15/03/17
NOCAN & NAGA.
“Rombeng Lomes – Lawe Lenggong”
Ditulis oleh: Melky Pantur**, Kamis (8/9/2016).
Awal Perjumpaan.
Di sebuah Desa ada seorang gadis namanya kerap dipanggil sebagai Nocan. Dia mempunyai seorang pacar namanya Naga alias Prigan. Konon di Desa tersebut ada mata air yang serem, menakutkan. Mata air itu, tidak ada seorang pun yang berani masuk ke tempat tersebut. Di situ dikabarkan sebagai tempat penampakan naga ular atau hewan naga dalam mitologi orang di Desa tersebut.
Di suatu pagi, gadis itu meminta izin pada orang tuanya untuk ambil air di tempat tersebut. Orang tuanya selalu melarang gadis itu karena lokasi mata air tersebut serem, angker.
Orang tuanya bertanya: "Nona kau pergi ke mana pagi-pagi buta begini?". Jawab gadis itu: " Aku mau ketemu naga Bapa!". Kata ayahnya: "Jangan Nak, nanti kamu diapa-apain di situ!". Jawab gadis itu dengan nada agak tinggi dan cemberut: "Biar saja Bapa, lagian Bapa dan Mama melarang saya menikah dengan si Rombeng Lomes!". Ayahnya Lawe Lenggong akhirnya tidak berkutik banyak. Dia diam tepekur.
Hal yang sama, Rombeng Lomes juga dilarang orang tuanya ke tempat tersebut tiap pagi-pagi buta. Kata ayah Yombeng: "Anakku, janganlah ke mata air itu sebab ada naga di tempat itu lagipula kamu pergi ke sana untuk apa?". Jawab Rombeng Lomes: "Aku mau ketemu nocan Bapa!". Sembari emosi, ayah Rombeng Lomes melarang: "Jangan Nak, nocan itu berbahaya!". Bantah anaknya: "Biar saja Bapa, aku tak peduli!".
Persis warga Desa mereka untuk menyebut kuntilanak mereka menamakannya sebagai nocan. Ayah Rombeng Lomes sangat cemas begitupun ayahnya Lawe Lenggong (nama asli gadis itu).
Sebelumnya, persis ayah Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong bersilang pendapat soal pembagian jatah daging katak besar di sebuah mata air. Ayah Rombeng Lomes yang memasang perangkap namun ditolong ayahnya Lawe Lenggong. Kedua pria itu pun bertegal soal pembagian tulang rusuk saja. Karena kedua pria itu bermusuhan, ayah Lawe Lenggong melarang gadis itu nikah dengan pacarnya.
Lama kelamaan karena sakit hati, ayah Lawe Lenggong mulai stress karena Lawe Lenggong tidak pernah menghargai titah ayahnya untuk pergi ke mata air tersebut. Begitupun ayahnya Rombeng Lomes kian cemas. Pada akhirnya, kedua pria itu merestui kedua anak mereka yang tengah kasmaran menambatkan jantung hati.
Usai resepsi pernikahan, si Lawe Lenggong pun menceritakan seluruh perjuangannya bersama kekasihnya. Lawe Lenggong pun memberitahu kalau naga, artinya nana ganteng. Begitupun nocan, artinya nona cantik. Sedangkan, keyakinan orang Desa mereka tentang naga mengganggapnya sebagai mitos saja.
Mendengar cerita mereka berdua, semua para undangan tertawa terbahak-bahak begitupun kedua orang tua mereka.
Cerita mereka membuat semua para undangan dan warga Desa datang ke rumah mereka berdua (Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong) untuk memberi berbagai sumbangan, bahkan ada yang sampai rela mencari dan membawa tulang rusuk katak besar (pake pasat). Konon katak di Desa mereka besarnya seperti ikan karpel sebesar paha orang tua/paha gadis dewasa.
Memasuki Malam Pertama di Pelaminan.
Tinggallah Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong di gubuk sederhana mereka di malam pertama. Rombeng Lomes berkata: "Can malam ini sangat indah buat kita lagipula rembulan tengah purnama. Cuaca pun amat mendukung". Lawe Lenggong membalas: "Iya Gan, rupanya demikian".
Mulailah mereka merunding untuk memadankan lampu obor (culu) atau tidak. Mereka sempat bertegal lagian Rombeng Lomes masih asing dengan "kemahkotaan" Lawe Lenggong. Rombeng Lomes ingin tahu tipe langka "barang" itu baginya. Lawe Lenggong menolak untuk menyalakan lampu. Tampak suasana gubuk mereka pun hitam pekat.
Pertarungan pun berlangsung seru. Kurang lebih ronde ketiga tengah berlangsung, tiba-tiba dua benda melotot biru ke arah Lawe Lenggong. Naga tidak tahu, lagian dia masih asyik menggiring bola ke gawang. Lawe Lenggong pun berteriak sembari takut: "Sikat Naga....sikat Naga.... sikat Naga.....!!!". Saat itu kepalan tangan Lawe Lenggong terus meninju punggung Rombeng Lomes. Betapa gembira, ditengah menggiring bola, Rombeng Lomes dipanggil nana ganteng. Kembang hidung Rombeng Lomes kian menjadi-jadi dan semakin bersemangat mendorong bola ke gawang.
Giringan Rombeng Lomes sudah menembus jaring gawang. Dia berteriak puas...goal.....!!! Tak pelak, paras Lawe Lenggong menjadi merah geram lalu ngambek dan merintih kesakitan karena masih merasa takut. Lalu, Rombeng Lomesbertanya: "Can ngapain kamu tumben geram sama aku?". Jawab Lawe Lenggong: "Aku tadi melihat mata naga. Bola matanya dua berwarna biru. Makanya, aku menyuruh Gan sikat naganya". "Hehe........Can, Can....hehe....itu tadi mata kucing yang tengah mencari tikus di gubuk kita. Persis di gubuk kita banyak tikus berkeliaran mencuri jagung dan padi. Naga di mata air itu hanya mitos", kata Rombeng Lomessembari tertawa terbahak-bahak. "Iiiihh kamu Gan, kenapa tak kasih tahu aku? Tunggu kamu Gan!", celoteh Can sembari tersipu malu.
Kemudian, ronde keempat dimulai. Can kembali melihat mata kucing tadi sementara Gan asyik mendorong bola ke keeper. Can berkata: "Itu naga...itu naga..!!!". Mendengar itu, dorongan Gan kian kuat ke gawang. Ronde keempat pun berakhir. Can kembali bergerutu: "Gan tadi itu, kucingnya datang makane aku tadi pinta skors dulu pertarungan". "Ah......Can tadi itu saya pikir diminta untuk menyundul lebih keras lagi...hehehe", tanggap Gan sembari tertawal kecil.
Dua bulan kemudian.......
Naga Si Penakut.
Keluarga baru Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong sudah berjalan delapan pekan. Hari-hari mereka bekerja di ladang menanam jagung dan padi. Hari itu di fajar tengah menyingsing, mereka hendak bergegas ke ladang.
Sesampai di ladang, tiba-tiba terbersit dari pikiran Rombeng Lomes untuk merantau. Rombeng Lomes kemudian meminta restu isterinya. Sontak Lawe Lenggong langsung mengamini meski dengan berat hati.
Kira-kira pukul 03.00 waktu setempat, mereka bergegas kembali ke gubuk karena buru-buru mengemas barang bawaan.
Di perjalanan pulang, Lawe Lenggong meneteskan air mata takut dan cemas Rombeng Lomes sebab bakal meninggalkan dirinya sendirian di gubuk untuk sementara waktu apalagi dia takut mengganggu nocan lain di perantauan. Rombeng Lomes tidak melihat kalau Lawe Lenggong menangis di jalan karena posisi Lawe Lenggong di depan.
Tiba di rumah, Lawe Lenggong langsung mengemas barang bawaan Rombeng Lomes. Setelah makan malam, mereka bergegas ke kamar tidur. Lawe Lenggong mulai buka suara: "Gan, kamu besok bergegas. Apakah Na tak ingat aku? Aku kangen". Tanggap Rombeng Lomes: "Iya Can, non kan cuwantik lagian menawan duhai imut lagi. Engkau tiada dua dan lainnya di bumi Can. Banyak pasir di pesisir pantai, namun hanya Can saja berlian yang senantiasa gemerlap di saat purnama tak menampakkan batang hidungnya sekalipun di pasir tersebut".
Tak membuang kesempatan, Rombeng Lomes langsung ambil siaga satu. Seluruh perkakas tempurnya 1000% stand by. Seluruh busana dilucutinya. Tak pelak, bidikan moncong pelatuk pistol satu kali tindisan langsung mengenai sasaran. Peluru senjata Rombeng Lomes terus menyusuri celah-celah rumitnya rimba raya. Rombeng Lomes tak putus asa kendati harus naik turun lembah gunung. Napasnya merasa terengah-engah ketika mendaki terjalan-terjalan bukit yang eksotis nan mengundul.
Pada lembah berikutnya dan memasuki bukit baru, Rombeng Lomes mulai tidak sanggup melampui. Saat nafasnya terengah-engah dan urat kakinya sudah mulai kejang-kejang mendaki, tiba-tiba melihat sebuah benda berwarna biru dan hanya satu tampak di depannya. Rombeng Lomes lalu keringat dingin dan langsung bersahut: "Itu di atas...itu di atas...itu di atas Can!". Can sangat kegirangan. Dia langsung di atas dan tidak mau turun-turun.
Tak lama berselang, Lawe Lenggong pun melihat benda bola biru yang bergerak di dalam kamar mereka. Lawe Lenggong pun bersahut: "Itu di atas Gan...itu di atas Gan...itu di atas Gan!". Persis Rombeng Lomes tidak mau. Lawe Lenggong pun ambil tindakan dan memaksa. Karena kuatnya Lawe Lenggong, Rombeng Lomes pun terguling ke atas. Tak mau kalah, Rombeng Lomes pun berusaha agar berada di bawah. Suasana semakin panas dan genting, mereka berdua pun berguling-guling. Karena terguling-guling, sampai-sampai keduanya terjatuh dari tempat tidur sementara terang tak secelah pun bercahaya.
Mereka pun berunding untuk siapa yang di atas hingga fajar mentimur naik. Lawe Lenggong mulai mengalah. Lawe Lenggong mulai berpikir. Saat itu, otak mulai menggelar mneumonik/recovery. Lawe Lenggong mengingat kembali pertarungan antara seekor kucing dan babi landak di kebun milik mereka dua pekan berlalu. Persis, seekor kucing kurang berhati-hati dan salah satu matanya ditusuk oleh ciki rutung (semacam duri perisai tubuh landak) hingga mata kucing itu berdarah dan luka berat.
Lawe Lenggong pun mempercayai kalau, benda biru yang dilhatnya barusan itu mata kucing yang dilihatnya waktu malam pertama mereka. Dan, kucing melihat dengan satu mata untuk memangsa tikus di gubuk mereka. Sementara, Rombeng Lomessangat ketakutan karena dia masih tidak yakin dengan benda biru yang dilihatnya. Rombeng Lomes tidak memberitahu Lawe Lenggong apa yang dilihatnya begitupun Lawe Lenggong. Hingga fajar menyingsing, Rombeng Lomes berada di bawah dan dia memeluk erat isterinya Lawe Lenggong. Melihat itu, dalam hati Rombeng Lomes batal untuk merantau.
Mentari mulai tampak di ufuk timur. Mereka yang sudah kasmaran dengan cinta itu lalu mandi dan sarapan pagi. Kira-kira jam menunjukkan pukul 11.00 siang waktu setempat, tidak ada tanda-tanda Rombeng Lomes mengambil barang bawaannya. Lawe Lenggong mulai angkat bicara: "Gan, ngapain tidak mau bergegas pergi merantau? Jam sekarang sudah bolong!". Rombeng Lomes membalas: "Can, aku tak mau pergi!". "Apa alasannya?", sambar Lawe Lenggong. "Yang, aku semalam melihat benda biru hanya satu. Itu pasti naga di sumber mata air di desa kita. Benar seperti yang diceritakan oleh warga desa", ucap Rombeng Lomes sembari menggigil. Sambut Lawe Lenggong: "Iiiiihhhh...betul Gan. Aku menjadi semakin takut sekarang". Tak membuang emas, Lawe Lenggong langsung memeluk Rombeng Lomes sembari tertawa kecil nan riang di parasnya karena Rombeng Lomes tidak jadi merantau.
Ufuk barat sudah mulai gulita. Mereka pun mulai tidur. Di pelaminan, Rombeng Lomes selalu di bawah sedangkan Lawe Lenggong tidur di atasnya. Tidur semacam itu berlangsung selama 4 bulan. Lawe Lenggong merasa gembira karena senantiasa ditemani. Sementara, pikir Rombeng Lomes, dia selalu dimanjain seperti balita halnya saat dia menetek di ibundanya dulu.
Bulan kelima, karena Lawe Lenggong mengandung 5 bulan. Dia pun melarang Rombeng Lomes tidur di atasnya lagi. Lawe Lenggong buka mulut: "Gan, cukup sudah aku tidur di atasmu karena aku tengah mengandung 5 bulan lebih nich. Nanti anak kita terjepit". Rombeng Lomeslangsung mencibir: "Ah...yang benar saja kamu Can?". "Betul yang!", jawab Lawe Lenggong.
Lama mereka bertegal, Lawe Lenggong pun memberitahu ikhwal kejadian di beberapa malam bulan lalu. "Gan...itu mata kucing. Mata satunya ditusuk duri babi landak. Matanya terluka dan tidak bisa melihat", katanya.
Mendengar itu, Rombeng Lomes pun tertawa terbahak-bahak sambil melompat-lompat lucu. Rombeng Lomes pun mengelus rambut Lawe Lenggong yang cantik itu lalu dikecupnya perut isterinya dan disentuhnya sembari disayang-sayang. Lawe Lenggong pun berkata: "Yang, aku senang kamu tidak pergi itu hari dan selama ini aku tidak memberitahu kamu tentang benda bermata biru itu karena aku takut sendirian ditinggalin di gubuk kita".
Sejak saat itu, semangat Rombeng Lomes kian menjadi-jadi. Siang malam dia bekerja, baik di ladang kebunnya maupun di "ladang beranak".
Ngidam Memegang Belut.
Setelah Rombeng Lomes merasa betah dan tidak mau merantau, Lawe Lenggong tampak mulai ngidam yang aneh-aneh.
Tepat pukul 04.00 pagi waktu setempat, Lawe Lenggong terjaga sementara Rombeng Lomes tengah terlelap dalam mimpinya yang indah diboyong oleh nocan lain.
Lawe Lenggong pun membangunkan Rombeng Lomes sembari berkata: "Yang, ayo bangun! Aku mau memegang belut". Betapa kagetnya Rombeng Lomes. Rombeng Lomes kemudian agak terjaga, masih tersayup-sayup sembari merasa heran saja. Dalam hati kecilnya berguman: "Mana mungkin ada belut jam begini? Ini masih pagi sekali. Ah...ini absurd, inlogic! Oh....saya ngerti uda".
Sontak dalam hitungan per second saja, si "roket" berdiri tegak siap meluncur. Diremasnya jemari Lawe Lenggong dan diarahkannya ke "roket" itu. Lawe Lenggong terkaget-kaget dan berkata: "Wuw.....ini bukan belut Yang. Ini obat nocan!". Rombeng Lomes mengalah lalu berpikir ulang: "Ah....mungkin karena belum dilicinkan", serunya dalam hati. Dielus-elusnya "roket" itu dan dalam hitungan menit "nanahnya" muncrat. "Yah..barangkali perlu dipoles dengan "nanah" ini biar licin seperti belut yang baru dilahirkan!", pikir Rombeng Lomes lagi. Diremasnya kembali jemari Lawe Lenggong dan diarahkannya ke "roket" itu. Lawe Lenggong terkaget-kaget dan berkata: "Yang, ini bukan belut! I.....i....ini bukan belut sungguhan!". "Haha....maaf Yang, pikirku kamu mau pegang belut itu!", heran Rombeng Lomes sembari tertawa lepas. "Yang, aku mau pegang belut yang ada airnya itu!", jelas Lawe Lenggong sembari melemparkan mukanya ke samping.
Mendengar itu, Rombeng Lomes mulai paham. "Oh....nocanku tengah apa nich?", serunya dalam hati sembari tertawa kecil meski tak ngerti.
Rombeng Lomes berkata lagi: "Can...jam berapa kita bermain air?". Kata Lawe Lenggong: "Bermain air apa?". "Yah, bermain di air kali menangkap belut tow!", jawab Rombeng Lomes. "Yang...jam 06.00 pagi kita bergegaslah!", semangatnya. "Oke deach!!! Siapkan seluruh perkakas penangkapan yang perlu", tantang Rombeng Lomes.
Tibalah mereka di kali. Di situ ada kolam kecil sedalam 40 cm. Rombeng Lomes lalu mengkritisi: "Mana mungkin belut bisa ditangkap di sini? Ah...harus cuwari akal nich!". Rombeng Lomes pun mengajak Lawe Lenggong masuk ke dalam untuk membantunya mencari. Persis, awalnya air kali itu bening. Selama dua jam pencarian di celah-celah batu tidak dapat-dapat belutnya. Rombeng Lomes pun menanggalkan celana dan pakai dalamnya lalu ditaruhnya dengan batu cukup besar agar celanaya tak mengapung. Kemudian, Rombeng Lomes mengeruhkan air kolam itu. Rombeng Lomes pura-pura berkomentar belut di air itu sempat dipegangnya. Lawe Lenggong lalu penasaran dan ingin melempiaskan keinginannya itu.
Rombeng Lomes kemudian berpura-pura menunduk dan duduk di air dengan menancapkan "rudalnya" baik-baik sambil bersahut: "Ini Yang di dekat lututku ada belut dan aku tengah memegangnya sekarang. Ceeee....patttt pe...ganggggg!". Tak membutuh waktu lama, Lawe Lenggong pun meluncur ke arah sasaran. Rombeng Lomes pura-pura memegang kosong di tangannya. Diarahkannya 12 jemari Lawe Lenggong dan meluncur gesit ke arah "rudal" itu. "Dapat...da....patttt!!!", senang Lawe Lenggong. Rombeng Lomes pun merintih kesakitan. Lalu, kata Lawe Lenggong: "Yang...ngapain kamu meringis gitu? Ini belutnya aku dapat!". Rombeng Lomes pun berdiri dan ditangannya padahal tengah menangkap ikan mas sebesar betis anak gadis. Betapa kagetnya Lawe Lenggong padahal yang ditangkapnya belut yang lain. Lawe Lenggong melotot heran ke arah "rudal" milik Rombeng Lomes karena dia mengira memegang belut sungguhan karena diujungnya persis kepala belut sungguhan. "Oh....maaf Yang!", celetup Lawe Lenggong. Kata Rombeng Lomes lagi: "Belutnya belum berhasil kamu tangkap Yang. Jemarimu meleset...hehe!".
Rombeng Lomes pun keluar dari kolam mau menyelematkan ikan mas di tangannya. Sambil berlompat-lompat riang, Rombeng Lomes bersahut: "Ikang babek...ikang babek (ikan besar)!". Lawe Lenggong sungguh terperanjat heran dan ketakutan. Lawe Lenggong cepat-cepat keluar dari kolam. Bukannya Lawe Lenggong membantu menyelematkan ikan mas di tangannya Rombeng Lomes malah cepat-cepat memegang "rudal dan biji advokatnya" Rombeng Lomes dengan kedua tangannya lalu digiringnya ke kolam. Tak mengontrol lagi, ikan mas (ikang babek) di tangan Rombeng Lomesterlepas di air kolam lagi. Rombeng Lomes tidak menyesal karena tuna-nya (belutnya) berhasil diremas. Lawe Lenggong berpikir saat itu, lebih baik menyelamatkan "belutnya" Rombeng Lomes ketimbang dilihat oleh nocan yang mungkin lewat di kali itu.
Betapa gembiranya ikan mas tersebut karena dia terlepas. Lawe Lenggong kemudian berpikir ulang: "Ah...Yang, lebih baik kita tangkap dulu ikan mas tadi!". "Oke deach Can!", potong Rombeng Lomes. Maklum saat perempuan tengah mengandung, pasti hanya menggenakan daster saja tanpa menggenakan pakaian lainnya (CD). Itu akan membuat mereka sumpek bergerak.
Lawe Lenggong pun mencari dan berusaha keras mengeruhkan air dengan maksud mulut ikannya tampak ke permukaan. Upaya Lawe Lenggong berhasil dan ikannya muncul ke permukaan untuk bernapas. Lawe Lenggong lalu menangkapnya. Usahanya belum berhasil, ikannya terlepas dari tangannya. Sementara Rombeng Lomes pura-pura mencari. Rombeng Lomes kerap menangkapnya di dalam air, namun segera dilepasnya di dalam.
Kali ini Lawe Lenggong menangkap ikannya dan terjepit di keduanya pahanya. Saat itu Rombeng Lomes lagi berada di belakang Lawe Lenggong, sementara Rombeng Lomes berpura mencari. "Ini ikannya Yang....ini ikannya Yang, terjepit dipahaku", kata Lawe Lenggong sembari memanggil. Dengan cekat satu kali putaran langsung ke arah pahanya Lawe Lenggong. Bukannya Rombeng Lomes menangkap ikannya malah menangkap dan memegang "kesayangannya" Lawe Lenggong sedikit kuat tapi agak lembut. Tangan Rombeng Lomes meleset. Ulah tangannya, ikan pun terlepas. Bukannya Lawe Lenggong marah malah muka dan telinganya memerah sembari tersenyum manis. "Terima kasih Yang, yang pen...tingggg!!!", ucap Lawe Lenggong sembari mengulurkan bibir manisnya mengecup keningnya Rombeng Lomes.
Mereka pun berunding pulang. Kendati ikannya tidak didapat lagipula Rombeng Lomes tidak ingin menangkap ikan mas di kolam itu sebab tidak terlintas di benaknya. Mereka pun bergegas pulang tanpa membawa apa-apa. Meski pulang dengan tangan hampa, hati Lawe Lenggong tetap bergembira memegang tangannya Rombeng Lomes.
Di perjalanan masih di kali itu. Rombeng Lomes melihat suatu yang janggal di pancuran kecil (cunca). Dia pun memperhatikan dan mendekat. Dirabanya baik-baik ternyata ada campat (perangkap yang lazim dipakai sebagai benda untuk menangkap ikan dan belut). Rombeng Lomes mengambil benda itu dan membawa ke darat, sekitar 10 meter dari kali itu jaraknya. Rombeng Lomes menusuk-nusuk moncong campat itu ke tanah. Betapa kagetnya Rombeng Lomes, seekor belut sebesar betis gadis keluar. Rombeng Lomes pun segera mengambil daun-daun lalu memegang belut itu. Saat itu Lawe Lenggong melompat-lompat kecil, riang sembari menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Lawe Lenggong pun memegang belut itu sembari mengelus-elusnya. Lawe Lenggong puas dan bersyukur: "Oh...Pencipta! Engkau telah mengamini permintaanku. Aku sangat berterima kasih kepada-Mu sebab Engkau bermurah hati terhadap anakku, terhadap aku dan suamiku!". Mereka berdua pun memegang dan membawa belut itu ke pinggir kali. Sebelum melepas ke alamnya. Rombeng Lomes kemudian bernazar: "Dengarlah engkau hai belut, mulai hari ini aku bernazar bahwa sejak hari ini aku dan seluruh keturunananku tidak akan memakan engkau dan seluruh keturunanmu karena telah menyelamatkan impian aku dan isteriku terlebih anakku di dalam kandungan!". Belut itupun bebas. Suatu keajaiban, belut itu tidak pergi dari air kali itu. Belut itu mengeluarkan suara dan tidak mau pergi. Matanya tetap melihat Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong. Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong pun bergegas ke dalam kali. Tampak semua belut di kali itu menghampiri mereka berdua. Keriapan belut itu melompat-lompat. Betapa puasnya hati Lawe Lenggong, dia bermain-main dengan belut-belut tersebut dan leluasa memegang mereka. Belut-belut tersebut malah mendekat.
Sekitar satu jam lamanya Lawe Lenggong bermain dengan belut-belut itu. Mereka kemudian mendengar suara dan langkah kaki. Ternyata si pemilik campat mendekati campatnya. Melihat itu, Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong berlari dari dalam kali dan bersembunyi di semak-semak tekelan, kerenyuh, pohon paku dan senduduk sementara belut-belut tadi pergi ke lubang-lubang batu. Rombeng Lomes memperhatikan wajah orang itu, ternyata warga tetangga Desanya. Orang itu pun pulang dan meluncur ke kali yang lain. Begitu orang itu pergi, belut-belut itu pun bermain lagi dan menghampiri Lawe Lenggong. Mereka bermain lagi dan akhirnya Lawe Lenggong dan Rombeng Lomes pamit pulang.
Sekitar 50 meter dari tempat itu, terlintas dalam pikiran Rombeng Lomes untuk pergi ke kolam ikan mas tadi. Lawe Lenggong pun merestui. Tibalah mereka berdua di tempat itu. Saat mereka tiba, air kolamnya kembali bening. Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong awalnya heran tidak melihat satupun ikan di situ. Satu jam mereka memperhatikan. Mereka mengambil cacing tanah sebagai umpan namun tidak muncul-muncul ikan masnya.
Rombeng Lomes pun mulai bernazar: "Dengarlah wahai engkau ikan mas. Aku berterimah kasih kepadamu. Aku juga berterima kasih kepada Sang Pencipta yang telah mempertemukan kami dan engkau. Aku dan seluruh keturunanku, mulai hari ini tidak akan memakan engkau dan seluruh keturunanmu!". Betapa kagetnya, entah dari mana datangnya. Ikan mas itu muncul. Ikan mas itu mengeluarkan suara dan serempak semua jenis ikan air tawar dengan kulit mereka berwarna-warni muncul di kolam itu. Jam saat itu diperkirakan pukul 12.00 siang waktu setempat. Lawe Lenggong dan Rombeng Lomes pun masuk ke dalam kolam. Mereka pun bermain-main bersama. Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong memegang dan mengelus mereka. Dua jam mereka bermain. Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong memutuskan pulang. Mereka pun pulang. Di saat mereka pulang, ikan-ikan tersebut melompat-lompat dan pergi ke tempat mereka masing-masing.
Sejak saat itulah Rombeng Lomes dan keturunannya ber-ceki atau bertotem ikan dan belut.
Setiba di gubuk, mereka berdua berdoa untuk berterima kasih kepada Pencipta. Mereka pun mulai memasak dan mempersiapkan makan malam. Sore pukul 06.00 waktu setempat, mereka ke kamar tidur. Lawe Lenggong tidak membuang kesempatan untuk menjalin asmara. Lawe Lenggong pun mencubit kecil "belut yang lain yang licin" hingga fajar menyingsing begitupun Rombeng Lomes membalas dengan semangat membara dan berapi-api meremas "ikan babek yang lain". Tiga hari lamanya kasmaran mereka berlangsung hingga puasa untuk berkebun.
Hari keempat setelah nazar, Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong bertandang ke rumah pemilik campat yang memerangkap belut di kali di mana belut itu tertangkap dan lepas. Mereka membawa masing-masing membawa padi dan jagung.
Sesampai di rumah orang itu, betapa kagetnya orang tua (lelaki lansia) itu atas kehadiran tamu yang tidak diundangnya. Orang tua itu tinggal sendirian di gubuknya. Dia tidak punya siapa-siapa. "Kamu datang apa Nak?", kata lelaki tua itu. "Kami mau mengucap terima kasih Nek!", sambut Rombeng Lomes dengan sopan dan ramah. "Lalu, apa yang kamu bawa itu Nak?", kata lelaki tua itu lagi. "Ini ada oleh-oleh untuk Kakek!", sambut Lawe Lenggong. "Aduh Nak, kok repot-repot!", senyumnya simpul. "Tidak apa-apa Kek!", jawab Lawe Lenggong. Lawe Lenggong pun menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya bersama Rombeng Lomes di kali itu. Kakek itu mengangguk-angguk dan berkata. "Aku mengerti Nak, kamu mengidam. Bersyukurlah kepada Pencipta karena sesuatu yang tidak mungkin bagi kamu dimungkinkan-Nya". Saat itu, Rombeng Lomes memukul keningnya sendiri sembari memberi komentar: "Oh.....itu namanya ngidam Kek?". "Iya Mbeng, itulah!", tanggap Kakek itu.
Setelah menjawab Rombeng Lomes, Kakek itu berkata lagi: "Terbekatilah kalian!". Saat itu Kakek itu berubah wujud, dirinya bercahaya dan membelah tubuh menjadi tiga. Ketiga wujud itu pun masing-masing bercahaya. Lalu, salah satu dari wujud itu berubah menjadi belut dan satunya lagi berubah menjadi ikan mas. Wujud yang satu berkata: "Aku ada pada mereka dan ada pada seluruh makhluk", pesan wujud yang satu itu. Wujud yang satu itu kemudian masuk ke dalam rahim Lawe Lenggong dan Lawe Lenggong merasa sangat nikmat dan kuat. Kedua wujud lain, ikan dan belut tadi hilang seketika dan berpesan: "Siramlah padi dan jagung yang kalian bawa, tebarlah di atas lahan ini. Dan, tinggalah di tempat ini selamanya, kamu dan seluruh keturunanmu!". Gubuk yang mereka kunjungi pun hilang seketika dan tiba-tiba menumbuhkan berbagai benih pohon-pohon kecil. Padi dan jagung itupun langsung berkecambah.
Lawe Lenggong dan Rombeng Lomespun menangis kecil. Mereka kemudian membangun gubuk di situ dan mereka membangun sejenis compang (altar untuk berdoa) di atas bekas gubuk Kakek itu. Tempat itu indah. Tanahnya datar di kelilingi liukan sungai. Mata airnya berkelimpahan. Segala jenis buah-buahan ada di situ. Buah-buahan tersebut adalah hasil karya Kakek tadi. Mereka kemudian menamai tempat itu Nuca Lale.
Malapetaka.
Usia kehamilan Lawe Lenggong sudah delapan bulan. Mereka tinggal di Nuca Lale diperkirakan sudah tiga bulan lamanya sejak Lawe Lenggong mengandung lima bulan. Dalam waktu tiga bulan, padi dan jagung yang mereka tebarkan sudah siap dituai. Mereka binggung, tuaian yang begitu berkelimpahan tidak ada penuainya. Lawe Lenggong tengah hamil, maka agak susah bagi Rombeng Lomesuntuk menuainya. Berhektar-hektar tuaian yang siap dituai sesuai dengan luas garapan dari Kakek yang berjanji kepada mereka.
Menjelang petang, Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong masuk ke dalam kamar untuk berdoa. Mereka berdoa mohon kemurahan Pencipta untuk menuai tuaian lagipula sulit bagi Rombeng Lomes untuk menuai sendiri sementara Lawe Lenggong sebulan lagi hendak melahirkan.
Begini doa mereka: "Wahai Sang Pencipta, Engkau telah memberkati tanah ini dengan kuat Kuasa-Mu. Engkau pulalah yang telah menggarap tanah ini dengan tangan-Mu sendiri. Engkau pula yang telah menyiapkan benih bagi kami begitupun sumber mata air yang jernih, bening, dan segar bagi kami. Engkau pulalah yang menurunkan hujan di atas negeri yang telah Engkau berikan. Kami mengucap syukur kepada-Mu atas berkat yang Engkau berikan di atas tanah ini. Berkatilah kami agar kami mampu menggunakan berkat-Mu itu. Terimalah sembah sujud kami wahai Engkau Sang Pencipta".
Mereka pun tidur. Rombeng Lomes kemudian bermimpi melihat awan putih dan dari awan itu keluarlah sebuah cahaya seperti mengkilat. Dari cahaya itu terdengarlah suara: "Wahai anak-Ku janganlah kamu cemas. Dengarkanlah! Ini nasehat-Ku - Kamu yang menanam, kamu pulalah yang menyiangi meski kamu tidak tahu bagaimana proses bertumbuhnya. Tuaian kamu memang banyak namun kamu tidak sanggup menuainya - Aku akan datang menolong kamu. Pada pagi hari sebelum fajar menyingsing di timur pada saat kamu masih melihat bintang timur - pergilah ke ladangmu berdoalah kepada Sang Pencipta - bawalah serta dengan persembahanmu - pada saat itu Aku akan datang menghadap kamu!".
Masih dalam mimpi itu, sembari menengandah ke atas, Rombeng Lomes melihat sebutir telur ayam kampung dan seekor ayam jantan juga segengam jagung dan padi. Lalu, keluar pula suatu suara - "Yang kumaksudkan bukan persembahan melainkan belas kasihan!".
Rombeng Lomes pun terjaga begitupun Lawe Lenggong. Kira-kira malam Pukul 12.00 waktu setempat, Rombeng Lomes menceritakan perihal mimpinya. Lawe Lenggong merasa heran karena dia juga mengalami mimpi yang sama dengan pesan yang sama. Rombeng Lomes pun berunding. "Ni, jam tiga kita bangun untuk mempersiapkan segala sesuatu sesuai yang diperintahkan!", kata Rombeng Lomes. "Iya Har!", jawab Lawe Lenggong.
Mereka kemudian berdoa: "Engkau Sang Pencipta, bangunlah kami Pukul 04.00 pagi!". Tepat Pukul 04.00 mereka terjaga. Mereka pun bergegas mengambil sebutir telur ayam kampung dan seekor ayam jantan lalu dibawanyalah oleh mereka ke ladang. Tiba di ladang, sesuai petunjuk dalam mimpi, dipetiknyalah oleh Rombeng Lomes satu tongkol jagung yang hendak tuai - yang sudah matang - dan segengam batang padi yang menguning dan siap dituai.
Nazar mereka: "Sang Pencipta! Inilah persembahan kami. Hendaklah Dikau menerima persembahan kami. Berkatilah tanah ini. Berkatilah pula seluruh tuaian ini. Berkatilah juga mata air yang mengalir di tanah ini, seluruh tetumbuhan yang ada. Berkatilah pula kami semua, anak kami di dalam kandungan. Berkatilah pula semua orang yang telah membantu kami hingga kami boleh bertumbuh dan diam di negeri ini!".
Rombeng Lomes pun menyembelih hewan kurban itu, meneteskan darahnya di atas tuaian tadi dan meletakkannya di dahi mereka berdua kemudian membakar dan menyajikannya. Dipersembahkannya pula oleh mereka telur tadi dan diletakkan di atas kumpulan kerikil-kerikil kecil begitupun jagung dan padi tadi. Lalu, Rombeng Lomes bernazar: "Inilah persembahan kami! Terimalah persembahan ini, yah Pencipta!". Sebagian dari ayam kurban tadi kemudian mereka bakar dan makan di situ dan dihabiskan di situ.
Setelah mereka dua makan, muncullah tiga orang di depan mereka. Dua dari ketiganya kelihatannya masih muda berusia kira-kira 30-an tahun dan seorang lagi yang lanjut usianya. Pakaian mereka putih bagaikan salju, kilatnya bagaikan berlian. Dari pakaian mereka keluar cahaya mengkilat seperti petir. Salah seorang dari mereka berkata: "Terimalah berkat ini. Mulai dari sekarang, kamu adalah anak-anak yang hidup. Kami akan menyertai kamu hingga akhir hayat. Tuaian kamu akan berkelimpahan dan anak yang ada di dalam rahim kamu akan menjadi berkat bagi semua orang, baik yang akan lahir dan yang akan dilahirkan lagi!".
Setelah mengucapkan demikian, ketiga orang itu memancarkan cahaya ke arah mereka. Saat itu, seakan mereka berdua dipenuhi kemurahan. Tampak dalam sekejap, ketiga orang itupun menghilang. Mereka berdua pun tersungkur ke permukaan tanah.
Mereka berdua pun siuman lalu bangun kemudian memperhatikan alam persekitaran yang tampak hijau dan menguning. Rombeng Lomes pun menuai tuaiannya selama tiga pekan. Ia mengumpulkan tuaian itu di beberapa wadah di gubuknya - gubuk mereka berbentuk panggung, beralaskan batang kayu dan di atasnya dilapisi dengan dedaunan alang-alang pula. Atap gubuk mereka terbuat dari alang-alang. Dindingnya pun dari alang-alang yang terikat dengan batang kayu dan diikat oleh tali semak liar. Sedangkan, wadah penyimpan pun terbuat dari lapisan alang-alang berbentuk selinder yang diracik menggunakan tali liar dan batang-batang kayu. Gubuk mereka masih peninggalan si Kakek. Tuaian itu cukup untuk menghidupi keluarganya selama diperkirakan dua tahun. Rombeng Lomestidak mampu menuai semua tuaiannya itu. Masih banyak tuaian lain yang tidak sempat dituainya karena ia sudah tidak mampu.
Setelah tiga pekan, beristirahatlah Rombeng Lomes melenturkan urat-uratnya. Dia tidak mampu menuai lagi. Rombeng Lomes kemudian merasa letih dan lelah.
Lawe Lenggong pun bertanya kepada Rombeng Lomes: "Mbeng! Apakah kamu tidak bisa menuai lagi?". Jawab Rombeng Lomes: "Aku tidak sanggup lagi Ni!". Komentar Lawe Lenggong lagi: "Mengapa tak meminta warga Desa kita?". Sambar Rombeng Lomes: "Mereka terlalu jauh. Butuh waktu satu pekan untuk mencapai tempat itu. Kedua orang tua kita juga tidak mungkin apalagi mereka tidak tahu kita ada di sini. Sang Kakek yang menolong kita, anehnya memerangkap belut sejauh satu pekan perjalanan pulang pergi. Yah, kita mengenal Sang Kakek karena sering ke Desa dan semua warga tahu lagipula waktu kecil aku pernah ke sini diajak Ayah untuk belajar ketekunan karena Sang Kakek terkenal dengan ajarannya hingga ke Desa kita! Menurut cerita Ayahku, hanya satu Desa saja di bumi dan Si Kakek yang tinggal berjauhan. Selain Si Kakek dan warga Desa kita, tidak ada manusia lain di bumi lagipula menurut Ayah, warga Desa kita tidak mengenal Pencipta dan tidak pernah berterima kasih atas berkat-Nya. Bertahun-tahun lamanya, warga Desa tidak berkembang sementara asal manusia pertama berasal dari para Dewa dan Dewi yang turun ke bumi. Bayangkan, saya memanggil mereka sementara kamu mau partus! Mana mungkin saya ke sana?". "Iya...ya, kamu memang senantiasa masuk akal Har!", sambung Lawe Lenggong.
Ternyata, sejak lima bulan lalu, kedua orang tua Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong sudah mencari ke seluruh Desa mereka. Desa Rombeng Lomes terdiri dari beberapa kampung. Mereka mencari ke mana-mana, tetap tidak dijumpai.
Waktu itu, Rombeng Lomes sempat memberitahu Ibunya untuk bertemu dengan Kakek yang pernah dijumpai Ayahnya untuk mendapat pengajaran bersama kekasihnya Lawe Lenggong. Ayah Rombeng Lomes pun bertemu dengan Kakek itu pertama kali karena suatu kejadian. Ayah Rombeng Lomes sempat mau tenggelam di sebuah danau saat masih muda namun berhasil diselamatkan si Kakek. Kakek itu kemudian mengajaknya ke gubuknya dan memberikan pengajaran dan wasiat-wasiat tentang kehidupan masa depan. Saat Rombeng Lomes lahir dan tumbuh remaja, Rombeng Lomes diajak Ayahnya ke tempat Si Kakek. Si Kakek pun kerap ke Desa Rombeng Lomes setelah menyelamatkan Ayah Rombeng Lomes dan menginap di gubuk mereka untuk beberapa waktu. Semua warga Desa mengenal Si Kakek namun tidak ada yang tahu. Si Kakek adalah Guru Besar ayahya Rombeng Lomes. Warga hanya tahu, Kakek itu si tukang pemerangkap belut padahal tidak ada satupun yang dimakan belut yang ditangkapnya itu. Si Kakek selalu melepaskan tangkapannya.
Ibu Rombeng Lomes pun teringat. Ia lalu memberitahu suaminya ikhwal pesan anak tunggalnya itu sebelum bertemu Si Kakek. Ayah Rombeng Lomes lalu percaya pada isterinya. Mereka pun mempersiapkan segala sesuatu dalam perjalanan pergi. Namun, sebelum berangkat ke sana, Ibu Rombeng Lomes memberitahu suaminya untuk melaporkan dulu kepada orang tua Lawe Lenggong. Ayah dan Ibu Rombeng Lomes cemas karena anak tunggal puteri mereka tidak pernah mengunjungi orang tuanya. Persis Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong masing-masing anak tunggal. Sebelum ke Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong, orang tua Rombeng Lomes bermampir dulu ke gubuk orang tua Lawe Lenggong lagipula jalan menuju ke Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong melewati gubuk orang tua Lawe Lenggong.
Orang tua Lawe Lenggong kaget atas kedatangan mereka. Orang tua Rombeng Lomes menceritakan semua kejadian. Mereka pun bermalam di situ. Jauhnya kampung orang tua Rombeng Lomes dengan Lawe Lenggong, waktu tempuhnya delapan jam. Keesokan harinya, mereka berempat menuju tempat tinggal Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong. Kurang lebih tiga hari lamanya di perjalanan, mereka baru tiba. Tiga hari mereka berjalan, dua malam menginap selama di perjalanan. Mereka berjalan naik turun lembah dan bukit.
Sore kira-kira Pukul 04.00 waktu setempat, mereka tiba di tempat Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong. Mereka mengetuk pintu dan betapa kagetnya Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong karena orang tua mereka datang. Kegembiraan mereka sangat luar biasa. Ayah Rombeng Lomes pun bertanya soal keadaan Si Kakek. Rombeng Lomes pun menceritakan semua peristiwa itu kepada Ayahnya. Sontak Ayah Rombeng Lomes menangis dan tersungkur ke tanah. Ayah Rombeng Lomes pun meminta maaf dengan menengadah ke langit sembari meminta belaskasihan dengan sikap tangannya berdoa. Ayah Rombeng Lomes pun berlutut sepanjang satu jam lamanya tanpa alas lutut. Sekitar pukul 08.00 malam dan mau makan malam, tiba-tiba pintu gubuk diketok. Rombeng Lomes pun membuka pintu. Betapa terperanjatnya Rombeng Lomes karena Si Kakek datang. Awalnya ia tidak percaya. Melihat Si Kakek semua mereka tersungkur dan berlutut sembari meminta berkat.
Si Kakek itu pun mengangkat dagu si Lawe Lenggong dan mempersilahkan mereka semua duduk. Si Lawe Lenggong pun menyiapkan makan malam. Mereka pun makan malam bersama. Si Kakek membawa dua buah buah-buahan yang segar, seperti buah semangka rupanya. Usai makan, Si Kakek memberi berbagai wasiat-wasiat penting. Sebelum bergegas, Si Kakek berwasiat: "Jangan takut, Aku selalu menyertai kamu!". Bak seperti kilatan halilintar, Si Kakek bercahaya dan menghilang. Ia tidak pergi melewati pintu dan jendela.
Setelah Si Kakek pergi mereka berenam lalu berdoa meminta pertolongan dan perlindungan. Usai berdoa, sekitar 01.00 pagi mereka pun terlelap.
Tepat Pukul 05.00 pagi, datanglah angin puting beliung meluluhlantakan segala sesuatu. Tak lama kemudian angin tornado menghantam dan menerbangkan segala sesuatu. Beberapa jam kemudian, halilintar membahana di langit, petir turun ke atas permukaan bumi dan membumihanguskan segala sesuatu. Tak ketinggalan, gempa bumi mengoncangkan lembah, bukit dan gunung-gunung. Air samudera pun mengamuk menghanyutkan segala sesuatu. Kejadian itu berlangsung selama kurang lebih satu jam.
Rombeng Lomes kemudian terjaga. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Gubuknya bergoyang-goyang. Ia pun melihat keluar melalui celah jendela. Ia melihat gubuknya terapung di air. Rombeng Lomes pun membangunkan Lawe Lenggong. Lawe Lenggong kemudian terjaga. Lawe Lenggong kemudian merasa takut dan cemas. Orang tua mereka masing-masing pun terbangun pula. Mereka semua gemetar. Yang membuat mereka lebih takut, angin kencang, halilintar dan air samudera yang mengamuk. Mereka kemudian pasrah. Meski dalam kecengangan, Rombeng Lomes berani membuka jendela. Dia kian heran ketika jutaan belut dan ikan mas mengelilingi gubuk mereka bahkan di bawah lantai gubuk, jutaan belut dan ikan mas berusaha mengapungkan gubuk itu.
Rombeng Lomes tidak habis pikir. Dia mengira gubuknya berpindah lokasi. Begitu air laut turun, petir, angin gempa bumi turut berhenti. Sekitar Pukul 06.30 pagi, air laut hilang dan gubuk mereka kembali semula. Rombeng Lomes melihat keluar gubuk, semua yang ada di permukaan tanah diperhatikannya sudah musnah.
Awal Kehidupan Baru.
Rombeng Lomes kemudian diam tepekur. Dia tercengang minta ampun. Dia semakin terperanjat, ketika melihat berbagai jenis binatang melata, baik yang jinak maupun yang buas. Dilihatnya kerbau, kuda, sapi, anjing, babi hutan, ayam hutan, dan seluruh jenis binatang yang selamat dari hanyutan air besar dan sambaran petir.
Rombeng Lomes lalu ke dalam gubuk dan melaporkannya kepada Ayahnya dan berkata: "Ayah, di luar aku melihat banyak sekali makhluk aneh. Aku takut karena mereka akan membunuh kita!". Jawab Ayahnya: "Jangan heran Nak, aku sudah diwasiatkan dulu oleh Sang Kakek!". Ayah Rombeng Lomes pun menjelaskan kegunaan dari hewan dan binatang tersebut. Rombeng Lomes kemudian menggangguk tanda mengerti.
Kemudian, mereka semua pun keluar gubuk. Mereka melihat keajaiban baru. Dunia terasa sepi. Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong pun berdoa: "Terima kasih kepada kalian kumpulan belut dan ikan mas. Kalian telah membantu kami!'.
Setelah sepekan karena cuaca selalu membaik baru muncullah tetumbuhan kecil. Permukaan bumi seolah menjadi hijau kembali. Mata air pun menjadi kembali jernih.
Natal Pun Tiba.
Sepekan usai bumi dibarukan, lahirlah seorang putera. Saat baru lahir, sesuai wasiat Sang Kakek, Ayah Rombeng Lomes mengambil lampek (pisau dari kulit bambu) yang diselipkan di bubungan gubuk itu yang dibuat oleh Sang Kakek sendiri. Ayah Rombeng Lomes keluar gubuk. Dari luar gubuk tepat di dinding kamar di mana bayi itu lahir, dia berseru: "Ata pe'ang ko ata one?". Jawab mereka dari dalam: "Ata one!". Mereka menyebutnya lima kali. Maksudnya, laki-lakikah atau perempuan? Mereka menjawab anak laki-laki. Sesuai wasiat si Kakek, anak perempuan harus meninggalkan orang tuanya dan mengikuti suaminya dan menjadi bagian dari ceki atau totem dari suaminya, sementara anak laki-laki harus tinggal dengan orang tua mereka dan masih menjadi ceki dari ayahnya. Lalu, Ayah Rombeng Lomes memotong tali pusat bayi itu dengan lampek tadi.
Ayah Rombeng Lomes bersama Rombeng Lomes kemudian mengambil plasenta bayi tersebut lalu dikuburkan dekat gubuk mereka. Sekitar 100 meter dari gubuk mereka jaraknya. Mereka membangun tanda khusus di situ dan dijadikan sebagai compang - altar adat.
Rombeng Lomes bertanya: "Apa maksud dari semua itu Ayah?". Jawab Ayahnya: "Sesuai petunjuk Sang Kakek, kelak plasenta atau mbau tersebut dinamakan ase kae weki - saudara. Mbau tersebut kemudian bakal dijadikan sebagai wae cemok - plasenta leluhur - yang sesuai wasiat Sang Kakek keturunannya akan mencari asal mereka dengan menggelar ritus takung wae cemok - memberi makan saudara leluhur. Putera mungil itu kemudian bertotem ikan mas dan belut - ketika putera itu tiada, maka dia disebut wura sedangkan ceki/totemnya ikan mas dan belut - saat dia memiliki keturunan kelak - keturunannya akan menggelar ritus takung wae cemok dan teing hang wura agu ceki - memberi makan roh leluhur. Ceki adalah perwujudan dari Yang Mahakuasa!".
Lalu, Ayah Rombeng Lomes mencari kayu api. Dibakarnya kayu tersebut di tungku untuk menghangatkan bayi mungil itu selama lima hari. Selama lima hari bayi itu dihangatkan sembari menetek di ibunya. Bayi itu dilarang oleh Ayah Rombeng Lomes untuk keluar rumah kalau belum disyukuri - cear cumpe. Persis hari kelima, pusar bayi itu terlepas. Mulailah Ayahnya Rombeng Lomes mengambil seekor ayam jantan putih.
Rombeng Lomes bertanya: "Untuk apa ayam jantan itu Ayah?". Jawab Ayahnya: "Ini syukuran atas kehadirannya. Kita harus menggelar cear cumpe sesuai perintah Sang Kakek kepadaku!". Kata Rombeng Lomes lagi: "Apa maksudnya Ayah?". Sahut Ayahnya: "Agar dia senantiasa dilindungi leluhur dan Sang Pencipta. Hendaklah setiap keturunan harus menggelar acara pemberian nama atau cear cumpe mulai dari sekarang hingga kapanpun!".
Ayah Rombeng Lomes mengambil hewan kurban itu lalu didoakan - torok. Ayah Rombeng Lomes pun memberi lima nama lain dari bayi itu yang diambil dari nama leluhur, sementara nama anak itu Lalongn Tana. Setelah didoakan. Ayam itupun diputar-putar lima kali di atas kepalanya. Ayam itupun dikurbankan dan darahnya dicapkan pada dahi bayi itu dan ibunya.
Rombeng Lomes bertanya: "Mengapa darah hewan kurban itu dimeteraikan di kening sang bayi Ayah?". Jawab Ayahnya: "Itu adalah tanda bahwa dengan darah hewan kurban tersebut hidupnya dibimbing leluhur dan Pencipta. Anak itu pun sudah masuk pada babak baru. Ia boleh keluar rumah karena sudah dimandikan. Ia boleh menghirup udara bebas segar halnya kita!".
Pengajaran-Pengajaran.
Tentang Cear Cumpe.
Keesokan harinya, bayi mungil ganteng itupun dimandikan Lawe Lenggong di mata air dekat gubuk mereka dan dijemur di atas susunan batu di mana plasenta bayi itu dikuburkan. Mereka menyusun tempat dikuburkannya plasenta itu mirip mezbah bundar tersusun dari batu. Rombeng Lomes dan Ayahnya menamai mezbah bundar itu compang. Saat Lawe Lenggong tengah menjemurkan puteranya di situ, tiba-tiba datang tiga orang dari langit. Pakaian mereka seperti petir. Salah satu dari mereka berpesan: "Di atas mezbah ini kami akan turun menerima seluruh persembahan kamu. Buatlah persembahan di atas tempat itu dan panjatkanlah puji-pujian bagi Pencipta".
Dalam hati Rombeng Lomes berguman: "Pencipta tidak butuh persembahan dan puji-pujian. Mana mungkin?". Maka, berkatalah salah satu dari mereka, dan berkata: "Aku tahu apa yang kau pikirkan anak-Ku Rombeng Lomes sebab kami tidak membutuhkan persembahan melainkan belaskasihan. Hendaklah kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu!".
Mendengar itu tersungkurlah mereka semua. Lalu, diperlihatkan kepada mereka suatu tanda. Tiba-tiba datanglah seekor kerbau jantan dan seekor babi di compang tersebut lalu muncullah sebuah pedang yang terbuat dari emas 24 karat menghunus ke arah kedua hewan tersebut. Datang pula seekor kuda cokelat dan seekor babi kecil lalu pedang emas tersebut menghunus. Berkatalah salah satu dari mereka bertiga: "Lakukanlah itu dan hendaklah kamu saling mengasihi. Yang Ku-maksudkan bukan kurban itu melainkan berkumpulah kalian dan berbelaskasihlah!".
Tentang Mata Air.
Hari berikutnya, Lawe Lenggong hendak memandikan puteranya di mata air. Rombeng Lomes pun ada di situ. Saat tengah mandi, datang pulalah mereka bertiga dan berkata: "Mata air ini disucikan bagi kamu. Hendaklah kamu merawat mata air ini sebagai sumber penghidupan! Mulai hari ini, kamu dan seluruh keturunanmu melakukan syukuran agar kalian terbebas dari dahaga!".
Tentang Compang, Natas dan Lingko.
Keesokan harinya, saat Lalongn Tana dijemur datang pula tiga orang tadi dan berkata: "Hendaklah di depan gubuk ini kamu jadikan alun-alun untuk bermain. Di alun-alun inilah kamu menari memuji Sang Pencipta! Hendaklah kamu menamainya natas". Mereka pun berkata: "Ketika putera ini menjadi remaja, buatlah sebuah ladang seperti cakra. Bentuklah seperti sarang laba-laba. Kamu harus menamainya lingko! Di tengahnya hendaklah kamu tancapkan teno. Angkatlah seorang tetua Teno sebagai hakim atas lingko. Sebelum kamu membukanya hendaklah kamu menggelar kurban menggunakan kerbau dan babi! Hendaklah kamu menamainya lingko randang ela, lingko randang kaba!".
Tentang Mbaru Gendang.
Mereka juga berkata: "Si Kakek telah menyediakan gubuk bagi kamu. Lihatlah! Bentuknya bulat kerucut. Di dalamnya ada siri bongkok dan lima tingkatan di dalamnya. Tingkatan itu mulai dari dasar leba mese sebagai tempat menyimpan bahan-bahan penghasilan bumi; lempa rae sebagai tempat menyimpan hasil panen agar tidak bisa diambil anak kecil; sekang kode sebagai tempat penyimpanan barang pusaka; sepot neka lelo sebagai tempat penyimpanan yang tidak bisa dilihat oleh orang lain; dan ruang koe sebagai tempat balok-balok penghubung yang kesemuanya diarahkan ke situ sebelum mencapai bubungan. Buatlah tempat penyimpanan hasil bumi dan seluruh barang berharga lainnya, seperti joreng dan lancing! Persembahkanlah kurban persembahan kepada Yang Mahakudus di gubuk tersebut dengan menyimpan hasil persembahan di langkar di mana sesajian ditempatkan di situ. Hendaklah kamu menamai gubuk itu kelak Mbaru Gendang!".
Tentang Congko Lokap.
Mereka berkata lagi: "Ketika kamu beranak cucu, gantilah rumah itu dengan menggelar acara ini. Sebelum penggalian pertama buatlah persembahan dengan telur ayam kampung dan ayam. Maksudnya, neka manga babang agu bentang karena kamu telah mengorbankan binatang lain di bawah tanah. Setelah itu, ambillah pohon di hutan untuk tiang tengah atau siri bongkok. Sebelum dipotong buatlah ritus dengan persembahkan telur. Ketika kamu hendak membawanya ke pa'ang atau gerbang adat buatlah arak-arakan dengan menaikkan seorang perawan yang diambil dari keturunan anak rona yang terpandang. Acara itu kamu namakan roko molas poco. Disebut roko molas poco karena hutan menjadi anak rona dari Gendang bersangkutan. Sebelum ditancapkan, buatlah dengan acara berupa mengurbankan seekor babi. Maksudnya, neka goro bongkok, gege leles, lako ngando, mburuk bubung, bentang lepar, becangs leba - rumahnya kokoh dan kuat. Untuk raung bubung dan puncaknya buatlah congko lokap dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor kerbau dan babi jantan di compang. Gelarlah acara barong wae, barong boa, barong compang sebelum digelarnya congko lokap. Buatlah pulal teing hang neteng bendar sebelum sae - tarian di natas. Saat persembahkan kerbau dan babi di compang, gelarlah lilik compang dengan mendaraskan lagu puji-pujian ke Pencipta. Kami akan turun ke compang dan menerima persembahan kalian. Berkumpulah dan makan bersamalah - reje leleng wan koe etan tua, cing taki sili, wela taki peang, padir wai rentu sa'i kudut saung bembang nggereta wake caler nggerwa, jengok le ulus, wiko lau wais! Untuk bendar, buatlah acara raum bubung dengan seekor ayam jantan. Saat peletakan batu pertama, buatlah acara tesi dengan menggunakan telur ayam kampung!".
Tentang Angka Lima.
Mereka pun berkata: "Keturunan negeri ini mengenal apa yang disebut dengan sanda lima. Di sini nanti akan mengenal angka lima sebagai hal yang kudus. Angka lima akan terlihat dalam filosofi gendang onen lingkon peang - mbaru, natas, compang, wae teku dan lingko. Saat lilik compang harus lima kali. Selain itu, konsep mbarunya ada lima - gendang, tembong, tambor, niang - bendar. Konsep tariannya - sae, mbanta, sanda, danding dan caci. Konsep bagian dalam rumah adat, ada lima - leba mese, lempa rae, sekang kode, sepot neka lelo, dan ruang koe. Konsep keseluruhan Mbaru Gendang - lutur, leba, gando, lepar, dan bilik.
Tentang Beka agu Buar.
Mereka kembali berpesan: "Ketika keturunan kamu berkeripan seperti bintang di langit dan pasir di tepi pantai, hendaklah kamu mengucap syukur. Persembahankan kurban persembahan berupa kerbau putih, babi, kambing dan ayam. Sebelumnya, buatlah acara teing hang wura agu ceki.
Tentang Pengampunan.
Mereka berkata lagi: "Ketika kamu banyak nanti, di kampung adat buatlah acara penyucian, tolak bala manakala keturunan kalian mendapat cobaan. Buatlah acara paki jarang bolong. Gelarlah acara buang sial di jurang - tengku - dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor anjing hitam buta yang belum melihat dengan ayam hitam. Gelarlah barong wae, boa dan compang. Gelarlah pantek dan permintaan keturunam dan berkat. Saat puncak, persembahkanlah seekor kuda hitam - bolong - dan babi hitam. Berdoalah kepada pencipta di compang dengan mendaraskan pujian-pujian atau lilik compang-lah kalian. Ketika kamu toko loce data - meniduri isteri orang, meniduri inang, saudari buatlah ritus penyucian kepu munak - pemotongan penyucian. Ketika bermasalah, gelarlah rekonsiliasi - hambor, ela wase lima dan wunis peheng. Bila perang terjadi buatlah acara oke dara ta'a - tolak bala di cunga - jurang!".
Tentang Kepemilikan.
Mereka berkata lagi: "Jika Pencipta mempercayakan kepada kamu kekayaan-Nya, buatlah ritus berupa cebong - memandikan benda tersebut agar rezeki-Nya ditambahkan kepadamu dan benda tersebut tidak diambil daripadamu kembali!".
Tentang Hambor Ase Kae Weki.
Mereka berkata pula: "Hendaklah kamu nanti menggelar rekonsiliasi dengan ase kae weki - saudara badan dan jiwa. Dialah yang menuntun kamu setiap saat. Bila kamu sudah berkeluarga, buatlah hambor ase kae weki de wina rona!".
Selanjutnya mereka mengatakan: "Lakukanlah itu semua, maka segala sesuatu akan ditambahkan kepadamu! Kami pun akan datang kembali karena banyak hal yang akan kami ajarkan kepada kalian".
Mereka bertiga pun pergi. Rombeng Lomes, Lawe Lenggong bersama orang tua mereka lalu kembali berkumpul di gubuk mereka kemudian mendaraskan puji-pujian bagi Tuhan.
Membuka Lingko.
Empat pekan kemudian setelah mendapat pengajaran, Rombeng Lomes bersama Ayahnya kemudian mulai membuka lingko. Mereka membuat lahan tersebut seperti yang diperintahkan. Menggelar ritus persembahan dengan menyembelih hewan kurban. Mereka kemudian menancapkan teno di tengah lingko. Di tengah mereka sebut lodok, di luarnya mereka sebut cicing.
Awalnya, setelah dibuatkan lingko, mereka pun menanam padi dan jagung. Sistimnya masih ladang meski mata air ada di dekat gubuk mereka sekitar 50 meter termasuk lokasi pemandian. Sedangkan, untuk cuci sebuah kali jaraknya 75 meter dari gubuk. Jauhnya lingko tersebut sekitar 150 meter dari gubuk. Mereka bertiga lalu bekerja, Rombeng Lomes, Ayahnya dan Ayah mertuanya. Ibu mertuanya mengurus masakan untuk para pekerja, sedangkan Ibunya Rombeng Lomes membantu menggendong Lalongn Lino. Maklum, Lawe Lenggong belum bisa bekerja keras meski membantu untuk mengantar makanan ke kebun. Di belakang gubuk mereka terdapat sebuah batu besar yang di atasnya datar dan terdapat liang di dalamnya. Di dalam liang batu juga terdapat sumur yang dalamnya satu meter. Airnya bening. Waktu Si Kakek tinggal sendirian, terkadang dirinya tidur di situ karena ada satu tempat di dalamnya datar berukuran 6 x 4 meter. Binatang buas tidak masuk ke situ kendati ada tangga alaminya. Dasar liang pun terbuat dari batu dengan lebar 7x8 meter. Si Kakek kerap membakar api di situ. Malamnya di naik tidur namun kerap tidur di dekat api. Pintu masuk ke liang itu ada dua. Satu di depan agak di bawah dan bisa ditutup batu lempeng. Persis ada batu lempeng alami di situ. Batunya marmer. Liang tersebut pun dominan marmer, giok dan batu akik lainnya. Kondisinya hangat meski hujan sepanjang tahun. Sedangkan, pintu belakang ada di atas sekali dan selalu terbuka. Mata hari pagi selalu masuk lewat di situ. Sedangkan ada banyak celah di mana sinar matahari masuk. Khusus untuk bagian atas batu itu, Si Kakek Dulu kerap dipakainya untuk istirahat di siang hari termasuk bersantai melihat pemandangan sekitar. Tinggi batu itu hingga ke puncak datarnya 65 meter.
Pindah dari Gubuk
Setelah mereka membuka lingko baru, muncullah ketiga orang dari langit dan berpesan: "Pindahlah ke gua yang hangat itu pada malam hari karena binatang buas akan segera berkeliaran. Makanlah daging binatang buas tersebut bila kamu mendapatkan mereka karena mereka adalah hama yang mengancam perladangan!".
Mereka pun pindah ke gua itu. Pada siang hari mereka ke gubuk, sedangkan pada malam hari mereka nginap di gua.
Datangnya Ribuan Babi Hutan.
Suatu malam, kumpulan babi hutan menghampiri gubuk mereka. Mereka hendak mencari makanan namun mereka tidak mampu masuk ke ladang padi dan jagung. Anjing-anjing milik Rombeng Lomes mulai menggonggong. Anjing-anjing itu menggigit babi hutan tersebut. Tiap-tiap pagi, satu ekor babi hutan mulai menjadi menu enak. Mereka berenam ditambah si kecil nyaris tiap hari memanggang daging babi hutan dicampur dengan jagung bakar.
Sebulan kemudian setelah Lalongn Tana lahir....
Lalongn Tana dan Burung Garuda.
Persis usia Lalongn Tana (LT) satu bulan mereka tinggal di dalam gua batu tersebut, hasrat Rombeng Lomes untuk bercinta mulai berkecambah lagi. Suatu petang, Rombeng Lomes yang tengah berkebun mengajak Lawe Lenggong lekas pulang ke gua. Setiba di gua, di malam sembari menyusui LT, Rombeng Lomes membujuk Lawe Lenggong melewati malam mereka dengan cumbuan maut. Permintaan Rombeng Lomes ditolak Lawe Lenggong lantaran Lawe Lenggong berdalih dirinya harus mengurus dulu si LT. Tiga malam berturut-turut, rayuan Rombeng Lomes dipentalkan begitu saja bahkan Lawe Lenggong selalu memosisikan LT di tengah.
Karena merasa ditolak, kemudian pagi-pagi buta Rombeng Lomes bergegas ke sebuah jurang ingin membunuh diri. Rombeng Lomes berangkat tak memberitahu isterinya. Sejak pagi hingga petang, Lawe Lenggong, orang tua dan mertuanya mencarinya ke mana-mana tetapi tidak diketemui. Hati Lawe Lenggong mulai cemas. Lawe Lenggong menyesal karena ia kehilangan kekasih yang dicintainya. Satu malam, Rombeng Lomes berbaring di tepi jurang dan dia berencana keesokkan paginya membuang diri ke jurang yang cukup dalam itu.
Niat Rombeng Lomes ternyata diketahui seekor burung rok (rok dalam bahasa orang Manggarai sejenis burung hantu, rok adalah burung endemik Flores) di malam itu di tepi jurang tersebut. Rok itu lalu mendapati seekor burung hantu (po dalam bahasa Manggarai) pada malam itu juga.
Terbanglah rok itu menemui po. Po yang lagi asyik memantau mangsanya tikus merasa terganggu karena kedatangan si rok yang tak diundang. Po tersentak kaget.
Rok pun langsung mengutarakan maksud kedatangannya. "Saya mau meminta bantuan teman!", kata si rok. "Apa gerangan kawan?", sahut si po. "Begini kawan, saya mau mendapati cemberuang malam ini! Bisa bantu ko konco lagian konco bisa melihat keberadaan sang cemberuang meski di kegelapan malam dan sejauh bahkan 48 kilometer sekalipun. Seekor tikus saja kawan bisa pantau jelas apalagi sang cemberuang!", pinta rok. "Oke deach, saya akan melaksanakannya sekarang juga! Tetapi ingat ya teman, saya hanya mengantarmu jika saya melihat posisi keberadaannya", jawabnya. "Siap sobat!", kata rok.
Po pun berterbang di malam itu bersama si rok. Ratusan kilometer mereka lampaui namun tak dijumpai. Sekitar hampir 400 km jauhnya mereka mencari malam itu, tibalah mereka di tepi pantai. Kira-kira Pukul 12.00 malam dari kejauhan 40 km dilihatnya sosok sang cemberuang.
Rok dan Po pun berunding bagaimana membangunkan sang cemberuang. Tak berpikir panjang, rok itupun mengeluarkan suara sehingga burung kalong pun berdatangan dari berbagai penjuru mendekati rok itu. Karena kalong begitu banyak sembari mengeluarkan suara, garuda (cemberuang - dalam bahasa Manggarai) itupun terjaga. Saat cemberuang terjaga, po dan rok pun mendekati sang cemberuang meski dengan rasa takut dan minder. Rok dan po pun menawarkan pertolongan untuk membantu manusia yang hendak membunuh diri ke jurang. Awalnya sang cemberuang menolak lalu mengancam memangsa rok dan po. Rok dan po tetap bersikeras memaksa namun cemberuang tetap tidak mau.
Tiga kali rok dan po menawarkan tenaga sang cemberuang untuk menyelamatkan manusia itu namun tetap menolak. Karena terus ditolak, rok dan po pun mengancam sang cemberuang untuk menyerang sang cemberuang dengan jutaan kalong. Meski terus diancam, sang cemberuang tetap tidak mau gubris lagian dia hanya melihat rok dan po saja. Sang cemberuang terus menguji keseriusan dan kesetiaan mereka meski dia sendiri tahu maksud kedatangan mereka sebelumnya.
Po mulai jengkel lalu meminta rok untuk memanggil jutaan kalong mengepung sang cemberuang dari berbagai penjuru mata angin. Sang cemberuang tidak takut dan malah mengancam membinasakan semua kalong-kalong itu termasuk rok dan po. Mendengar itu, rok dan po kecewa lalu maju ke depan dan berkata: "Jika tuan raja dari bangsa unggas tidak mempercayai kami, silakan bunuh kami berdua saja sekarang juga!".
Melihat keseriusan rok dan po, sang cemberuang pun mengambil peduli, jatuh hati mau meladeni permintaan mereka. Mereka pun terbang menuju si Rombeng Lomes. Sekitar Pukul 03.00 pagi mereka tiba di tempat kejadian perkara. Karena pagi mulai tiba, rok dan po pun pamit untuk beristirahat. Rok pun ditahan sang cemberuang dan berkata: "Sobatku rok, karena engkau yang memanggil kalong-kalong ini datang maka mulai saat ini di mana pun kau berada, kalong-kalong akan ada situ. Kau raja atas mereka. Kau penuntun mereka!". Sang cemberuang pun bernazar kepada po dan berkata: "Wahai engkau po, engkau adalah tanda. Kapan dan di mana pun engkau mengeluarkan suara, di situ engkau memberi kabar agar bangsa manusia menjadi sadar bahwa engkau adalah tanda bagi mereka dan mereka berjaga-jaga. Demikianlah yang bakal terjadi!", pesannya. Kata sang cemberuang lagi: "Po boleh pergi sekarang tetapi engkau rok jangan dulu bergegas. Engkau masih kuberi tugas!".
Po pun mengepakkan sayapnya dan bergegas pergi dengan senang hati karena masih berperasaan takut terhadap raja mereka. Sang cemberuang pun menyuruh si rok agar kalong-kalong menumpuk sepanjang tingginya jurang membentuk onggokan berbentuk kuali. Jutaan kalong pun terbang dan membuat seperti tumpukan kuali mulai dari dasar jurang. Kalong itu melakukan saja sesuai dengan yang diperintahkan sang cemberuang. Tepat Pukul 04.00 pagi, dengan rasa takut, menangis bercampur sedih, Rombeng Lomes pun melompat ke jurang dalam yang masih gelap dan tidak kelihatahan dasarnya itu. Apa yang terjadi, jutaan kalong yang bertumpuk tadi membuat si Rombeng Lomes seperti menjatuhkan diri di tengah tumpukan kapuk. Dia pun masuk melalui cela-cela kalong yang empuk dan terlentang di atas kalong-kalong paling bawah hingga tubuhnya tidak tersandung dengan onggokan batu dasar jurang. Rombeng Lomes pun pingsan ketika sampai di dasar. Setelah meski Rombeng Lomes pingsan di atas onggokan batu dasar jurang, kalong-kalong dan rok tersebut pun pergi menghilang setelah dipastikan Rombeng Lomes masih hidup.
Setelah dipastikan selamat kendati pingsan, sang cemberuang pun bergegas ke gubuk LT, anaknya Rombeng Lomes. Jurang itu, jauhnya kira-kira 60 km dari posisi gubuk. Sementara, Lawe Lenggong berjemur bersama LT di altar adat gubuk mereka, tiba-tiba sang cemberuang menyambar dan membawa pergi LT ke Ayahnya.
Lawe Lenggong saat itu menjerit meminta tolong kepada orang tua dan mertuanya. Sang cemberuang terbang rendah dan pelan di atas kepala mereka sembari membawa LT dengan cakarnya yang kuat memegang erat helaian gendongan si LT. Mereka kemudian mengejar dari belakang mengikuti terbangnya cemberuang tersebut. Sesampai di dasar jurang, sang cemberuang meletakkan LT di samping Ayahnya. Mendengar suara anak kecil, Rombeng Lomes pun siuman. Rombeng Lomes mendapati dirinya selamat dan seakan tidak dipercayai kalau puteranya ada di dekatnya. Dia mengusap-usap wajahnya dan seakan tidak percaya ada garuda di depannya dan tidak mengapa-apakan puteranya. Sementara dalam keadaan tercengang, tiba-tiba Rombeng Lomes dikejutkan dengan kedatangan isteri, orang tua dan mertuanya yang dituntun oleh anjing-anjing peliharan mereka mengikuti jejak kaki Rombeng Lomes dengan mencium bau badan tuan mereka di tanah dan tetumbuhan sekitar.
Ketika tiba di dasar jurang, mereka semua tercengang. Melihat itu, Rombeng Lomes pun bernazar: "Aku dan seluruh keturunanku tidak akan memakan keturunanmu bangsa cemberuang!". Mulai saat itu, totem keluarga Rombeng Lomes juga tidak boleh makan burung garuda atau ber-ceki cemberuang.
Sebelum terbang pulang, sang garuda berpesan: "Dengarkanlah wahai engaku Rombeng Lomes! Kamu dan seluruh keturunanmu akan menjadikan aku sebagai lambang dan dasar kenegaraanmu! Di atas negeri ini, kejayaan akan Kuberikan dan Kuberkati. Kamu dan seluruh keturunanmu akan disebut berbahagia!". Setelah mengatakan demikian, sang cemburuang pun berubah wujud menjadi seseorang laki-laki berpakaian seperti lenan, seluruh tubuhnya kilatnya bak petir yang menyambar dan dalam satu kedipan mata, Ia pun menghilang.
Rombeng Lomes lalu memeluk puteranya. Mereka pun pulang ke gubuk. Ketika tiba di rumah, Rombeng Lomes menyesal begitupun Lawe Lenggong. Orang tua mereka hanya tercengang.
Takut kehilangan, tanpa teleng aling-aling, Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong pun tak henti-hentinya saling berpelukkan bersama buah hati mereka hingga memecah heningnya gulita.
Mimpi Rombeng Lomes.
Malam itupun mereka terlarut dalam pelukan. Dalam pelukan tersebut, Rombeng Lomes bermimpi. Begini mimpinya. Dia bertemu seorang Kakek dan berkata kepadanya: "Mbeng! Sebenarnya yang menyelamatkan kamu pertama kali dan yang berjuang menemui cemberuang berkat kebaikan si rok. Rok meminta bantuan si po menemui cemberuang di malam gulita di tepi pantai. Rok mempunyai kawanan setia bernama kalong. Kalong itu hidup bergerombolan. Gerombolan kalong yang berlaksa-laksa banyaknya diperintahkan sang cemberuang untuk membentuk onggokan kapas yang berbentuk kuali sehingga saat kamu memutuskan membuang diri ke tengku - jurang, kamu seperti terjatuh di atas kumpulan kapuk. Tidak ada dari kalong yang terluka. Kalong-kalong itu menyelematkan kamu. Ketika kamu belum siuman, sang cemberuang mengambil puteramu saat berjemur di depan gubukmu. Isterimu histeris mengejar sang cemberuang yang terbang rendah membawa puteramu. Lawe Lenggong bersama orang tua dan mertuamu. Tidak ketinggalan anjing-anjing kesayanganmu turut menggonggong dan melolong panjang. Anjing-anjing itulah yang menuntun isterimu ke dasar jurang. Jurang atau tengku itu namanya Tengku Siwa. Barulah kamu siuman!".
Rombeng Lomes pun terjaga dan bangun dari pertidurannya. Dia binggung penjelasan mimpi itu begitu detail. Sepanjang hari hingga petang, dia hanya kebingungan dan tidak mau beraktivitas banyak. Rombeng Lomes tidak tahu apa itu rok dan po apalagi kalong. Ayahnya tidak pernah menceritakan ketiga hewan malam tersebut.
Usai makan malam, mereka pun bergegas ke pembaringan. TL ada di tengah. Masih dalam posisi tidur, Rombeng Lomes memosisikan kedua telapak tangannya di bawah belakang kepala otak kecilnya. Sontak Rombeng Lomes berkata sendiri: "Rok tolong! Rok tolong! Rok tolong!". Betapa kagetnya si Lawe Lenggong mendengar ucapan itu. Tak berpikir lama, Lawe Lenggong pun langsung membaringkan LT ke samping dan mengambil posisi berlutut di depan Rombeng Lomes. Lawe Lenggong pun mengangkat roknya lebar-lebar sehingga "valley of mind" milik Lawe Lenggong tak secarik kain pun menghalau. Tak berpikir macam-macam, Rombeng Lomes melupakan mimpinya dan kedua bola matanya tertuju pada apa yang dirindukannya sebelum terjadinya suicide di Tengku Siwa, sehingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan perkataannya itu.
Kangen Rombeng Lomes pun seolah-olah sembuh. Rombeng Lomes tak membuang luang yang asyik itu. Diraihnya "valley of mind" itu dan dia mabuk dalam kencan asmara. Rudal Rombeng Lomes pun bangkit mendorong, menukik lebih dalam turun ke "lembah kerinduan pikiran itu". Rombeng Lomes seolah seperti singa jantan yang haus dan lapar meraung tak karuan, menikmati kencan cinta asmara yang sedotannya membawanya dalam firdaus yang menyehatsegarkan. Seluruh urat-urat sarafnya yang tegang tak karuan mulai dari ujung jemari kakinya hingga ubun-ubunnya seolah-olah lentur seperti permen karet usai dikunyah-kunyah pasca semburan amunisi rudalnya muncrat merobek sasaran benteng lawan. Rombeng Lomes pun puas. Tak bedanya dengan Rombeng Lomes, Lawe Lenggong pun demikian seperti raungan singa betina yang baru pertama kali mencicipi dan menghisap nikmat onggokan daging berotot bak tulang rawan telinga bayi yang baru lahir. Tarikannya seperti menarik keras gas sanyo menghabiskan gelinangan air perigi di dekat gua mereka.
Mendengar raungan Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong, kedua orang tua mereka terjaga dan memutuskan untuk tidur ke gubuk karena takut pertempuran nocan dan naga merasa terganggu. Setelah meraung keras karena ketahuan didengar mertuanya, Lawe Lenggong menyuruh Rombeng Lomes melihat ke lantai bawah gua itu. Rombeng Lomes mendapatkan lantai satu kosong. Hanya bara api yang menyala memberi penerangan. Rombeng Lomes pun bergegas ke gubuk. Dilihatnya orang tua mereka berbaring di sana. Meski keempat orang tua itu masih terjaga, mereka pura-pura terlelap karena mereka tahu derap langkah kaki Rombeng Lomes berbunyi kecil menginjak tumpukan kayu kering tekelan dan kerenyuh yang kecil hentakannya masih terkuping di gendang telinga mereka.
Rombeng Lomes pun kembali ke gua mendapati isteri dan puteranya sementara orang tua dan mertuanya tersenyum puas sembari tertawa kecil. Saat itu sekitar Pukul 10.00 malam waktu setempat.
Tiba di gua, Rombeng Lomes melanjutkan pertarungan. Saat mencapai klimaks, Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong melepaskan raungan demi raungan tanpa risih. Pertarungan ronde terakhir hingga Pukul 08.00 pagi saat Lalongn Tana mulai pipis dan minta ditetek.
Duntak Rewos.
Dua hari usai Rombeng Lomes melepaskan kepenatannya bersama Lawe Lenggong, malam ketiga mereka pun letih. Semua energi pasutri tersebut sudah terkuras habis. Di hari ketiga itu kira Pukul 10.00 siang, Rombeng Lomes tumben cepat ngantuk. Rombeng Lomes pun merebahkan badannya di atas kasur sederhana, maklum tinggal di gua. Kira-kira baru dua jam dia terlelap, Rombeng Lomes pun bermimpi. Begini mimpinya. "Mbeng! Kamu segera bangun dan bergegaslah ke mata air!". Dalam mimpi itu, Rombeng Lomes tidak melihat satu pun orang, hanya mendengar suara. Rombeng Lomes pun bangun dari tidurnya. Matahari persis lurus di atas kepalanya, tanda waktu diperkirakan tepat Pukul 12.00 siang.
Bergegaslah Rombeng Lomes ke mata air. Tiba di sana, hanya bunyi pancuran air yang terdengar. Di sekelilingnya pun tampak sepi, tenang dan damai. Dia pun termenung. Di saat dia termenung, dua ekor ayam hutan betina dan jantan terbang di dekatnya. Jarak darinya sekitar 20 meter. Betapa terkejutnya Rombeng Lomes, nyaris dia pingsan. Tiba-tiba seekor ayam jantan hutan membuka suara: "Duntak rewos...duntak rewos!!!". Ayam hutan betina pun membalas: "Toe manga rewos....toe manga rewos!!!". Betapa terperanjatnya Rombeng Lomes mendengar kok ayam hutan bisa berbicara. Tak berpikir panjang, Rombeng Lomes pun membalas: "Ho'o rewosn...ho'o rewosn!!!". Kedua ayam itu pun sama-sama membalas: "Mai rewos de hau...mai rewos de hau!".
Mendengar itu, Rombeng Lomes pun mundur ke belakang dengan pantatnya karena pada saat itu dia tidak berdiri. Sontak pula, kedua ekor ayam hutan itu pun,meluncur ke arah Rombeng Lomes dan berkata: "Nia rewos de hau hitu!". Rombeng Lomes tidak membalas tetapi langsung terperangah. Kedua ayam itu mematuk-matuk bagian depan selakangan Rombeng Lomes mengenai senjatanya. Rombeng Lomes tidak bisa menahan rasa sakit karena serangan yang membabi buta. Rombeng Lomes pun langsung balik ke rumah. Celananya yang terbuat dari anyaman kulit bekas pembungkus pohon pinang tersebut (lungkuk) tercabik-cabik hingga rusak parah. Dia sudah tidak berbusana dan lari ke arah gua. Dia memasuki gua lewat pintu gua belakang sementara "perkakasnya" kesakitan.
Tiba di gua, betapa kagetnya Lawe Lenggong, suaminya tak berbusana. Saat itu Lalongn Tana tengah digendong Kakek mertuanya berjalan-jalan ke kebun. Lawe Lenggong pun kebingungan. Rombeng Lomes berkata: "Nia rewos We..nia rewos We?". Lawe Lenggong tambah bingung dan berguman dalam hatinya: "Ah! Dari mana aku bisa mendapat rewos siang begini lagian saya tak berpengalaman mengobati barang seperti ini?".
Lawe Lenggong lalu berpikir: "Mungkin rewos yang dimaksudkan Naga lain!". Lawe Lenggong pun mengurut-urut perkakasnya Mbeng. Sebagai pria jantan "kejantanannya" menukik. Lawe Lenggong pun menyuruh memejamkan matanya lalu mengobati perkakasnya dengan usapan dan dorongan lembut oleh "kewanitaannya" Lawe Lenggong. Waktu terus berputar, Rombeng Lomes pun pelan-pelan kehilangan rasa nyeri pada perkakasnya.
Sementara Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong bergulat asyik, tiba-tiba kedua ayam hutan tadi terbang mendekat ke gua dan berkomentar: "Duntak rewos....duntak rewos!!!". Mendengar itu, Lawe Lenggong keheranan. Lalu berkata dalam hatinya: "Apa yang dimaksudkan ucapan duntak rewos dari kedua bangsa unggas tersebut?".
Lawe Lenggong kemudian berkata kepada kedua ayam hutan tersebut: "Hai Tuan berdua, apa yang kalian maksudkan?". Jawab kedua ayam tersebut: "Karena suamimu telah memergoki kami bermain cinta di mata air, maka kami juga mau memergoki kamu bermain cinta dengan baku duntak rewos kalian!". Tanya Lawe Lenggong lagi: "Apa itu duntak rewos Tuan ayam?". Balas kedua ayam itu: "Jika kedua ekor ayam jantan dan betina hutan tengah berdua, maka pasti mereka akan bercumbu ria memadu cinta dengan men-duntak rewos masing-masing sebagai obat migren galau cinta pada pasangan bercinta!". Lawe Lenggong masih binggung, lalu tiba-tiba bersuaralah tokek dari dinding gua tersebut: "Hai bangsa manu. Duntak rewos yang dimaksudkan kedua Tuan ayam hutan tersebut tidak lain tidak bukan ialah bercinta menciptakan generasi baru. Rewos itu adalah obat!". Jawab Lawe Lenggong: "Mengapa disebut rewos?". Sahut tokek: "Yang dicabik-cabik kedua ayam jantan tersebut adalah obat Nocan yang paling mujarab yang tiada bandingnya dengan obat lain di bumi! Ketika kamu kasmaran, obat kulit kayu manapun tidak bisa mengobatinya kecuali menyadap air dari obat tersebut". "Oh...begitu ya?". Lawe Lenggong pun tertawa lucu sambil merasa geli.
Perkataan Lawe Lenggong lagi: "Mengapa kalian mematuk-matuk obatku?". "Karena dia tidak mengasihimu Nis. Cinta yang paling hakiki dari Rombeng Lomeskepadamu manakala dia rewos-nya di-duntak", balas kedua ayam hutan tersebut. Lalu, sambar si tokek: Hehe...kamu paham sudah bangsa manu?".
Rombeng Lomes pun bangun dari pertidurannya, lalu berkata: "Aku sungguh tidak tahu bahasa kalian sebelumnya Tuan ayam hutan. Mulai sekarang aku dan keturunanku tidak akan memakan kalian!". Mendengar ucapan itu, kedua ayam tersebut tiba-tiba menghilang dari hadapan Rombeng Lomes dan Lawe Lenggong. Rombeng Lomes kemudian ber-ceki/bertotem ayam hutan.
Rombeng Lomes Pun Dibaptis .
Malamnya, Rombeng Lomes bermimpi. Begini mimpinya. Di suatu tempat yang datar dia berjalan ke arah sebuah sinar. Dia melihat ada sebuah cahaya turun dari langit. Dari cahaya itu terdengar suara. Suara itu memerintahkan agar Rombeng Lomes membangun perseketuan dengan kehidupan yang lain, baik hewan/binatang dan tetumbuhan lain. Begini suara tersebut - hendaklah kamu makan buah-buahan, sayur-sayuran dan janganlah kamu memakan segala jenis daging di darat tetapi makanlah yang di air yang bukan totemmu - jangan pula kamu merokok dan keturunanmu janganlah meminum mabuk-mabukan. Jika kamu hendak mempersembahkan korban, makanlah daging yang sudah dikorbankan yang sudah diperkenankan di depan Yang Maha Tinggi - makanlah itu bersama keluargamu tetapi jangan berlebihan sebab yang Kumaksudkan bukan persembahan dan makanan tetapi berkumpulah kalian!". Setelah mendengar larangan tersebut, Rombeng Lomes pun diperintahkan untuk ke mata air pada keesokan harinya. "Pergilah kamu bersama istri dan anakmu ke mata air besok pagi-pagi buta!", demikian pesan suara itu.
Keesokan harinya, persis fajar masih remang-remang, mereka bertiga ke mata air. Awalnya dia tidak melihat apa-apa. Kemudian sepasang ayam hutan jantan dan betina muncul. Tiba-tiba seekor ayam hutan jantan (rata) mengeluarkan suara merdu, halnya ayam jantan kampung berkokok - kakor. Ayam jantan hutan itu pun berkokok - tehehe. Ayam jantan tadi lalu berubah wujud. Dari tubuhnya mengeluarkan cahaya dan menjadi seorang pria yang tubuhnya bersinar, begitupun ayam betina tersebut mengeluarkan cahaya dan berubah wujud menjadi perempuan cantik bersinar terang.
Perintah Tuan itu: "Mendekatlah kamu Mbeng ke mata air itu!". Mbeng kemudian mendekat. Terlihat di tangan kanan sang perempuan agung tersebut memegang mawar putih tua. Diberikannya mawar itu ke seorang pria bercahaya di sampingnya. Pria itu mengambil mawar itu dan mencelupkannya ke mata air dan memerciki ke muka Rombeng Lomes sembari berkata: "Rombeng Lomes putera-Ku, mulai sekarang, namamu bukan lagi Rombeng Lomesmelainkan Adak Tente Lino!" Diambilkannya pula ke Lawe Lenggong dan memerciki air dengan mawar itu dan berkata: "Lawe Lenggong puteri-Ku, mulai sekarang, namamu bukan lagi Lawe Lenggong melainkan Ine Lodok Lingko!". Didekatinyalah si Lalongn Tana dan dipercikinya dengan mawar tersebut sembari berujar: "Anak ini, cucu-Ku, namanya bukan lagi Lalongn Tana melainkan Tenon Lalongn Lino!".
Pria bercahaya putih itu pun berkata: "Hendaklah kalian memanggil Aku - Mori Ame. Aku adalah Mori Ame Rinding Mane. Inilah Ibu kalian, hendaklah memanggilnya Mori Ine. Dia adalah Mori Ine Rinding Wie. Aku adalah awal dan akhir. Aku adalah fajar yang menyingsing dan terang yang tenggalam di ufuk barat. Aku adalah Pu'un Jari agu Dedek, Morin agu Ngaran!".
Ditancapkanlah mawar itu oleh Sang Pencipta itu ke hulu mata air. Dalam seketika, mata air itu bercahaya dan berbagai jenis bunga indah tumbuh di situ. Indahnya tempat tersebut sangat luar biasa. Di sekitar tempat tersebut tiba-tiba gelap gulita berbentuk lunar (cakatingking). Bulatan gelap itu diperkirakan berdiameter 100 meter. Di tengah bunga-bunga yang cantik jelita tersebut muncul berbagai lepelie (kunang-kunang). Indahnya tempat tersebut seperti dihiasi lampu berkelap-kelip di malam kelam. Tiba-tiba pula sejenis bunga teratai tonjong tiba-tiba muncul dari antara bunga-bunga tersebut. Besar bunga itu berdiameter 1,5 meter dan Sang Pencipta tersebut bersama seorang perempuan bercahaya itu kemudian menaiki bunga teratai tonjong tersebut dengan duduk bersila dan berpesan: "Jagalah perdamaian di bumi bersama seluruh makhluk lainnya. Aku akan datang kembali menyertai kamu sekalian!". Bunga itu pun meluncur naik ke atas bintang dalam bentuk cahaya ke tempat yang nun jauh sampai pancaran sinarnya menghilang dari pandangan mereka.
Setelah peristiwa itu, Adak Tente Lino menamai mata air itu sebagai Wae Barong Mo'eng Mose. Dia menamakan Wae Barong karena air itu ditunjuk oleh Mori Ame Rinding Mane, Mori Ine Rinding Wie sebagai air yang suci. Adak Tente Lino pun mengenal Tuhan mereka dengan menyebutnya: Mori Ame Pu'un Ngaran, Jari agu Dedek.
Mereka pun kembali ke gua dan setiap kali mereka hendak menuai hasil ladang, selalu membawa persembahan dan berdoa di mata air tersebut. Mereka menyeistilahkan ritus barong wae. Sementara, berbagai bunga-bunga indah di mata air tersebut tumbuh subur dan dari mata air itu bunga-bunga cantik tersebut menyebar hingga ke seluruh bumi.
Buah Dilema.
Kehidupan rumah tangga Adak Tente Teno (Atete) dan Ine Lodok Lingko (Ineloli) diperkirakan sudah berlangsung dua tahun. Tenon Lalongn Lino (Telali) sudah mulai belajar berjalan. Kedua pasutri (pasangan suami-isteri) itu kebelet ingin mempunyai momongan lagi namun ada kendala di pikiran Ine karena si sulung tunggu berusia remaja baru bisa bercinta lagi. Atete angkat bicara: "Ine, kita harus segera punya momongan lagi!". "Aku belum sanggup Te!". Atete diam tak bergeming. Tiap malam dan nyaris setahun, rayuan maut Atete ditolak mentah-mentah.
Karena sudah setahun, Atete putuskan untuk berkelana. Betapa gembira hati Ine karena suaminya tidak lagi membujuknya untuk berasmara. Orang tua dan mertuanya tidak melarang. Pagi-pagi sekali, Atete berkelana.
Nyaris hampir enam bulan perjalanan Atete, tidak menemukan orang-orang yang pernah hidup bersama mereka di desa mereka beberapa tahun silam setelah musibah besar menghantam permukaan bumi. Atete saat berkelana selalu membuat tanda khusus dari batu berbentuk mezbah di saat dia beristirahat beberapa waktu di situ. Batu itu dihitungnya dan ditaruh di atas 1 sampai sekian. Sistim jalannya pun lurus sehingga mudah diingat dan sebagai penunjuk arah pulang. Atete pun membawa serta beberapa ekor anjingnya.
Suatu sore, naiklah Atete ke atas puncak gunung. Sekitar Pukul 08.00 malam, Atete melihat ke sebuah lembah. Ia kaget, ada api di lembah tersebut. Jauhnya api itu di lembah itu sekitar 2 km.
Atete pun mendekati sumber api tersebut. Atete kaget, ia melihat sebuah gubuk kecil. Letak gubuk tersebut kira-kira 10 meter dari mata air. Dia semakin kaget, di dekat mata air itu ada danau seluas 1 hektar namun dalamnya seukuran betis orang dewasa dan dasarnya penuh dengan batu-batu dan tidak berlumpur kecuali di sisi-sisinya. Atete coba menawarkan diri masuk. Betapa kagetnya Atete, ada anak gadis 14 tahun tinggal sendiri di gubuk tersebut. Parasnya amat cantik dan montok. Atete bertanya: "Nocan kamu tinggal di sini dengan siapa?". Jawab gadis itu: "Aku sendirian. Aku diselamatkan oleh seekor ikan dengan menaikinya. Ikan itu mengaku lumba-lumba. Saat musibah air laut mengamuk, aku dilepaskannya di sini setelah gunung itu tertutup air dan pelan-pelan surut. Ikan itu bilang, aku diturunkannya di tempat ini dan tinggal di tempat ini sampai sang penolong lain datang!".
Lalu, Atete bertanya lagi: "Bagaimana dengan pasokan makananmu setiap hari diambil dari mana nocan?". Begini ceritanya, jawab gadis itu: "Saat air laut turun, ada banyak ikan laut, udang dan segala macam tersangkut di danau di luar sana. Aku tiap hari menangkap ikan tersebut cukup untuk makan saja sembari mencari buah-buahan di lembah ini dan membakar daun (kunang) yang perlu!". Tanya Atete lagi: "Lalu, bagaimana dengan api ini? Bagaimana nocan membuatnya?". Jawab gadis itu: "Di sini ada banyak batu api!". "Oh...!!", kaget Atente.
Pergilah gadis itu ke danau lalu mencarikan beberapa ekor ikan sementara Atete terlelap di gubuk karena sudah lemas. Gadis itu lalu membakar ikan tersebut. Diambilnya daun hutan (saung kunang, saung ci'e dan cirek, cermele dan dibakarnya dengan biji lale (biji pohon sukun). Biji lale itu ditumbuknya dengan watu penang (batu pemecah biji). Setelah semuanya selesai lalu diolesnya dengan daging ikan yang sudah dibakar.
Gadis itu pun membangunkan Atete. Atete pun bangun dari tidurnya. Mereka berdua pun makan bersama ditemani api menyala di tungku api. Usai makan malam, Atente mengutarakan niatnya untuk meneruskan perjalanannya besok pagi-pagi buta. "Nona, besok pagi tolong membangunkan aku karena aku mau menyusuri gunung dan lembah di bumi ini. Aku mau berkelana!". Gadis itu tidak menjawab sepatah kata pun. Dia meneteskan air mata. Hatinya sedih seakan kian terasa hampa karena kehangatan yang ada padanya saat itu akan sirna kembali. Gadis itu pun menangis tak karuan, seisi lembah seakan terheran karena bahkan baru terdengar tangisan di lembah itu sepanjang sejarah.
Atete kemudian berkata sembari mengangkat dagu gadis itu: "Nona, mengapa engkau menangis?". Jawab gadis itu: "Nana ganteng, apakah Na tega meninggalkan aku sendirian di sini?". Atete tak mengeluarkan suara sekalipun. Atete kian berbunga-bunga hatinya karena rindunya terpenuhi di depan mata. Atete pun memeluk gadis itu erat-erat. Gadis itu pun dicumbui dan mereka pun menjalin percintaan yang tak terkatakan. Mereka melewati malam itu penuh indah nan romantik.
Atete pun mulai malam itu menetap di situ bersama gadis itu. Hari-hari mereka bermesraan, bercinta dan bercandaria melepaskan kesumpekan dan pengalaman penderitaan. Dan, sesuai pesan, mereka hanya makan dedaunan dan buah-buahan termasuk ikan danau yang bukan totem.
Setahun kemudian....
Mimpi Sang Ayah.
Ayah Atete lalu bermimpi. Berikut mimpinya. Pergilah dia ke sebuah padang ilalang. Saat kakinya melangkah maju, seorang bayi tergeletak di atas onggokan ilalang kering. Saat dia menatap bayi tersebut, tiba-tiba bayi itu berubah menjadi seorang kakek tua dan berpesan agar dia berjalan ke sebuah lembah dengan mengikuti onggokan batu mezbah. Mimpi Ayah Atete pun diberitahukan kepada isterinya dan anak mantunya Ine. Mereka semua pun merestui.
Saat Ayahnya Atete mengikuti susunan batu tersebut, sampailah dia atas sebuah gunung. Dari atas gunung, Ayah Atete mendengar gongongan anjing panjang dan melihat asap api membubung tinggi ke langit. Sesuai petunjuk mimpi, Ayah Atete menuju ke titik api. Ayahnya Atete kaget, ia melihat seorang anak kecil berusia 1,5 tahun dijaga anjing-anjing. Melihat Ayahnya Atete, anjing-anjing itu mendekatinya, menjilat-jilat, mendakinya sembari ekor mereka bergoyang sana-sini tanda gembira karena kedatangan tuan mereka. Bayi itu pun diangkat ke pangkuannya.
Ayahnya Atete menuju ke gubuk. Tiba digubuk hanya ada asap api. Ayahnya Atete pun bergegas ke danau. Tiba di danau, Atete dan isterinya tengah menangkap ikan. Ayahnya pun memanggilnya. Betapa terkejutnya Atete, ia mendengar suara seperti Ayahnya. Atete menoleh ke belakang dan melihat Ayahnya. Atete pun meninggalkan tangkapannya dan meraih sembari memeluk Ayahnya erat-erat.
Hati si Kakek itu pun semakin riang berapi-api karena ia melihat cucu laki-lakinya yang lain. Ayah Atete pun mengajak putera, mantu dan cucunya kembali ke Nuca Lale. Atete tidak menyetujui permintaan Ayahya. Atete masih mau berkelana dengan anjing-anjing kesayangannya ke negeri yang lain. Isterinya Atete, puteranya, dan Ayahnya memutuskan untuk bergegas ke Nuca Lale sementara Atete kembali berkelana.
Ayah Atete Tiba Lagi di Nuca Lale.
Ketika isteri kedua Atete, Ayahnya dan puteranya tiba di Nuca Lale, mereka disambut gembira. Terlebih Ine karena Atete mendapat kekasih baru mengingat Ine tidak bisa mengamini kemauan Atete yang ingin saling lindas di ranjang bahkan tiap malam. Ine lebih gembira lagi setelah mendengar kabar kalau suaminya terus berkelana sebab jika dia kembali, Atete akan memaksa bercumbu setiap kali mentari berbaring ke ufuk barat tanpa henti. "Syukurlah!", celetup Ine.
Negeri Susu dan Madu.
Sebelum bergegas paginya, Atente pun bermimpi. Begini mimpinya: Seseorang berjubah putih menghampirinya dan berkata: "Pergilah ke sebuah negeri di sebelah timur yang penuh susu dan madunya. Kamu akan mendapat kebahagiaan di sana dan menetaplah untuk sementara waktu di situ!".
Adak Tente Teno (Atente) kemudian bergegas ke negeri yang jauh bersama anjing-anjingnya. Sebagaimana lazim dilakukannya, tiap perhentian dia membangun mezbah. Nyaris sebulan, Atente naik gunung turun lembah belum lagi menghadapi bebatuan dan rerumputan liar menggores tubuhnya.
Perjalanannya sudah diperkirakan sebulan. Dia naik ke atas sebuah bukit. Dilihatnya sebuah hamparan yang luas jamrud. Kira-kira ribuan hektar hamparan sabana itu membentang luas indah. Di ujung hamparan itu terdapat sebuah gunung yang menjulang tinggi. Pohon-pohonnya tampak besar. Jamrud yang sebelumnya tidak dilihatnya, ia kaget melihatnya karena sejak malapetaka menimpa permukaan bumi, segala sesuatu dipastikan rata dengan tanah karena itu mustahil baginya ada pohon-pohon tetap tegar berdiri.
Teringatlah Atente akan mimpinya satu bulan sebelumnya sebelum ia bergegas meninggalkan negeri isteri keduanya. Atente pun berjalan ke tengah sabana itu. Betapa kagetnya ia, dilihatnya dari jauh hijau yang sangat indah namun ternyata bentangan hijau itu tidak lain tidak bukan adalah kacang kedelai, kacang hijau, kacang tanah, jagung, dan segala macam umbi-umbian. Atente pun terganga. Dia kemudian menghampiri ujung hamparan itu. Dia melihat pepohonan yang sangat besar. Tiap dahan dari pepohonan itu didiami (tamang) oleh berbagai jenis madu. (Seperti madu di hutan Ranamese di bawah kaki gunung Ranaka saja).
Dia pun melihat hewan liar. Dari hutan lebat tersebut tampak banyak sekali mata air. Di dalam sungai yang mengalir dari gunung tersebut pun tampak berkeriapan hewan-hewan air. Dia kian terperangah karena di luar dugaannya, ada negeri yang terbebas dari bencana besar yang pernah dialaminya.
Sekitar 200 meter dari kaki gunung itu, beberapa ekor anjingnya menggonggong ke dalam mulut gua batu. Atente pun mendapati anjingnya itu di mulut gua. Betapa kagetnya Atente setelah melihat ada lima orang di dalam gua yang tengah ketakutan kepada anjingnya. Dilihatnya satu laki-laki tua kira-kira usianya 60-an tahun, seorang wanita yang rupanya isteri pria itu dan tiga orang gadis yang sangat cantik. Kelima orang di dalam gua tersebut tidak melihat Atente tetapi hanya Atente saja yang melihat mereka setelah diintipnya dari semak-semak bibir gua.
Dengan berani, Atente pun masuk ke dalam gua dan menegur sapa satu keluarga di dalam gua tersebut. Begitu dibalas sapa, Atente pun menjinakkan anjing-anjingnya. Anjing itu pun berhenti menggonggong.
Atente lalu memperkenalkan diri. Pria tua tersebut pun memperkenalkan isteri dan puteri-puterinya juga.
Malam itu dia meletakkan kepalanya di situ. Atente kaget, dia dihidangkan susu dan madu lezat. Atente terheran-heran dan hanya geleng-geleng kepala atas negeri yang berkelimpaham susu dan madunya itu.
Setelah makan malam sekitar Pukul 07.00 malam bersama orang tua ketiga gadis itu, Atente menawarkan diri untuk duluan berbaring karena badannya terasa letih. Dia tidak mau menanyakan sejarah dan status mereka mengapa sampai tinggal di situ.
Pagi keesokannya setelah sarapan, Atente pun meminta untuk pamitan. Saat pamitan, pria tua itu menahannya. "Tinggal saja bersama kami anak muda!", kata pria itu. Jawab Atente: "Aku masih ingin ke tanah yang lain untuk berkelana Pak!". Sambar Ibu dari ketiga gadis itu: "Menetap bersama kami saja anak muda!". Jawab Atente: "Ia! Baiklah kalau begitu Ibu!".
Pria tua itupun menyuruh anak gadis sulungnya untuk menemani Atente mencari udang di sungai yang banyak ikan dan udangnya itu. Hari pertama dan kedua, gadis sulung itu masih bersikap dewasa. Hari ketiga, orang tua gadis itupun menyuruh lagi anak gadisnya untuk menangkap udang bersama. Kali itu, sebagai gadis yang baru berjumpa dengan pria ganteng tak menyia-nyiakan kesempatan sungguh berhasil menawarkan hati Atente. Maklum, Atente masih ingat akan kedua puteranya yang tinggal bersama Ine dan isteri keduanya di Negeri Nuca Lale jauh.
Hari ketiga, mereka berdua tidak menjinjing buah tangan, tanpa membawa pulang udang dan ikan tetapi kedua-duanya acak-acakan. Saat tidur malam, anak gadis sulung mereka berani memasuki ruang tidurnya Atente. Orang tua gadis itu akhirnya merasa gembira sekali karena puteri sulung mereka sudah mempunyai suami.
Melihat itu, puteri sulung kedua mulai merasa gelisah dan sedih. Ia cemburu dengan kakaknya. Puteri kedua selalu mencari perhatian Atente.
Begitu Atente menjadi bagian dari mereka, kedua orang tua itu mulai menceritakan sejarah mereka memasuki negeri yang penuh susu dan madunya itu.
Pria tua menceritakan, mereka diberitahu lewat mimpi untuk merakit sampan dari batang pisang dengan cara diikat dengan rotan. Mimpi mereka hanya mendengar suara dari pengkabar mimpi itu tanpa melihat wujudnya. Dalam mimpi itu berpesan, jika mereka tidak merakit batang pisang yang dicabut dengan akarnya, maka mereka akan segera binasa. Mereka diperintahkan tidak boleh membawa apa-apa. Pria tua itupun keesokan paginya langsung membuat rakit batang pisang tersebut dan sejam setelah merakit dan ditaruh di depan gubuk, air bah mengenangi gubuk mereka dan mereka menaiki rakitan sampan pisang tersebut selama tiga jam. Air bah itu jalannya cepat sekali hingga berhenti di bawah gunung di depan gua mereka. Setelah tiba di kaki gunung itu, pria itu melalui mimpi pula agar menanam batang pisang tersebut. Pria itupun melakukan sesuai yang diperintahkan.
Lahirnya Puteri Anak Ketiga
Sembilan bulan kemudian, seorang anak perempuan lahir. Anak puteri itu sangat cantik. Mereka semua gembira sementara Atente tidak pernah menceritakan latar belakangnya kepada mereka. Keluarga itu pun tak berani menanyakannya. Mereka sadar bahwa merekalah yang menahan Atente. Sepuluh bulan kemudian, si sulung kemudian menawarkan kepada Ibunya agar suaminya Atente harus juga menjadi suami adiknya yang kedua. Si Ibu lalu mengamini begitupun si Ayah. Sementera, puteri kedua menanti waktu yang berbahagia itu terjadi.
Sang Ibu lalu memanggil puteri keduanya untuk memetik jagung muda bersama Atente di kebun mereka. Puteri kedua itupun melompat kegirangan dan 1001 kali menjawab iya..iya..iyaaaaaaaaaaa!!!
Atente pun pergi bersama puteri kedua itu. Tak membuang kesempatan, puteri itu menggelar rayuan maut kepada Atente. Tak pelak, jadilah mereka bercinta hingga petang.
Tiba di gua petangnya, sang Ayah dan Ibu tidak melihat puteri kedua mereka membawa jagung muda satu pun. Usai makan malam, tampak puteri kedua mereka berani memasuki ruangan tidur Atente. Mertua Atente kembali sangat kegirangan karena puteri kedua mereka juga memiliki suami.
Sembilan bulan kemudian, mengandunglah puteri kedua dengan melahirkan seorang anak perempuan. Puteri ketiga dari mertuanya masih berusia 5 tahun. Saat kedua puteri Atente telah melahirkan anak, Atente meminta berkelana lagi namun mertuanya melarang. Kedua orang tua itu menahan agar menunggu puteri ketiga mereka berusia 15 tahun.
Atente pun tinggal bersama mertuanya di negeri itu selama 10 tahun. Meski 10 tahun, kedua isterinya itu tidak dikarunia keturunan lagi oleh Pencipta.
Persis usia puteri ketiga 15 tahun dan sudah cukup mengerti, mertuanya dan kedua isterinya mengizinkan agar Atente pergi dengan gadis itu. Atente dan puteri ketiga itupun berkelana.
Negeri Sejuta Buah.
Kurang lebih dua bulan mereka di perjalanan, seperti biasa Atente membangun mezbah. Mereka ditemani anjing-anjing keturunan karena anjing yang mengikuti Atente kali ini adalah anjing generasi ketiga.
Tiba di sebuah bukit, ada sebuah gua yang hangat. Persis saat tiba di depan gua, isteri kelimanya itu sudah mengandung dua bulan. Sesuai dengan perintah orang tua puteri ketiga itu, jika dia sudah mengandung dua bulan, sebaiknya mereka menetap dan jangan berkelana lagi.
Atente pun mengamini dan langsung membawa isterinya itu ke dalam gua dituntun anjing-anjing mereka hendak menyalakan api. Dalam gua itu diperkirakan 100 meter dan amat hangat sekali dan suasananya terang. Di dalamnya pun terdapat mata air yang mengalir sepanjang waktu.
Tiba di dalam, betapa kagetnya Atente ada dua orang digonggong oleh anjingnya. Kedua orang itu amat ketakutan. Kedua orang itu lagi asyiknya membakar biji buah lale (sukun) dan biji nangka yang sudah matang.
Atente menghentikan gonggongan anjingnya. Saat ditanya Atente, ternyata mereka adalah suami-isteri yang luput dari bah. Cerita kedua orang tua itu, mereka dibawa bah dan selamat atas pertolongan seekor penyu. Penyu itu melepaskan mereka ke bibir gua di mana mereka tinggal menetap. Ternyata di dekat gua itu, ada banyak buah-buaham sehingga tiap hari mereka tidak repot untuk bekerja, cukup dengan memakan buah-buahan yang tersedia.
Keesokan paginya, Atente bersama isterinya bermaksud berpamitan meneruskan perjalanan mereka ke tempat lain namun karena kedua orang tua itu melarang, akhirnya Atente pun menetap di situ.
Tujuh bulan lamanya Atente menetap di situ dam kemudian lahirlah seorang anak laki-laki.
Empat tahun kemudian....
Suatu malam, Atente bermimpi. Begini mimpinya. Dia mendengar perintah tetapi wujud di pemerintah itu tidak dilihatnya. Begini perintah itu: "Atente, besok pagi kamu harus menangkap burung lawe lujang sampai dapat!".
Paginya, Atente ingin memetik buah-buahan yang ranum untuk isteri dan puteranya di lereng gunung itu. Saat memetik, Atente melihat seekor burung yang ekornya sangat panjang. Burung itu terbang rendah. Atente pun teringat akan pesan mimpinya. Ia pun mengejar burung itu.
Kurang lebih, Atente mengejarnya sehari penuh hingga gelap gulita menutup bumi. Atente pun pasrah lalu menetap di sebuah gua kecil di kaki sebuah bukit bersama dengan anjing-anjingnya. Karena sibuk mengejar, dia lupa membangun mezbah sementara burung itu hilang entah ke mana. Selama 4 tahun tinggal dengan isteri kelimanya, dia tidak dianugerahi anak lagi.
Negeri Bidadari/Bambas.
Keesokan paginya, Atente membangun mezbah di tempat itu. Setelah itu, dia putuskan untuk kembali ke isteri ketiganya agar jangan sampai lupa rute perjalanan pulang dengan bantuan anjingnya. Dia pun menyusun mezbah kecil dengan sandi-sandi arah sebagaimana dibuat sebelumnya agar tidak tersesat di mana pada bagian tertentu disusunnya batu tersusun panjang keluar pada dua sisinya agar tidak susah menuntun arah dan mengetahui ke mana arah pergi dan pulang.
Tibalah Atente kembali ke isteri kelimanya itu. Isteri kelimanya, kaget karena suaminya menghilang selama tiga hari.
Sepekan kemudian, Atente pun berizin untuk berkelana. Isteri kelimanya mengizinkan. Sore keesokan harinya, Atente tiba lagi di bukit di mana dia tidur dua pekan lalu. Di fajar menyingsing, Atente kembali melihat burung lawe lujang tersebut bertengger di depan gua. Kali ini, Atente tidak berniat menangkapnya lagi karena dia takut tersesat lagi dan tidak membangunkan mezbah sebagai sandi arah kelananya hingga sulit untuk pulang.
Sebuah kenischayaan, Atente pun mengikuti arah terbang burung itu dan di mana burung itu berhenti dia mendirikan mezbah di situ.
Perjalanan dituntun burung itu nyaris sepekan dan tibalah di sebuah lembah yang sejuk. Di lembah itu, sang burung menghilang sepihak.
Betapa kagetnya Atente, dia melihat sebuah gubuk yang cukup besar. Di sana air berkelimpahan. Tampak pula, segala buah-buahan meranum dan juga umbi-umbian berkelimpahan.
Atente pun memasuki gubuk tersebut. Betapa kagetnya Atente, di gubuk itu ada 14 orang dan hanya satu saja laki-laki. Itupun tampak tua.
Dia dipersilahkan duduk dan menyantap menu yang ada. Dia pun menginap di situ malam itu.
Malam itu Atente bermimpi. Begini mimpinya. Dari tengah-tengah Sabana, ia mendengar perintah untuk memperisterikan ke-12 gadis itu dan jika ingin pulang ke Ine di negeri yang jauh, ia akan dituntun burung lawe lujang. Atente pun terjaga. Ia mengusap-usap matanya mengingat pesan dalam mimpi itu.
Keesokan paginya, Atente mengemas barang-barangnya untuk kembali ke isteri kelimanya. Atente tidak memberitahu ke-14 orang itu bahwa ia mempunyai isteri.
Saat pamit, Atente ditahan oleh mereka semua dan ternyata saat Atente terlelap, keluarga itu telah bersepakat untuk mempersuamikan Atente. Mempersuamikannya berdasarkan urutan dari yang tertua hingga yang bungsu begitupun soal ketentuan malam status Atente sebagai suami berdasarkan usia. Ke-12 gadis itu bak bidadari turun dari kayangan.
Atente bersikeras menolak untuk bercinta lagi sekalipun ke-12 gadis itu sangat cantik, kuning langsat dan imut. Atente pun teringat akan pesan dalam mimpinya tadi malam dan kemudian hatinya menjadi luluh.
Berdasarkan permintaan ke-12 puteri itu, Atente pun memperisterikan mereka semua.
Sembilan bulan kemudian Atente tinggal di situ. Ke-11 puteri itu pun dalam bulan yang sama hanya berbeda hari, mereka semua mengandung anak perempuan. Mereka masing-masing merasa gembira dan bersyukur. Sedangkan, puteri yang ke-12 belum beruntung lagian usianya masih 2 tahun.
Dalam kurun waktu 10 tahun Atente tinggal bersama mereka di situ sambil menunggu puteri ke-12 mencapai usia 12 tahun sekalipun dia pun tetap pulang ke isteri kelima, keempat dan ketiganya.
Saat ini, Atente sudah meninggalkan isteri keduanya 26 tahun silam, sedangkan isteri keduanya hampir 28 tahun.
Puteri ke-12 pun diajak oleh Atente untuk berkelana lagi. Orang tua puteri ke-12 itu pun mengamini. Atente teringat akan mimpinya bahwa ke negeri yang baru dia akan dituntun oleh lawe lujang. Saat itu anjing Atente sudah memasuki generasi keenam sejak dia berkelana 28 tahun. Sebagian anjing Atente ada di negerinya Bambas karena pada saat mereka bertolak ada anjing yang masih menyusui dan bahkan siap melahirkan sehingga tidak bisa ikut, maka anjing jantan ke ikut bersama Bambas dan Atente tetap bertandang ke Negeri Bambas. Anjing-anjing jantan itu hanya butuh waktu dua hari saja perjalanannya menuju ke Negeri Bambas untuk temu kangen betina mereka.
Puteri ke-12 itu diberi nama oleh Atente sebagai Bambas. Atente memanggilnya Bambas.
Bergegaslah Atente dan Bambas ke negeri yang baru. Kurang lebih selama sepekan di bawah tuntunan lawe lujang.
Hari yang ketujuh, Atente pun tiba lagi di gerbang Nuca Lale. Saat tiba gerbang, burung lawe lujang itu pun terbang menghilang selamanya.
Betapa kagetnya Atente melihat isteri pertamanya, isteri keduanya, isteri ketiga dan keempatnya ada di negeri terjanji Nuca Lale yang kaya dan subur itu bersama kedua orang tuanya, mertua dari isteri pertamanya, mertua dari isteri ketiga, keempat dan kelimanya bersama putera dari isteri pertamanya yang mengamini anak dari isterinya keempatnya yang juga puterinya sendiri juga putera dari isteri keduanya yang mengawini anak dari isteri ketiganya yang merupakan puterinya sendiri itu dari Negeri Susu dan Madu. Ternyata mereka berkumpul di situ baru sepekan.
Semua mereka tampak gembira dan tercengang dengan pertemuan tersebut.
Semua Isteri Atente Dipanggil Kembali ke Tanah Terjanji.
Melihat itu, mertua Atente dari isteri ketiga, keempat dan kelima pun menanyakan status puteri dan cucu mereka 15 tahun silam.
Malamnya mereka pun menggelar rapat agar semua mereka dipanggil ke Nuca Lale guna menggelar acara adat beka agu buar (ritus rahmat banyaknya keturunan). Maka, dibagilah tugas. Tenon Lalongn Lino (Telalino) memanggil isteri kelima dari ayahnya, sedangkan adiknya, anak dari isteri keduanya memanggil ke-11 isterinya di Negeri Bambas. Mereka berdua pun dituntun anjing-anjing pintar mereka.
Dua pekan kemudian....
Ke-11 isteri Atente dari Negeri Bambas termasuk mertuanya lebih dahulu tiba di Nuca Lale. Sementara, dua hari kemudian, isteri kelimanya Atente tiba bersama puteranya dan dua orang suami isteri yang membantu di Negeri Sejuta Buah sebelum Atente ke negeri Bambas. Pengasuh anak dari isteri kelimanya Atente ternyata sudah dikarunia 3 orang puteri 9 tahuh, 7 tahun, dan 5 tahun.
Tertegum Bangga.
Ke-11 isteri Atente dari negeri Bambas amat terheran dengan kejayaan dan kesuburuan negeri suami mereka begitu isterinya kelimanya dan pengasuh anak dari negeri sejuta buah. Begitupun mertua dari Negeri Bambas. Mereka menilai Nuca Lale adalah negeri Firdaus yang hidup.
Menentukan Isteri.
Ke-11 anak gadis dari Negeri Bambas membutuhkan suami. Atente pun menentukan suami mereka dengan menyusun peraturan "neka lage sake", jangan melanggar perjanjian, aturan; neka wedi repi; dan "neka lage loce toko" atau jangan selingkuh.
Atente memutuskan Telalin memperistrikan anak gadis dari isteri pertama, kedua dan ketiga dari Negeri Bambas. Putera dari isteri kedua Atente yang ia baptis namanya Tu'an Gendang mengambil gadis dari negeri Bambas dari isteri keempat, kelima dan keenam. Sedangkan, anak dari isteri kelima dari Negeri Susu dan Madu yang ia baptis namanya Tu'an Tembong mengambil anak gadis dari isteri ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepululuh. Sehingga, masing-masing-masing anak laki-lakinya memiliki 4 orang isteri.
Setelah ditetapkan, Atente pun merestukan mereka untuk menjadi suami-isteri.
Demi menghargai yang sulung, maka anak dari isteri ke-11 dari Negeri Bambas dijadikan isteri dari Telali. Jadinya, Telalin memiliki lima isteri. Soal anak dari isteri ke-12 dari Negeri Bambas atau Bidadari belum diketahui keturunannya lagian puteri ke-12 itu masih berusia 12 tahun dan belum disahkannya menjadi isteri mereka orang tuanya Bambas sudah merestuinya. Atente belum bertindak sejauh itu. Atente menanti 2-3 tahun kemudian baru memberikan gadis kecil itu momongan.
Kemudian, tiga anak pengasuh dari Negeri Sejuta Buah yang masih berusia 9, 7, dan 5 tahun adalah calon isteri dari Atente karena itu tidak boleh diberikan kepada anak-anaknya. Haram bagi hukum Atente.
Digelarnya Ritus Beka agu Buar.
Usai rapat karena mau mensyukuri atas rahmat yang diterima Ayahnya Atente, dia kemudian menggelar ritus ucapan syukur dengan menyembelih seekor kerbau putih mereka di Nuca Lale.
Semua mereka kemudian sangat gembira sekali. Tak kalah, Atente tampak riang amat. Usai ritus tersebut mereka pun menggelar rapat soal perkawinan tungku cu dan tungku salang.
Bisikan Cinta Buat Ine Lodok Lingko.
Setelah semuanya usai, persis malam itu Atente memilih menemani Ineloli. Mereka berdua mengisahkan kembali masa-masa panas mereka di pelaminan awal yang penuh dengan berbagai kelucuan.
Kemesraan pun tak terelakkan lagi sebab kangen mesra tengah ada di sisi dan dicumbui.
Demikian perkataan Atente: "Nocan! Buah dilemamu membuat aku seperti pasir di tepi pantai dan bintang-bintang di langit!". Jawab Ineloli: "Aku juga tersiksa selama 28 tahun karena keperkasaanmu yang tak bisa kutandingi. Kaulah pria yang membuatku kau kehilangan. Meski aku tersiksa karena panglimamu sempat dicuri orang, kini pangkat itu tidak bisa diambil lagi karena sesungguhnya dan seutuhnya panglimamu adalah milikku. Kau tidak akan bergegas lagi dari sampingku mulai malam ini hingga selamanya walau masih ada isterimu yang lain namun aku adalah sulung dari antara mereka. Kini isterimu 20 orang. Kami akan selalu di sampingmu Naga!". Akhir Atente: "Hehe....Terima kasih Nocan tersayangku. Aku sesungguhnya tidak mau jauh dari sisimu selamanya!"
[Inspirasi, Jumat, 18 November 2016].
Teles Sunding Dere Ngkiong.
Keesokan harinya Atente yang tengah duduk di dalam kamar merenung soal bagaimana menentukan lingko buat anak-anaknya yang sudah mempunyai isteri karena mereka harus mengurus rumah tangganya masing-masing.
Atente termenung dan berguman: “Separuh hidupku kuhabiskan dengan bermusafir ke banyak negeri yang indah. Kutemukan banyak buah hati selama di perjalanan hingga aku kembali lagi di negeri di mana isteri sulungku berada tepatnya di Nuca Lale. Aku memang belum terlalu tua, namun selama aku masih bisa mengikatkan tali pada pinggangku dan menempatkan kasut dengan baik di tapak kakiku dan menaruh jongkong bila - topi yang terbuat dari pohon maja - di atas ubun-ubunku, aku bisa mendengarkan anak-anakku dan cucu-cucuku. Sebelum semua itu terlambat, aku harus bertindak sesuai dengan kenyamanan dan keamanan wua tuka daku – anak darah daging. Apakah aku harus mengembalikan isteri dan anakku ke negeri di mana mereka bertapak sebelumnya? Aku tahu juga, negeri mereka amat berkelimpahan susu dan madunya, begitupula buah-buahan, ikan-ikan dan segala jenis makanan lezat lainnya. Ah…tidak! Aku harus mengumpulkan mereka di negeri ini, biar mereka tidak tercerai berai seperti semut terkena kepanasan di sarang mereka!”.
Atente lalu memanggil isteri sulungnya, Ineloli. “Ineloli, aku tengah sepi di sini! Bolehkah engkau berada di sisiku sekarang sebagaimana sediakala sebelum dilemamu sebelumnya membuatku bermusafir jauh melintasi semak belukar dan hutan belantara, terjal dan jurangnya onggokan bukit dan gunung? Aku amat membutuhkanmu sekarang juga!”.
Jawab Ineloli yang tengah menggelus Lalongn Tana, putera sulungnya di compang. “Iya Mbeng. Aku akan segera mendapatimu baik-baik saja. Aku tengah melakukan kesibukan kecil di sini. Nanti aku akan berada di dudukanmu sayang!”.
Sebelum Ineloli mendapati suaminya karena masih bersama si Lalongn Tana di compang, Atente dengan asyiknya mendendangkan sebuah lagu. Suaranya merdu bak serpihan indah dendangan seruling dewa menembus celah-celah bebatuan mulia di dasar perut bumi.
Demikian syair dendangan lagu indah Atente:
Ngkiong nga…, ngkiong ngo…., ngkiong…., ngkiong e…, ngkiong…, ngkiong e…
Maram rogan… ngkiong e…tana ya…bate loas ge ta ngkiong e…..
Maram peren…ngkiong e…tana ya….bate dedek ge ta ngkiong e…
Maram tonggong…ngkiong e…tana ya…bate wowod ge ta ngkiong e…
Maram namparn….ngkiong e…tana ya…natas labar ge ta ngkiong e…..
Ngkiong…ngkiong nge, ngkiong ngkiong nge… neka ya, neka oke kuni agu kalo ta ngkiong ingkiong e.
Ngkiong nga…, ngkiong ngo…., ngkiong…., ngkiong e…, ngkiong…, ngkiong e…
Maram ceran….ngkiong e….tana ya….dise Ema ta ngkiong e…..
Maram ndusukn…ngkiong e…tana ya…tana ru ta ngkiong e….
Maram karotn…ngkiong e….tana ya..bate daong ge ta ngkiong e…
Maran rentek…ngkiong e…tanya ya…dise ende ta ngkiong e…
Ngkiong…ngkiong nge, ngkiong ngkiong nge… neka ya, neka oke kuni agu kalo ta ngkiong ingkiong e.
Ngkiong nga…, ngkiong ngo…., ngkiong…., ngkiong e…, ngkiong…, ngkiong e…
Maram waran... ngkiong e….tana ya nitud mangad ge ta ngkiong e….
Maram ndereng….ngkiong e….tana ya nitu dedek ge ta ngkong e…
Maran ringangn…ngkiong e…tana ya bate ciar ge ta ngkiong e….
Maram rucukn….ngkiong e…tana ya tana gugum ge ta ngkiong e…
Ngkiong…ngkiong nge, ngkiong ngkiong nge… neka ya, neka oke kuni agu kalo ta ngkiong ingkiong e.
Ngkiong nga…, ngkiong ngo…., ngkiong…., ngkiong e…, ngkiong…, ngkiong e…
Maram wakasn…ngkiong e…tana ya tana kapang ta ngkiong e….
Maram ri’in…ngkiong e…tana ya bate cirik ge ngkiong e….
Maram sensusn…ngkiong e…tana ya bate celung ge ngkiong e….
Maram cawatn ngkiong…tamal ya tana mangad ge ngkiong e…
Ngkiong…ngkiong nge, ngkiong ngkiong nge… neka ya, neka oke kuni agu kalo ta ngkiong ingkiong e.
Ise ameg…ngkiong e…rinding a, rinding maneg ta ngkiong e….
Ise ineg…ngkiong e…rinding a, rinding wieg ta ngkiong e…
Ise amangn…ngkiong e…rinding a, rinding labarg ta ngkiong e….
Ise inang…ngkiong e…rinding a, bali cimpingn ge ta ngkiong e…
Ise yenug...ngkiong e…rinding a, rinding tengug ta ngkiong e…
Ise nanag…ingkiong e…rinding a, tana Lale ge ta ngkiong e….
Itet Mori..ngkiong e…rinding a, rinding tonig ta ngkiong e….
Ngkiong…ngkiong…ngkiong nge, ngkiong…ngkiong nge neka ya…
Ngkiong…ngkiong…ngkiong nge, ngkiong…ngkiong nge neka ya…
Neka kuni oke kuni agu kalo ta ngkiong…ngkiong e.
[Kuni adalah pusat manusia – yang kemudian disebut sebagai salah satu ase kae weki, sedangkan kalo adalah pohon dadap yang juga ditanam di tengah compang – hal itu terlihat di Ruteng Pu’u dan Gendang Ranggi misalnya].
Dendangan seruling dan suara merdu Atente mengema dan mengaung ke seluruh lembah-lembah negeri, ngarai gunung dan bukit, dan padang ilang . Lagunya membuat seluruh hewan dan binatang melata berhenti memakan, berlari, membuat anak, meminum air. Binatang-binatang melata dan orang-orang yang mendengarnya berhenti beraktivitas dan semuanya berhenti dalam nada lagu dan syiar indah dendangan Atente. Seluruh hewan dan binatang melata menghampiri suara itu sekalipun kilometer jauhnya. Mereka ditarik oleh suara yang indah itu kepadanya. Saat dia berdendang, seluruh hewan dan binatang melata liar bernyanyi. Singa mengaum, kerbau menguak, kambing mengembing, burung pipit bersiul, anjing menggonggong panjang, cicak berbunyi. Seluruh binatang semuanya menampilkan suara merdu mereka masing-masing hingga seluruh lembah, puncak bukit dan gunung, ngarai, kali, padang ilalang mengeluarkan suara merdu nan indah. Hingga seluruh permukaan bumi tampak seperti nyanyian koor yang akbar seakan menyambut Sang Agung menapaki bumi. Tak ketinggalan, langit mengeluarkan halilintar di siang bolong – pasat lena – berdentuman besar di langit setelah dendangannya. Semua jenis pohon dan rerumputan tumbuh mendadak ce depa – seukuran tangan orang dewasa dari sebelumnya. Semua kali berhenti mengalir dan mata air berhenti sejenak mengalir. Air laut pun tak bergelora, angin kencang berhenti dan hanya angin sepoi-sepoi basah - breeze yang sejuk. Matahari pun berhenti di ubun-ubun kepala dan terik dari lazimnya menggigit pori-pori saat itu menjadi lembut seperti dunia adem ayem. Tampak cemberuang, po, rok, kalong, gagak dan semuanya datang kepadanya. Saat itu, seluruh badan Atente bercahaya bagaikan kilat petir dan pakaiannya putih seperti salju.
Kemudian, para orang tua, isteri, mertua, mantu dan cucu-cucunya menghampiri Atente hingga mereka tertegum kagum terlena menyaksikan dan mendengar suara itu. Mereka merasa damai berada di dekatnya seolah dunia adalah firdaus yang nyata buat mereka semua. Mereka semua pun mengeluarkan air mata dan masing-masing dari mereka mulai dari Ineloli – isteri sulungnya – hingga semua isterinya, anak dan cucunya datang kepadanya, mencium kakinya sembari sujud di depannya dengan sangat sopan dan taat. Mereka semua membasuh air muka mereka dengan kain lenan putih mengkilat milik Atente.
Sejak peristiwa itu dan sejak kedua orang tua Atente pertama kali mencium kaki anaknya, teringatlah Ayahnya Atente akan pesan Yang Maha Agung sebelum ia dilahirkan ke bumi dalam wujud manusia sebelum bumi ditutupi lepasan samudera raya.
Isak tangis Ayah dan Ibunya semakin menjadi-jadi. Mereka meminta berkat dari putera mereka itu. Saat kedua orang tuanya hendak mencium kaki Atente, ia melarang mereka. Ia mencium kedua orang tuanya, memeluk mereka sangat erat. Saat Ayah dan Ibu Atente memeluknya, kedua orang tuanya menghirup udara wewangian surgawi yang amat…amat menyegarkan dan menenangsejukkan dari tubuh dan pakaian Atente. Atente seperti Ilahi yang hidup di depan mereka. Sungguh pengalaman yang nikmat tiada taranya, bagaikan pengalaman puncak yang nikmat saat seseorang melepaskan jiwa dan rohnya dari dalam raga menuju alam bebas nian. Peristiwa surgawi yang tak ada duanya.
Selanjutnya….
[Inspirasi, Rabu (23/11/2016].
Cerita Sang Ayah tentang Kelahiran Rombeng Lomes.
Kemudian, Ayah Rombeng Lomes mendekati anaknya dan menceritakan kisah kelahiran putera tunggalnya itu. Puteranya pun asyik mendengar. Begini kisahnya. Suatu malam, saya didatangi seseorang berpakaian putih, jubahnya kilat seperti petir. Kata pria berjubah putih tersebut: “Anak-Ku, engkau akan Kukarunia seorang Putera dan hendaklah engkau menamai dia Rombeng Lomes!”. Lalu, jawabku: “Bagaimana mungkin Tuan, aku belum beristeri. Tak ada satu pun gadis yang kujumpai di kampungku yang berkenan di hatiku!”. Sahut Tuan itu lagi: “Janganlah engkau cemas! Percaya engkau pada-Ku? Aku akan mengaruniakan kepadamu seorang gadis yang sepadam dengan engkau. Aku perintahkan engkau, agar engkau besok pagi-pagi buta pergi ke tempat pemandian di kampungmu. Perhatikanlah, ada seseorang gadis belia yang ditinggalin oleh saudari-saudarinya karena dia banyak cucian dan dia mandi paling akhir. Dia puteri ke-7, si bungsu. Dan, Aku berkata kepadamu, saudara-saudaranya yang lain akan menolak kamu saat kamu hendak melamar mereka. Aku akan membuat engkau seperti seorang yang penuh yang sakit sebab kulitmu tidak elok dipandang oleh mereka agar keenam saudarinya menolak kamu. Janganlah kamu heran akan peristiwa itu! Setelah engkau berjumpa dengan gadis itu di pemandian, janganlah kiranya engkau lari daripadanya. Dekatilah dia dan bantulah dia memikul barang cuciannya. Setelah engkau ditolak oleh saudarinya termasuk kedua orang tua dan keluarga besarnya dari rumah mereka, pergilah kamu dan bangunlah gubuk kecil di kampungmu sebab dari rahim isterimu akan lahir seorang putera yang akan meremajakan bumi dari penciptaan baru. Janganlah heran, Aku akan tinggal di rahim isterimu dengan terang dan cahaya yang amat gemerlap dari langit. Akan tiba saatnya semua itu akan terjadi!”. “Kemudian, setelah mendengar perintah itu, aku hanya termenung”, akhir cerita Ayah Rombeng Lomes.
Lalu, tanya Rombeng Lomes: “Ayah bisa ceritakan kisah perjumpaan dengan Ibunda dulu!”. “Baik Tuanku, aku akan mengisahkannya!”, kata Ayahnya. Kata Rombeng Lomes: “Jangan berkata Bapa!”.
Ayah Atente ke Air Pemandian.
Kemudian, Ayahnya Atente mengisahkan. Saya kemudian ke pemandian. Tiba di sana, aku melihat seorang gadis yang tengah menangis karena ditinggalkan keenam saudarinya. Kataku kepadanya: “Non, jangan menangis! Aku akan menemanimu hingga ke rumah!”. Gadis itu lalu mengamini. Saya pun mengantar Ibunda ke rumah. Di perjalanan pergi, aku tiba-tiba menjadi tampak renta. Kulitku pun menjadi seorang kusta. Ibundamu, saat itu menjadi sangat takut karena aku sangat renta dan penyakitan. Ibundamu bertanya kepadaku: “Mengapa sayangku tiba-tiba menjadi demikian?”. Jawabku: “Biarkanlah hal itu terjadi agar keenam saudarimu menolak aku termasuk kedua orang tua dan keluargamu!”. Ibundamu menggangguk tanda sepakat.
Tibalah aku dan Ibundamu di perkemahan mereka. Di sana aku masuk dan mengetuk pintu. Betapa kaget kedua orang tua, saudari dan keluarga Ibundamu Tuan. Mereka semua menolak aku. Ibundamu terkena marah dan menyuruh aku keluar gubuk dan pintu harus ditutup dari dalam. Sementara saya di luar gubuk, Ibundamu menangis dan meminta kepada orang tuanya agar mempersilahkan aku masuk ke dalam. Meski dengan amat sedih, mereka tetap menolak. Ibundamu terpaksa disuruh oleh kedua orang tuanya keluar rumah dan mempersilahkan dirinya mengikuti aku.
Sebelum bergegas dari rumah orang tuanya, Ibundamu bernazar: “Camkanlah! Kalian akan bersedih dan akan menjumpai aku dalam kemulian Yang Maha Agung”. Mendengar nazar Ibunda Tuan, kedua orang tua, saudari dan keluarganya hanya diam tepekur sembari isak tangis sedih dan penuh penyesalan karena Ibunda Tuan dibawa olehku ke tanah yang jauh yang tak pernah mereka tapaki sebelumnya.
Kira-kira dua hari dua malam kami meninggalkan orang tua Ibundamu, aku pun kembali seperti semula. Ibundamu sangat gembira hatinya. Tiba di sebuah negeri, kami pun membangun gubuk dan ternyata dekat gubuk kami ada perkampungan. Perkampungan tetangga itu hanya dibatasi sebuah bukit saja. Di perkampungan tetangga itulah, Ineloli, isteri Tuan dibesarkan oleh kedua mertuamu.
Rombeng Lomes Menjadi Garuda Dilingkari Pelangi.
Mendengar cerita Ayahnya, Rombeng Lomes memeluk kedua orang tuanya dan memangku mereka di masing-masing pahanya. Saat kedua orang tua itu tengah di pangkuannya, Rombeng Lomes tiba-tiba berubah wujudnya menjadi seekor burung garuda yang gagah perkasa. Di kelilingnya, sebuah pelangi melingkar mereka bertiga. Di cakar kaki burung garuda itu, digengamlah sebuah loh batu dan di loh batu itu ada tertulis, dalam bahasa kuno: “Aku Pu’ung du Wangkan agu Turung Cemoln! – Aku adalah Awal dan Akhir!”.
Melihat itu, kedua orang tuanya kedua orang tuanya tercenggang. Begitupun semua orang yang ada di tempat itu menjadi sangat heran. Mereka semua tersungkur bersujud.
Penyesalan Saudari-Saudari Ineloli.
Mendengar cerita dari Ayah Rombeng Lomes, Ibu mertuanya – Ibunda Ineloli , isteri Rombeng Lomes dari Negeri Sano Rana Koe, mertua perempuanya dari Negeri Susu dan Madu, mertua perempuannya dari Negeri Sejuta Buah, dan mertua perempuannya dari Negeri Bidadari, dan Ibunda Rombeng Lomes pun menangis tak karuan. Suasana perkemahan mereka semakin dihiasi air mata.
Cerita Ayahnya Rombeng Lomes membuat Ibu mertuanya – Ibunda Ineloli , isteri Rombeng Lomes dari Negeri Sano Rana Koe, mertua perempuanya dari Negeri Susu dan Madu, mertua perempuannya dari Negeri Sejuta Buah, dan mertua perempuannya dari Negeri Bidadari, dan Ibunda Rombeng Lomes berpeluk erat satu sama lain. Mereka menangis tersedu-sedu karena ternyata mereka adalah satu ayah dan ibu.
Ibu mertuanya – Ibunda Ineloli , isteri Rombeng Lomes dari Negeri Sano Rana Koe, mertua perempuanya dari Negeri Susu dan Madu, mertua perempuannya dari Negeri Sejuta Buah, dan mertua perempuannya dari Negeri Bidadari yang menyuruh Ayahnya Rombeng Lomes pergi bersama Ibundanya ke negeri yang jauh yang kemudian beberapa tahun kemudian, air bah menyelimuti seluruh permukaan bumi.
Isteri Rombeng Lomes dari Sano Rana Koe pun bertanya kepada kelima saudarinya itu: “Di manakah si kakak perempuan sulung juga kedua orang tua kita?’. Mendengar pertanyaan isteri Rombeng Lomes dari Sano Rana Koe, keenam saudari ini menangis dengan sangat keras karena mereka mengira mereka sudah tiada. Mereka pun ingin menggelar ritus paka di’a –kenduri.
Gonggongan Anjing Tanda Perjumpaan.
Beberapa hari kemudian, mereka pun menggelar ritus paka di’a – kenduri. Diambillah oleh Ayah Atente seekor babi jantan hitam untuk kemudian di-torok atau didoakan. Tampak Ayahnya Atente mulai sibuk untuk tudak. Sebelum dilakukan ritus itu. Rombeng Lomes pun berkata kepada Ayahnya: “Ayah! Janganlah kita melakukan hal itu sebab mereka ada di depan kita saat ini!”. Ayah Atente pun diam tak berkutik.
Sontak saat itu juga, dua ekor anjing milik Atente menggonggong panjang. Anehnya, anjing itu sudah menghilang satu bulan lamanya dari perkumpulan mereka. Kedua anjing itu sibuk memburu tagi – rusa. Setelah itu, anjing itu mendekati Atente sembari memanjatnya dengan liukan ekor anjing-anjing itu mengibas-ngibas dengan elok. Kedua ekor anjing itu lalu menggigit dengan lembut kedua tangan Atente keluar gubuk dan membawa Atente ke tanah yang jauh. Atente pun memahami. Melihat kejadian itu, semua mereka di gubuk itu hanya diam sementara Atente segera bergegas mengikuti insting kedua ekor anjing tersebut. Atente pun berpesan agar Ayah dan Ibundanya dan semua mereka di situ untuk mempersiakan segala sesuatu. “Hendaklah kalian semua bersiaplah menggelar syukuran atas kebaikan Yang Maha Agung sebab keluarga kita yang lain akan segera berada bersama kita di Nuca Lale!”.
Menuju ke Negeri Sepot Neka Lelo.
Berangkatlah Rombeng Lomes dari Negeri Nuca Lale. Dua pekan lamanya, tibalah ia di sebuah negeri. Ia naik ke sebuah gunung dan mendaki sebuah pohon yang besar. Dilihatnya dari ujung pohon yang tinggi di gunung tersebut, tampak asap naik membubung tinggi. Tempat itu dikelilingi oleh bukit-bukit yang terjal. Untuk memasukinya sangat sulit karena penuh dengan duri rotan-rotan. Saat itu, hari sudah senja maka terpaksa mereka berbaring di atas puncak gunung itu dan keesokan paginya baru meluncur turun.
Pagi-pagi sekali, mereka pun turun gunung menuju lembah yang dalam dan terjal. Satu hari lamanya perjalanan, barulah mereka tiba di dudukan lembah itu. Mereka pun tiba di situ tepatnya waktu sudah mulai senja. Atente lalu masuk ke dalam gua dan menyapa orang-orang di dalamnya. Tampak ada seorang lelaki tua, seorang perempuan tua dan seorang perempuan seperti meskipun usianya sudah agak tua namun parasnya masih sangat cantik dan seperti gadis belia. Ia adalah gadis sulung dari ketujuh bersaudari. Ia paling elok, cantik dan ayu dari semua saudarinya.
Betapa kagetnya ketika, ketiga orang di dalam gua tersebut disambangi orang. Lelaki tua itu berguman dalam hatinya: “Kok masih ada manusia selain kami yang berhasil diselamatkan air bah yang besar?”. Sembari geleng-geleng kepala dan tidak percaya, lelaki itu lalu bertanya: “Tuan, darimanakah Tuan datang?”. Jawab Atente: “Aku dari negeri nun jauh, Negeri Nuca Lale!”.
Tak berkata lama, Atente pun berkata lagi: “Lusa kita bergegas dari negeri ini ke negeriku.Sebagai tanda perjumpaan, aku menamakan negeri ini Sepot Neka Lelo karena negeri ini sulit dilihat dari segala penjuru!”. Balas lelaki tua itu: “Boleh saja, tetapi alangkah baiknya, Tuan tinggal dulu untuk sementara waktu di sini!”. Tanggap Atente: “Tidak, lusa kita harus bergegas!”.
Si Sulung dan Cinta Pertama.
Setelah makan malam, lelaki tua itu berbisik kepada isterinya agar anak gadis mereka menemani Atente malam itu. Si sulung itu pun mengamini. Si sulung itu namanya Dimar Kondeng Dole Maki Mekot. Niat lelaki tua itu pun pupus karena saat gadis cantik itu hendak memasuki pertiduran Atente, kedua anjingnya menggeram. Hingga malam indah itu pun terlewatkan begitu saja.
Titian Kidung Merdu Menggoda.
Keesokan paginya, saat mentari mulai menyingsing di timur, Atente duduk di atas sebuah batu sembari meniupkan seruling. Atente pun berdendang. Begini lagunya:
Oooooooo…..inang eee….
Oooooooo…..amang eee….
Am ranga da’at, tamal anak run keta hia amang o amang e….
Oooooooo…..inang eee….
Oooooooo…..amang eee….
Am roweng koe, tamal ro’eng run keta hia inang o inang e….
Kondeng dolen ne…, wekok ne e…waki wekokn ne….
Ekor kudan ne…, mekot ne…e…maki maki mekot ne…
Oooooooo…..inang eee….
Oooooooo…..amang eee….
Am ranga da’at, tamal anak run keta hia amang o amang e….
Oooooooo…..inang eee….
Oooooooo…..amang eee….
Am roweng koe, tamal ro’eng run keta hia inang o inang e….
Kondeng dolen ne…, wekok ne e…waki wekokn ne….
Ekor kudan ne…, mekot ne…e…maki maki mekot ne…
Suara dendangan lagu itu menggema ke seluruh lembah belum lagi bunyi serulingnya menghibur seluruh penghuni. Semua jenis binatang melata, burung-burung pun menghampiri Atente saat itu. Belum lagi Dimar Kondeng Dole Maki Mekot amat tersipu malu karena lagu itu persis menyinggung tentangnya.
Saat itu, lelaki tua itu bersama isterinya hanya geleng-geleng kepala dari semak belukar menyaksikan dendangan yang indah itu. Lalu, kedua orang tua itu menyuruh anak gadis berbalas pantun. Dengan semangatnya, Dimar Kondeng Dole pun membalas pantun dendangan Atente dari balik semak di belakang batu dudukannya.
Begini dendangan gadis itu:
Oe…nara a….
Nara geong ge..ee…i..ee…
Lelok lelok mtaungk, laun ntaung… sinan liwa…a
Toe tara tuah…a…nara…a..ge
Oe…nara a….
Nara momang ge…ee…i..ee…
Enam neteng bendar…rupa-rupa bok ata kole duat…
Toe tara tuah…nara…a.. ge
Oe…nara a….
Nara bambas ge…ee…i..ee…
Gereng-gereng mtaungk, laun ntaung… sinan liwa…a
Toe tara tuah…a…nara…a..ge
Oe…nara a….
Nara reba ge...ee…i..ee…
Enam neteng bendar…rupa-rupa bok ata kole pala…
Toe tara cai…nara…a.. ge
Nai go...o…ata co’o nai ge…
Nara piog… ge ie…..e…
Ho’o kaku tundu tenang kig…
Cala mane tana …a…sale
Kole korong lalong iring ta
Nai go...o…coko co’oy nai ge…
Nara raes…egh… ge ie…..e…
Ho’o kaku jojop tundu kig…
Tundu tenangcai kamping atig…
Keor koleh cimping kaku ge…
Rombeng Lomes Tergugah.
Betapa terkejutnya Rombeng Lomes mendengar balas pantun lagu tersebut. Dia tidak pernah mendengar suara merdu tersebut sebelumnya dari kekasih hatinya. Suaranya lembut sejuk bak selentingan elok bisingan bibir imut memerah bidadari dari kayangan yang menghibur kalbu. Amat nikmat menenangbobokan, seperti diayun-ayun di atas gulungan mungil telaga bening yang dihiasi warna-warni bebungaan yang cantik dan kemerduan koor Gregorian di Gereja tua yang megah menggema bergelora asyik.
Rombeng Lomes pun mendapati suara itu. Saat hendak mengejar, Dimar Kondeng Dole Maki Mekot pun berlari kecil ke sebuah telaga kecil. Di telaga banyak ikan yang kulitnya berwarna-warni indah.
Saat Dimar Kondeng Dole Maki Mekot hendak terjun melompat ke telaga itu, Atente meraih jemari lembut manisnya. Ditatapnya belahan kalbunya itu penuh asmara. Senyuman bibir manis Dimar Kondeng pun melepas sedang parasnya wuhai jelitanya itu pun kian menjadi merah merona.
Menyaksikan kejadian langka tersebut, lelaki tua itu dan isterinya menjadi sangat gembira. Hati mereka pun berbunga-bunga riang karena anak puteri mereka akhirnya memiliki belahan jiwa untuk selama-lamanya.
Gulita Asmara.
Pulanglah kedua tambatan hati tersebut ke gua lembah Sepot Neka Lelo. Di pintu gua, Rombeng Lomes dan Dimar Kondeng Dole Maki Mekot pun diterima oleh lelaki itu tua dan isterinya. Saat itu, mau memasuki capu rebem – sore gelap gulita. Mereka dipersilahkan masuk sementara lelaki tua dan isterinya bergegas ke gua samping sekitar 100 meter dari gua pertama. Lelaki tua itu tak mau mengganggu malam pesona yang ratusan ribu menit dinantinya itu. Lelaki tua itu tersenyum simpul puas. Ia mengecup kening isterinya yang kian menapaki renta itu menyongsong gua kedua yang sama hangat lembutnya dengan gua pertama di negeri Sepot Neka Lelo.
Ekspedisi Kole Beo.
Satu pekan Rombeng Lomes di Negeri Sepot Neka Lelo, mereka pun mengemas seluruh perlengkapan yang perlu dan menuju perziarahan kole beo – pulang kampung ke Nuca Lale.
Nantikan cerita selanjutnya…..
Menjejaki Turunan Wae Cino.
Selanjutnya……
Reos Lontoleok.
Jangka Koe Menapaki Bumi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar