relasi Antar Manusia dalam Perspektif Budaya Manggarai. Sedangkan, Bab V merupakan Penutup yang terdiri atas Kesimpulan dan Usul-saran.

BAB II
PANDANGAN TENTANG MANUSIA

2.1 Siapa Manusia?

Secara etimologis, manusia dalam bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Angglo-Saxon, mann). Dalam bahasa Latin disebut mens, berarti ada yang berpikir. Dalam bahasa Sansekerta, manu, yang artinya pertama, manusia pertama. Dalam arti anthropos berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Akan tetapi, sekarang kata itu diartikan sebagai wajah manusia. Homo dalam bahasa Latin berarti “orang yang dilahirkan di atas bumi”, bandingkan humus.[12]
Manusia menurut pandangan umum masyarakat dunia adalah ciptaan Allah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.  Emanuel Kant mengatakan bahwa manusia itu bernilai karena ditunjang oleh harkat dan martabatnya sebagai manusia. Martabat menurut Kant adalah sebuah nilai yang ada dalam dirinya sendiri. Nilai itu ialah nilai kemanusiaan, yang secara kodrat diciptakan oleh Allah dengan nilai yang tinggi.
            Terkait dengan itu, Clyde Kluckhon mendefenisikan nilai, sebagai berikut:
               A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influences the selection from available modes, means, and ends of action (Parson and Shill, 1965: 395)

                (Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang khas milik seseorang individu atau kelompok, tentang seharusnya diinginkan yang mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara dan tujuan-tujuan tindakan)[13]  
               
Dari defenisi di atas, yang perlu diperhatikan adalah kalimat kuncinya, yaitu ”value”. “Value” adalah konsepsi tentang seharusnya diinginkan. Di sini perlu diingatkan bahwa “hal yang seharusnya diinginkan” adalah berbeda dari “hal yang diinginkan”.

Sebagai konsepsi, nilai adalah abstrak, sesuatu yang dibangun di dalam pikiran atau budi, tidak dapat diraba dan dilihat secara langsung dengan pancaindra. Nilai hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan, dan materi yang dibuat manusia.[14]
            Nilai, dalam pengertiannya sebagai standar,  adalah konsep tentang the desireable. The desireable tidak sama dengan the desired. The desireable  adalah konsepsi tentang sesuatu “yang seharusnya diinginkan”, sedangkan the desired adalah hal “yang diinginkan”.
Nilai merupakan kriteria dalam menentukan tentang apa yang seharusnya diinginkan seseorang sebagai anggota dari suatu masyarakat, bukan tentang apa yang diinginkannya. Contohnya, ada banyak anggota DPR RI dari berbagai Fraksi Partai Politik yang menginginkan agar NKRI mesti memberlakukan atau menetapkan Undang-undang Pornografi yang mengatur tentang pornografi. Ini bukan nilai, bukan the desireable. Ini hanya sebuah keinginan.
Akan tetapi, kalau anggota DPR RI dari berbagai Fraksi Partai Politik mengatakan bahwa setiap Anggota Parlemen harus setuju dengan UU ini, maka ini barulah nilai. Ini adalah the desireable.
Jadi, nilai mengacu pada kategori “good” dan “bad”, dan “right” dan “wrong”. Nilai berbeda dari kepercayaan karena kepercayaan mengacu pada “true” dan “false”, dan “correct” dan “incorret”. Kepercayaan dalam pengertian popular sering juga diartikan sebagai yang disetujui dan diperintahkan oleh Tuhan.
            Dengan demikian, Jurgen Habermas membenarkan contoh di atas tadi, bahwa apa yang dianggap sah oleh semua bakal menjadi sebuah aturan, sebuah nilai. Karena norma ada, demikian Habermas, atas dasar kesepakatan dari semua. Tetapi perlu diingat bahwa nilai yang lebih ditekankan di sini ialah nilai manusia sebagai manusia.

Secara agama, manusia bernilai karena ia adalah makhluk yang khas, unik dan memiliki kehendak bebas yang bertanggung jawab. Dan, menurut hukum positif, manusia harus dihormati hak dasarnya yaitu hak untuk hidup. Itu berarti bahwa nilai manusia sebagai manusia harus mendapat tempat yang layak demi kesejahteraan manusia itu sendiri.
Dalam Pembukaan UUD’45,  khususnya Bab X tentang Warga Negara, Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2. Ayat 1: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ayat 2: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.[15] Penghayatan terhadap pasal ini membenarkan bahwa manusia mesti dihormati, manusia dan kemanusiaannya.
            Mendukung kajian di atas, Thomas Aquinas menerangkan bahwa manusia mewujudkan tujuan hidupnya melalui hubungan sosial dengan sesama, yaitu dengan wadah masyarakat. Oleh karena itu, hukum alam moral hanya berfungsi dalam hidup masyarakat tersebut.
Masyarakat, terang Aquinas, merupakan suatu kesatuan individu-individu. Kesatuan adalah suatu realitas sendiri dengan kepentingan sendiri, yang berbeda dari kepentingan umum. Masyarakat tertuju kepada kepentingan umum.[16]
Sedangkan, Brunner menolak baik individualisme dan kolektivisme. Manusia, kata Brunner, adalah makhluk sosial tetapi dengan hak-hak pribadi yang tidak boleh dirugikan orang. Manusia merupakan pusat aturan hidup bersama. Hidup bersama itu, kata dia, diwujudkan melalui sikap manusia yang baik terhadap sesama, yakni melalui sikap keadilan dan cinta kasih.
Makin dekat suatu hidup bersama pada manusia, tambah Bruner, makin hidup bersama itu ditandai oleh cinta kasih, seperti halnya dalam perkawinan. Makin jauh hidup bersama dari manusia, makin keadilan menonjol, seperti halnya dalam hidup bersama dalam Negara.[17]
           
Sementara, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), katakan, bahwa manusia pada hakekatnya merupakan makhluk yang bebas dan otonom. Kebebasan yang otonom itu menjadi dasar perasaan moral. Terdorong oleh perasaan moral itu, manusia tentu, paparnya, merasa berwajib untuk menjalankan suatu kehidupan yang baik.
Lain halnya dengan Rousseau, bahwa menurutnya, kebebasan dan perasaan moral  manusia diancam oleh situasi masyarakat yang ditandai oleh kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[18]
Meski demikian, kebebasan yang ditawarkan oleh Rousseau mesti dilandasi oleh norma yang menyatukan aspek-aspek sosial, sehingga kebebasan manusia harus bertanggung jawab.
Berbeda dengan Rousseau, pemikir lain, halnya seorang Alfred N. Whitehead mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan tetapi kebebasan itu mesti bertanggung jawab. Artinya, untuk mencapai saling pengertian, jelas Whitehead, dalam arti memiliki nilai harus dilandasi oleh the disired, seperti yang dikatakan Kluckhon.
Dengan begitu, berdasarkan pemahaman beberapa pandangan tadi, maka Penulis menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk bernilai, dan itu mesti didasari juga oleh hukum atau norma yang dianggap sah oleh semua sebagaimana tandasan Habermas untuk menegakkan kehidupan normatif yang semakin konsisten.
Manusia tentunya, meski merupakan makhluk yang senantiasa dikehendaki, jika dilihat dari sisi pandangan manusia, setiap orang perlu memperhatikan apa yang disebut dengan kesadaran eksternal akan tanggungjawabnya sebagai insan sosial, atau kerap orang sebut zoon politicon. Bisa juga makhluk sosial.


Dikatakan demikian, seperti yang ditandaskan Aquinas, di mana sesuai dengan pemahamannya  bahwa manusia mewujudkan tujuan hidupnya melalui hubungan sosial dengan sesama, yaitu dengan wadah masyarakat. Jika begitu, demikian menurut Aquinas, agar terjadi jalinan yang selaras pasti tentu butuh apa yang disebut dengan norma, kendati tujuan semuanya hukum moral akan menjadi nyata dan itu juga menjadi target utamanya.
Dengan begitu, apa pun konsepnya, hasil akhirnya demi manusia dan kemanusiaan, atau boleh orang kerap dengungkan sebagai kedamaian semua. Maka, kedamaian semua tentu butuh kesadaran semua pula. Dan, untuk mencapainya, tentu dilahirkannya apa yang disebut sebagai aturan, sehingga kesesuaian hidup kian nyata.

2.2 Hakekat Manusia.

Manusia yang normal selalu pada kondisi bertanya dan bertanya serta menemukan jawaban terhadap segala sesuatu yaitu Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Aristoteles (384-322) bahwa dari kodratnya manusia memiliki hasrat ingin tahu (human curiosity).
Dalam diri manusia ada dorongan untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang kenyataan yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi yang senantiasa membutuhkan pengetahuan baru (an inquistive mind), yang terbuka untuk mempelajari dan menyelidiki segala kejadian dan gejala.[19]
            Selain sebagai homo curiositas, manusia juga dilihat sebagai animal rationale. Juga Ernest Cassier (1874-1945), filsuf terkemuka aliran Neokantian mendefenisikan manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang menggunakan simbol-simbol. Tidak hanya itu, manusia juga kerap disebut sebagai animal educandus dan sekaligus animal educandum, yaitu manusia yang mendidik sekaligus dididik.[20]
            Ada juga predikat manusia lainnya, seperti homo sapiens, religius, politicus, economicus, sosial, berbudaya, berperasaan, homo faber, homo ludens, dan lain-lain. Selanjutnya akan dijawab pada kajian-kajian di bawah ini.

2.2.1 Homo Sapiens.

Menurut Aristoteles, manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk. Materi adalah badan karena itu manusia harus mati. Sedangkan, yang memberikan bentuk kepada materi itu adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi, yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang-binatang), akhirnya membentuk hidup intelektif.
Hanya karena fungsi yang terakhir ini, jiwa membentuk hakekat yang khas bagi manusia. Rationale inilah yang membikin manusia, kata Aristoteles, berhubungan dengan dunia materi dan rohani.
Aristoteles  kemudian membedakan antara akal budi pasif dan aktif.  Pasif, menurutnya, bersentuhan dengan materi. Sedangkan, akal budi aktif bersentuhan dengan yang rohani dan ia bersifat murni dan ilahi. Tugas akal budi aktif, kata dia, ialah memandang yang ilahi untuk mencari pengertian tentang makhluk-makhluk  menurut bentuknya masing-masing. Hasilnya adalah pengetahuan teoritis. Maka, di sini perlu ketelitian dan kebijaksanaan.
Aristoteles pun sangat menekankan ilmu-ilmu empiris, seperti fisika, biologi dan psikologi. Tugas lain dari akal budi aktif, demikian Aristoteles, adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Tentu di sini juga perlu kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Keutamaan-keutamaan teoritis dan praktis, baginya, justru membawa kepada kebahagiaan (eudaimonia), yaitu memiliki segala hal.

 Eduamania berasal dari bahasa Yunani, artinya kebahagiaan. Menurut Bagus dalam kamusnya menjelaskan, eudomania mengacu pada kebahagiaan oleh perlindungan roh yang murah hati. Dikatakan kebahagiaan menjadi tujuan utama manusia. Istilah  itu ada kaitannya dengan etika yang dirumuskan Aristoteles, yang mengatakan bahwa eudomania menunjuk pada jenis khusus perwujudan diri yang melibatkan kegiatan dan praktek akal seseorang, yang disertai kesenangan.[21]
 Tak hanya itu, Aristoteles pun berkeyakinan bahwa manusia dapat berkembang dan mencapai kebahagiaan, kalau ia hidup dalam polis. Aritoteles katakan bahwa vegetative  adalah hidup seperti tumbuh-tumbuhan yang mutlak tunduk pada hukum alam dan merupakan penurunan dari hidup manusia. Artinya, manusia juga tunduk pada hukum alam. Hanya saja manusia berada di atas tingkat vegetatif.[22].
            Berdasarkan pemikiran Aristoteles ini, kita bisa menarik benang merahnya, bahwa manusia yang terdiri dari materi dan rohani dengan kekhasannya masing-masing memberi warna, di mana manusia berbudaya karena manusia itu berada dalam perintah tirai intelek untuk mengenal dunia luar, berelasi dengan apa yang di luar termasuk memahami budaya-budaya dan budaya yang sedang diterimanya, sekaligus ”perangkat-perangkat budaya[23]”.
Dia juga menjelaskan, manusia mesti menghargai etika keutamaan[24] untuk mencapai eudaimonia,  dan hukum bertugas untuk menjaga pengliaran terhadap keutamaan-keutamaan. Karena itu, tanpa hukum, yang jelas hemat Penulis, keutamaan-keutamaan akan hambar, sehingga konsep Aristoteles di atas kemudian menjadi mubazir.


Manusia sebagai homo sapiens ini, kalau dikaitkan dengan konteks budaya Manggarai, dapat terlihat dari benda-benda adat yang ada di Manggarai. Selain benda-benda dibuat, nenek moyang orang Manggarai pun mampu berbicara adat dengan begitu baik, baik dalam bentuk bahasa adat, seperti goet, tudak, maupun acara adat lainnya.
Kita bisa mengambil sebuah sampel, di mana orang Manggarai begitu cerdas, yah misalnya, budaya caci dengan membuat beberapa peralatan penjadinya, seperti nggiling, gendang, ngong, lalong ndeki, panggal, nggorong, sapu, selendang, bali-belo, towe songke, peci, keris[25], termasuk peralatan rumah adat lainnya. Ini membuktikan tingkat pikiran orang Manggarai begitu tinggi.
Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa sebagai homo sapiens, manusia dipahami sebagai second creator, meski diakui bahwa ciptaan manusia itu hanyalah produk percikan-percikan akal yang diberikan Allah untuk menciptakan sesuatu yang baru, kendati seperti yang dikatakan Aristoteles, bahwa segala sesuatu sudah ada, sudah diciptakan semua sebelumnya, yang dianggap baru oleh manusia, sebenarnya telah ada, hanya dapat ditemukan saja oleh manusia. Semuanya sudah direncanakan.
Jika demikian, mengacu pada Aristoteles, kita tidak dapat menyangsikan bahwa manusia sebagai makhluk berakal budi adalah juga disebut mediator Dei, dengan mana manusia diangkat statusnya menjadi second creator.

2.2.2 Homo Faber.

            Sebuah ungkapan Latin yang paling populer dipakai orang-orang bahkan hingga dewasa ini, yaitu ora et labora[26]. Dari ungkapan ini saja, jelas-jelas manusia disebut sebagai makhluk pekerja. Dengannya, toh, untuk dapat bertahan hidup manusia harus dapat berkerja. Namun, lazimnya tidak semua perbuatan dikatakan atau termasuk bekerja. Jika begitu, pasti saja dipahami sebagai permainan (homo ludens).
Akan tetapi, Penulis tidak coba berbicara ke ranah itu di bagian ini karena alur berpikirnya soal bekerja untuk bertahan hidup dan memberi makna pada hidup. Karenanya, pemahaman homo faber, tentu mengarah pada bekerja yang senantiasa berorientasi pada nilai untuk dapat bertahan hidup, bukan hanya sebuah kesenangan belaka, sebagaimana yang dimengerti dalam ludensisme.
            Jika begitu halnya, di tanah Manggarai pun, konsep manusia sebagai homo faber ini ditampakkan melalui bagaimana orang Manggarai berusaha membuka lahan-lahan baru, meski mereka hidup berpindah-pindah (nomaden).
Orang Manggarai disebut sebagai homo faber dapat dibuktikan dengan adanya sistem dodo dan membuat hal-hal baru yang menghidupkan orang zamannya, meski tidak sehebat zaman sekarang, yang selalu beriringan dengan globalisasi dan modernitas, yang kian membentuk watak dan mind set[27] orang untuk menemukan arti hidupnya.
            Selanjutnya, dipahami bahwa ternyata kebiasaan dodo yang kerap dilakukan oleh orang Manggarai, justru menciptakan relasi di antara anggota kelompok, warga, suku dan sebagainya. Dodo malahan memberi makna mendalam bagi hubungan sosial manusia di Manggarai.
Lazimnya, dalam sistim dodo ini, ada istilah yang kerap orang sebut rambeng.  Kata rambeng itu sendiri dimengerti secara ambigu, yaitu sistem kerja yang tidak membutuhkan imbalan jasa, tetapi para pekerja hanya diberi makan siang saja, lalu bisa berlangsung selama beberapa hari.


Hanya saja, biasanya, sistem rambeng ini dilakukan pada saat sebuah keluarga membangun sebuah rumah, entah menggali tempat untuk buat rumah, atau lain sebagainya.        Sementara, dalam pengertian lain, kata rambeng itu sendiri dapat diartikan sebagai mengajak orang lain untuk bekerja di kebun atau di sawah dengan sistim harian, namun tetap dibayar. Karena itu, rambeng dipahami secara ambigu menurut kebiasaan orang Manggarai.

2.2.3 Homo Socius.

            Manusia adalah makhluk interaktif dan hidup dalam bingkai sosial. Tindakan manusia yang sosialis menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang  memahami dunia luar. Hal ini muncul dengan adanya prinsip solidaritas dan subsidiaritas.
Pada hakekatnya, relasi justru terbentuk karena dasarnya bahwa manusia adalah ciptaan yang tahu membagi dalam segala hal, dengan mana manusia diadakan demikian, halnya oleh Penciptanya.
            Namun, sosialitas manusia untuk konteks Manggarai berupa memberi dukungan saat pernikahan atau ada orang yang meninggal, menunjukkan bahwa begitu kental dan kuatnya kehidupan sosial, yang betul-betul turut membentuk dan mempengaruhi cara hidup orang Manggarai pada umumnya.
Hal lain lagi, seperti yang ada di Manggarai, di mana dalam membangun relasi dengan orang lain, dulu Manggarai lahir apa yang orang sebut sistem Kedaluan atau sekarang Kecamatan. Sistim Kedaluan melekat kuat sebagai satu kesatuan struktur sosial yang mengikat dirinya dalam sebuah bingkai sosial, sehingga toh, kemudian muncul keakraban yang begitu tinggi di masyarakat. Justru dengan sistim inilah, kekhasan sosialitas Manggarai menunjukkan dirinya sebagai sebuah masyarakat yang berkebudayaan dan berinteraksi dengan sesamanya.
            Bentuk lain sosialitas orang Manggarai, sebagai misal, yaitu bila ditelisik dari aspek budaya wida dan widang[28]. Ada juga yang disebut dengan sida anak wina[29],  bila semisal, acara Penti atau pernikahan dilangsungkan.
Jadi,  itu semua bentuk bahwa orang Manggarai punya corak sosial yang tinggi dengan sangat menjunjung tinggi budaya, yang dihidupi mereka, yang tak dapat dipungkir menunjukkan relasitas atau memunculkan relasi baru dalam kehidupan masyarakat Manggarai.

2.2.4 Homo Ludens.

Ekspresi budaya seperti budaya caci dalam budaya Manggarai tidak terlepas dari sebuah bentuk permainan. Tentu, ada berbagai bentuk permainan. Permainan tidak harus menargetkan nilai mutlak tetapi bisa saja sekedar sebuah kesenangan belaka, hanya saja ada juga permainan yang  mengarah pada nilai. Dan, kita tahu bahwa permainan adalah bentuk pengejawantahan relasi.
Caci merupakan pertarungan antara dua laki-laki, satu lawan satu, secara bergantian, sehingga tarian caci selalu dibawakan dua penari. Dalam caci ada pihak yang memukul (paki) lawannya hanya satu kali pukulan dengan menggunakan larik (pecut) atau tali yang terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan.
Kemudian, lawan yang dipukulnya diharapkan menangkis (ta'ang) dengan menggunakan  nggiling atau “perisai” terbuat dari kulit kerbau dan agang atau busur yang terbuat dari bambu atau rotan. Memukul dilakukan secara bergantian. Bagian  badan yang boleh dipukuli meliputi bagian pusar ke atas hingga wajah. Maka, seorang penari caci dinyatakan kalah bila pukulan larik mengenai bagian wajah hingga luka/ berdarah. Itu dinamakan beke atau aib, sehingga si penari harus berhenti bertarung dan seterusnya boleh diganti oleh temannya yang lain.[30]

Relasi dapat muncul dari permainan, seperti misal tarian caci ala Manggarai, memberi motif yang luar biasa terbentuknya relasi atas cikal bakal dari budaya. Ada banyak jenis permainan ditinjau dari perspektif adat Manggarai bakal menciptakan keakraban sosial. Ambil misal, sanda, sae, danding, mbata, dan lain-lain.
Sanda dinyanyikan di Rumah Adat sambil mengelilingi siri bongkok, sedangkan mbata dinyanyikan di Rumah Gendang sambil memukul gendang dan gong selama beberapa malam berturut-turut sampai puncak acara (penti atau tae kaba). Lagu-lagu sanda dan mbata mengandung banyak nilai positif, seperti persatuan, mendamaikan yang cekcok, mohon perlindungan, kesehatan, kesejahteraan hidup, rekreasi dan hiburan, mendidik keturunan dan mewariskan nilai-nilai luhur.[31]
Tujuan dari sanda dan mbata adalah merayu Tuhan agar menurunkan berkat-Nya sehingga manusia dapat memperoleh kesejahteraan lahir dan batin; menasehati atau mendidik generasi muda agar setia dan patuh pada tuntutan adat serta tekun dan ulet dalam hidup; mohon perlindungan agar luput dari penyakit; memohon kesuburan tanah dan kesejahteraan.[32]
Sedangkan, danding atau dende, di mana danding di Manggarai Timur adalah lagu hiburan di malam hari di halaman kampung atau Rumah Gendang, sedangkan di Manggarai danding atau dende hanya dipakai pada saat caci saja.[33]
Kehadiran seni-seni permainan adat tersebut, banyak mempengaruhi kerekatan sosial. Dengan begitu, dapat dikatakan, seni-seni permainan tesebut merupakan bukti bahwa semuanya berasal dan kembali kepada-Nya, juga menunjukkan identitas-Nya.
Nah, tentu dengan cara demikian, Tuhan menghibur, menyatukan ciptaan-Nya sendiri yang tercerai-berai, atau yang kerap tidak bersua, atau pula sulit sekali untuk hidup dalam sebuah komunitas kasih, dengan budaya, mereka saling berelasi dan membagi kasih.

Dengan begitu, sebetulnya Allah punya banyak cara untuk mencintai anak-anaknya, yang salah satunya, yaitu lewat penghiburan budaya. Ritus-ritus atau seni-seni itulah, yang membenarkan bahwa Allah memang dekat dengan ciptaan-Nya, bahkan menyatu dengan ciptaan-Nya.

2.2.5 Homo Economicus.

Manusia adalah makhluk ekonom. Hal ini bersentuhan dengan kebutuhan harian manusia. Konteks Manggarai, kegiatan ekonomi juga membuka ruang munculnya relasi, yang dapat ditunjukkan melalui pembuatan alat-alat adat,  juga mempunyai transaksi yang jelas. Tentu hal ini menciptakan relasi juga.
Transaksi dan nilai benda budaya, sebetulnya, tergantung kualitas yang dimiliki benda tersebut, sehingga turut mempengaruhi minat dan kemudian menciptakan relasi. Ambil misal, orang membuat benda seni, seperti nggiling, dan lain-lain menawarkan sebuah nilai adanya proses transaksi dan relasi. Dengan ketrampilan yang dimiliki manusia saja, lalu seseorang bisa hidup darinya dan relasi tetap aman dan sungguh terjadi.
Dikatakan bahwa benda-benda seni bisa menciptakan relasi, tentu tidak dapat ditolak. Alasannya amatlah sederhana, di mana tidak setiap orang mengerti atau terampil membuat benda seni, semisal nggiling (perisai) atau benda-benda penunjang seni lainnya. Maka, jelas ada proses transaksi di sana. Karena itu, sangat masuk akal bahwa dari sanalah terciptanya relasi baru.
Sedangkan, hal menarik lain dari segi peningkatan sistem ekonomi di Manggarai, yaitu dengan adanya sistem ijon dan tuda. Perbaikan ekonomi banyak sekali dalam bentuk ijon dan tuda, yang bahkan sistem ini hingga sekarang masih tetap ada. Itu semua lahir di Manggarai, yang mesti dipelajari sebagai pelajaran penting untuk diketahui oleh semua generasi.


2.2.6 Homo Religius.

             Orang Manggarai percaya pada Allah sebagai Mori agu Ngaran, Ata Jari Dedek, Pu’un Kuasa, Tanan wa Awangn Eta. Praktek kepercayaan orang Manggarai kepada Tuhan Semesta Alam dapat dilihat dari ritus-ritus adat, dan lain-lain.
Tentu manusia mencari Tuhannya karena manusia menganggap akunya lemah dan mati. Karena itu, ia mencari Yang Lebih Tinggi darinya. Keyakinan inilah yang membuat manusia sadar bahwa orang lain adalah Allah bagi dirinya, yang menjelma dalam diri orang lain.
Orang Manggarai melihat Allah adalah ibu dan bapak, yang melahirkan dan membesarkan mereka. Tetapi ada yang tak terbandingkan di atas itu ialah Allah. Keyakinan akan Allah, Tuhan Semesta Alam inilah membuat manusia sadar, bahwa ternyata, sesamanya bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri. Atas dasar inilah, maka terjadi relasi yang kuat dalam kehidupan.

 2.2.7 Homo Politicus.

            Manusia tidak luput juga dari politik. Untuk mendapat pemimpin, manusia mesti berpolitik. Dan, ternyata relasi hanya terjadi juga dari dan melalui politik. Orang Manggarai juga berpolitik untuk merebut kekuasaan. Misalnya, membuat klarifikasi yang jelas antara anak wina dan anak rona[34].
Tindakan belis termasuk juga sebuah kegiatan politik adat. Ini bermaksud, bahwa antara pihak perempuan dan pihak lak-laki harus ada mengatasi dan membawahi. Muncul di sini relasi yang jelas.
Di Manggarai, pada masa lampau dikenal adanya sistem feodal (bangsawan), yang dalam bahasa Manggarai disebut Keraeng. Beberapa jabatan tua-tua adat pada masa itu, yaitu Keraeng Raja Keraeng Dalu, Keraeng Gelarang, Keraeng Tua Golo, Keraeng Tongka, Keraeng Tua Teno.
Maka, dari sebutan jabatan-jabatan seperti itu, terdapat aspek politik yang melekat dalam kebudayaan Manggarai. Ambil misal, sistem pembagian lingko di Manggarai, yang kerap membedakan suku dan posisi dalam masyarakat.

2.2.8 Manusia Makhluk Berbudaya.

Manusia adalah makhluk berbudaya. Dan, kita tahu bahwa dengan dan melalui kebudayaan manusia bisa berelasi. Misalnya, budaya reis[35], menyapa orang lain atau cara menerima tamu dan tanda senang pada orang lain, dan lain-lain.
Selain budaya reis, yang menarik di Manggarai, misalnya saja, saat meminang anak orang, orang Manggarai senantiasa menggunakan sarana berupa cepa, kalau tidak melalui penyembelihan binatang piaran yang dipersembahkan kepada nenek moyang, yang diadakan dalam ritus-ritus tertentu.
Praktek budaya semacam ini, misalnya juga, saat acara wuat wai[36] sebelum seseorang berangkat studi atau berjalan ke luar daerah, entah mencari pekerjaan atau mencari pengalaman.
Jelas sekali, bahwa istilah orang Manggarai lalong bakok du lakon, lalong rombeng du kolen membenarkan orang Manggarai berbudaya. Jadi, ketika pulang juga, pasti disyukuri sebagai bentuk terima kasih kepada Tuhan Semesta Alam. Di situ, muncul kerekatan sosial manusia.

2.2.9 Makhluk Berperasaan.

Manusia adalah makhluk berperasaan. Hal ini nampak dalam sikap gengsi. Gengsi adalah sikap mempertahankan otoritas diri, akunya, ego, harkat dan martabatnya sebagai akunya, sekaligus kemanusiawiaannya. Perasaan juga justru menimbulkan relasi. Perasaan selalu bersentuhan dengan cinta, sikap erotis menginginkan sesuatu.
Ambil contoh, ketika Chelin dipinang oleh Edu, dan mereka berdua sama-sama Manggarai. Maka, hubungan keduanya, yang muncul akibat kerja perasaan melahirkan hubungan reciprocal relation[37]. Jadi, hubungan itu karena ”perasaan cinta”.

2.2.10 Kesimpulan.
           
            Salah satu keinginan dasar manusia adalah rasa aman dan memiliki apa yang menjadi cita-citanya, karena itu manusia selalu bersikap idealis. Cita-cita rasa aman itu, selalu muncul melalui cara berpikir pragmatis dan memiliki apa yang diidealkannya. Pencapaian idealisme itu tidak hanya berpikir tetapi juga berelasi dengan sesama dalam pelbagai bentuk.
            Hanya saja, terkadang cita-cita rasa aman itu dikejar dengan terjun ke sebuah institusi, seperti keagamaan, intitusi kepemerintahan. Bahkan, rasa aman itu dilaluinya dengan bergulat dengan situasi sosial tertentu, seperti terjun dalam dunia maya, antara lain: perjudian, dunia seks, dunia fantasi, halnya narkoba.
            Ironisnya juga, mental manusia terkadang untuk memperoleh rasa aman dengan getol terjun ke perjudian, dunia prostitusi¸ dunia fantasi lainnya seperti narkoba. Tetapi memang mesti diakui bahwa orang lari dalam dunia seks, karena dikejar oleh kemiskinan ekonomi rumah tangga. Jadi, sangat aneh dan tidak bisa ditentang oleh dunia, sebab begitulah dunia.
Terkait dengan pencarian rasa nyaman sebagaimana dipaparkan di atas, siapakah yang disalahkan, maka tentu saja tidak ada yang dapat menjawabnya. Tentu saja kembali ke konsep ”Penyelenggaraan Ilahi”[38], yang tak terbantahkan itu, bahwa segala sesuatu adalah empunya Dia, dengan tidak berarti, manusia tetap mental enak tanpa berupaya keras.
Akan tetapi, bagi kita yang dewasa, kita hanya berpikir, bahwa kita mesti menggunakan akal budi untuk keluar dari semuanya, dengan prinsip buang jauh-jauh rasa malu itu, karena rasa malu itulah yang membuat orang miskin di dunia dimanapun, kecuali tidak boleh melanggar Sepuluh Perintah Allah. Itu yang penting.
            Manusia pada dasarnya begitu lemah. Karena lemahnya, maka dia mencari perlindungan. Salah satu tempat perlindungannya adalah agama. Ia mencari Tuhan dalam agama tertentu.
            Sedangkan, manusia yang ingin dikasihi, cara yang dipakainya adalah dengan terjun dalam kehidupan sosial, yang merasa memiliki rasa belas kasihan. Misalnya, organisasi-organisasi tertentu, atau bentuk kehidupan lainnya, yang dinilai cocok dengan dirinya, maka bila tidak disenangi, seseorang itu mencari perlindungan lain, yang dirasanya betah.
            Akan tetapi, yang dimaksudkan ingin dilindungi di sini, ialah mendapat teman hidup, atau boleh dikatakan berkeluarga sebagai suami-istri. Selain itu, konteks kenegaraan, orang lalu membuat suatu badan atau pertahanan kenegaraan, seperti ABRI. Ini kan bentuk pencarian perlindungan terhadap pengaruh luar.
            Mencari perlindungan pada Tuhan, tentu melalui agama. Perlindungan diakui oleh negara dengan berlindung di bawah konstitusi atau undang-undang, atau juga menciptakan angkatan perang, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Perlindungan dari kesepian dan keturunan, tentu manusia harus hidup berkeluarga, selain mencari perlindungan dalam organisasi sebagai tempat dan sarana aktualisasi diri.
            Singkatnya, manusia adalah tipe manusia yang senantiasa ingin dilindungi dan dikasihi tanpa dipungkiri, karena semua manusia butuh bantuan orang lain dalam menjalani hidupnya, sehingga menjadi begitu lengkap dan memberi kepastian, bagi insan-insan untuk bertahan hidup.
            Dengan begitu, tentu budaya Manggarai juga merupakan tempat perlindungan. Misalnya saja terjadi kasus tanah yang tidak bisa diurus secara hukum positif, maka jelas yang bermain di sana adalah hukum adat.
            Karena itu, jika demikian halnya terjadi, kita dapat mengatakan bahwa budaya dan adat-istiadat sebagai tempat berlindung justru menciptakan relasi. Relasi selalu saja terjadi dari sana, jika betul-betul konsen dan diperhatikan.
            Pencarian manusia akan hidupnya mesti dan harus dengan prinsip menciptakan relasi, dengan melakukannya, maka seseorang akan begitu gampang menjalaninya.

BAB III
KEBUDAYAAN MANGGARAI

3.1 Sejarah Manggarai.

            Manggarai dam sejarahnya, mengikuti ulasan kritis buku
”Tradisi Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, tulisan Kanisius Teobaldus Deki, S. Fil. M.Th, dijelaskan bahwa Manggarai dari perspektif historis, ada tiga tokoh yang menjadi acuan utama, antara lain: Mgr. Van Bekkum, Doroteus Hemo, dan Damia N. Toda.
            Van Bekkum sebagaimana dikutip Jilis Verheijen, meneliti tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Bekkum, dalam buku tersebut, yang mengutip pernyataan orang Bima, katakan,  bahwa Manggarai adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan dengan suatu peristiwa terdahulu.
            Verheijen yang mengacu pada Van Bekkum, coba mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Macing. Konon, tulisnya, putra sulung Nunisa itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale.
            Doroteus Hemo, dalam buku tersebut, katakan, bahwa konon pada waktu perahu Mangga-Maci bersaudara itu tengah membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu – perahu hanyut. Pasukan Bima pun terperanjat dan berteriak. Sejak peristiwa itulah tanah Manggarai mendapat namanya hingga sekarang ini.
Selanjutnya menurut Dami N. Toda, tulis Deki, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai, manga berarti ”ada” tetapi kata ”raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata ”raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, kata Raja berari sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi, nyata (sebagai lawan kata yang bersifat seberang sana, asing).
Toda coba membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: ”ada (memiliki) sebab-musabab”, hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya: manga rajan: ada sebab musabab alasan, manga rajag: ada sebab musabab alasanku. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan ”Ada raja”, seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti: orang (manusia) dari dunia seberang, manusia roh, makhluk halus.
Perbedaan pemahaman soal asal-usul Manggarai, tulis Nick, bahwa sebelum abas ke-18, Manggarai dinamakan sebagai Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang yang memiliki warna kekuning-kuningan. Pohon Lale, menurut pengakuan petani merupakan lambang kesuburan.

3.2 Unsur-unsur  Kebudayaan Manggarai.

3.2.1 Bahasa.

Hollander mendefenisikan bahasa sebagai atribut distintif yang menyolok dari manusia. Dan, yang perlu ialah kontak dengan manusia dan terdiri dari arti-arti simbolik dengan stimulasi dan adanya tanggapan-tanggapan mediator. Bahasa sebetulnya sebuah ekspresi seni untuk mengungkapkan maksud-maksud dari sebuah entitas, halnya manusia, agar dapat dipahami lawan  bicara.[39]
Krech dan Hollander memahami bahasa sebagai mediator, sehingga bagi mereka bahasa berfungsi sebagai sarana atau alat utama komunikasi, membantu membentuk kepribadian dan kultur, dan bahasa memungkinkan pertumbuhan dan transmisi budaya, masyarakat yang berkesinambungan, dan mengontrol kelompok-kelompok sosial.[40]
Berdasarkan pemahaman dari kedua pemikir di atas, dapat kita sintesakan bahwa bahasa adalah alat kontrol sosial. Menjadi perantara saling pengertian antara komunikator dan komunikan[41].
Bahasa menurut Habermas tujuannya yaitu untuk mencapai saling pengertian, dengan tentu membutuhkan kejelasan, ketepatan, kebenaran dan kepastian dalam mengungkapkan suatu maksud.
Dari sinilah dapat kita simpulkan, bahwa bahasa tentu membutuhkan respon-respon positif terhadap stimulus-stimulus yang ditawarkan oleh subyek yang sedang berkomunikasi.
Konteks Manggarai, bahasa dilihat sebagai sarana relasitas komunitas konstruktif aktual[42] dalam segala bentuk kemungkinan menyampaikan suatu maksud tentang apa yang mau dikatakan.
Bahasa adalah sarana mewujudkan relasi sosial-budaya di mana manusia- manusia atau pribadi menyatakan holisitasnya, kediriannya kepada orang lain. Maka, yang penting dalam komunikasi yaitu bagaimana individualitas dan sosialitas diejawantah dalam ranah afektif, kognitif, psikomotorik, sosial dan spiritual[43].
            Bahasa adalah ekspresi pikiran yang muncul dari pengalaman dan pemberian langsung yang bersifat kodrat dan naturalis. Dengan ekspresi itu, orang lain kemudian memahami pesan-pesan tersembunyi yang terkontrak secara alamiah dalam pribadi-pribadi tertentu yang hendak bersosialisasi dengan pluralitas eksternal kompleks yang ada di luar dirinya.



Ada berbagai ekspresi bahasa untuk menyatakan suatu maksud tertentu,  seperti alegoris, kiasan, metaforis, personifikasi, puitis  yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.
Demikianpun dalam budaya Manggarai ada goet, atau bahasa kiasan dan bahasa metafora seperti ipung ca tiwu neka woleng inggut, wae ca nakeng neka woleng tae[44]. Ini sebuah model ekspresi bahasa representatif yang menciptakan konstelasi-kontelasi aspek-aspek sosial[45] dan pengertian-pengertian sosial.
Etika itulah yang menjadi landasan filosofis memperbantukan keterarahan dari aspek-aspek sosial. Bahasa dapat juga menimbulkan ketergantungan, perpecahan tetapi serentak juga kolaboratif budaya.
Menurut Verheijen Jilis A, di Manggarai terdapat enam rumpun bahasa, yakni:
1.      Rumpun bahasa Komodo yang terdapat dan dipakai di pulau Komodo dan sekitarnya.
2.      Rumpun bahasa Manggarai yang terdapat dan dipakai di wilayah Manggarai Barat, Tengah, Utara, Selatan, dan sebagian besar wilayah Manggarai Timur.
3.      Rumpun bahasa Waerana yang terdapat dan dipakai di Waerana dan sekitarnya.
4.      Rumpun bahasa Kempo yang terdapat dan dipakai di Kempo.
5.      Rumpun bahasa Rembong yang terdapat dan dipakai di wilayah bekas kedaluan Rembong.
6.      Rumpun bahasa Rajong yang terdapat dan dipakai di kedaluan Rajong.[46]
Dipertegas lagi sebagaimana ditulis Chytia Abbo, mengutip hasil penelitian Pastor P. J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Waerana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.[47]
Semua perbedaan dialeg tersebut akan sangat menciptakan relasi antar manusia Manggarai. Ambil misal, acara perkawinan. Saat-saat itulah akan munculnya relasi karena misalnya ketika meniru-niru atau belajar kepada yang jagonya logat-logat.
Intinya, keragaman dialek dan logat bahasa Manggarai dapat memunculkan bahasa, meski pengaruh perbedaannya dapat memunculkan perpecahan. Itu tak disangsikan pula.

3.2.2 Sistem Pengetahuan.

            Konteks Manggarai, sistem pengetahuan didasarkan pada sejarah, pengalaman, dan dibangun di atas struktur adat dan hukum adat. Pengetahuan tidak dibatasi pada deskripsi, hipotetis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang digunakan. Pengetahuan terdiri atas kepercayaan tentang kenyataan.
Beberapa cara untuk mendapat pengetahuan yaitu melalui metode ilmiah (pengamatan dan eksperimen); melalui logika atau metode deduktif, (misalnya semua manusi mati, Karx Marx adalah manusia, maka Marx juga mati); dan juga didapat melalui tradisi dan otoritas.[48]



3.2.3 Organisasi Sosial.

Pemahaman tentang organisasi sosial pertama kali diungkapkan oleh Antropolog Inggris Raymond Firth (1945-1955) dan Fredrik Barth (1966).  Konsep organisasi sosial adalah derivatif (derivatif adalah kata sifat yang berarti dikarang dari yang asli[49]) dari konsep struktur sosial yang diformulasikan oleh antropolog Inggris Radcliffe-Brown (1979). Organisasi sosial adalah adalah aspek dinamis dari struktur sosial, ia terdiri atas peran, dan berbicara tentang perilaku empiris dan situasional.[50]
Dengan demikian, sistem kemasyarakatan Manggarai yang turut menentukan pengaruh-pengaruh sosial ialah status perkawinan, sukuisme, klenisme, dan struktur Pemerintahan Adat. Itu semua turut mempengaruhi sistem kemasyarakatan di mana saja, tanpa terkecuali.
Struktur sosial tidak bisa dipungkiri karena melalui struktur itu, lahir paham kenegaraan, yang terdiri pemimpin dan rakyatnya. Demikianpun dalam organisasi sosial yang merupakan bagian dari masyarakat, ada struktur yang membentuk, yang kemudian mengarah kepada sistem kemasyarakatan.
            Sistem kemasyarakatan yang ada di Manggarai, justru menciptakan relasi karena dari struktur dengan tentu pasti terjadi hubungan, ambil misal, karena perkawinan. Woe nelu, anak rona dalam masyarakat Manggarai merupakan organisasi sosial yang mengikat dirinya karena adat, sehingga dari sanalah muncul relasi.
Menurut Kanisius Theobaldus Deki, dalam bukunya, Tradisi Lisan Orang Manggarai, dikatakan bahwa woe nelu adalah bentuk kekerabatan yang terjadi akibat perkawinan. Woe nelu[51] melahirkan istilah kekerabatan yang khas antara pihak keluarga laki-laki dan keluarga pihak perempuan.

 Ada juga semacam, organisasi sosial di Manggarai, yang lebih berpengaruh adalah organisasi adat, berupa organisasi caci, pertemanan caci. Ada banyak contoh tentang ini di Manggarai, misalnya kelompok dodo, dan sebagainya.
            Organisasi sosial di Manggarai bisa terwujud juga dengan sebutan kumpul kope. Kumpul kope banyak mempengaruhi relasi sosial, halnya di Manggarai. Ambil misal, kumpul kope sebelum meminang seorang gadis. Kumpul kope tidak terikat pada aspek hubungan darah, tetapi justru memunculkan relasi antar manusia Manggarai.
            Selanjutnya, adat budaya Manggarai membangun kebersamaan hidup dan relasi sosialnya atas filosofi dasar kebersamaan ”gendang onen lingkon peang”; relasi antara laki-laki (ata one/insider) dan perempuan (ata peang/outsider) pun dibentuk berdasarkan filosofi kerukunan dan kesatuan yang komplementaris (saling melengkapi) dan bukan pada filosofi kesetaraan  dan kesederajatan.[52]

3.2.3.1 Sruktur Pemerintahan Adat.

3.2.3.1.1 Tua Golo.

Lazimnya, pada tataran perkampungan, biasanya dipilih berdasarkan musyawarah mufakat, dan ia berasal dari keturunan tertua (rang kae) dari suku itu (ata ngara tana[53]), dan berlaku secara turun-temurun. Tugasnya ialah mengatur tata kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.


Dalam buku Budaya Manggarai Selayang Pandang, tulisan Adi M. Nggoro, seperti tercantum pada hal 78, dikatakan bahwa kriteria untuk menjabat Tua Golo,  pada umumnya memenuhi usia dewasa dan sudah menikah, orang yang asli warga kampung, sehat jasmani dan rohani, memahami adat Manggarai, mampu memimpin, dan tinggal di rumah adat (konteks sekarang, tinggal di rumah adat jarang terjadi, bahkan telah pudar).
Proses pemilihan kepala kampung, seperti dijelaskan Nggoro dalam bukunya, yaitu berdasar musyawarah dan mufakat warga kampung, dan bisa juga dipilih secara aklamasi, bisa juga musyawarah antara Tua-tua Keluarga Ranting. Semuanya dikondisikan, karena lebih mengutamakan rasa kekeluargaan dan persaudaraan.
Lebih lanjut, tulis Nggoro, tugas dan wewenang Tua Golo, diantaranya untuk memimpin sidang warga kampung menyangkut kepentingan warga kampung. Ambil misal, saat pagar kompleks kampung, rehabilitasi rumah adat, bersih kubur, membersihkan mata air.
Masa jabatan Tua Golo tak tentu, bisa sewaktu-waktu ganti sesuai situasi dan kondisi melalui rapat ”Tua-tua Panga[54]”.

3.2.3.1.2 Tua Gendang.

Orang yang dipandang sebagai Tua Gendang adalah orang yang dianggap mempunyai  kebijaksanaan dalam hidupnya atau orang yang dianggap mampu untuk memimpin dari anggota klen (panga). Tua Panga (kepala keluarga ranting). Tua Panga itu tinggal di usung Mbaru Tembong. Biasanya di sebuah kampung terdapat banyak suku dan Tua Gendang itu dipilih dari suku-suku itu.


Dan, Tua Gendang tidak hanya satu orang, tetapi ditentukan berdasarkan suku yang dianggap mampu. Di Mbaru Gendang, semua atribut disimpan. Urusan Gendang ini sangat terkait dengan kebun komunal, yang dikenal dengan prinsip “gendang one lingkon peang”, karena kebun (lingko) itu dianggap sah menurut adat ditandai oleh adanya Tua Tembong yang bertanggung jawab secara adat dalam pembukaan kebun yang dimaksud.

3.2.3.1.3 Tua Teno.

            Tua Teno, ditunjuk dari anggota klen (tua panga), yang dipandang mampu dan bijak untuk mengatur kepentingan bersama dalam pembukaan kebun serta semua urusan adat, yang berpautan dengan kebun tersebut. Tua Teno dapat melaksanakan fungsiya setelah mendapat restu dari Tua Gendang, yang dimusyawarahkan dalam Rumah Gendang.
            Bila disetujui, maka mereka segera memukul gong sebagai tanda setuju dan memanggil pa’ang olo ngaung musi untuk memusyawarahkan penentuan pembukaan kebun dimaksud. Jenis lingko  ada dua, yaitu Lingko Ela dan Lingko Randang. Dinamakann Lingko Ela karena hewan persembahannya yang tertinggi adalah babi. Sedangkan, dikatakan Lingko Randang, karena lingko tersebut panennya baik dan dalam pesta randang, hewan sembelihannya ialah kerbau dengan mengundang semua pa’ang olo ngaung musi.
            Mengutip Nggoro, melalui bukunya, dikatakannya bahwa Tua Teno adalah kepala bagi tanah ulayat. Tua Teno harus dipilih secara musyawarah karena ia mewakili tuan tanah, anggota kerabat yang lain. Tuan tanah adalah pemilik tanah, dalam arti bahwa, dialah (merekalah) yang pertama tinggal, menetap di lokasi tanah atau di sekitar tanah tersebut, sehingga dapat sungguh-sunguh memahami status keabsahan atau kepemilikan tanah, dan sejarah tanah tersebut.
            Ditulis juga bahwa, sebagai keluarga pendatang kemudian menetap di kampung tertentu, ia tak diizinkan menjadi Tua Teno. Hanya yang diperbolehkan kepadanya ialah mendapat pembagian tanah ulayat dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Resikonya, tulis Nggoro, ialah Tua Teno beserta anggota tuan tanah yang lain sebagai penanggung jawab, ketika suatu saat kebun ulayat (lingko) diganggu gugat oleh pihak lain, maka penanggung jawab utamanya adalah Tua Teno.

3.2.3.1.4 Sebuah Sintesa.

Struktur Pemerintahan Adat ini memberi tanda dan bukti yang jelas, bahwa Pemerintahan Adat juga sebagai simbol relasi dalam budaya Manggarai. Relasi itu bukan tanpa musyawarah, tetapi atas dasar the desired and the desireable, dan berada dalam lingkaran musyawarah-mufakat.
Kita telah mendengar, bahwa pemilihan Pemerintahan Adat, selalu saja atas dasar musyawarah. Itu berarti, warga mesti melakukan temu warga, dengan begitu pasti ada ada relasi, yang kemudian melahirkan relasi yang berstruktur.
Boleh dikatakan, ada keinginan-keinginan, kemudian keinginan-keinginan tertata dalam sebuah wadah dan diatur dalam bentuk persatuan, sehingga sebuah struktur menjadi struktur Pemerintahan Adat yang akurat dan jelas.
Dengan demikian, Pemerintahan Adat adalah relasi yang terjalin secara kuat dan dapat dipetanggungjawabkan berdasarkan ketentuan bersama atas dasar kehendak dan kesepakatan yang dianggap sah oleh semua, yang kemudian, membentuk sebuah tatanan norma bersama.
Hal ini benar, sebagaimana ditandaskan dalam teori Etika Diskursus Habermas, bahwa adanya sebuah norma harus dan melalui kesepakatan bersama dan dianggap sah oleh semua. Atau, seperti yang dikatakan Abraham Lincoln, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


3.2.3.2 Berdasarkan Hukum Adat.

Kita mengetahui bahwa dalam kebudayaan dari sebuah daerah terdapat hukum adatnya. Hukum adat sebagai aspek dari kebudayaan.[55] Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum adatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum diartikan sebagai peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dilakukan oleh pemerintah, undang-undang, peraturan-peraturan, patokan, mengenai peristiwa tertentu, keputusan yang dijatuhkan hakim-hakim.
Jadi, hukum adalah tata aturan atau norma yang disahkan bersama dalam menyepakati suatu hal. Adat diartikan sebagai kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun, kebiasaan yang diturut dari nenek moyang sejak zaman dahulu kala.[56] Maka, hukum adat adalah hukum yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum ada sifatnya yang tidak tertulis, namun disetujui oleh masyarakat tertentu.[57]

Reinach mengambil kesimpulan, bahwa hukum adalah suatu gejala yang bersifat idiil. Yang idiil mempunyai suatu keharusan, maka berlaku sebagai norma. Akan tetapi, norma hukum tidak boleh disamakan dengan norma-norma lain yang tetap berarti, yakni norma-norma etis. Norma-norma yuridis memang berlaku, tetapi selalu terdapat kemungkinan bahwa norma itu lenyap pada suatu ketika karena tidak cocok lagi dengan kebutuhan dalam hidup bersama.
Maka dari itu, dapat dibenarkan bahwa hukum mempunyai suatu bidang tersendiri, yang terpisah dari bidang lain. Gejala hukum tidak sama dengan gejala lain.[58] Koentjaraningrat, dalam hukum adat, sifat komunalnya karena kepentingan individu. Dalam hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, hak-hak individu dan diimbangi oleh hak-hak umum.[59]

F. D. Hollemen, membagi empat sifat umum hukum adat Indonesia, yaitu religio magis (filosofi dan paradigmanya, yaitu prelogis, animisme dan pantangan), komun (filosofinya yaitu gaib merupakan bagian dari kosmos dari keseluruhan kehidupan jasmani dan rohani), contant (filosofinya dengan perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, dengan serentak bersamaan waktu-waktu, tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat).
Selain itu juga, apa yang disebut dengan concret (filosofinya dalam alam pikiran yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diingini, dikehendaki, atau akan dikerjakan, ditransformasikan dan diberi wujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya berupa obyek yang dikehendaki, misalnya simbol, tanda-tanda magis.[60]
            Karena itu, sifat umum hukum adat memberi ruang bagi penganutnya untuk beraksi dengan tanda-tanda atau simbol-simbol, maksud-maksud, yang pada finalnya menimbulkan minat kebersamaan, dan relasi menjadi kuat di antara warga kampung adat.

3.2.3.2.1 Pembagian Tanah.

3.2.3.2.1.1 Spider Web System 

Model ini menggunakan pendekatan lodok dan cicing. Sistem ini menggambarkan bagaimana relasi dalam budaya Manggarai, khususnya relasi struktural. Lodok biasanya berada di bagian tengah, sentrum kebun ulayat.


Lodok melambangkan seorang pemimpin yang mengatur jalannya sidang pleno. Cicing melambangkan batas luar kekuasaan atau penjaga struktur. Dalam lodok itu, biasanya Tua Teno menancapkan sebuah kayu Teno di pusatnya, atau dalam bahasa setempat tente teno.
            Spider web System adalah suatu cara pembagian lingko,  yang memiliki nilai kebudayaan yang tinggi, yang melambangkan keakraban dan kesalinghubungan manusia, dengan pola pandang subyek-subyek atau win-win, meski tidak disangsikan juga, bahwa setiap musyawarah-mufakat, mesti membutuhkan moderator atau pengarah diskusi.
            Perlu diakui, bahwa sistem lonto leok menjadi metode yang sangat menonjolkan kecintaan dan memunculkan sikap dialog partisipatif demokratis, yang bisa menunjang kesalingpengertian dengan sikap respek yang dapat membawa sebuah situasi hidup sosial masyarakat, yang menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat manusia di berbagai segi soal, dengan tidak memandang status dalam persona yang berbeda, tetapi memandang perbedaan dalam status yang sama, yang tidak berat sebelah dan sungguh-sunguh integral.
Relasi Manggarai, selalu berpautan dengan budaya atau sistem pembagian lingko. Di sini, ada kesamaan yang jelas dan menunjukkan bagaimana tipe kepemimpinan orang Manggarai selalu bersifat lingkaran, seperti sarang laba-laba. Orang sebut ini sebagai simbol musyawarah-mufakat atau lonto leok.
Pembagaian lingko seperti ini membuktikan bahwa orang Manggarai, budaya relasitasnya tinggi dan mengambarkan bagaimana tipe kepemimpinan semacam ini menunjukkan persamaan hak dasar manusia dan sama-sama menjunjung hukum, khususnya hukum adat.

3.2.3.2.1.2 Sistem Bujur atau Biasa.

Model bujur banyak ditemukan di mana-mana di seluruh dunia. Di Manggarai, pembagian dengan menggunakan spider web system (SPS) bisa terjadi kalau daerahnya memungkinkan untuk itu. Kalau di dataran yang terjal, gunung-gunung, spider web system sedikit disesuaikan karena harus sesuai dengan kondisi topografisnya.
Tetapi meski demikian, sistem lodok dan cicing, masih tetap ada. Di setiap kebun atau lingko, pasti ada cicing dan lodok. Ini menunjukkan bahwa tipe kemimpinan di Manggarai, bisa lontoleok dan bisa juga dengan sistem berderet.

3.2.3.2.2 Elemen Tingkah Laku Berhadapan dengan Adat dan Silih Dosa.

Kehidupan bermasyarakat, pada hakekatnya tidak luput dari berbagai gejolak dan munculnya masalah-masalah yang mempengaruhi sikap hormat terhadap manusia dan kemanusian. Lazimnya, setiap tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum adat, pasti akan disanksi.
Hal ini nampak dalam upacara-upacara tertentu untuk membangun kembali relasi manusia, dan bahkan dengan Yang Tertinggi. Silih dosa itu, biasanya orang kerap bilang mandi  (cebong), dan bahkan ada upacara hitam.
Di Manggarai, upacara silih dosa, biasa dilakukan untuk menghindari diri dari kebiasaan lama, dengan maksud menjadi manusia baru. Pelanggaran terhadap norma moral dan sistem norma adat, sering dilakukan, yang biasanya mempengaruhi relasitas keluarga itu sendiri. Di sini, ada beberapa jenis pelanggaran dan metode untuk keluar dari silih dosa, antara lain:

3.2.3.2.2.1 Pelanggaran Norma Moral Adat dalam Perspektif Tingkah Laku Kondisonal.

Pelanggaran norma moral adat, dapat terjadi karena tingkah laku kondisional, yang sadar maupun tak sadar menimbulkan kerentanan relasi di antara manusia. Dipahami bahwa setiap manusia di bawah hukum adat sama apabila melakukan kesalahan.
Kesalahan itu mengakibatkan relasi mandeg, fatal dan menimbulkan keresahan karena salah paham dan prasangka buruk tertentu, keinginan atau haus kuasa. Ada dua metode pemecahannya, sebagai berikut:

3.2.3.2.2.1.1 Metode Tuak Laing.

Orang Manggarai, setiap kali melakukan kesalahan. Kesalahan itu terkadang disengaja atau tidak disengaja menghancurkan relasi, apalagi itu bersimpangan langsung dengan budaya. Motode yang sering dilakukan ialah tuak laing.
Tuak laing berarti orang meminta maaf atas kesalahan dengan meminta mu’u luju lema emas[61] atau kebijaksanaan dari orang yang patut memberi kebijakan. Ada dua obyek pemintamaafan karena ulah-ulah tertentu, antara lain:

3.2.3.2.2.1.1.1 Konteks Spiritual.

Konteks pemintamaafan di sini ialah kepada roh nenek moyang, bisa juga kepada Pencipta Semesta. Istilah yang paling sering didengar di daerah Manggarai akibat melakukan kesalahan disebur rudak.  Rudak ini disebabkan oleh perbuatan seseorang yang secara sengaja atau tidak sengaja melakukan kesalahan terhadap alam, binatang-binatang dan tetumbuhan.
            Keyakinan orang Manggarai dibenarkan oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, bahwa setiap makhluk mempunyai jiwanya. Dengan demikian, konteks Manggarai, di mana ketika makhluk yang kita sengsarakan mengeluh pada Penciptanya, maka manusia yang perusak itu sakit dan bahkan bisa mati.
Keyakinan orang Manggarai itu, bisa disebabkan oleh nangki[62], maka ketika itang didapat, maka orang kemudian berusaha mencari benda-benda tertentu untuk melakukan silih kesalahan atau dosa. Ambil misal, tuak laing. 
Biasanya penyilihan membutuhkan ata pecing, orang yang mempunyai karisma ilahi (paranormal) khusus untuk keluar dari soal-soal berat itu.

3.2.3.2.2.1.1.2 Konteks yang Tampak.

Konteks yang tampak ini, misalnya melakukan pelanggaran terhadap sesama manusia. Melakukan kesalahan secara nyata. Maka, ketika seseorang melakukan kesalahan, orang yang melakukan itu menghadapi pihak  yang menjadi subyek kesalahan dengan memanggil Tua Adak untuk memecahkan persoalan-persoalan itu.   
            Pemecahan kasus, lazimnya diurus di kampung oleh Tua Adat. Tua Adat tersebut dalam bahasa Manggarai disebut pula ata caca mbolot, Tua ata nganceng imbi laing one ca kaeng, ko beo, te wantis sangged do’ong ko dengkok de hae ata, hae tau, atau boleh dibilang para Hakim Adat.
Setiap persoalan pada masa lampu, biasa diselesaikan di Mbaru Gendang, bahkan hingga kini, dengan disaksikan oleh keluarga dan warga dengan denda tertentu dan berupa tuak laing.
Anehnya, terjadinya kesalahan malah menimbulkan relasi, lebih-lebih, kasus yang menimpa sesama yang tidak saling mengenal dan berbeda kampung halaman. Kesalahan ternyata membawa relasi baru dalam kehidupan.

3.2.3.2.2.1.2 Tala atau Denda.

Tala atau denda, lazimnya dilakukan oleh seorang tersangka atau pelaku yang melakukan pelanggaran moral. Kesalahan itu harus diganti dengan benda sebagai bentuk nyata tindakan pemaafan dari pelaku kesalahan.

Pelaku wajib membayar hutang kesalahannnya dengan lunas. Ketika pelaku tidak bisa membayar hutangnya, maka bisa saja menurut pelaku dibunuh atau dilemparkan ke Mahkamah Pemerintahan. Ada dua jenis pemaafan, yaitu:

3.2.3.2.2.1.2.1 Ekspressi Pemaafan Verbal.

Kesalahan, sistem pembayarannya tidak harus menggunakan pendekatan berupa pemberian semacam barang tunai, lunas atau tidak. Pemintamaafan dan pemaafan bisa dilakukan dengan cara ekspresi pemaafan verbal. Misalya, neka rabo e ite, neka rabo e kraeng tua, dan lain-lain. Jadi, tanpa harus dibayar dengan utang benda manapun. Bisa secara langsung saat kejadian atau bisa juga melalui lontoleok yang dipandu langsung Tua Caca Mbolot.
            Kebiasaan pemaafan Manggarai selalu berkonteks kekeluargaan, tanpa keterwakilan benda tertentu. Dalam bahasa daerah dikenal, hae diding, ase kae, cama tau, weda wuwung tau, ca raja, dan lain sebagainya.
Itu semua ada dan selalu dimunculkan dalam budaya Manggarai, yang memang diakui hingga sekarang, meski sekarang pemecahan semacam itu kian berpaling ke hukum positif[63].

3.3.3.2.2.1.2.2 Berupa Benda.

Terkadang pemaafan juga menggunakan pendekatan dengan pemberian semacam barang tunai, lunas atau tidak. Pemintamaafan dan pemaafan bisa dengan membayar langsung dengan barang atas kesalahan, jika melakukan kesalahan.
Pemaafan ini biasanya dengan kata-kata, juga dengan berupa uang atau barang lainnya untuk menebus kesalahan. Orang kerap sebut tala ela wase lima.
3.2.3.2.2.2  Pelanggaran Sistem Norma Adat dalam Perspektif Penepatan Pembagian  dan Kepemilikan Lingko.

Pelanggaran di sini hanya bersifat tampak, tidak ada aspek spiritualnya atau yang tidak tampak karena hanya berkaitan dengan sistem penetapan dan pembagian dan kepemilikan lingko.
Ada dua metode yang dipakai di sini, antara lain:

3.2.3.2.2.2.1 Tuak Laing.

Tuak laing biasa dilakukan ketika sesorang melakukan kesalahan. Misalnya, pelanggaran batas antara moso, antara cicing dengan cicing, antara lodok, bisa juga karena sengaja mencuri langang atau batas kebun di antara dua atau tiga pemilik kebun.
Ketika ada pelanggaran, maka pelaku meminta maaf dan tuak laing. Hal ini kerap dilakukan di Manggarai ketika muncul sebuah persoalan.

3.2.3.2.2.2.2 Imbalan Jasa.

Penebusan kesalahan di sini dilakukan dengan menggunakan pendekatan imbalan jasa, berupa benda-benda. Misanya, denda atau tala, yang kerap disebut ela wase lima. Hanya saja, tergantung kebijakan Adak Laing mengenai besar kecilnya neraca kesalahan. Namun lumrahnya, sedikit banyaknya imbalan itu tergantung neraca kesalahan yang ditentukan secara hukum adat.

3.2.3.4 Bentuk Hirarki Kelekatan Kepemilikan Kekuasan.

Sebagaimana diketahui, metode lonto leok yang diterapkan di Manggarai, jelas-jelas sesuai dengan konsep pembagian lingko, termasuk pembuatan rumah adatnya, yang juga, sama seperti konsep sarang laba-laba.
Pembagian lingko dan pembuatan rumah adat, berawal dari kebiasaan nenek moyang di Manggarai, sudah dari tradisinya mengadakan pertemuan dengan sistem lonto leok. Kebiasaan itulah menjadi cikal bakal dibuatnya pula konsep bagi kebun dan dibangunnya rumah adat.
Lonto leok, tentu mempunyai makna yang sangat unik karena merupakan metode diskusi dialogis partisipatif yang paling menarik. Sehingga, nenek moyang orang Manggarai dihargai dari sisi menciptakan sebuah seni yang patut disyukuri, dan perlu dikembangkan oleh generasi sekarang dan mendatang
Namun, tak bisa dipungkiri, meski metode lonto leok begitu melekat kuat, budaya seperti itu tidak bisa terlepas juga, dari apa yang disebut dengan kepemimpinan yang masih sukuistis dan feodalistik, kaitannya dengan metoda kepemimpinan.

3.2.3.4.1 Sukuistis.

            Karakteristik budaya Manggarai menurut hirarkis kelekatan kekuasaan masih bersifat sukuistik. Lalu mengapa? Tentu alasan yang paling mendasar dalam tatanan budaya Manggarai, sebagaimana lazim dikenal, yaitu adanya sebuah istilah “rang tu'a atau rang ka'e[64]” . 
Istilah rang tu'a itu, selalu bersentuhan dengan kekuasaan. Karena itu, di Manggarai, yang menjabat Tua Golo adalah orang yang terpandang dan dinilai sebagai rang kae, maka jelas, masih bersifat sukuistik.
Hal demikian pun tak bisa dipungkiri karena tradisi dan budaya seperti itu adanya. Ambil misal, siapa suku yang lebih dulu menempati suatu daerah terlebih dahulu, maka dia yang berkuasa penuh terhadap daerah itu, termasuk keturunannya sampai kapan pun, tak tergantikan.

Karena tidak tergantikan, maka kita menyebutnya sebagai sebuah kekhasan yang tak terbantahkan. Atas dasar itu, dia kemudian disebut sebagai budaya atau adat-istiadat, baik aspek aplikatif budaya maupun struktur kepemimpinan yang membudaya, yang telah tetap melekat sebagai sebuah adat-istidat, dan karena itu tepatlah disebut sebagai adat-istiadat Manggarai.

3.2.3.4.2 Feodalistik.

Budaya Manggarai, pada dasarnya bersifat feodal (bangsawan). Hal itu nampak dalam gaya kepemimpinan yang dibangun. Terkadang, gaya feodal ini mempengaruhi lonto leok, tetapi lazimnya dalam konteks tertentu, yakni status kepemimpinan.
            Budaya Manggarai, pengaruh feodalistik itu termasuk gaya kepemimpinan turut mempengaruhi lonto leok, namun satu sisi, tipe kepemimpinan di Manggarai memang menganut “Kerajaan Feodalistik[65]”, termasuk juga kepemimpian kekuasaan dalam suatu wilayah tertentu, seperti misalnya Tu'a Uku.
            Memperjelas hal itu, secara jelas akan dikaji pada Bab IV, yang secara detail memaparkan seperti hirarki adat di Manggarai, yang sudah berurat akar semenjak munculnya budaya itu sendiri.

3.2.3.5 Struktur Rumah Adat.

Manusia pada dasarnya, membutuhkan sebuah wadah untuk berdiskusi. Konteks Manggarai, salah satu tempat berkumpul ialah menggunakan Rumah Adat atau Mbaru Gendang, yang didesain sekian rupa, yang mirip dengan the spider web. Pun pula sistem pembuatan Rumah Adat mempunyai arti yang dalam bagi budaya Manggarai itu sendiri.

Rumah Adat adalah simbol kebesaran dan keakraban orang Manggarai. Ada beberapa simbol penting yang ada dalam Mbaru Tembong, yaitu tanduk kerbau,  kinang, siri bongkok, cakat, gendang, ngong, bentuk rumah adat, periuk persembahan. Kata mbaru secara etimologis berasal dari dua kata yakni: mbau (teduh) dan ru (sendiri) yang berarti naungan (yang dibuat sendiri).[66]
Jenis dan logo Rumah Adat Manggarai, sebagai berikut: pada puncak (bubung) Rumah Adat (tampak luar) terpampang tiga simbol utama, yaitu periuk persembahan sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, Allah harus disembah, diberi makan supaya tidak marah.
 Kemudian, tanduk kerbau yaitu simbol nilai kemanusian dan yang kuat, dan/atau suka bekerja keras. Atap ijuk yang bermodel bulat, yaitu lambang persatuan dan kesatuan yang kuat, tak terpisahkan, utuh. Siri bongkok simbol pemimpin,  sedangkan rangkung api (para-para perapian), yaitu tempat menjemur padi, makanan yang diawetkan dan sapo (tempat untuk memasak atau tungku api).
Demikianlah Rumah Adat adalah simbol relasi, kesejahteraan dan permusyawaratan dan perwakilan dalam tatanannya. Isi gendang bagian dalamnya[67] dan Tiang tengah atau siri bongkok dengan kerangka bagian dalam Gendang[68] mempunyai arti tersendiri, juga Langkar atau tempat menyimpan sesajian  dan wae barong, mempunyai arti tersendiri.
Menurut Tua Gendang Ruteng Pu’u, langkar adalah tempat menyimpan  bahan-bahan sesajian saat acara adat berlangsung, sedangkan wae barong (wae artinya air, sedangkan barong atau baro, artinya lapor, meminta atau memberitahu lebih dahulu ke mata air, ke pemilik mata air, sebelum acara adat dilangsungkan).


Selanjutnya, lima balok yang melintang hingga ke bubungan atap mempunyai arti tersendiri yang mempunyai hubungannya dengan sanda lima. Tingkat pertama disebut leba mese (tempat menyimpan barang-barang, seperti jagung, padi dan hasil pertanian lainnya, semua barang makanan), kedua disebut lempa rae (sama dengan Leba Mese, juga tempat simpan joreng atau bakul besar), ketiga sekang kode (simpannya barang pusaka, barang-barang peninggalan dan jimat), keempat sepot neka lelo, ruang koe (raum taung de menda, yaitu pertemuan balok bubung). Wura agu ceki (ema tua dite bao agu mede, yaitu nenek moyang).[69]

3.2.4  Peralatan Hidup dan Teknologi.

Secara etimologis, konsep teknologi terdiri atas dua kata, yaitu tekhnos dan logos. Tekhnos adalah cara, sementara logos adalah ilmu. Kamus besar bahasa Indonesia mendefenisikan tekhnos sebagai “cara membuat sesuatu” atau “sistem membuat sesuatu”.
Teknologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tekhnis atau cara-cara penerapan. Jadi, teknologi adalah penerapan cara-cara tertentu agar dalam mengerjakan sesuatu dapat dikerjakan dengan mudah, cepat, efektif dan efisien.
Teknologi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu individual (perpanjangan tangan manusia secara individual), kolektif (digunakan dalam proses produksi), dan sosial (ilmu-ilmu sosial yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan sosial).[70]

3.2.5 Sistem Mata Pencaharian.

Sebagaian besar masyarakat Manggarai adalah petani. Ada pula yang menekuni bidang pertukangan, perdagangan dan kepegawaian. Kalau kita perhatikan di Manggarai, sistim dodo dalam mengerjakan kebun menjadi bukti nyata bahwa mata pencaharian di Manggarai, meski bertani, toh  menjadi pekerjaan yang menciptakan relasi baru dalam kehidupan bermasyarakat.
            Seringkali, praktek dodo[71] ini dilakukan dengan maksud mempermudah pekerjaan, apalagi di Manggarai, topografinya memberi peluang bagi masyarakat untuk mengolah alam secara dodo.
Fakta bahwa orang Manggarai, sedikit sekali berminat dalam dunia bisnis, tetapi mereka cendrung merantau sebagai buruh kasar di mana-mana, termasuk mencari rezeki lintas nasional, seperti ke Malasya dan lain-lain.
Kenyataan bahwa di Manggarai, relasi tidak harus terjadi hanya melalui kegiatan kumpul kecil-kecilan seperti UBSP (Usaha Bersama Simpan Pinjam) dan Usaha Tani, tetapi juga melalui Usaha Koperasi Bersama. Kegiatan solidaritas bersyarat mutlak itu terus mereka galang dalam mencapai kesejahteraan.

3.2.6 Sistem Religi.

Salah satu sistem religi orang Manggarai adalah dengan dilaksanakannya paki jarang bolong[72], Ritus ini banyak tidak dimengerti oleh masyarakat Manggarai karena jarang dilakukan, teruma generasi muda. Tidak banyak orang muda Manggarai mengenal bahwa ritus paki jarang bolong adalah aplikasi dari budaya Manggarai, karena itu sukar dipahami bahkan dilupakan.
Kita kembali tentang pemahaman agama, bahwa secara etimologis, asal kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a-gam-a. Kata a berarti “tidak”, dan gam berarti “pergi” atau “berjalan”. Huruf a di belakang merupakan imbuhan untuk membentuk kata sifat.

Agama disebut sebagai suatu yang bersifat “tidak pergi” atau bersifat kekal. Maka, agama dimengerti sebagai suatu kepercayaan manusia yang didasarkan atas wahyu dari Tuhan.
Menurut Kitab Sunarigama, kata agama berasal dari  A-Ga-Ma. A berasal dari kata awang-awang, yang berarti “kosong atau hampa”. GA berasal dari kata genah (Bali) yang berarti tempat. Kata MA berarti “matahari” atau “bersinar”.  Dengan demikian, agama dimengerti sebagai sesuatu yang berasal dari tempat yang bersinar atau surga.[73]
J. G. Frazer memahami agama sebagai pencarian akan sesuatu yang melampaui manusia tersebut, manusia pertama-tama melakukan praktik-praktik ilmu gaib. Namun demikian, keberadaan ilmu gaib tersebut tidak dapat berbuat banyak dalam menjawab permasalahan yang dihadapinya.
Anthony F. Wallace mendefenisikan agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan supranatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan suatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Wallace memandang agama sebagai perbuatan.[74]
Sedangkan, Mercia Eliade melihat agama sebagai kepercayaan terhadap yang suci, kratos dan kudus melalui peristiwa teofani, penampakan Ilahi.
Terkait dengan pandangan di atas, Widyiosiswoyo coba mengartikan agama sebagai kepercayaan. Kepercayaan, menurut dia, adalah sikap menganggap sesuatu sebagai benar adanya. Kepercayaan adalah ungkapan batin akan adanya sesuatu yang rohaniah. 
Kepercayaan tidak mengikat diri pada dogma-dogma, tetapi lebih pada kebebasan pemahaman.  Dogma berasal dari bahasa Yunani berarti “opini” atau “dekrit”, dari dogma (tampak benar, suatu pendapat, pikiran), dokeo  (seolah-olah, tampak). Jadi, dogma adalah suatu ajaran (doktrin, keyakinan, ideologi, pendapat) yang telah diumumkan secara resmi dan otoritatif entah oleh seseorang pemimpin ataupun oleh suatu lembaga Gereja.[75]
Kelemahan dari cara pandang Widyiosiswoyo, yaitu tidak mengakui formulasi iman yang dicetuskan agama-agama karena lebih menekankan pada kebebasan pemahaman, padahal, kepercayaan membutuhkan dogma yang mengikat. Misalnya, budaya Manggarai yang memandang Allah sebagai Mori agu Ngaran.
Konsep Mori agu Ngaran sangat abstrak dan umum, sementara berbeda dengan konsep Kristiani, yang memandang Mori agu Ngaran itu sendiri adalah pribadi Tuhan Yesus Kristus. Sehingga, tidak salah Mori agu Ngaran belum tahu persis seperti apa pribadinya Ia oleh budaya Manggarai.
Mengenai penguasa kehidupan, dalam kebudayaan Manggarai terdapat suatu Dewa, Keadaan Tertinggi, yaitu Mori Keraeng. Ikatan suami istri juga amat tetap, dan jarang bercerai. Tetapi poligami menjadi kebiasaan umum pada orang-orang besar dan bapa kaya. Tugas-tugas keagamaan dijalankan terutama oleh bapa keluarga atau pengetua desa atau tuan tanah. Ata wae nggereng atau juga ata pecing/mbeko, yaitu orang yang mempunyai kekuatan magis, yang bisa menjelaskan arti mimpi dan ramalan (lazim misalnya saat mau diadakannya upacara paki jarang bolong).[76]
Agama adat Manggarai, kuat mempengaruhi relasi di antara warga. Misalnya, ketika mereka merayakan paki kaba rae, paki jarang bolong. Dalam memeriahkan acara adat, orang Manggarai kerap menyebut nama Tuhan, khususnya ungkapan acara adat saat memulai ritus tertentu, seperti misal: ”denge lite Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek  (dengarlah hai, yah Allah, Tuhan langit dan bumi). 
Hanya saja, Allah menurut orang Manggarai sebagai tanan wa awangn eta. Tanan wa awangn eta itulah Allah bagi orang Manggarai, yang juga hadir dalam ritus adat. Bahkan, orang Manggarai mengartikan Allah sebagai ende agu ema, Naga Beo.
           
Kalau orang Jawa upacara keagamaannya adalah selamatan (suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagikan). Sedangkan, religi asli orang Manggarai adalah “monoteis implisit” menyembah Tuhan Sang Pencipta, dengan melakukan persembahan di compang. 
Lagu, yang paling terkenal adalah Renggas sebagai bentuk sikap waspada  atas perintah Allah dalam bentuk genggus[77] (untuk segera menyiapkan bibit).

Lagu renggas

Solo: U……sampur raja wela……(siapkan semua bibit)
Jawaban bersama: U………..
Solo: Sama-sama (sama-sama, jangan yang lain siap, yang lain tidak)
Dijawab: Ya………..
Solo : Sama ita (siapkan sungguh, lihat kesiapan orang lain)
Dijawab : Ya…..,U
Orang Manggarai tidak lupa pada roh-roh nenek moyang dan persembahan diberikan kepada mereka karena mereka dianggap tak terpisahkan. Biasanya, upacara-upacara adat dipimpin oleh lembaga adat dan ata pecing.[78]
Salah satu ritus adat Manggarai selain penti, paki kaba rae, congko lokap, dan cece cocok takung mangko mese, juga ada sebuah ritus yang kerap orang sebut dan praktekkan, yaitu ritus paki jarang bolong. Paki jarang bolong (seekor kuda hitam yang kecokelat-cokelatan) adalah lambang penderitaan dan kematian.

Banyak kematian beruntun di sebuah kampung yang sukar disembuhkan, baik oleh pihak medis maupun oleh paranormal, yang kemudian berujung pada kematian melalui entah penderitaan atau mati kaget, maka warga pun rayakan paki jarang bolong.
Menyadari kondisi sadis tersebut, maka salah satu cara mengatasi penderitaan dan kematian dini warga yang beruntun di sebuah kampung atau  golo dalam wilayah sebuah Gendang (Rumah Adat), warga gendang coba menalanginya dengan menyembelih dan mempersembahkan seekor jarang bolong untuk diberikan kepada Naga Beo atau Naga Golo (Naga dari sebuah gendang).
Dalam  buku  Deki, jelaskan bahwa Naga Golo adalah roh alam atau roh lelulur, sedangkan Naga Tanah adalah naga kampung. Naga Golo ini diyakini memiliki peran khusus yaitu melindungi masyarakat dari berbagai macam yang merugikan. Naga Beo itulah, yang diyakini oleh orang Manggarai sebagai (pelindung Gendang) yang memberi kekuatan kepada penghuni Gendang di sebuah kampung atau pula keturunan dari sebuah Gendang yang berkelana di perantauan.[79]
Paki jarang bolong, menurut penuturan beberapa Tua-tua Adat Gendang Lecem,  Petrus Loros, Petrus Jemali, Kamelus Ador, Frans Ndour, Simeon Samu, saat diwawancarai penulis sebelum penyembelihan seekor kuda hitam kecoklatan-coklatan (di alun-alun gendang) di Gendang Lecem, Rabu (11/9/2011), bahwa diketahui melalui mimpi dari, misalnya salah seorang warga kampung, yang kemudiandiberitakan kepada seluruh kampung, atau bisa juga, kata Tetua Adat, berdasarkan penglihatan paranormal, atau mencari orang pintar (ata mata gerak, ata pecing, kawe wae nggereng).
Hanya saja, jelas mereka, paki jarang bolong sekali seumur gendang, setelah itu tidak ada lagi, untuk menggantikan posisi jarang bolong, persembahan selanjutnya hanya menggunakan seekor ayam jantan putih, yang juga melibatkan seluruh warga gendang di  sebuah kampung dalam merayakannya.

Adapun susunan paki jarang bolong, menurut penjelasan Tetua Adat Lecem, terdiri dari beberapa bagian penting, antara lain: oke sial (membuang seluruh dosa dan mala pelataka ke sebuah jurang, dalam bahasa Manggarai cunga atau nampar dengan mempersembahkan seekor anjing buta hitam dan seekor ayam hitam[80], lalu adakan potok (lakukan tarian adat yang dikenal dengan sae di gendang dengan mempersembahkan seekor babi, yang sebelumnya mempersembahkan seekor anjing buta dan ayam hitam di sebuah jurang terjal, yang belum bisa melihat, dengan maksud mengusir semua sial).
Berikutnya, barong wae bate teku (lakukan ritus adat di sumber mata air dengan bahan persembahan babi dan seeokor ayam), kemudian barong watu boa (ritus adat di perkuburan, dengan maksud membangkitkan semua roh nenek moyang di perkuburan agar mereka mengikuti rangkaian acara paki jarang bolong), dan ritus adat di pa'ang (ritus adat di gerbang utama menuju kampung dan gendang dengan menggunakan manuk lale (seekor ayam berwarna merah padam dan bercampur hitam).
Lalu, dilanjutkan dengan acara mbau lintep (minta beka atau keturunan, diharapkan setiap keturunan yang tidak mendapatkannya agar dengan paki jarang bolong, keturunan diminta untuk menjadi seperti bintang di langit dan pasir di tepi pantai), berikutnya takung compang dari (memberi persembahan di mezbah adat dengan gunakan babi dan manuk bolong).
Setelah itu kapu ceki[81] di rumah adat dengan gunakan ayam putih (ceki semacam hal-hal yang haram dari sebuah keturunan atau nenek moyang), teing hang (beri makan), ela we'e wie dan pagi harinya roban jarang bolong (bunuh kuda), sorenya nongko laca[82] (kumpul kembali semua peralatan adat termasuk tikar dan semua perlengkapan lainnya, dengan sembahkan seekor babi), terakhir baru persembahkan seekor ayam, atau istilah Manggarai merep dengan maksud meminta keturunan dan kesejahteraan.
Dalam kesempatan itu, Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok,  memberi pesan agar segera setelah dirayakannya acara Paki Jarang Bolong, diharapkan warga untuk saling kerjasama dan kerja keras, dengan maksud semua intensi adat yang dikumandangkan oleh Tetua Adat Lecem saat acara berlangsung diterima oleh Ceki (ceki adalah orang tua kampung yang sudah meninggal atau bisa juga dipahami sebnagai binatang haram yang tidak dimakan oleh nenek moyang dan kebiasaan itu diteruskan oleh generasi, ambil misal, tidak makan kera, belut, burung elang, kura-kura, dan sebagainya).
Sedangkan, Naga Beo (Naga Beo dimengerti sebagai pemelihara kampung), yakni Tuhan Alam Semesta mengabulkan semua permohonan dan semua keturunan agar hidup senantiasa damai, aman dan sejahtera, juga tidak kurang dalam segala hal termasuk sehat lahir dan batin.
            Selanjutnya, acara adat lainnya sebagai bentuk keyakinan orang Manggarai adalah congko lokap. Congko lokap adalah salah satu bentuk pewujudan adat-istiadat orang Manggarai Raya, mulai dari Selat Sape - Manggarai Barat  hingga Wae Mokel - Manggarai Timur, adalah dengan diadakannya ritus syukuran congko lokap. Congko lokap itu sendiri, lazimnya dilakukan setelah sebuah rumah Gendang baru dibangun kembali atau kerap orang sebut setelah rekonstruksi Rumah Adat.
Ritus congko lokap, menurut orang Manggarai, tidak dilakukan dalam tenggang waktu yang sudah ditetapkan, hanya budaya penti yang harus dilakukan per setengah dekade. Congko lokap amat berbeda, karena dirayakan, hanya setelah Rumah Adat yang baru dibangun, entahkah Rumah Adat tersebut baru dibangun sama sekali atau membongkar gendang  yang lama,lalu membangun yang baru.
Jadi, setiap dibangunnya Gendang baru, maka dengan sendirinya congko lokap pun diikutsertakan. Ini sebuah keharusan, imperatif kategoris moral[83] adat Manggarai.
Memahami arti congko lokap itu sendiri, jika diterjemahkan per kata, maka akan lain pengertiannya, karena congko itu sendiri dalam terjemahan Indonesianya berarti memungut, mengangkat lalu dipindahkan ke tempat lain, ke sebuah wadah tertentu atau ke tempat-tempat tertentu dengan maksud membersihkan atau membereskan tempat tertentu dari kotoran.
Sedangkan, lokap dalam bahasa sehari-hari orang Manggarai, yaitu sisa kulit kayu balok yang diambil dari pohon di hutan atau milik warga yang ditebang secara sengaja untuk dijadikan balok bangunan, termasuk rumah, yang salah satunya adalah balok untuk Gendang atau Rumah  Adat.
Sisa-sisa potongan-potongan kecil dari kayu, yang terbuat dari pohon tertentu, itulah yang orang Manggarai baptiskan sebagai lokap. Lokap tersebut, lazimnya, digunakan oleh pengrajin balok sebagai salah sumber energi, yaitu bahan bakar api untuk rumah tangga.
Lokap juga dimengerti sebagai sisa-sisa kotoran pembangunan Mbaru Gendang yang harus dibersihkan, yaitu dengan meng-congko kotorannya. Pengertian lain tentang lokap itu sendiri juga dalam bahasa daerah Manggarai disebut weang de balok, artinya sisa-sisa kotoran balok. Weang itu sendiri juga dapat diartikan sebagai sampah. Maka, congko lokap sama dengan congko weang.
Sementara, pengertian tentang pohon itu sendiri, dipahami oleh orang Manggarai sebagai wela de tana, atau dalam bahasa Indonesianya, yaitu bunga bumi. Sedangkan, daun-daun yang layu atau buah-buah yang sudah matang dari sebuah pohon yang jatuh ke tanah, itulah yang disebut dengan weang de haju.
Haju artinya pohon, misalnya, daun pohon beringin, yang dalam bahasa Manggarai disebut haju langke. Daun dari haju langke yang jatuh ke tanah itulah yang disebut dengan weang.
Biasanya, kalau mau agar lingkungan seputar haju langke tersebut kelihatannya apik, maka perlu disapu bersih. Sapu bersih itulah dalam bahasa daerah Manggarai dinamakan sapu weang.
 Kalau memperhatikan pohon beringin, dalam bahasa daerahnya haju langke, sebagai mezbah adat (compang – tempat hadirnya Sang Maha Tinggi, Maha Dewa) samping depan Kantor Bupati Manggarai, maka laksana itulah kedirian orang Manggarai, yang hidup dan tumbuh rindang, dengan tentu segala daun-daunnya harus diperhatikan untuk dibersihkan.
Karena itu, haju langke (wela de tana) simbol persatuan orang Manggarai, Tanah Nuca Lale, kuni agu kalo (tanah tumpah darah).
Kemudian, soal pemamahan tentang siapa itu manusia menurut cara pandang orang Manggarai, Tetua Manggarai, kerap mengartikan manusia itu sendiri sebagai “wela de tana, saung de haju. Wela de tana, saung de haju itulah, ciri dari kefanaan hidup manusia yang dapat layu.
Tuturan orang Manggarai akan kesemuan manusia, diungkapkan melalui kalimat ini: “E, itet manunsia ho'o ga, tamal laing wela de tana, saung de haju - Yah, kasihan kita manusia, tidak lebih dari sebuah daun pohon”.
 Ungkapan “E, itet manunsia ho'o ga, tamal laing wela de tana, saung de haju inilah, yang menunjukkan kepada manusia agar saling mengasihi, mencintai satu sama lain, atau kerap orang sebut cinta kasih. Karena itu,  segala bentuk pencarian manusia harus diarahkan kepada belas kasihan atau cinta kasih.
Ungkapan belas kasihan dan cinta kasih itulah, yang kemudian diejawantahkan oleh orang Manggarai melalui Rumah Adat. Di dalam dan melalui Rumah Adat itulah, semua orang berkumpul merayakan ritus adat untuk memuji Sang Maha Pencipta pada masa-masa menjelang Penti (pesta adat yang dirayakan setiap lima tahun), pada masa sebelum panen raya atau syukuran panen raya.
Tidak hanya itu, pada saat sebelum pembagian lingko (tanah ulayat milik warga oleh Tua Adat, seperti Tua Teno), urusan perkawinan, misalnya gerep ruha (injak telur oleh pasangan suami-isteri), persiapan sebelum berangkat  ke  medan perang melawan suku-suku lain (yang masih berlaku sejak baheula nenek moyang hingga sekarang), juga sebagai tempat untuk  memecahkan semua persoalan warga kampung.  Di gendang itulah, segala persoalan kemudian dituntaskan oleh Tua Adat.


Kembali kepada istilah weang de tana dan wela de haju berkaitan dengan penilaian terhadap diri manusia. Maka, orang Manggarai kerap mengartikan manusia sebagai wela de haju. Wela berarti bunga, namun wela tidak sekedar berarti bunga, tetapi juga buah dari sebuah pohon, berarti biji-bijian.
Biji-bijian pasti dan jelas akan menghasilkan benih baru, entah menjadi bibit unggul atau tidak. Unggul tidaknya benih tersebut tergantung di mana jatuhnya dan di mana dibawanya ia oleh sesuatu yang lain. Ambil misal, jatuh di atas bebatuan, di atas tanah yang kering, di tengah kerumunan ilalang menyengat dan menghimpit mematikan, di atas tanah yang basah yang menumbuhkan benih-benih tambun dan hijau mempesona, dibawa angin, dibawa para hewan atau binatang, ataupula dibawa air.
Itu semua terpegantung bagaimana benih tersebut jatuh dan dijatuhkan dengan di mana benih itu harus mengabdikan dirinya untuk buminya, selama-selamanya dengan mempertahankan nafasnya secara masing-masing. Semua dalam keadaan tak tentu, tercerai-berai, terpencar-pencar, hidup di perantaun atau sporadis.
Maka, keceraiberaian dan kepencarpencaran itulah yang memunculkan sebuah gerakan semangat baru, yang kalau dalam bahasa daerah Manggarai dikenal sebagai kole beo, artinya pulang kampung karena rindu akan kampung halaman dan sanak saudara, laksana sebuah pohon yang merindukan bunga-bunga kembali menetek  berbunga dan terbuai dalam kasih sayang sang semangnya, demikian pulalah orang-orang yang berasal dari Manggarai, baik laki maupun perempuan harus berkumpul kembali dan bersatu padu. Jadi, seperti itulah congko lokap sebenarnya.
Dikatakan demikian karena gendang hanyalah sebuah simbol perekatan persaudaraan, di mana sanak saudara yang terpencar-pencar, dan yang tercerai-berai harus kembali dan berkumpul  dalam satu semangat dan wadah baru, yaitu melalui ritus adat congko lokap Mbaru Gendang.


Itulah makna dan inti congko lokap orang Manggarai. Dengan begitu, istilah wela de tana, saung de haju, menjadi sangat bermakna ketika congko lokap dilakukan karena congko lokap adalah ritus cinta kasih dan persaudaraan.
Lalu, mengenai kesemuan manusia, kesemuan hanya dapat diterjemahkan dengan istilah kole le okan wae, air kembali ke sumbernya, dalam arti negatif. Akan tetapi, kesemuanya itu menjadi hilang, ketika semua air yang berasal dari mata air mengalir dari hulu ke hilir menuju samudra lepas. Samudra itulah yang disebut Mbaru Gendang, karena air tersebut mengalir dari berbagai sumber mata air melalui gerakan siklus yang disebabkan oleh panas matahari.
Yah, boleh diibaratkan  seperti gerakan Zionisme bangsa Israel, dengan mana kedua belas suku keturunan bangsa Israel, bangsa Yakob yang jauh melampui saudaranya kembali membangun sebuah negeri, yaitu Negeri Zion.
Karena itu, congko lokap dapat diidentikkan dengan istilah gerakan Zionisme, gerakan kembali ke asal. Kembalinya kaum-kaum musafir. Atau, dalam bahasa filsafat teleologi dinamakan kembali ke Sumber Mata Air Sejati, yaitu Tanah Air Surgawi, di mana Sang Ada bertahta dalam kemulian-Nya.
Demikian pulalah yang dilakukan oleh warga adat Gendang Meler, yang merayakan ritus congka lokap, Rabu (27/7/2011) di kampung Meler, sebagaimana pantauan penulis di lokasi, sebagai bentuk gerakan penyatuan akan sanak saudara, handaitaulan, keluarga, adik-kakak, baik yang karena perkawinan, profesi,  karena sebab perselisihan, menyatukan jiwa dan badan, dengan  tujuan menyatukan semuanya.
Bentuk penyatuan itu, orang Manggarai kerap mengumadangkannya melalui sebutan”padir wa', rentu sai, nai ca anggit, tuka ca leleng, bantang cama, reje lele, neki weki, manga ranga, kope oles, todo kongkol,weta nara, ase kae, wan koe, etan tua, pa'ang olo, ngaung musi, nggerone mbaru gendang taung, osang bate ka'eng.


Selebihnya, orang manggarai berharap bahwa “sangged da'at one lesos saled, one laus wa'ed, kudut pola neka gomal, kapu neka pa'u, embe neka bete,  wu'ur rucuk, wears pempang, kando dango, bolek loke, baca tara, uwa gula, bok leso, langkas haeng ntala, uwa haeng wulang, temek wa mbau eta, jenggok le ulu wiko lau wai. Artinya, duduk bersama dalam persekutuan cinta kasih persaudaraan menuju kesejahteraan bersama, semua keturunan.
Disaksikan penulis, pemeriahan congko lokap Gendang Meler ditandai dengan upacara adat, yaitu pa'u tuak kapu (menerima hadirin dengan melalui sambutan diikuti ungkapan adat dan disertakan tuak yang tersimpan dalam tempat khusus, dalam bahasa Manggarai  robo) kepada para hadirin[84]. Tuak kapu tersebut diupacarakan di dalam Mbaru Gendang, yang diterima oleh Tua Adat, dengan berbagai upacara tertentu, yaitu tuak kapu reis (sejenis tuak penyapa tamu untuk dijamu).
Selanjutnya, sesuai aturan urutannya, dari jajaran Muspida, yang pada kesempatan itu hadir Putra Daerah,  yaitu melalui Wabup Deno, memberi wae lu'u (berupa uang layatan) bagi nenek moyang atau keluarga yang  telah berpulang ke rahmatullah, baik yang berjasa maupun yang tidak, baik yang dianggap Tetua maupun tidak sebagai bentuk penghormatan dan turut berlangsung kawa atas semua keluarga yang telah meninggal dari Gendang tersebut, kemudian hadirin dipersilahkan ke kemah, diiringi dengan tarian-tarian adat dan musik adat.
Baru setelah itu, diikuti dengan paki reis (memeci pemain caci sebagai tanda dimulainya tarian caci oleh Muspida, dan sebagai simbol keakraban dan penghormatan terhadap hadirin yang datang), kemudian caci antar warga yang mengundang dan diundang termasuk meka landang (tamu), setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan hewan persembahan, yaitu seekor kerbau jantan, yang diikatkan di alun-alun dekat mezbah adat (compang) disaksikan oleh semuanya.

Kerbau tersebut lalu dilambangkan dengan semangat, kerja keras, kekuatan dan persaudaraan. Melalui darah kerbau tersebut Mbaru Gendang itu dipermandikan secara simbolis sebagai tanda ucapan terima kasih kepada Tuhan dan merupakan simbolis persaudaraan Gendang. Maka, kerbau persembahan tersebut, dalam bahasa Manggarai dinamakan sebagai kaba congko lokap.
Kaba (kerbau) melalui darahnya yang dipersembahkan kepada Tuhan sebagai tanda terima kasih dan langkah baru pewujudan persaudaraan dan persaudarian semua warga Gendang agar  neka pala ranga, sangged da'at one lesos saled, one laus wa'ed, kudut pola neka gomal, kapu neka pa'u, embe neka bete,  wu'ur rucuk, wears pempang, kando dango, bolek loke, baca tara, uwa gula, bok leso, langkas haeng ntala, uwa haeng wulang, temek wa mbau eta, jenggok le ulu wiko lau wai oleh Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta Raya bagi gendang yang merayakannya.

3.2.7 Kesenian.

Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Koentjaraningrat memahami seni sebagai keahlian dan ketrampilan manusia untuk mengekspresikan atau menciptakan  hal-hal indah serta bernilai.
Sedangkan, karya seni merupakan hasil dari tindakan seseorang dalam berkesenian. Sebuah karya seni dapat digolongkan, berdasarkan jenis seni yang melingkupinya. Misalnya, sebuah karya seni lukis termasuk ke dalam jenis seni rupa. Seni rupa diwujudkan dalam bentuk          garis, warna, bidang, tekstur (susunan atau jaringan) dan pencahayaan. Seni sastra seperti ceritera rakyat, prosa, puisi, pantun, sajak, dan lain-lain. Seni pertunjukkan berupa sanda, mbata, sae, danding, caci, dan rangkuk alu.[85]

Menurut Aristoteles, seni harus memiliki fungsi untuk membuat katarsis bagi masyarakat. Katarsis berarti pelepasan hal-hal yang negatif, atau dalam bahasa religi pemurnian jiwa. Dengan demikian, seorang yang menikmati seni dapat memurnikan jiwanya, sehingga tingkah lakunya menjadi baik.
Fungsi seni yaitu pertama, ritual (mantra-mantra yang dianggap mempunyai kekuatan magis). Kedua, pendidikan (kesenian menjadi medium penyampaian nilai-nilai moral dengan mempertahankan nilai-nilai sosial kemasyarakatan). Ketiga, penerangan atau kritikan sosial.

3.2.8 Kesimpulan.

Beberapa unsur kebudayaan di atas, tidak bisa dilepaspisahkan satu sama lain karena dalam masyarakat unsur-unsur kebudayaan melekat kuat, sehingga ketika unsur itu bermain peran dalam menjaga stabilitas masyarakat, dengan sendirinya masyarakat budaya akan terwujud.
            Masyarakat budaya adalah masyarakat ditandai dengan penjunjungan nilai dan norma yang berlaku untuk menjaga stabilitas bersama. Dan, ketika unsur kebudayaan mencari bentuk dalam dirinya dan menyusaikan dirinya dengan lingkungan di sekitar, pasti saja, ada jaringan komunikasi yang jelas.
            Yang diutamakan dalam unsur kebudayaan itu adalah manusia dan tujuan utama terciptanya kebudayaan itu ialah manusia. Melalui manusia, kebudayaan dapat dinyatakan dan dialurkan pada tempat yang benar. Dengan demikian, unsur kebudayaan adalah pembentuk manusia utuh dan bertanggung jawab di semua lini kehidupan.
            Selain itu, adat Manggarai dengan wujud tertinggi  juga turut  membentuk relasi manusia. Bentuk relasi antara adat Manggarai berkaitan dengan relasinya dengan Sang Ada, selalu diperbandingkan dengan simbol-simbol, petuah atau ungkapan dan ritualistik. Sang Ada kemudian dipercaya hadir, hanya dan melalui simbol-simbol, petuah atau ungkapan dan ritual-ritual.
            Orang Manggarai kemudian menjadikan “semuanya itu” sebagaimana disebutkan di atas sebagai doa. Dikatakan demikian, karena merupakan bentuk penghormatan terhadap Sang Ada, meski diakui semuanya merupakan pelimpahan Sang Ada kepada manusia guna terjadinya apa yang disebut dengan persukutuan cinta kasih antara sesama melalui budaya.
Artinya, Sang Ada membuat keakraban melalui budaya, sehingga tulisan ini jelas-jelas memberi maksud untuk itu bahwa keakraban atau perwujudan cinta kasih dapat diejawantahkan melalui budaya sebagai salah satunya, meski diakui juga bahwa keakraban dapat terjadi juga selain budaya, antara lain dalam bentuk:
Ada tiga tiga hal utama di Manggarai, yaitu Pemerintahan Adat atau Lembaga Adat (adalah sama seperti Trias Politica), Rumah Adat (adalah bait masyarakat atau tempat berdiskusi tercakup compang atau altar adat dan natas  atau alun-alun ), lingko yang berbentuk sarang laba-laba (adalah model musyawarah).
Pemerintahan Adat (lambang Trinitas), Rumah Adat (Rumah Bapa, bisa juga Gereja), Lingko atau kebun (adalah hirarki dengan Paus sebagai Siri Bongkok; pekerjanya adalah Pastor, Suster, dan Ketekis) tanah adalah manusia.
Sedangkan, rempah-rempah adalah pikiran dan perilaku, ilalang adalah kesulitan atau dosa; air dan pupuk adalah doa, perwartaan dan berkat). Manusia disimbolkan sebagai tanah karena manusia diciptakan dari tanah. Pemerintahan Adat, Rumah Adat dan Tanah Adat adalah satu kesatuan yang mengikat satu sama lain dan utuh.
Manggarai juga akrab dengan sebutan Mori Jari agu Dedek, Tanan Wa Awangn Eta, Pu’un Kuasa. Mori adalah Tuhan, Jari adalah hidup, Dedek adalah cipta. Berarti Tuhan adalah Tuhan, yang hidup dan Pencipta. Tanan berarti pemilik tanah, wa berarti bawah maka berarti pemilik tanah yang berada di bawah berarti bumi; Awangn berarti pemilik langit, Eta berarti atas, di atas. Berarti pemilik langit di atas. Pu’un adalah sumber atau asal, Kuasa adalah kuasa, Sang Penguasa. Dengan demikian,  Mori Jari agu Dedek, Tanan Wa Awangn Eta, Pu’un Kuasa adalah Tuhan yang Hidup dan Pencipta, Pemilik langit dan bumi, Asal Segala Kuasa.
            Apa makna relasi manusia dalam budaya Manggarai? Relasi, manusia, budaya, dan daerah Manggarai adalah percikan Allah, disebut juga Allah. Mengapa manusia Manggarai hidup dan bernilai? Alasannya karena manusia adalah perpaduan antara relasi, budaya dan Manggarai.
Keempatnya adalah Allah. Manggarai adalah badan (darah, daging, dan tulang), budaya (cipta, rasa dan karsa); relasi adalah cinta atau Roh (karena Allah adalah Roh dan Cinta); dan manusia adalah hidup. Karena kalau manusia mati, dia tidak disebut lagi sebagai manusia. Perpaduan antara Budaya dan Manggarai atas dasar relasi cinta melahirkan manusia yang hidup dan bernilai.
            Selain itu, ada yang disebut Ritualistik. Ritualistik adalah perjumpaan dengan Yang Maha Sempurna. Manusia, doa, dan benda-benda suci tercakup dalam ritual.  Manusia bisa menjadi manusia kalau ada doa dan benda-benda suci. Doa terwujud juga melalui benda-benda suci. Benda-benda dianggap suci kalau ada Penyuci.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa ritual adalah sebuah bentuk relasi atau ekspresi penterimakasihan kepada Yang Maha Suci. Maka, ritual adalah perwujudan relasi manusia dengan dunia di luarnya, realitas metafisis. Yang menarik juga ialah bagaimana instrumen-instrumen budaya justru menciptakan relasi manusia dengan manusia pada tataran partisipatif-demokratis dialogis.[86]
BAB IV
RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI

4.1 Relasi sebagai Kenyataan Fundamental.

            Kehidupan manusia dan kebudayaannya senantiasa ditandai oleh relasi, baik relasi secara eksternal (yang tidak langsung mempengaruhi hakekatnya, ambil misal: saya ada di dekat mereka, hubungan antara saya dan orang-orang atau mereka tidak menjadi bagian esensial dari saya dan mereka) juga secara internal (yang mempengaruhi secara langsung hakekatnya, ambil misal: manusia adalah makhluk yang berakal budi).[87]   
            Karena itu, dikatakan relasi sebagai kenyataan fundamental di mana dalam konteks budaya orang tidak melakonkan atau menjalankan budaya hanya pada tataran diri sendiri, kelompok tertentu tetapi mencakup keseluruhan warga gendang yang juga terdiri atas berbagai anak kampung misalnya.
            Kehidupan manusia selalu berelasi, hal mendasarnya adalah budaya senantiasa hadir dalam kehidupan bersama, dengan begitu kuat mempengaruhi relasi dalam kehidupan tersebut dan relasi  di sana menjadi hal yang mendasar ketika warga gendang menjalankan ritus-ritus budaya adatnya secara bersama-sama. Tanpa kebersamaan relasi antar manusia dalam konteks budaya Manggarai hanya merupakan relasi sosial semata, bahkan tidak terjadinya relasi antar warga atau manusia.


4.2 Bentuk Relasi dalam Kebudayaan Orang Manggarai.

4.2.1 Relasi Vertikal.

4.2.1.1 Dengan Tuhan.

            Ungkapan hubungan orang Manggarai dengan Tuhan melalui tanda-tanda konkret, yaitu dengan upacara-upacara khusus, seperti doa (tudak/torok), hewan persembahan, toto urat dan helang, yang menyatakan taat dan tobatnya kepada Tuhan.[88]
            Ada berbagai macam kebaktian kepada Tuhan, yaitu upacara tobat, syukur, permohoman. Upacara tobat seperti “kaba oke jurak”, upacara kepu munak atau pana mata leso. Sedangkan, upacara syukur diungkapkan dengan “kaba sese topok, kaba randang golo, kaba ruda lodok”. Upacara permohonan, misalnya “kaba kaer ulu wae atau kaba oke hanang, kaba bolang”.[89]
            Upacara yang paling populer berkaitan dengan relasi dengan Tuhan ini yaitu dengan acara tae kaba. Istilahnya kaba nangki karena kutukan Tuhan adalah kekilafan leluhur di masa lampau. Kutukan tersebut berupa keturunan tidak berkembang, banyak yang mati, kehidupan keluarga kurang bahagia karena penghasilan kurang, dan sebagainya.[90]


4.2.1.2 Dengan Leluhur.

            Ungkapan hubungan dengan leluhur (empo) dalam budaya Manggarai yaitu dengan diadakannya upacara “kaba kaing dani” (upacara potong kerbau untuk memohon kekayaan, kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagian hidup). Sebaliknya, ada juga upacara potong kerbau karena diberi kesejahteraan, kemakmuran hidup, berkembangbiaknya keturunan di dalam kampung, yang disebut dengan “kaba randang golo agu kaba sese topok”.[91]
            Selain itu, ada juga acara “oke cua”, yaitu meminta leluhur (empo) untuk meminta bantuan leluhur menjaga dan memelihara tanaman saat menanam padi atau  jagung. Bisa juga dengan acara wuat wa’i, penti, dan kaba congko lokap.
            Adapun kerbau yang dipakai yang dipakai yaitu kerbau merah (tanda dimulai mendiami sebuah kampung baru, segala yang baik diminta kepada leluhur untuk menghilangkannya, juga roh-roh leluhur atau roh-roh lain tidak kaget karena telah dihuni karenanya diminta untuk menjaga, selain itu minta kesejahteraan, makmur, memelihara hewan piaraan, tananaman, mata air, kebun, rumah, kampung tetap dijaga.[92]


4.2.1.3 Dengan Roh Kampung.

            Konteks Manggarai, acara yang menghubungkan relasi dengan roh-roh atau roh kampung, misalnya dengan mengadakan upacara ngelong (persembahan berupa sebutir telur kepada roh yang mengikat anak di hutan, atau karena memotong salah pohon, mengikatkan dua pohon dengan tali dan sebagainya, atau karena membunuh binatang, seperti katak yang kemudian binatangnya sengsara seumur hidup, maka diadakan upacara ngelong, yaitu meminta maaf.[93]         
            Selain itu, biasanya dalam berburu, bila saja pemburu ingin mendapat buruannya, maka mereka mesti membawa sebutir telur kampung ke mata air tertentu, yang dianggap tempat tinggal penghuni hutan. Kebanyakan, ketika telur tersebut dipersembahkan maka buruan akan diperoleh.
            Tidak hanya itu, kepercayaan orang Manggarai yang disebut dengan naga. Ada naga tana dan ada naga beo, ada juga naga mbaru. Naga bukan tergolong roh-roh (jahat).
            Upacara khusus yang kerap dilakukan adalah “takung naga”, baik secara bersama-sama oleh warga kampung karena ada masalah yang dihadapi bersama (misalnya acara paki jarang bolong), maupun secara khusus dalam rumah-rumah keluarga,yang disebut “takung naga mbaru”. Takung naga golo biasanya juga pada saat mau perang  tanding, pergi main caci, yang lazimnya di mezbah (compang), benda-bendanya berupa tuak, cepa, ruha.[94]
           

4.2.2 Relasi Horisontal.

4.2.2.1 Dalam Lingkup Keluarga Kecil.
           
            Relasi dalam keluarga mini bisa dilakukan misalnya, embong anak (timang anak), rening anak agu entap tonin (memboboi anak, yang biasanya mengelus-elus kepalanya agar bisa tidur yang juga disertakan dengan tepuk-tepukan kecil di bagian punggung anak agar bisa tidur, juga disertai dengan lagu-lagu Manggarai berupa nenggo[95]).
            Bisa juga dengan memberi benda hibah kepada anak perempuan (widang), atau membagikan tanah warisan kepada anak-anak laki (sistem partilineal). Acara wuat wa’I ketika hendak merantau atau ke sekolah, acara cear cumpeng. Orang tua juga menyiapkan belis bagi anak-anak laki-laki yang hendak menikahi seorang gadis.
                                                                                                                                                     
4.2.2.2 Dalam Lingkup Keluarga Besar.

            Hubungan antara anak dan orang tua di dalam keluarga besar, yaitu berupa teing hang tinu (ela tinu) untuk kedua orang tua yang sudah renta. Bisa juga dengan membunuh seekor kerbau atau kambing (mbe kondo[96]) untuk mengucap terima kasih atas keturunan yang diberikan Tuhan.

Tidak hanya itu, juga mempersembahkan hewan persembahan kepada nenek moyang atau kepada Tuhan atas anugerah keturunan, kekayaan dan hasil yang melimpah.
Selain itu, wale sida anak wina, kumpul kope keluarga besar menjelang pesta pernikahan. Yang kuat di sini adalah hubungan antara anak wina dan anak rona.

4.2.2.3 Dalam Lingkup Kampung.

            Bersama-sama merayakan penti, dibuatnya sistim dodo dalam mengerjakan kebun. Praksis-praksis budaya lainnya, misalnya dalam pemecahan kasus, saat terjadinya kematian, musibah atau bencana yang disebabkan alam atau saat terjadinya masalah besar yang terjadi di dalam sebuah kampung.
            Terkait dengan ini, ada banyak contoh yang sudah diberikan pada pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.


4.2.2.4 Dalam Lingkup Umum.

            Konteks umum misalnya, ikut dalam kegiatan politik, permainan caci dengan warga kampung lain, yang kerap disebut meka landang (tamu).

4.3 Makna Relasi Orang Manggarai.

4.3.1 Relasi Geneologis dan Perannya.

            Relasi geneologis misalnya menciptakan relasi adik – kakak, ayah atau ibu berupa teing hang tinu ata tua (memberi makan orang tua yang kian renta) sebelum meninggalkan keluarga besar.

            Hal lainnya dalam urusan belis agu wale anak rona ko benta anak wina (duduk bersama bila ada acara dari keluarga pihak pria (dalam urusan apapun, baik perkawinan maupun kematian, dan lain-lain). Sedangkan, benta anak wina (memanggil keluarga pihak perempuan untuk terlibat dalam acara apapun yang diwujudkan melalui kegiatan sida.
            Perannya yaitu lonto torok neki weki (duduk bersama keluarga) dalam menjawab setiap urusan apapun, ambil misal bayar belis, ataupun sida.
           

4.3.2 Relasi Perkawinan sebagai Penghubung.
           
            Relasi perkawinan, misalnya melalui perkawinan tungku cu (antara anak lelaki ibu dengan anak perempuan saudara ibu), tungku canggot (antara anak laki-laki ibu dengan anak perempuan saudara sepupu ibu), tungku dungka (ini sama dengan tungku cu hanya saja terjadi pada lapisan kedua), tungku salang (perkawinan cucu-cece atau perkawinan cako).
            Ada juga berupa perkawinan lobo pa’a (dua orang pria kakak beradik menikah dua perempuan kakak beradik), perkawinan duluk atau kempeng kabo (satu pria dengan dua orang gadis yang beradik kakak), perkawinan lili (menikahi janda kakak atau adik dari istrinya sendiri), perkawinan tinu lalo (seorang pria menikahi istri dari yang meninggal).


4.3.3 Relasi Vertikal dan Kehidupan Beragama.
           
            Banyak orang Manggarai merupakan keturunan Muslim yang kemudian karena masuk ke Kristen, memisahkan diri dari ritus agama. Hanya saja, secara adat, tetap agak berbeda karena berbeda budaya yang kemudian dianut. Relasi dengan agama lain terjadi misalnya saat acara pernikahan dan kematian atau terkena bencana lainnya.
            Manggarai menganut kepercayaan monoteisme inplisit, yaitu percaya pada Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek, Tanan Wa Awangn Eta. Karena itu, relasinya dengan Tuhan melalui ritus-ritus tertentu, sedangkan dengan kehidupan beragama Manggarai mengambil peran dalam kehidupan Gereja yang menganut sistim perkawinan monogami dan terceraiberaikan. Perkawinan seperti ini banyak diterima di Manggarai karena dipengaruhi pandangan Gereja Katolik.


4.3.4 Relasi Baru dan Kepentingan.

            Ada juga relasi di Manggarai yang karena kepentingan, misalnya pada tataran politik praktis. Ambil misal, saat terjadinya pesta demokrasi, yaitu pemilihan pemimpin adat di Manggarai pada konteks dulu, konteks sekarang, seperti pemilihan Kepala Desa, Kepala Daerah, Gubernur atau Presiden (pemilihan langsung), pemilihan Anggota DPRD.
            Realitas kepentingan baru tersebut, misalnya pengaruh politik, kuat memunculkan relasi baru dalam budaya Manggarai, bukan karena suku atau klen di kampung. Hal demikian terbukti ketika pemilihan Kepala Desa dan sejenisnya, lazimnya orang Manggarai menerima tamu-tamu secara bersama-sama di Rumah Adat (Mbaru Gendang) kehadiran politik di kampung menimbulkan relasi baru yang senantiasa bercorak kepentingan.

4.3.5 Budaya Hambor.

4.3.5.1 Pengertian.

            Hambor diartikan damai. Damai dari perselihan karena terjadi kesalahan. Hambor senantiasa diikuti dengan tuak laing. Hambor konteks Manggarai selalu terjadi di Rumah Adat dan diurus oleh tetua adat dengan sistim lonto leok.        

            Konteks Manggarai, budaya hambor dilakukan dalam Mbaru Gendang yang diurus oleh Tua-Tua Adat, jika bersangkutan bersalah maka akan didenda dengan seekor babi (ela wase lima) dalam perkara apa pun.

            Hemat penulis, kata hambor, bila dimengerti secara etimologis merupakan gabungan dari beberapa kata: ham (bo ga= oh begitukah?),  ambo (serumpun, sekelompok, ada bersama dalam satu kelompok, rumpun), mbor (mbi-mbor) jalan tak ada pada tempatnya karena status yang tidak jelas dipicu oleh sebuah kekurangan tertentu yaitu ada masalah, jalan sembarangan tak ada tujuan, tidak jelas), mbo lia (sejenis memanggil kembali sesuatu yang telah tiada atau mati, misalnya saat ayam atau anak ayam mati, orang tua di kampung biasanya menyebut mbo lia mo manuk, pada saat itu ayam yang telah mati dipercaya bisa hidup kembali, bahkan bisa hidup itu ayam), lia adalah sejenis jahe yang biasa mengobati orang sakit atau bumbu penyedap masakan.
            Kata ham bo ga (merupakan ungkapan tanda disetujui terhadap sebuah seruan tetapi bernada sinis dan tidak sopan menurut adat orang Manggarai karena sebelahnya atau responden dianggap remeh).
            Dengan demikian, hambor adalah upaya menghidupkan kembali relasi yang rusak atau mati dengan menggunakan benda-benda perantara agar orang yang tercerai-berai, yang tidak jelas arahnya kembali ke dalam rumpun kelompoknya dengan tidak lagi mengejek atau menganggap remeh saudara-saudari yang mempengaruhi terjadinya sebuah kasus.

4.3.5.2 Budaya Hambor sebagai Upaya Memperbaiki Relasi.

            Dikatakan sebagai upaya memperbaiki relasi karena pihak yang bermasalah duduk bersama di Rumah Gendang. Penebusan kesalahan biasanya diistilahkan dengan vunis peheng, yaitu berupa babi, ayam dan berupa uang.
           
            Terkadang persoalan-persoalan yang sukar diselesaikan akan bisa dipecahkan dengan hambor. Relasi yang sebelumnya retak kemudian diperbaiki secara hukum adat di depan Tua Adat, acaranya bisa berupa kepu munak (akibat jurak), loma wina data, mencuri barang milik orang lain atau membunuh orang lain tanpa sebab akibat atau karena mabuk dan ketidaksengajaan. Semuanya dapat dipecahkan dalam ranah adat.

4.3.5.3 Makna Penting Budaya Hambor.

            Budaya hambor sangat bermakna karena relasi yang baru dan bahkan telah lama terpendam akan menciptakan relasi yang semakin kuat. Misalnya, masalah perkara tanah.
            Maknanya adalah mengembalikan citra hubungan yang retak akibat tindakan kesalahan dan justru memperkuat relasi. Intinya hambor dengan hati yang tulus dan terbuka.

4.3.5.4 Metode Budaya Hambor dengan Pendekatan Lonto Leok.

4.3.5.4.1 Konsep Dasar.

Lonto leok dalam adat Manggarai, sebenarnya sudah dimulai sejak munculnya orang Manggarai di tanah Manggarai.  Manggarai disebut juga negeri Nuca Lale. Namun, lazimnya dalam memecahkan setiap persoalan, orang Manggarai selalu  lonto leok.
Mengutip Mgr. Van Bekkum, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Manggarai adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti suah, dan  rai berarti lari. Buku tersebut juga menulis bahwa Manggarai disebut juga Nuca Lale.  Nuca artinya pulau, sedangkan Lale adalah nama pohon kerbang (arto carpus) yang memiliki warna kekuning-kuningan. Namun, ada juga yang mengartikan  Nuca Lale adalah Pulau Ular (pulau Nepa).[97]
Perilaku itu dinyatakan juga melalui desain Rumah Adat dan sistem pembagian tanah milik. Sistem pembagian tanah (lingko) di Manggarai, mirip seperti sarang laba-laba (spider web), sama juga dengan pembuatan Rumah Adat dan pembuatan Altar Adat, yang biasanya berada di depan Rumah Adat.
Altar  adat disebut sebagai watu compang, yang dipercayai sebagai tempat hadirnya Mori agu Ngaran, Tuhan Semesta Alam. Konsep tentang Allah juga mengambil simbol Rumah Adat dan pembagian lingko atau kebun kerja.
Orang Manggarai melihat Allah sebagai sentrum segala sesuatu karena Ia adalah Wujud Tertinggi dan Pemimpin Tertinggi. Begitupun dalam konteks pembagian sistem dalam adat, selalu memandangnya dari aspek kekuasaan Sang Ilahi.
Demikian kekuasaan Manggarai, mempengaruhi juga bagaimana mereka bersolider, membuat sebuah keputusan selalu memperhatikan titah-titah pemimpin, sebagaimana kita pahami dalam tulisan ini sebagai Siri Bongkok Sejati.
Siri Bongkok itu adalah pemimpin atau pusat lodok, yang berada dalam kebun sebagai simbol keistimewaan pemimpin membuat musyawarah mufakat dalam mengambil kebijakan maupun dalam menentukan keputusan dalam perkara apapun.
Budaya lonto leok  kalau diterjemahkan ialah diskusi dialogis untuk memecahkan soal bersama. Diskusi yang sifatnya melingkar. Budaya lontoleok bertujuan untuk mencapai nilai persatuan. Persatuan itu juga, dicapai dengan dan melalui budaya politik, sehingga budaya lonto leok bisa juga diartikan sebagai budaya politik karena persatuan dapat dicapai juga melalui budaya politik (politic culture).
Budaya politik oleh Pye adalah istilah relatif baru yang berusaha membuat lebih eksplisit dan sistematis pemahaman yang berkaitan dengan konsep-konsep yang sudah lama mapan, seperti ideologi politik, etos dan semangat nasional, psikologi politik nasional, dan nilai-nilai fundamental masyarakat.
Sementara, Sydney Verba mengartikan budaya politik adalah pola-pola tertentu, orientasi yang mengarahkan dan membentuk tindakan-tindakan politik. Budaya politik merupakan produk dari “collective history”.[98]
Budaya lontoleok  dan nilai persatuan, mesti didasari oleh adanya etika kepedulian. Judith White mengajukan karakteristik etika kepedulian, seperti hubungan kepedulian (caring relationship); individu yang menerima dan memberikan kepedulian itu; adanya interdependensi; orang lain yang konkret; pengambilan keputusan berdasarkan konteks dan partikularitas kasus; hubungan manusia yang bersifat sirkuler; kebajikan dan keadilan.
Demikianlah bagi White, etika kepedulian menyatakan perasaan, pikiran, intuisi dan intelek yang menyatu secara intrinsik. Jika etika kepedulian dijalankan dan sebagai modal persatuan, dan lontoleok itu terlaksana dengan baik, maka jelas akan menjadi acuan dasar pengkritisan internal adat dan pola laku keseharian masyarakat Manggarai khususnya. 
Prinsip lonto leok adalah solidaritas dan subsidiaritas. Istilah “solidaritas” berasal dari bahasa Latin solidus: padat, kompak, kuat. Dari sinilah bermula kata Perancis, yang diambil bahasa Indonesia ‘solider’, yaitu setia kawan dan merasa senasib.[99] Dengan demikian, solidaritas adalah kesetiakawanan, kerukunan dan kekeluargaan.[100]
 Paul Budi Kleden menjelaskan bahwa solidaritas terungkap dalam kesedian untuk menopang, dan meneguhkan subyek di hadapan bahaya dan penderitaan yang mengancamnya.[101] Sedangkan, subsidiaritas adalah sebuah prinsip saling membantu sesama dalam komunitas kelompok.

Budaya lonto leok adalah subyek penghindaran stratifikasi sosial. Karl Marx membagi kelas sosial ke dalam tiga golongan, yaitu golongan proletariat, kapitalis dan golongan menengah. Sedangkan, Aristoteles membagi penduduk dalam tiga kategori, yaitu golongan kaya, golongan miskin,  dan golongan yang berada di antara keduanya.[102]
Mendasar pada pembagian di atas dalam masyarakat Manggarai, terdapat juga pembagian itu tetapi cendrung bersifat klen, suku, dan itu adalah pembagian secara adat. Sedangkan, pembagian berdasarkan tingkat ekonomi dilihat dari sistem kasta. Ada perbedaan yang menyolok antara keturunan Raja atau bangsawan, begitu juga dalam kedudukan adat, di Rumah Adat dan sistem pembagian lingko atau kebun.
Untuk menghindari perbedaan itu, maka orang Manggarai biasanya melakukan lonto leok, khususnya dalam memecahkan masalah-masalah, tetapi tetap dalam lingkaran adat dan sistem yang ada, yaitu tatanan ”Pemerintahan Adat”.

4.3.5.4.2 Maksud dan Tujuan Dasariah Lonto Leok. 

Adapun tujuan lonto leok, antara lain:

Compartmentalization. (menghindari, yaitu pemisahan peran yang satu dengan peran yang lainnya, agar supaya orang tidak menyakini adanya konflik antara peran. Karenanya, lontoleok hadir untuk tidak adanya pemisahan), social control (fungsi lonto leok adalah kontrol sosial. Kontrol sosial adalah segenap cara dan proses yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk menjamin terciptanya konformitas para anggotanya terhadap harapan kelompok atau masyarakat itu), Association (suatu kelompok terorganisasi berupaya mencapai tujuan bersama). Keempat, Anticipation of identity crisis.[103]
Selain itu, bertujuan untuk income redistribution (yang dimaksudkan adalah pandangan-pandangan masyarakat, yang dihasilkan untuk diretribusikan kembali untuk menemukan pendapat umum kemudian dinyatakan),  integration (suatu proses pengembangan masyarakat, di mana segenap kelompok ras dan etnik berperan serta secara bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi), internalize (memperlajari suatu secara lebih mendalam, sehingga sudah mencapai respon kita yang bersifat otomatis dan tidak dipikirkan lagi).
Kemudian, lonto leok dapat terciptanya group progress (perubahan sosial budaya yang menurut ukuran nilai tertentu dipandang sebagai suatu yang baik),  social order (suatu sistem kemasyarakatan, pola hubungan dan kebiasaan yang berjalan lancar demi mencapai tujuan masyarakat), social stabilization (mencapai stabilitas sosial termasuk ekonomi, politik dan lain-lain), dan confidence (menghargai intergritas kelompok. Dalam lonto leok, perlu juga adanya kepercayaan sebagai bentuk motivasi intrinsik).

4.3.5.4.3 Bentuk Nyata dan Aplikasi Budaya Lonto Leok.

Lonto leok sesungguhnya sebagai perwujudan solidaritas dan bentuk keakraban masyarakat. Koentjaraningrat mendefenisikan masyarakat dari sudut pandang antropologi budaya. Baginya, masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk manusia yang terikat dalam sistem adat-istiadat tertentu.[104]
Sedangkan, R. Linton mengatakan bahwa masyarakat itu timbul dari konstelasi setiap individu, yang hidup berkerja sama. Itu mengalami proses adaptasi dan orang bertingkah laku, sekaligus timbul perlahan-lahan perasaan kelompok.[105]
Mengacu pada dua pandangan di atas, dapat dinilai, bahwa lontoleok  pun muncul dari perasaan kelompok, yang berangsur-angsur membentuk kebersamaan, yaitu dari the disered ke the desireable, sehingga muncul, apa yang disebut dengan moralitas bersama.
            Kita tahu bahwa solidaritas juga karena adanya lonto leok. Kita sebut solidaritas jadian. Artinya, terbersit karena adanya musyawarah dan mufakat, dan ia lonto leok sungguh menjadi simbol keakraban dalam masyarakat, sehingga lonto leok sungguh menjadi dasar utama kehidupan manusia. Tentu saja, yang paling penting ialah, bahwa persatuan itu sebagai idealisme utama menuju masyarakat yang bernilai.

4.3.6 Catatan Kritis Tentang Pola Relasi dan Pertautannya dengan Kehidupan yang Lebih Baik.

Demikianlah lonto leok menjadi tolok ukur dan petunjuk utama menuju persatuan. Tanpanya, maka dengan sendirinya persatuan dan nilai yang terkandung di dalam budaya menjadi mati. Karena itu, sangat dianjurkan lonto leok  untuk memecahkan setiap persoalan yang ada.
            Bagi sekian pemimpin yang ada di Manggarai senantiasa mengumandangkan agar diupayakan masyarakat menghargai lonto leok, baik untuk memecahkan soal-soal juga untuk menciptakan rencana baru demi pewujudan cita-cita pembangunan atau cita-cita masyarakat pada umumnya. Jadi, lonto leok sangat membantu masyarakat.


4.4 Kesimpulan.
           
            Tindakan nyata manusia untuk mencapai kesejahteraan adalah mesti dengan mengembalikan citra relasi yang baik. Budaya Manggarai pada dasarnya sebuah budaya yang teribat, yang menjadikan aspek kemanusian dan relasi menjadi hal penting untuk terciptanya kesejahteraan bersama.
            Ada banyak hal yang mesti dilakukan orang Manggarai melalui budayanya sehingga relasi tetap terjamin secara mutlak, baik terhadap Tuhan, sama dan lingkungan alam sekitarnya memberi warna dan maksud dasariah yaitu bahwa hendaknya manusia Manggarai mesti hidup di bawah payung yang sama yaitu mencintai manusia dan kemanusian, mencintai Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya untuk tidak menimbulkan keresahan dan kesulitan bagi manusia.
            Praktek-praktek adat di Manggarai, hanya mempunyai satu tujuan yaitu kebaikan manusia Manggarai karena segala sesuatu sama sekali tidak bermanfaat, jika apa yang ada di sekitar manusia tidak membantu manusia.
            Lalu, bagaimana caranya agar kehidupan itu diziarahi dengan baik, tentu pasti bahwa ciptakan relasi yang baik dengan apa saja yang ada di luar adat, seperti budaya Manggarai selalu hadir itu sebuah sikap dan cara berpikir yaitu meminta maaf atas segala kekilafan dan meminta bantuan kepada Tuhannya untuk senantiasa terjalinnya hubungan baik di antara warga dan senantiasa diberi kegembiraan dari banyak sisi termasuk relasi semakin kuat dan kokoh.


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan.

Manusia adalah makhluk berbudaya. Karena ia berbudaya, maka untuk melekatkan keberbudayaannya, manusia mesti berelasi dengan sesamanya. Kemudian relasi itu menghasilkan cita rasa kehidupan yang etis yang sungguh menghidupi etika dan norma-norma. Dengan berelasi, akhirnya manusia menemukan kediriannya: Siapakah manusia itu, siapakah aku sesungguhnya?
Manusia menjadi bernilai dan hidup hanya dapat terjadi kalau ia berelasi dan menjadi manusia yang menjunjung tinggi kebudayaan, sehingga keteraturan menjadi nischaya.
            Ada banyak macam bentuk terciptanya relasi antar manusia di Manggarai, misalnya melalui ritus – ritus adat, yaitu penti, congko lokap, paki jarang bolong, paki kaba rae, mbele mbe kondo, yang selalu diiringi dengan sanda, banta, sae, caci, rangkuk alu, danding. Tarian-tarian adat itu sangat menentukan meriah tidaknya ritus-ritus dirayakan. Kesemuanya, menciptakan keakraban warga gendang.
            Relasi manusia di Manggarai, juga terjadi lewat kerajinan seni, berbisnis pada tataran budaya yang saling menguntungkan, misalnya sistim wida, yaitu meminta dukungan dari pihak keluarga wanita, yang berlaku untuk semua ritus, termasuk juga ritus kematian. Banyak ritus-ritus di Manggarai yang memunculkan relasi.
            Karena itu, Manggarai dan budayanya tidak terpisahkan dari bahwa manusia Manggarai adalah makhluk intelek, pekerja, sosial, bermain, bereligi, berbisnis, berpolitik. Selain itu, gaya yang diperankan untuk menyelesaikan setiap kasus senantiasa menggunakan metode lonto leok. Tak heran juga, bentuk simbol-simbol adat, ungkapan dan petuah, termasuk ritualistik kemanggaraian, turut membentuk hubungan akrab antar warga.
           
Intinya, budaya Manggarai justru mampu memunculkan relasi antar manusia Manggarai. Ketika semua aspek-aspek budaya dijalankan sebetulnya bertujuan untuk terciptanya relasi. Berarti yang diharapkan kesejahteraan dan kedamaian bersama. Allah tujuan ingin senantiasa mencinta sesama itulah, tindakan-tindakan budaya diadakan.

5.2  Saran.

Semua prilaku budaya tidak terlepas dari daya upaya orang Manggarai untuk menghidupkan secara terus menerus budaya Manggarai. Aktus budaya tidak lain tidak bukan hanya untuk kebaikan semua saja. Karena itu, budaya Manggarai harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, dari generasi ke generasi untuk tetap terus dikembangkan.
Meski demikian, kupasan penulis dalam skripsi ini tidaklah sepenuhnya benar sebagaimana diharapkan pembaca. Masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Meski begitu, budaya Manggarai harus tetap menjadi primadona, terutama budaya lonto leok harus terus dipertahankan.
Lonto leok  adalah modal utama bagi terciptanya hubungan timbal balik yang tidak merugikan. Budaya lonto leok tidak boleh pandang sebelah mata, karena bagaimanapun juga ia tetap menjadi kebanggaan orang Manggarai.
Dengan begitu, orang Manggarai telah memelihara budaya dan mempertahankan citra budaya yang begitu unik dan dibangga-banggakan orang Manggarai. Untuk mempertahankan budaya Manggarai, pembaca harus pula memberi arti pada budaya Manggarai karena penulis menyadari bahwa sumbangsih pembaca bagi mekarnya budaya sangat dibutu
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PEMBIMBING
PERNYATAAN
LEMBARAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Perumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan
1.4  Manfaat Penulisan
1.5  Metode Penulisan
1.6  Sistematika Penulisan
BAB II PANDANGAN TENTANG MANUSIA                                                                         
2.1 Siapa Manusia?                                                                                                                   
2.2 Manusia dalam Pelbagai  Perspektif                                                                                            
2.2.1 Homo Sapiens                                                                                                                           
2.2.2 Homo Faber
2.2.3 Homo Socius
2.2.4 Homo Ludens
2.2.5 Homo Economicus
2.2.6 Homo Religius
2.2.7 Homo Politicus
2.2.8 Manusia Makhluk Berbudaya
2.2.9 Makhluk Berperasaan
2.2.10 Kesimpulan
BAB III KEBUDAYAAN MANGGARAI
3.1 Sejarah Manggarai
3.2 Unsur-unsur Kebudayaan Manggarai
3.2.1 Bahasa
3.2.2 Sistem Pengetahuan
3.2.3 Organisasi Sosial
3.2.3.1 Sruktur Pemerintahan Adat
3.2.3.1.1 Tua Golo
3.2.3.1.2 Tua Gendang
3.2.3.1.3 Tua Teno
3.2.3.1.4 Sebuah Sintes
3.2.3.2 Berdasarkan Hukum Adat
3.2.3.2.1 Pembagian Tanah
3.2.3.2.1.1 Spider Web System
3.2.3.2.1.2 Sistem Bujur atau Biasa
3.2.3.2.2 Elemen Tingkah Laku Berhadapan dengan Adat dan Silih Dosa
3.2.3.2.2.1 Pelanggaran Norma Moral Adat dalam Perspektif Tingkah Laku Kondisonal
3.2.3.2.2.1.1 Metode Tuak Laing
3.2.3.2.2.1.1.1 Konteks Spiritual
3.2.3.2.2.1.1.2 Konteks yang Tampak
3.2.3.2.2.1.2 Tala atau Denda
3.2.3.2.2.1.2.1 Ekspressi Pemaafan Verbal
3.3.3.2.2.1.2.2 Berupa Benda
3.2.3.2.2.2  Pelanggaran Sistem Norma Adat dalam Perspektif Penepatan Pembagian  dan  
                   Kepemilikan Lingko
3.2.3.2.2.2.1 Tuak Laing
3.2.3.2.2.2.2 Imbalan Jasa
3.2.3.4 Bentuk Hirarki Kelekatan Kepemilikan Kekuasan
3.2.3.4.1 Sukuistis
3.2.3.4.2 Feodalistik
3.2.3.5 Struktur Rumah Adat
3.2.4 Peralatan Hidup dan Teknologi
3.2.5 Sistem Mata Pencaharian
3.2.6 Sistem Religi
3.2.7 Kesenian
3.2.8 Kesimpulan
BAB IV RELASI ANTAR MANUSIA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI
4.1 Relasi sebagai Kenyataan Fundamental
4.2 Bentuk Relasi dalam Kebudayaan Orang Manggarai
4.2.1 Relasi Vertikal
4.2.1.1 Dengan Tuhan
4.2.1.2 Dengan Leluhur
4.2.1.3 Dengan Roh Kampung
4.2.2 Relasi Horisontal
4.2.2.1 Dalam Lingkup Keluarga Kecil
4.2.2.2 Dalam Lingkup Keluarga Besar
4.2.2.3 Dalam Lingkup Kampung
4.2.2.4 Dalam Lingkup Umum
4.3 Makna Relasi Orang Manggarai
4.3.1 Relasi Geneologis dan Perannya
4.3.2 Relasi Perkawinan sebagai Penghubung
4.3.3 Relasi Vertikal dan Kehidupan Beragama
4.3.4 Relasi Baru dan Kepentingan
4.3.5 Budaya Hambor
4.3.5.1 Pengertian
4.3.5.2 Budaya Hambor sebagai Upaya Memperbaiki Relasi
4.3.5.3 Makna Penting Budaya Hambor
4.3.5.4 Metode Budaya Hambor dengan Pendekatan Lonto Leok
4.3.5.4.1 Konsep Dasar
4.3.5.4.2 Maksud dan Tujuan Dasariah Lonto Leok
4.3.5.4.3 Bentuk Nyata dan Aplikasi Budaya Lonto Leok
4.3.6 Catatan Kritis Tentang Pola Relasi dan Pertautannya dengan Kehidupan yang Lebih Baik
4.4 Kesimpulan
BAB V PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Usul-saran
DAFTAR PUSTAKA








RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI

SKRIPSI

                              Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
                  St. Paulus Ruteng untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
                           dalam Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan

OLEH
MELKIOR PANTUR
NIM: 08.31.1050





   


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
ST.PAULUS RUTENG
2010/2011



HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING


RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI



SKRIPSI



Telah disetujui pada tanggal….


Pembimbing I,                                                                        Pembimbing II,




Rm. Dr. Martin Chen, Pr                             Kanisius Theobaldus Deki, S. Fil., M.Th
NDIN:                                                                         NIDN:




Diketahui Keprodi Teologi




Hendrikus Midun, S. Fil. M.Pd
NDIN:


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri sesuai dengan pengetahuan saya, sedangkan karya-karya lain yang diambil dari sumber tertentu hanya sebagai refrensi saja sebagaimana termaktud dalam catatan kaki dan daftar pustaka untuk mendukung argumentasi saya mengenai judul tulisan ini. Dengan begitu, jika saja di kemudian hari bahwa ternyata skripsi ini merupakan hasil jiplakan langsung dari skripsi manapun sebelumnya, maka resiko ditanggung sendiri

Ruteng,…………, 2011

Melkior Pantur

PENGESAHAN

SKRIPSI

RELASI ANTAR MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MANGGARAI


Dipersiapkan dan Ditulis Oleh
MELKIOR PANTUR
NPM: 08.31.1050


Telah Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal………………….2011
Di Program Pendidikan Teologi
Susunan Dewan Penguji
Penguji Utama
…………….
Penguji I,                                                                                                          Penguji II
……….                                                                                                            ……….



Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan
Tanggal…….


Rm. Dr. Yohanes Servasius Boylon, MA
Ketua STKIP St. Paulus Ruteng



MOTTO

JADILAH PADAKU
MENURUT PERKATAAN-MU
(LUK 1: 38)

KATA PENGANTAR

Pada dasarnya, manusia tidak terlepas dari kebudayaan. Untuk memahami dirinya, manusia harus berinteraksi dengan lingkungan yang mendukungnya untuk bertumbuh subur di tengah masyarakat.
Lalu, bagaimana caranya supaya relasi itu tetap berakar, bertumbuh, berkembang dan tetap mekar? Menjawabi pertanyaan ini, kita coba mengerling sebentar bagaimana seharusnya relasi manusia dengan budayanya, khususnya budaya Manggarai menghadapi kompleksitas hidup di masyarakat.
Untuk itu, penulis coba mengajak budi pembaca untuk bertualang bersama saya di tengah-tengah relung-relung pemikiran kritis logis yang dipaparkan dalam tulisan ini, yang memang penting untuk diperhatikan dan dikritisi kira-kira berpautan dengan kolaborasi dengan budaya, terutama sekali konteks dan perspektif budaya Manggarai pada umumnya.
            Selain sebagai pembuka tabir pengkritisan manusia Manggarai dan budayanya, tulisan ini saya persembahkan kepada kedua orang tua, yakni Bapak Theodorus Tamat dan Ibu Veronika Danut (Almh) yang membesarkan saya, adik perempuan yang tercinta, Yovita Setia dan Florida Sinar, kakak perempuan Theresia, termasuk dosen STKIP Ruteng, Rm. Dr. Marten Chen, Pr dan Kanisius Theobaldus Decky, S. Fil., M.Th.
Terima kasih kepada Pa Nick, yang telah mendorong saya untuk jadikan tulisan ini, yang dulunya makalah, kini dipoles sedikit menjadi tulisan skripsi yang cukup dapat dipertanggungjawabkan kendati masih terdapat begitu banyak kekurangan yang kurang diperhitungkan. Juga terima kasih kepada Pa Poli, yang telah membantu penulis menyelesaikan tulisan ini berupa perbaikan-perbaikan dalam seminar proposal. Hanya saja, hemat penulis, tulisan ini sedikit memberi masukan dan bahan permenungan mengenai relasi manusia Manggarai dan budayanya.

Ruteng,…………..2011
Penulis


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU
Bagur, D.Anton, Kebudayaan Manggarai: Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional, 1997, Ubhara Press : Surabaya, Cet. II.
Baskara, TB., (Ed.) Aspek-aspek Antropologi Sosial, 1997, Depdikbud, Jakarta.
Blake, H. Reed, and Haroldsen O. Edwin, A Taxonomy of Concepts in Communication, 1979, Hasting House : New York, Second Printing.
Brata, T. Nugroho, Antropologi untuk SMA Kelas XII, Juni 2007, Gelora Aksara Pratama : Erlangga.
Deki, K. Teobldus, Tradisi Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Satra, 2011, Parrhesia: Jakarta.
Horton, B. Paul, dan Hunt L. Chester, Sociology, Alih Bahasa Aminudin Ram, 1984, Erlangga : Jakarta.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, 1982, Kanisius : Yogyakarta.
Janggur, Petrus, Butir-butir Adat Manggarai, 2008, Artha Gracia: Ruteng, Buku I.
Kontjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, 2004, Gramedia Pustaka : Jakarta.
Marzali, Amril, Antropologi dan Pembangunan di Indonesia, 2007, Kencana:Jakarta, Ed. I, Cet. 2.
Muhammad, Bushar, Asas-asas Hukum Adat, 2003, Pradanya Paramita : Jakarta.
Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, 2001, Remaja Rosdakarya : Bandung.
Nggoro, M. Adi, Budaya Manggarai Selayang Pandang, 2006, Nusa Indah: Ende.
Oetama, Jakob, (Peng), Indonesia Abad  ke XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global,Agustus 2000, Harian Kompas : Jakarta.
Regus, Max, dan Deki, K. Teobldus, (Ed.) Gereja Menyapa Manggarai: Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Harapan; Satu Abad Gereja Manggarai Flores, 2011, Parrhesia: Jakarta.


BAHAN SEMINAR
Kleden, B. Paulus, Teologi Politik J.B. Metz dan Implikasinya untuk Pendidikan dalam Era Global dan Otonomi Pendidikan, (Makalah Seminar  STKIP St. Paulus Ruteng tahun 2004), Ledalero, 04 November 2001.
MAJALAH
Mursito, N. Sunarto, Hidup Bernegara Mewujudkan Kondisi Hormat atas Martabat Manusia, No. 1-12, Jld. XIV, Bln. Jan-Des 1985.

KORAN
Suara Flores, Syukuri Gendang Baru, Meler Rayakan Congko Lokap, Edisi 45 Thn II, Minggu ke-2 Agustus 2011.
__________, Atasi Kematian Dini, Lecem Rayakan 'Paki Jarang Bolong”, Edisi 46 Tahun II / 1-15 September 2011.
JURNAL
Tapung, Marianus, Filsafat Pendidikan Konstruktivisme dan Upaya Pencerdasan Sosial Peserta Didik dalam Jurnal Missio : Wacana Iman dan Humaniora, Vol.5, No. 1, Januari-Juli 2007.
Pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945,  Bab X tentang Warga Negara, Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2.

KAMUS
Bagus, Lorens, Dr., Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, Cet. IV, September 2005.
Echols, Jhon, dan Sadly, Hassan, Kamus Inggris- Indonesia, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, Cet. XXV. 2003.
__________________________, Jhon, U. Wolff, and James T. Collins, (Rev. and Ed), Kamus Indonesia – Inggris, Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, Edisi Ke-3, Cet. IX, November 2003
Kamus Besar Bahasa Indonesia.

INTERNET
Abbo, Chyintia, Budaya Manggarai: Ragam Budaya Manggarai, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/p/budaya-manggarai_04.html) diakses 26 Oktober 2011.
 ______________,  Upacara Roko Molas Poco, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/) diakses 27 Oktober 2011.
Jas, Rofinus, SVD, Tarian Caci; Tarian Heroik dan Menegangkan Khas Budaya Manggarai, (http://rofinusjas.blogspot.com/2009/01/budaya-1.html) diakses 27 Oktober 2011.

WAWANCARA
Frans Ndour, Kamelus Ador, Petrus Jemali, Petrus Loros, Simeon Samu, Tua-tua Adat Gendang Lecem, di Rumah Gendang Lecem, saat sebelum Acara Roban Paki Jarang Bolong, Rabu (11/9/2011).
Lambertus Dapur, Tua Gendang Ruteng Pu’u, di Rumah Gendang Ruteng Pu’u usai pengambilan gambar di sekitar Kampung Adat Ruteng Pu’u, Jumat (9/9/2011).
Acara Congko Lokap di Gendang Meler, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Rabu (27/7/2011).

Abstraksi
Kata kunci: Manusia, budaya dan relasi

Kepribadian manusia sejak lahir tentu selalu bersentuhan dengan budaya di mana dia menapaki kakinya. Budaya di mana dia berada menjadi cikal bakal seseorang tumbuh dan berkembang, sehingga betul-betul menjadi manusia beradab atau berbudaya.
                Karena itu, relasitas manusia dengan budayanya kemudian menjadi pertimbangan awal ketika kita hendak menilai karakter atau watak seseorang, seperti apa seseorang bertingkah, baik seni berbusana, cara menyapa dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga tidak terjadi salah kaprah untuk menilai kedirian manusia secara sepihak saja tanpa sebuah kajian radikal yang dapat dipertanggungjawabkan, yang kemudian menjadi model bagi orang lain.
Terkait dengan itu, kemudian kita membuat sebuah sintetik kritis bahwa penilaian terhadap kedirian seseorang secara pasti toh mesti bermula dari sebuah pertanyaan:  Dimanakah dia itu dijadikan dan berhadapan dengan budaya apa?
Ditelisik menurut konteks Manggarai, jelas-jelas mengkritisi hal demikian, yang memang sudah diatur meski secara lisan, yang mana pengaturan itu terkandung dalam ritus-ritus dan bentuk-bentuk aplikatif  lainnya, seperti cara menyapa, berbusana, bagaimana menghargai orang tua yang merasa lebih, baik sisi umur, kedudukan maupun pengalaman.
Toh, semuanya sudah diajarkan dan ditetapkan nenek moyang. Maka, jelaslah relasi manusia senantiasa berhubungan dengan budaya, yang tidak bisa dipungkiri sebagaimana tampak di Manggarai.
                Pada prinsipnya, budaya apapun yang ada di bumi senantiasa mengarah pada pembentukan relasi. Di Manggarai, budayanya juga selalu mengarah ke sana dan ternyata budaya justru mengarah ke sana yaitu relasi atau menciptakan relasi. Tujuan akhir dari semuanya adalah persaudaraan sejati. Justru itulah yang mau dikupas di sini bahwa bagaimana budaya Manggarai justru menjadi model yang baik terciptanya hubungan atau relasi di antara warga kampung. Dengan budaya, orang-orang menjadi saudara meski masyarakatnya sangat plural dan mencirikan masyarakat yang heterogen dari banyak sisi terutama sekali kesukuan.



[1] Lingko artinya kebun, yang mempunyai lodok dan  cicing. Lodok berada di tengah kebun, cicing adalah  batas luarnya.
[2]Chyintia Abbo, Budaya Manggarai: Ragam Budaya Manggarai, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/p/budaya-manggarai_04.html) diakses 26 Oktober 2011.
[3] Loma wina data, artinya mengganggu istri orang dengan memperkosa atau bersenggegama, selingkuh.
[4]Kanisius T.  Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, Parrhesia Institute Jakarta: Jakarta, 2011, p. 30-34.
[5] Lonto Leok, kata ini merupakan gabungan dari kata lonto (duduk) dan  leok  (melingkar, berkeliling). Dengan demikian, lonto leok berarti duduk melingkar.
[6] Penti adalah acara syukuran panen  raya.
[7] Paki kaba rae, upacara mensyukuri kampung.
[8] Chyntio Abbo, Upacara Roko Molas Poco, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/) diakses 27 Oktober 2011.
[9] Rofinus Jas, Tarian Caci; Tarian Heroik dan Menegangkan Khas Budaya Manggarai, (http://rofinusjas.blogspot.com/2009/01/budaya-1.html) diakses 27 Oktober 2011.

[10] Ada wacana sekarang dari Pusat bahwa urusan  budaya diserahkan lagi kepada Dinas PPO karena itu namanya bukan lagi PPO, tetapi kembali ke P&K. Meski demikian,  Pemkab Manggarai diharapkan  tulisan ini menjadi sebagai sedikit bahan  refleksi terkait dengan budaya Manggarai.
[11] Wawancara dengan Tua Gendang Ruteng Pu’u, Lambertus Dapur, Jumat (9/9/2011) di Rumah Gendang Ruteng Pu’u usai pengambilan gambar di sekitar Kampung Adat Ruteng Pu’u. Penulis mengambil Gendang Ruteng Pu’u sebagai tempat refrensi karena Gendang tersebut sangat banyak diminati para wisatawan yang berkunjung ke sana. Selain itu, Gendang Ruteng Pu’u, begitu lengkap untuk ukuran Kecamatan Langke Rembong di antara gendang-gendang yang lain, baik sisi barong wae (mata air), compang (mezbah adat), natas (alun-alun), maupun lingko (kebun ulayat). Sedangkan, memilih Gendang Lecem  karena bertepatan dengan kunjungan Muspida Kabupaten Manggarai, yang  mana, penulis menyempatkan indah itu untuk mengambil beberapa sumber.
[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia: Jakarta, 2005, Cet. Ke-IV, p. 564.
[13] Amril Marzali, Antropologi  dan  Pembangunan  di Indonesia, Kencana : Jakarta, 2007, Ed. I, Cet. 2, p. 104.

[14] Ibid.

[15] Pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945,  Bab X tentang Warga Negara, Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2.
[16] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius : Yogyakarta, 1982,  p. 253.
[17]  Ibid., p. 259.
[18] Ibid., p. 87-88
[19] Marianus Tapung, Filsafat Pendidikan Konstruktivisme dan Upaya Pencerdasan Sosial Peserta Didik, dalam Jurnal Missio, Wacana Iman dan Humaniora: Discourse on Faith and Humanism, Vol. 5, N0.1, Januari-Juni, 2007, p. 77.
[20] Ibid., p.77-78.
[21] Lorens Bagus, Op. Cit., p. 221.
[22]  Ibid., p. 27-29 
                [23] Perangkat-perangkat budaya, yaitu sarana yang dipakai untuk terealisirnya aktivitas budaya, baik persona maupun benda – benda bergerak atau tidak bergerak lainnya, yang dipakai oleh pelaku budaya, yaitu manusia itu sendiri sebagai subyek budaya.
                [24]  Etika keutamaan, yaitu nilai-nilai universal yang harus dilakukan manusia. Nilai-nilai universum tersebut dapat juga diartikan sebagai buah-buah Roh.
                [25]  Nggiling, gendang, ngong, lalong  ndeki, panggal, nggorong, sapu, selendang, bali-belo, towe songke, peci, keris. Benda – benda ini digunakan pada saat  tarian caci diperankan.
                [26] Ora et labora, yaitu berdoa dan bekerja, seperti dikutip dalam 2 Tes 2: 8,10, di mana tiap orang harus bekerja, tidak boleh makan  roti orang dengan percuma, tetapi harus berjerih payah, supaya jangan menjadi beban bagi orang lain. Bahwa orang yang tidak kerja (kecuali sakit) tidak boleh makan. Perlu juga orang untuk berdoa agar Tuhan memberi kekuatan dan  hasil yang memuaskan. Meski Dia yang memberi semuanya, baik doa maupun kerja.
                [27]  Mind set, yaitu bagaimana orang menempatkan pikirannya pada halnya yang benar guna melahirkan hal-hal baru dan  menciptakan suasana kondusif di mana seseorang harus menapak dan menjejaki kakinya.

                [28]  Widang adalah  sebuah pemberian yang akan mendapat imbalan, sedangkan wida adalah sebuah  hibah.
[29] Sida anak wina maksudnya meminta pihak perempuan (anak wina) untuk mengambil bagian berupa memasukkan dana atau berupa jenis benda lainnya untuk diberikan kepada pihak anak rona atau  pihak laki-laki dalam segala urusan apa pun. Sida adalah sebuah  imperatif karena itu sifatnya sine qua non.
[30] Rofinus Jas, Op.Cit.
[31] Petrus Janggur, Butir-butir Adat Manggarai, Artha Gracia: Ruteng, Buku I, 2008, p.87.
[32] Ibid.
[33] Ibid., p. 88.
                [34]  Anak wina adalah pihak pria, sedangkan anak rona pihak wanita karena hubungan kawin mawin.
                [35] Reis artinya menyapa tamu. Cepa artinya makan sirih pinang, sedangkan wuat wai adalah acara  meminta berkat dari Tuhan sebelum  seseorang  hendak merantau di negeri orang dengan menyembelih seekor hewan, lazimnya ayam jantan putih.
[36] Wuat wa'i adalah  pelepasan di mana seseorang dibiarkan  pergi ke tanah orang, entah  pergi sekolah atau  mencari pekerjaan (kawe mose), tetap dibuatkan  sebuah upacara dengan mempersembahkan seekor ayam jantan putih.
                [37]  Reciprocal relation, artinya hubungan timbal balik yang menguntungkan.
[38] Orang kerap beranggapan, bahkan secara pasti, katakan, bahwa segala sesuatu yang terjadi berkaitan dengan kehidupan manusia tidak lebih dari apa yang dinamakan dengan penyelenggaraan Ilahi, Allah yang menyelenggarakannya. Manusia adalah mediator-Nya. Karena itu, manusia disebut sebagai jembatan kemahakuasaan Allah dalam  rencana membangun dunia.
                [39] Reed H. Blake, and Edwin O. Haroldsen, A Taxonomy of Concepts in Communication, Hasting House: New York, 1979, Second Printing, P. 6.

                [40]  Ibid.                
                [41] Komunikator dalam istilah komunikasi disebut juga stimulator atau pemberi pesan, sedangkan  komunikan disebut juga sebagai responder atau penerima pesan, keduanya saling berinteraksi.
                [42] Relasitas komunitas konstruktif aktual butuh sebuah aturan untuk mewadahinya, jika tidak, hubungan dalam komunitas yang membangun bakal mati dan mubazir.
                [43] Ada lima ranah penting dalam diri manusia, yaitu afektif (sikap), koginitif (intelek), psikomotorik (ketrampilan), sosial (pergaulan, kemasyarakatan), spiritual (iman, keyakinan). Kelimanya harus selaras, jika tidak, identitas seseorang dipertanyakan.
                [44] Ipung adalah sejenis ikan ipun, yang tinggal gerombolan di lautan yang senantiasa seia-sekata, sedangkan  nakeng adalah  ikan, yang tinggal dalam sebuah habitat tertentu, yang selalu seia-sekata. Bisa  juga diganti impung ce tiwu - impung artinya berkumpul.
                [45] Aspek-aspek sosial, misalnya ekonomi, politik, budaya, agama, suku, ras, dan keamanan.
[46] Max Regus, dan Kanisius T. Deki, Gereja Menyapa Manggarai: Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Keutamaan; Satu Abad Gereja Manggarai Flores, 2011, Parrhesia: Jakarta.
[47]Chyintia, Abbo, Budaya Manggarai: Ragam Budaya Manggarai, (http://chyntia-abbo.blogspot.com/p/budaya-manggarai_04.html) diakses 27 Oktober 2011.
                [48]  Nugroho Trisno Brata, Antropologi untuk SMA Kelas XII, Gelora Aksara Pratama : Erlangga, Juni 2007, p. 53.
                [49] Jhon Echols, dan Hassan Sadly, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia : Jakarta, 2000, Cet. XXIV, p. 176.
                [50] Op. Cit., p. 22.
                [51]  Kanisius T. D, Op. cit, p. 64.
[52] Yohanes S. Boylon, Violence Against Woman and Manggaraian Culture, dalam Jurnal Missio, Wacana Iman dan Humaniora: Discourse on Faith and Humanism, Vol.5, No.1, Januari-Juni 2007, STKIP St. Paulus Ruteng, p.27.
                [53]  Ata ngara tana, artinya pemilik tanah ulayat dari sebuah kampung adat.
                [54]  Tua-tua panga artinya tua suku, atau ranting dari sebuah Gendang.

                [55]  Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradanya Paramita : Jakarta, 2003, p 41.
                [56]  Kamus Besar Bahasa Indonesia.
                [57]   Ibid.
                [58] Theo Huijbers, Op.Cit.,p. 232-233
                [59] Koentjaraningrat, Op. Cit., p. 47.
                [60] Ibid.,p. 48.

                [61] Mu’u luju lema emas, berarti meminta keterbukaan hati terhadap setiap hal yang perlu diselesaikan, entah kasus atau dalam  urusan  perkawinan dan sebagainya.
                [62]  Nangki adalah sakit akibat telah menyengsarakan binatang-binatang atau hewan-hewan tertentu. Sedangkan, Itang berarti sakit dan penyakit yang diketahui oleh paranormal karena telah membunuh binatang-binatang, seperti katak, ular, yang hanya sakit, misalnya hanya satu kaki terpotong sementara katak tersebut masih hidup. Karena itulah, orang yang melakukannya pun oleh Tuhan. Tuak laing yang dimaksudkan ketika seseorang kena nangki atau rudak, maka orang pintar kemudian membawa sebutir telur ke tempat di mana seseorang itu telah menyengsarakan seekor binatang tertentu.
                [63]  Hukum positif berbeda dengan hukum adat. Hukum  postif adalah Undang-undang Pidana atau Perdata. Tala ela wase lima, maksudnya didenda dengan seekor babi, atau berupa uang sebagai pengganti babi
                [64]  Rang diterjemahkan secara langsung artinya gatal. Kae artinya kakak. Akan tetapi, rang kae artinya soal siapa yang tertua karena usia saja.

                [65]  Kerajaan fideolistik adalah kerajaan bersifat kebangsawanan, yang menganut sistim berdasarkan struktur kekuasaan yang amat berbeda dengan sistim berpikir demokratis.
[66]  Kanisius, T. Deki, Op. Cit. p. 89-90.
                [67]  Rumah Adat, terdiri dari mezbah adat (compang), alun-alun (natas bate labar), dan Gendang itu sendiri.
                [68]  Siri bongkok sebagai tiang tengah yaitu simbol pemimpin dan tingkatan  tangga balok yang mempunyai arti tersendiri.
[69] Wawancara dengan Tua Gendang Ruteng Pu’u
                [70]  Nugroho Trisno Brata,. Op. Cit. p. 22.
                [71]  Dodo adalah pekerjaan gotong – royong yang sistim kerjanya bergilir tanpa pengupahan.
                [72] Suara Flores, Atasi Kematian Dini, Lecem Rayakan ‘Paki Jarang Bolong’, Edisi ke-46, Thn II/I-15 September 2011, p. 9.
Salah seorang ahli pemotong hewan saat paki jarang bolong di Lecem Cibal sebagaimana tertera dalam gambar sebagimana terlampir. Ahli potong hewan persembahan tersebut dinilai menurut keyakinan orang Manggarai mempunyai ilmu tinggi yang memahami secara pasti terkait pemotongan hewan persembahan karena seturut keyakinan orang Manggarai bahwa bila pemotongan salah, maka akan berbahaya bagi pemotong hewan persembahan itu sendiri, berarti pula ada yang kurang dari acara adat tersebut.
                [73]  Ibid.
                [74]  Ibid. Hal. 21.
[75]  Lorens Bagus, Op. Cit. p. 172-173.

[76] Max Regus, Kanisius T. Deki (Ed.), Op. Cit., p. 204.
                [77]  Genggus artinya Guntur.
                [78]  Anthony Dagul Bagur, Op. Cit., p. 36-38.
Ata pecing sama dengan para normal yang mempunyai ilmu dan penglihatan-penglihatan.
[79] Kanisius T. D, Op.Cit,. 58-59.
                [80] Anjing buta hitam maksudnya bayi anjing yang belum bisa melihat, tetapi warnanya harus hitam. Sedangkan, ayam hitam biasanya ambil yang umur masih kecil, yang penting warnanya hitam.
                [81] Wuar agu ceki dapat dipahami sebagai nenek moyang, tetapi kerap orang tua sebut sebagai hal-hal yang haram dari sebuah keturunan untuk tidak boleh dimakan.
                [82] Nongko laca. Nongko artinya angkat, bersihkan. Sedangkan, laca artinya tikar atau sejenisnya.
                [83] Minguan Suara Flores, “Syukuri Gendang Baru, Meler Rayakan Congko Lokap”, Ed. 45, Thn II, Minggu ke II, Agustus 2011, p. 12. Congko Lokap merupakan keharusan  mutlak secara moral dari adat  Manggarai. Maka, Penti adalah sebuah keharusan moral untuk menghargai wuar agu ceki, yaitu nenek moyang dan Tuhan.

                [84]  Hadir pada waktu  itu, Bupati Manggarai yang diwakili Wabup Deno Kamelus, jajaran muspida lainnya, seperti Dandim 1612 Manggarai, Letkol Infantry, Abdul Fatony, Kajari Ruteng, Gembong Priyanto, Kapolres Manggarai, Pontjo, Ketua PN Ruteng, Robert, SH, Wakil Ketua DPRD Manggarai, Rafael Nanggur, dan  jajaran  muspida  lainnya.

                [85]  Nugroho Trisno Brata,. Op. Cit., p. 3-4.

[86] Partisipatif-demokratis dialogis hampir mirip dengan lontoleok yaitu duduk melingkar dalam memecahkan kasus adat yang diurus secara adat oleh pemerintahan adat.
[87] Lorens Bagus, Op. Cit., p. 947-948.
[88] Petrus Janggur, p. 17.
[89] Ibid., p. 18.
[90] Ibid.
[91] Ibid., p. 48.
[92] Ibid., p. 49-57.
[93] Ibid., p. 64.
[94] Ibid., p. 64-65.
[95] Nenggo sejenis lagu yang biasa dilantunkan oleh orang tua saat acara tertentu untuk menghibur kelurga. Nenggo berbeda dengan landu  yang dinyanyikan saat acara caci atau pada saat pergi tewa tuak atau pante tuak, saat mengiris tuak aren. Sambil memukul-mukul tuak aren dengan wagol (kayu untuk memukul batang buah aren guna mengeluarkan tuak dari aren).
[96] Mbe kondo sejenis kambing yang berwarna putih campur bintik-bintik hitam.
[97] Kanisius T. D, Op.Cit., p. 32-33.
                [98]  Jakob Oetama (Peng), Indonesia Abad  ke XXI: Di tengah Kepungan Perubahan Global, Harian Kompas : Jakarta, Agustus 2000, p. 420-421.
                [99]   Sunarto Ndaru Mursito, Hidup Bernegara Mewujudkan Kondisi Hormat Atas Martabat Manusia, No. 1-12, Jld. XIV, Bln. Jan-Des 1985, p. 617.
                [100]  TB. R. B. N. Baskara, (Ed.) Aspek-aspek Antropologi Sosial, Depdikbud, Jakarta, 1997, p. 77
                [101]  Paulus Budi Kleden, Teologi Politik J.B. Metz dan Implikasinya untuk Pendidikan dalam Era Global dan Otonomi Pendidikan, (Makalah Seminar  STKIP St. Paulus Ruteng tahun 2004), Ledalero, 04 November 2001, p. 15.
                [102]  Paul B. Horton, dan Chester L. Hunt, Sociology, Alih Bahasa Aminudin Ram, Erlangga : Jakarta, 1984, p. 4.
                [103]  Menurut Erick Erikson krisis identitas merupakan suatu titik balik dalam kehidupan  yang berkenaan dengan perkembangan  kepribadian. Pada umumnya, istilah ini digunakan untuk menyebut setiap tahap, suatu yang ditandai oleh perasaan ketidakpastian.

                [104]   Baskara, Op. Cit., p. 77
                [105]  Ibid.


Melky Pantur, S.Pd
[Writer]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar